Terjerat dalam Diva

October 31, 2009

Krisdayanti memang seorang diva. Diva bukan saja karena performa suara dan pencapaian karier bermusik, melainkan juga gaya dan kepintarannya membawa diri, dan membahasakan perilakunya. Lihatlah.

Lihatlah di televisi. Setelah lama berdiam diri, dan hanya tampil sesekali untuk bernyanyi di “Inbox” SCTV atau “Dahsyat” RCTI, KD, demikian dia biasa dipanggil, menggelar jumpa pers setelah resmi menjadi janda, dengan bahasa dan gaya yang sempurna. Krisdayanti tidak saja tampil dengan percaya diri dan dapat bercanda dengan kerling mata, atau gelak tawa, tapi juga mampu memilih diksi yang kuat dan kalimat bijak untuk menyampaikan pendapatnya.

Misalnya, untuk kegiatan dia selama “menyepi” dari media, ibu dari Aurel dan Azriel ini berkata, “Saya lebih banyak baca dan berpikir. Lebih intens kepada ibadah untuk mengobati batin saya.”

Dalam masa “berobat” itu, KD tak menerima telepon siapa pun, dan menonton berita apa pun. Dia menutup diri. Tapi, bagi KD, bukan itu yang terjadi. “Saya enggak menutup diri. Saya diam karena hal itu tepat, di saat orang menyalahkan saya. Ini masalah kamar dan enggak ada yang berhak ikut campur. Saat ini saya bisa menerima dan berbicara, hanya saya, Anang, dan Allah yang tahu,” ucapnya, yang mengaku tidak menggunakan ponsel dengan nomor yang biasa dia gunakan selama dua bulan.

Pelantun “Aku Wanita Biasa” itu pun mengaku tak lagi terluka. “Tapi Alhamdulillah, sekarang lahir batin saya sudah sembuh. Saya berusaha menutupi kesedihan saya untuk melawan kesedihan ibu saya. Ya double kerja keras,” ujarnya.

“Tidak ada yang berubah, saya ikhlas,” katanya mengenai dirinya setelah menjanda. Atau, “Saya ingin membahagiakan orangtua dan keluarga saya di masa depan.” Juga pengakuan, “Saya sekarang telah menjadi single mother dan harus bekerja untuk anak-anak saya. Saya ikhlas hak asuh anak-anak jatuh kepada ayah mereka. Saya yakin Anang akan bertanggung jawab atas anak-anak.”

Sempurnalah.

KD memang selalu sempurna di depan kamera. Bahkan, ketika mengumumkan keretakan rumah tangganya, di bulan puasalalu , dia memulai dengan kalimat yang bercahaya. “Saya yakin ini adalah hari yang berat, karena saya sedang menjalankan ibadah. Tadinya, saya tidak mau, tapi saya harus mengikhlaskan ibadah saya terganggu dengan pemberitaan yang ada.”

Soal pilihan cerai, dia bahasakan dengan, “Saya dan Anang memutuskan tidak melanjutkan kerjasama menyatukan hubungan tali pernikahan. Saya dan Anang memutuskan tali pernikahan dalam keadaan terbuka, tidak mencari kesalahan.”

Dahsyat!

Tapi, hidup seseorang bukan hanya tercatat dan dilihat dari yang tampak di mata kamera.

Sebelum perceraian itu, kita tahu, KD baru saja meluncurkan buku Catatan Hati krisdayanti, My Life My Secret. Dalam buku itu, KD mengaku tak sempurna. Sosok yang tampil di depan kamera itu, adalah diri imitasi, sebagai harga yang harus dia tebus untuk para penggemar yang membayar mahal agar dapat menikmati dirinya. Buku itu, bagi KD, adalah fase terpenting dalam hidupnya, ketika sudah dapat memaafkan diri sendiri.

“Saya hanya ingin bicara kejujuran dalam diri saya. Ini adalah kejujuran yang menuju pada puncak kedewasaan. Saya berada pada puncak ketidaknyamanan dan saat ini ingin berdamai dengan ketidaknyamanan itu,” ucapnya saat peluncuran buku itu.

Artinya, setelah buku itu terbit, KD tak ingin lagi berlaku seperti apa yang dia pertunjukkan dan akui selama ini. Akan hadir KD yang berbeda.

Dan, peluncuran buku itu belum lama. Penggalan pengakuannya masih terngiang di telinga pembaca, termasuk asmaranya yang berkobar bersama Anang, paska permak paha dan payudara. “Anang grogi,” akunya.

