Kecaman yang (tak) Beralasan

December 4, 2006

Dalam bentuk lain, adegan “Smack Down” adalah miniatur dari kekerasan Tom dan Jerry, yang dibom, dilindas kereta sampai gepeng, dibakar, tapi tak pernah mati. Bukankah John Cyena juga selalu bangun meski telah dipukul, ditendang, dicekik, bahkan dihajar kursi?

Akhirnya, “paduan suara” menentang tayangan kekerasan bergema. dari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Menkominfo Sofyan Djalil, Menpora Adyaksa Dault, dan Ketua DPR Agung Laksono, sampai Kak Seto dari Komnas HAM Anak, mengecam tayangan Smack Down. Sebagian ingin tayangan itu dihentikan, yang lain meminta pindah jam tayang. Kecaman dan usulan, yang seperti biasa, lahir, setelah jatuh “korban”.

Ya, korban memang telah berjatuhan. Reza (9) di Bandung tercatat menjadi “korban” pertama. Lalu tersiar kasus yang sama di Yogyakarta, Fauzi Rizal (9) di Jakarta, Abil (6) di Bandung, dan beberapa anak lain de berbagai kota. “Topik Malam” Anteve (29/11) mencatat 18 korban, dari luka memar, patah tulang, sampai meninggal seperti yang dialami Reza. Tayangan “Smack Down” pun menjadi satu-satunya kambing hitam. Meski, berdasarkan penyelidikan, sebagaimana disampaikan Kasatreskrim Polres Bandung AKP Hendra Kurniawan, kematian Reza bukan karena praktik smack down. “kami telah memeriksa 15 orang saksi, 9 anak-anak dan sisanya orang tua korban, juga orang yang mengobati Reza secara alternatif. Karena kematiannya sebulan setelah permainan smack down, sulit membuktikan kalau penyebabnya gara-gara smack down itu,” terangnya. Satu-satunya jalan pembuktian adalah otopsi. Sayang, keluarga Reza tak memberi izin. Tayangan kekerasan di televisi memang telah lama menjadi polemik. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun telah membuat regulasi dan beberapa kali teguran. Tapi, seperti pengakuan Ade Armando, KPI tak dapat berbuat apa-apa. Menkominfo, menurutnya, telah mengebiri KPI, dengan tidak memberi hak eksekusi untuk menindak televisi yang melanggar regulasi penyiaran. Akibatnya, teve-teve membandel, dan cenderung “cuek” dengan teguran KPI. Tayangan kekerasan pun membanjir, tak terbendung. “Smack Down” salah satunya. “Selain ‘Smack Down’, banyak acara lain yang tidak mendidik,” kecam Wakil Ketua DPR Zaenal Maarif. Dia benar.

Tontonan Anak

“Smack Down” di Lativi, sebelumnya telah populer di TPI, hanya satu rantai. Lihatlah di stasiun lain, puluhan acara kekerasan bergentayangan. Program liputan kriminal semacam “Buser”, “Sergap”, “Tangkap”, pun penuh aroma kekerasan. Belum lagi film-film laga yang menjadi andalan setiap teve. Program “Theater 7″ di TV7 dan “Double Bioskop” di Trans TV dapat mewakili “perang” tayangan laga ini. Dan kalau mau jujur, tayangan jenis inilah yang memang menghibur sebagian besar penonton, mewakili naluri agresif di dalam diri manusia. Karena itu, pemaksaan untuk menghentikan tayangan sejenis itu dari para pejabat di atas tampak jadi lucu. Sebuah sikap populer yang sebenarnya tidak bersandar pada realitas dunia hiburan. Watak mimikri dunia hiburan akan membuat penghentian tayang program apa pun hanya jadi semacam dagelan. Dilarang satu, lahir kembaran seribu. Bukankah efek fatwa haram infotainment pun kini seperti suara yang telah kehilangan gema? “Fungsi Teve kan tidak hanya untuk hiburan. Lebih penting dari itu adalah pendidikan. Karena itu harus berisikan nilai positif,” ucap Zainal Maarif. Zainal barangkali telah lupa, ada Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), dan isi programnya? Bukankah TPI bisa “bernapas” justru ketika “berkhianat” dari janji mendidik penonton sebagaimana tujuan semula?

Memahami simbiosis televisi dan penonton. Mungkin itulah cara untuk dapat melihat problem ini secara lebih luas, mendudukkan teve dan penonton bukan sebagai dua sisi yang terpisah. Dampak dari satu tayangan bukanlah “kesalahan” satu pihak, melainkan lahir sebagai hubungan keduanya. “Smack Down” misalnya, dikatakan tak pantas sebagai tayangan anak-anak, dan karena itu, tayang di jam malam, pukul 22.00 ke atas. Tapi, lihatlah tayangan itu, perhatikan penonton di luar ring pertarungan, puluhan anak-anak berteriak, mengacungkan poster dan atau telunjuk yang terbalik, di samping orang tua mereka yang mendampingi. Nikmati pertarungan di dalam ring, pukulan yang tak menimbulkan luka, jatuh bangun yang tak membuat cidera, “kebodohan-kebodohan” pemain, semua di luar logika orang dewasa. Hanya anak-anak –atau orang dewasa bermental anak-anak– yang dapat melihat hal itu sebagai keseruan, kemencekaman, dan tontonan yang mengasyikkan. Jadi, secara isi dan kemasan, sebenarnya tayangan ini cocok untuk anak-anak, dan karena itu, tayang jam berapa pun, pasti diburu. VCD dan game ini pun populer di tangan anak-anak.

