Air Mata dan Cinta di Setiap Pukulan
October 3, 2005
DI RONDE ke lima itu Anthony terpojok. Berkali-kali pukulan Jesse Brinkley menghantam kepala dan rahangnya. Wajah-wajah cemas pun terpampang di sisi ring. Di bagian kanan, seorang gadis kecil berteriak terisak, nyaring di antara penonton yang nyaris hening, “Menjauhlah Ayah, menjauhlah…” Matanya basah, tangannya menggapai-gapai ibu tua di sampingnya, yang cuma ternganga. “Selamatkan Ayah, Nenek. Selamatkan….”
Dan satu hook keras dari Jesse membuat kepala Anthony terlempar, ia roboh. Gadis itu membalikkan kepala, menenggelamkan wajahnya pada badan si nenek, yang segera merangkulnya. Kedua orang itu menangis.
Anthony kalah, KO. Sesudah mampu duduk, matanya segera mencari posisi si gadis kecil. Ia melempar senyum, meski matanya basah. Dipandangnya Jesse di sisi kiri ring, yang berteriak, tertawa, membopong lelaki kecil dan merangkuli istrinya. Sempat juga dia menangkap acungan jempol dari Sylvester Stallone “Rambo” dan anggukan Ray Sugar Leonard, dua orang host merangkap motivator program itu. Lalu, ia pun meninggalkan ring, gontai menuju ruangannya. “Jesse menyakitiku, aku jatuh. Aku tak mampu menghindari selama 31 detik. Aku gagal…”
Ya, 31 detik itu yang membuat Anthony kalah. Sedari awal dia memang diunggulkan, dan akan memenangi partai itu jika tak terjatuh. Jesse bukan lawan yang sepadan bagi dia. Lelaki plontos itu harus menurunkan berat badan lebih dari 2 kg sebelum naik ring. Dan yang utama, Anthony telah berjanji pada gadis kecilnya, “Ayah tidak akan kalah. Nanti kau lihat, tangan Ayah ini akan membawa kita ke kehidupan yang lebih baik. Tanya Nenek, Ayah tidak akan kalah.” Tapi dia kalah, KO. Dan di saat membersihkan diri, dia kembali menangis. Anthony cepat mengelap airmatanya, ketika gadis kecil itu masuk dan memeluknya. Ia rangkul anak itu, tangisnya kembali pecah, terutama saat melihat ibunya yang bersandar lemah di dinding. “Sungguh sakitkah, Ayah?” Ia menggeleng, mencium dahi anak itu.
Demi Keluarga
Itu visualisasi yang biasa hadir di “Contender”, reality show tentang tinju, yang ditayangkan RCTI setiap Sabtu malam. Tubuh acara yang menjanjikan kekerasan ini justru selalu berbalut airmata dan keindahan cinta antar-keluarga. Seluruh kekerasan yang mereka lakukan adalah “tuntutan” demi memenuhi harapan keluarga, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tak heran, sebelum pertarungan dibuka, petinju selalu dipertemukan dengan keluarga, untuk saling mendukung. Di sinilah biasanya tersaji visualisasi yang demikian mencengangkan, ungkapan cinta, ketulusan, harapan, yang menyesakkan dada. Pertemuan kedua terjadi setelah pertandingan, yang membuat dada penonton seakan pecah, sesak menahan airmata. Anthony misalnya, sebelum meninggalkan Contender Gymnasium, berkata, “Anakku tetap menganggapku sebagai pejuang, itu yang terpenting. Aku tidak jatuh di matanya. Dia tetap bangga padaku. Aku akan kembali karena aku bukan penyerah. Aku akan kembali, dan tidak akan kalah.”
Jesse pun mengungkapkan kemenangan dengan membawa alasan keluarga. “Aku tahu Anthony kuat. Pukulannya keras. Tapi aku tidak mau kalah di depan anak-anakku. Aku tidak mau mereka kehilangan kebanggaan padaku.
“Aku juga tahu, banyak yang menilaiku lemah. Mereka cemas. Tapi, aku tahu, menebang pohon besar halus pelan-pelan, kalau tak ingin menjadi korbannya.”
Partai antara Anthony dan Jesse memang menegangkan. Itulah partai terakhir sebelum ke semifinal, yang akan menyisakan dua petinju untuk wilayah Timur dan Barat. Setelah itu, “Contender” hanya menyisakan Sergio dan Alfonso dari wilayah Timur serta Peter Manfredo dan Jesse untuk wilayah Barat. Manfredo adalah satu-satunya petinju yang memiliki peringkat dari badan tinju dunia. Dan sejak awal, dia difavoritkan menjadi juara. Lucunya, di partai pertama melawan Alfonso Gomes, penari dari Mexico, dia justru kalah, dan tersingkir. Hanya karena ada peserta yang dikualifikasi, Manfredo pun dipanggil lagi. Itulah sebabnya, di semifinal, Manfredo berharap dapat bertarung lagi dengan Alfonso, untuk membalaskan dendamnya. “Setiap kali melihat dia berlatih, aku tahu itulah wajah yang tak bisa membuatku menatapnya dengan tegak. Setelah kekalahan itu, aku tak lagi bisa tidur nyenyak,” katanya.