Lalu, semua sia-sia.

Pengakuan itu tak lebih fatamorgana.

Buku itu, pengakuan tak sempurna itu, adalah rekayasa paling sempurna untuk “menjual” dirinya. Pengakuan pertobatan itu adalah citra yang paling penting untuk dapat diterima massa. Perasaan bersalah itu adalah magnit yang dia tembakkan untuk mendapat simpati.

Bukan rasa bersalah yang lahir dari dalam diri. Bukan, meminjam diksinya, “kejujuran yang menuju puncak kedewasaan.”

Semua cuma rekayasa. Permainan panggung. Pemanfaatan media. Pertukaran citra.

KD tak pernah berubah. Karena di dalam dirinya, dia tak pernah merasa bersalah. Termasuk juga perselingkuhan itu, yang disaksikan Aurel, anaknya. Atau kesakitan yang diterima Anang dan anak-anak mereka karena pengakuannya bahwa dalam pernikahan itu dia tak pernah merasa bahagia. Karena, kita harus tahu, sudah sejak lama Krisdayanti tidak hidup untuk dirinya, untuk suaminya, anak-anaknya, atau keluarga besarnya.

Krisdayanti hidup untuk penggemarnya. Untuk seluruh citra yang dia bangun. Untuk semua kesempurnaan yang tercipta di dalam benaknya.

Maka tak salahlah kalau dia mendapuk diri menjadi diva, yang rela mengorbankan banyak hal agar selalu dapat terlihat sempurna.

Untunglah, kita selalu tahu, karena tak sempurnalah maka kita disebut sebagai manusia.

Praduga Kehilangan Drama

May 14, 2009

 

Pernikahan selalu dimulai dengan campur tangan Tuhan. Keyakinan itu diucapkan Adjie Massaid. Dan dia tak sendiri. Angelina Sondakh, istrinya, juga mengaminkan pernyataan itu. Dan kita tahu, campur tangan Yang Esa itu, maksud Adjie, tidak hanya dalam mendekatkan jiwa, tapi juga memilihkan hati mereka untuk berada dalam iman yang sama.

Campur tangan Tuhan itu juga yang membuat Adjie dan Angie tak begitu bernafsu mewartakan pernikahan mereka. Karena setiap warta yang tersiar saat ini, sebahagia apa pun, tak selalu disambut dengan kegembiraan yang sama. Di ujung kamera, dalam gelak tawa, yang tetap diumbar adalah segala cela, juga beda. Apalagi menyangkut agama. Pernikahan Adjie-Angie berada dalam fokus itu, ketika iman, agama, bukan lagi menjadi pilihan dan konsumsi pribadi, melainkan makanan massa.

Adjie mengerti. Ia pun mengelak.

“Soal itu, biarkanlah menjadi hubungan kami dengan yang Maha Kuasa,” ucapnya. “Intinya, kami menikah secara Islam.”

Tapi, bahasa yang halus itu, manalah dimengerti televisi. Terlalu lembut, tanpa bombasme. Penonton tidak diberi keterkejutan, tak mendapat drama. Spekulasi pun dicari. Bukan dalam bentuk bukti, tapi ribuan tanya. Benarkah Angie telah memeluk Islam? Bukankah soal agama itu yang selama ini menjadi penghalang? Siapa yang mengislamkan dia? Apakah masuk Islam hanya untuk dapat menikah? Bagaimana dengan restu orangtua Angie? Benarkah ketiadaan perayaan itu karena kehampaan restu? Mungkinkah Angie melawan orangtuanya? Durhaka?

Tak ada jawaban. Angie tak mau memberi penegasan. Semua dia serahkan pada Adjie, mewakili dirinya. Adjie kembali dengan halus berkata, “Semua sudah selesai dengan baik, damai. Saya sebagai imam keluarga harus bertanggung jawab untuk semuanya…”

Tapi tidak bisa? Apanya yang baik? Bukankah ayah Angie mengaku tidak diberitahu soal pernikahan itu jauh hari? Dan terpaksa merestui? Juga mengapa harus menikah secara sembunyi-sembunyi? Jika memang hari bahagia, mengapa tidak dikabarkan kepada rekan-rekannya? Pasti ada sesuatu? Pasti ada yang disembunyikan!