Tapi, bukankah kekerasan tak pantas dipertontonkan di mata anak-anak? Benar. Masalahnya, tayangan mana yang tidak ada unsur kekerasan? Kartun Tom dan Jerry? Shincan? Bukankah Tom dan Jerry lebih bermuatan dendam dan aksi pukul-pukulan? Bukankah Shincan selalu mendapatkan “telor” di kepalanya tiap berbuat kesalahan? Atau Dora Emon, dengan Giant yang selalu memamerkan ancaman dan kekerasan? Dalam wujud lain, seluruh adegan “Smack Down” adalah miniatur dari kekerasan Tom dan Jerry, yang dibom, dilindas kereta sampai gepeng, dibakar, tapi tak pernah mati. Bukankah John Cyena juga selalu bangun meski telah dipukul, ditendang, ditimpa, bahkan dihajar kursi? Acara “Celoteh Anak” yang diasuh oleh Huges pun tak lepas dari kekerasan, yakni infiltrasi pikiran dewasa ke dalam nalar anak-anak. Itulah sebabnya, menjadi hal lucu jika tayangan semacam ini yang menjadi sasaran kemarahan dan dilarang. Apalagi, heboh pemberitaan “Smack Down” ini pun tak lebih dari polarisasi perang antar-stasiun teve. Lalu, apakah penonton yang salah?

Tanda Budaya

Menonton teve pada hakikatnya adalah kegitan sosial yang merupakan proses mencari dan menciptakan makna. Karena itu, tiap penonton merupakan pencipta makna yang aktif. Dan makna itu lahir dari kompetensi kultural yang telah penonton dapatkan sebelumnya dalam lingkup berbahasa dan hubungan sosial. Penonton melakukan kontekstualisasi makna-makna tersebut dengan kondisi nyata yang dia alami, dan kadang, memodifikasi agar makna sesuai dengan yang mereka inginkan. Jadilan proses menonton sebagai pemaknaan yang kreatif.

Stuart Hall dalam Culture, Media, Language, melihat ada tiga kode yang biasa dipegang penonton, yakni kode dominan (dominant code), kode negosiasi (negotiated code), dan kode oposisi (oppositional code). Dalam kode dominan, penonton menerima sepenuhnya pesan yang ditayangkan teve, karena sesuai dengan norma yang dia percaya. Sedangkan dalam kode negosiasi, penonton tidak menerima sepenuhnya, melakukan tawar-menawar, dan mengadaptasi nilai yang sesuai. Pada kode oposisi, penonton menolak seluruh pesan televisi. Artinya, setiap tayangan selalu mengalami resistensi dan artikulasi makna baru, di tangan penonton dewasa atau anak-anak.

Tayangan “Smack Down” juga mengalami saringan tiga kode itu. Dan penonton, setidaknya, terbagi dalam tiga wilayah: menerima, mengadaptasi, dan menolak atau beroposisi. 18 kasus di atas mengindikasikan bahwa tayangan ini diterima sebagai pembawa kode dominan. Artinya, penonton menganggap kekerasan di dalam tayangan itu adalah hal biasa, kegembiraan, dan menarik untuk dipraktekkan. Pertanyaan terbesarnya adalah, mengapa mereka menerima tayangan itu sebagai pesan dominan? Jawaban teoretisnya, 18 korban itu memiliki tanda dan keterikatan budaya yang sama dengan elemen kekerasan di dalam tayangan.

Mengapa anak-anak sepakat dengan nilai kekerasan di dalam tayangan itu? Bisa banyak jawaban diberikan. Tapi, dari reaksi para orang tua korban, dapat dilihat kesamaan, mereka terkejut dengan perbuatan anaknya. Orangtua tak pernah menduga si anak akan melakukan adegan seperti itu. Dari sini dapat dilihat pola asuh orang tua yang tidak berjalan. Tak ada pendampingan, mungkin tanpa komunikasi dan pemberian pengertian. Anak-anak mencari dan memaknai hidupnya dari dan hanya berdasarkan televisi. Yang nyata bukan lagi hubungan si anak dengan orang tua dan lingkungan sekitarnya, melainkan seluruh yang diberikan televisi kepadanya. Kebenaran adalah apa yang mereka lihat di teve. Kenikmatan adalah mempraktekkan semua yang mereka saksikan. Mereka hanya punya satu nilai dan menerima tanpa tanya.

Dalam ketiadaan pembanding tanda budaya inilah, pesan teve menjadi dominan. Dan bagi mereka, mempraktekkan smack down bukan sebuah kesalahan apalagi kebodohan. Lalu semua terjadi… Para orangtua meradang, politikus ikut menyerang. Mereka marah, televisi –yang telah mereka percayai menjadi orang tua asuh bagi anak-anak– disalahkan. Tapi jauh di dasar hati, mereka pasti mengutuki diri sendiri….

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 03 Desember 2006]