Dan semifinal itu berlangsung Sabtu (24/9) lalu. Manfredo tak mau melakukan kesalahan lagi. Dia pun mengundang ayahnya, untuk memberinya semangat. “Tiap kali ayah tidak ada di sisi ring, aku merasakan ada yang hilang. Jika dia berada di sampingku, aku tak pernah kalah. Aku besar di bawah sayapnya. Karena dialah aku bertinju.” Waktu kalah dari Alfonso, ayahnya memang tak berada di sisi ring.
“Percaya, kali ini ayah akan menang,” janjinya pada gadis kecilnya. Di ruang ganti, istrinya cuma berpesan pendek, “Engkau kebanggaan kami, ingat itu.” Dan benarlah, dia menang malam itu, meski Alfonso berhasil melukai pelipisnya.
Kebajikan Hidup
Meski pertarungan Manfredo dan Alfonso beraroma dendam, di luar ring hal yang sama tak pernah tampak. Mereka demikian akrab. Bahkan, dalam liburan sebelum bertarung, mereka saling mengenalkan masing-masing anggota keluarga. Berkelakar, dan meruapkan aroma cinta. Tayangan ini sepertinya ingin menunjukkan dan sekaligus mengajarkan bahwa cinta dan airmata juga bagian integral dalam kerasnya kepalan mereka. “Di balik pukulan kami, selalu tersembunyi orang-orang yang rendah hati dan saling menyayangi,” kata Alfonso Gomes.
“Aku bertarung karena cinta. Aku menghargai lawanku dengan tidak pernah meremehkan mereka,” ucap Manfredo.
Sergio “The Latin Snake”, yang paling akrab dengan Alfonso pun tak pernah membumbui pertarungan mereka dengan kebencian. “Kami bertarung untuk berhasil meraih hidup yang lebih baik. Dan untuk berhasil, kami butuh teman. Dalam setiap pertarungan, aku dapat mengenal temanku lebih baik. Kami bertarung untuk menjalin pertemanan.”
Kebajikan dalam kepalan itu tidak datang sendirinya. Motivator utama setiap petinju, Ray Sugar Leonard, selalu memberikan “makna” dari pertarungan yang mereka lakukan. Dengan pengalamannya sebagai legenda tinju, dia memberikan dasar filosofi pertarungan. “Bukan kepalan yang menjadi senjata utama seorang petinju, melainkan motivasi. Kalau kamu menemukan motivasi, kamu sudah mengalahkan lawanmu sebelum naik ring. Jika lawan mengalahkan kamu, dia juga telah mengambil hidupmu.”
Sylvester “Rambo” pun selalu mengangkat moral setiap petinju yang kalah. Merangkul, menepuk pundak, akan dia lakukan, sebelum mengucapkan kalimat ajaibnya, “Sesuatu yang tidak membunuhmu, membuatmu lebih kuat.”
Barangkali, inilah reality show yang “pamer” mutiara hidup dengan demikian indah. Makna yang lahir dari sebuah pergulatan, peluh dan airmata, bukan makna tempelan sebagaimana reality show Indonesia. “Saat pertama kali melihat posterku, dan teriakan penonton di sisi ring, aku merasa gugup, tak berpijak. Tapi aku sadar, berdiri di sini adalah wujud dari mimpiku. Dan seolah mimpi itu ada, aku melihatnya. Percayalah, siapa yang dapat melihat mimpinya, mimpi itu akan terwujud.” Itulah ucapan Alfonso, yang selalu memandang ke sebuah arah, sebelum bertarung.
“Awalnya, kami ke sini untuk mendapatkan satu juta dollar. Tapi, pelan-pelan kami sadar, hadiah itu bukan apa-apa. Kami saling menukarkan pengalaman di dalam setiap pukulan. Kami mendapatkan kebanggaan, keluarga, cinta dan airmata. Itu semua tak pernah dapat kami uangkan,” kata Sergio.
Menonton “Contender” produksi NBC ini, kita akan tahu, ada reality show yang lebih mewariskan nilai cinta, persahabatan, dan makna airmata, daripada uang. Sesuatu yang semangatnya sangat jarang kita temukan dalam tayangan reality show Indonesia.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 2 Oktober 2005]
Recent Comments