“Saya senang teman-teman masih menaruh perhatian. Tapi biarkanlah ini menjadi kebahagiaan kami saja,” kata Adjie sembari tersenyum.

Huh! Tidak bisa, dong? Cari Reza? Iya, Reza Artamevia, mantan istri Adjie itu. Tanyain dia, apakah Adjie memberi tahu soal pernikahan itu.

“Wah, saya tidak tahu. Mas Adjie sering menelpon, bercerita soal anak-anak, tapi tidak pernah membicarakan soal itu,” jelas Reza.

Nah, Reza saja tidak tahu. Padahal, ada dua anak mereka yang akan menjadi asuhan Angie, Zahwa dan Aaliyah. Pasti Reza akan merasa tersakiti, merasa dilangkahi.

“Tapi saya berbahagia kok. Itu pilihan yang terbaik untuk Mas Adjie. Saya tahu Angie sosok yang tepat untuk anak-anak saya. Apalagi sudah seiman, ya? Semoga apa yang mereka cita-citakan tercapai…”

Lho? Bagaimana ini? Masa tidak ada gregetnya? Nah, ingat deh! Cari Bella Shapira. Iya, itu mantan kekasih Adjie. Meski sudah puluhan tahun lalu, pasti dia bisa memberi komentar. Apalagi, Bella kan dulunya seagama dengan Angie?

“Aku nggak tahu, ya? Namanya juga menikah diam-diam, jadi ya tidak tahu.”

Nah, ada peluang nih? Tentu Bella merasa ada yang aneh atau disembunyikan dari pernikahan diam-diam itu. 

“Hahaha… aku akan mengikuti jejak kalian. Aku jadi terinspirasi. Irit. Lebih baik diam-diam, tidak boros,” tambah Bella.

Duh! Habis deh! Oh tidak. Ternyata, pernikahan 29 April 2009 itu hanya pengesahan. Sebelumnya, mereka berdua ternyata telah menikah sirri, September 2008. Artinya, telah hampir setahun mereka menyembunyikan perkawinan itu, juga keislaman Angie. Cari Habib Abdurrachman Assegaf. Mintai konfirmasi, kapan Angie memeluk Islam.

“Angie itu sudah belajar ngaji dari dulu. Gurunya banyak. Nah, dia termasuk yang masuk islam karena hidayah, bukan karena ingin kawin. Dia mengikuti orang yang dia cintai…”

Payah! Mengapa tak ada yang berkomentar pedas. Masa hanya kita-kita presenter “Insert”, “Selebrita” dan “Kasak-Kusuk” saja yang berprasangka dan memaksakan drama? Ayo cari alasan pengesahan perkawinan itu. Olala, terjawab sudah. Angie ternyata hamil. Sudah hamil 4 bulan. Jadi, pernikahan itu untuk membuat kehamilan tadi menjadi wajar. Ayo, cari Komar. Dia pasti punya komentar.

“Iya, sudah ada hasilnya. Mas Adjie sudah akan jadi ayah dengan tiga anak.  Ya sudah menikah setahun lalu, ya wajar dong hamil. Wong ada suaminya, hahahaha….”

Nyerah deh! Angie, please deh ah, ngomong dong?

“Itulah mengapa selama ini saya agak enggan. Bukannya nggak mau, tapi saya tahu teman-teman pasti membidik hal agama itu sebagai meteri yang menarik. Kasihan orang tua saya.”

Lho, berarti benar dong belum dapat restu dari orangtua?

“Orang tua saya tak memasalahkan soal keputusan saya untuk memeluk agama yang dianut Mas Adjie. Tapi, berita yang mem-blow-up itu membuat Papa kurang senang.”

Jadi? “Biarkah soal keimanan kami ini menjadi urusan kami dengan Yang di Atas, menjadi pembicaraan kami pribadi saja…” tutup Adjie.

Puas, puas, puas??! 

[Telah dimuat sebagai "Tajuk" di tabloid Cempaka, Sabtu 16 Mei 2009]

Tuhan dan Kecemburuan

September 18, 2008

Marilah kita bicara tentang Tuhan, yang kata Amir Hamzah, juga ganas dan memangsa: Engkau ganas/ Engkau cemburu/ Mangsa aku dalam cakar-Mu/ Bertukar tangkap dengan lepas. Tuhan di sini, ibarat kekasih, yang tak ingin kecintaannya berpaling. Karena itulah, Ustad Fery, dalam satu nasihat yang bening, memperingatkan Azam, agar tak terlalu memikirkan Aya. “Jangan buat Allah cemburu, Azam. Karena tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah.”

Azam, tentu saja, terhenyak. “Kenapa Allah cemburu pada saya, Ustad?”

“Karena hatimu, setiap hari, lebih menzikirkan hal-hal duniawi.”

Bagi Ustad Fery, yang dimainkan Akri Patrio dengan bagus dalam Para Pencari Tuhan, cinta manusia pada apa pun, haruslah merupakan jalan untuk mencintai dan mendapatkan cinta Allah. Karena itu, anak, istri, kekasih, jabatan, harta, baru bernilai ketika dapat menjadi selasar untuk menjumpai sang Khalik.

Bertuhan, dengan demikian, lebih merupakan suatu pengalaman personal.

Dalam personalisasi semacam itulah, Tuhan acap “ditemukan” dalam banyak “wajah”. Novelis Danarto misalnya, mengaku melihat Tuhan dalam paras kanak, yang bercahaya. Atau Alm Gito Rollies, yang menjadi “kenal” dan akrab dengan Tuhan, ketika menanggungkan sakit. Zaskia Mecca malah merasa “ditegur” Tuhan lewat foto merokoknya yang tersebar. Di sini, dalam pengalaman personal mereka, Tuhan telah hadir, meski tersamar,  tampak, mengejawantah. Mereka merasakan persentuhan itu. Padahal, Chairil Anwar, merasakan betapa… susah sungguh/ Mengingat Kau penuh seluruh.

Tapi di sinilah dilema itu dimulai. Mengingat, mengenal, ditegur, adalah pengalaman yang mewaktu, ketika alpa dan ingat, dapat bertukar lepas dengan tangkap. Padahal, Tuhan yang datang lewat wahyu, justru mengatasi waktu. Wahyu hakikatnya tak mewaktu, melampaui masa, di luar fase sejarah. Jadi, bagaimana mungkin “sesuatu” yang di luar waktu, dbahasakan dalam personalisasi pengalaman?

Dilema itu punya titik temu: bertuhan adalah pengalaman personal yang terbahasakan.

Pengalaman personal yang dimaksud di sini adalah sebuah situasi yang berada di luar kala, semacam ekstase kaum sufi, suasana ning ketika berzikir, atau blank, suwung, tatkala menanggungkan sakit atau rindu. Dalam ketakmewaktuan itulah Tuhan hadir. Seperti “ketercerabutan” Muhammad dari realitas, kebersaatan, ketika menerima wahyu melalui Jibril.

Nah, kehadiran Dia yang di luar kala itu, tak punya arti, sebelum dikatakan dalam bahasa orang ramai. Itulah sebabnya, al-Hallaj, membuka rahasia syatahat. Yazid al-Bistami bernubuat di kelimun umat. Tuhan yang mereka dapat di dalam ketakberkalaan, bukan mereka simpan, tapi dileburkan dalam kancah perbuatan.

Bertuhan dengan demikian adalah perilaku. Adalah akhlak, sikap, tindak, adalah cara mencinta.

Ukuran kebertuhanan pun menjadi bukanlah pada pengalaman personal seseorang dalam kesendirian, kealiman batin dan kesantunan pribadi, melainkan kesalehan sosial, keberdampakan iman bagi orang banyak. Bertuhan, dan beriman, dalam skala yang paling akbar, adalah perjalanan atau pengalaman personal mikraj Muhammad, ketika mendapat pesan melalui bahasa langit, dan kembalinya Muhammad untuk mewartakan pesan tadi kepada umat ke dalam bahasa bumi.

Bertuhan, dan sekaligus beriman, “Bukanlah orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid,” kata Emha, “dan membiarkan beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.” Bertuhan adalah melihat segala hal sebagai “tak ada yang bukan Tuhan”,  al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-Lah.  Segala nikmat dan laknat ibarat thariqah dan syariah,  sebagai jalan, atau pintu, meraih Tuhan.  Menyatunapaskan tugas lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Tapi tentu,  bukan dengan keinginan untuk meraih surga sendirian.  ”Di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tak bisa berpaling,” kata Chairil.

Diri yang tak bisa berpaling itulah, barangkali, insan yang  tak lagi dicemburui Tuhan.

[Dimuat sebagai "Tajuk" di tabloid Cempaka, Sabtu 20 September 2008]