Ideologisasi Bobot Tubuh
April 30, 2009
SEPULUHAN tahun lalu, Hughes mulai memikat penikmat televisi. Bukan, bukan karena dia cantik dan seksi. Hughes gemuk, pipinya tambun, pahanya gempal, dan jika tertawa, dia bergelak. Tawa atau senyum yang bukan lahir dari sekolah kepribadian. Seluruh penampilan dirinya adalah anomali di dunia industri televisi, yang mengagungkan citra ketubuhan.
Tapi Hughes melesat. Kecerdasan dan kemampuan komunikasi yang mumpuni membuat penikmat televisi tak mereweli tubuh Hughes. Apalagi, jika pun soal bobot itu dipertanyakan, Hughes selalu menjawab dengan riang dan cerdas.
“Yang utama itu bukan gemuk atau kurus melainkan sehat atau tidak. Banyak yang bertubuh seksi tapi hidup tidak sehat. Begitu juga sebaliknya. Sepanjang orang tersebut nyaman dengan tubuhnya, berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan,” jelasnya dalam berbagai kesempatan.
Dan Hughes membuktikan hal itu.
Bobotnya yang di atas 100kg, tak mampu menahan aktivitasnya. Dia rajin berpindah kota, menularkan kecintaan dan cara mendidik anak-anak. Di atas panggung, geraknya pun amat leluasa, seirama dengan kemampuannya melantunkan diksi dalam setiap pertanyaan. Sebagai presenter, Hughes mampu menjembatani kebutuhan pembaca untuk mendapatkan informasi yang jernih. Tak heran, seirama penerimaan masyarakat atas dirinya, Hughes pun mulai mengampanyekan “Big is Beautiful”, besar itu indah. Hughes adalah contohnya.
Tapi itu dulu, sepuluh tahun lalu.
Lima tahun terakhir, Hughes jarang sekali tampil di televisi. Kecerdasannya, juga bobot tubuhnya, tak lagi dapat dinikmati pemirsa. Begitulah industri televisi, yang mengabdi dan mengabadikan politik tubuh. Keanomalian Hughes tak lagi “layak” jual, terutama ketika presenter yang cerdas tak lagi dibutuhkan. Penikmat teve sudah puas untuk tergelak bersama Tukul dan Budi Anduk, tanpa kedalaman, tanpa penikmatan pada kemampuan mengorek informasi. Hughes pun menjadi samar, terlupakan, menghilang….
Baru dua minggu terakhir ini Hughes kembali melenggang di layar kaca dan tabloid gosip. Bukan karena acara baru atau gosip rumah tangganya melainkan bentuk tubuhnya. Hughes kini tak segemuk dulu. Tubuh tambunnya sudah menyusut, demikian juga pipi gempalnya. “Iya, aku telah berhasil menurunkan 25kg berat badanku,” akunya sembari tertawa. Kamera pun kemudian menyoroti tubuhnya, dari kaki ke kepala, dan close-up pada wajah Hughes yang tampak cerah dan tertawa bahagia. Mungkin juga bangga.
Jika dulu Hughes memulai di layar kaca dengan “keajaiban” tubuhnya, kini dia kembali dengan pembuangan pada anomali itu. “Aku mau menurunkan 25 kilogram lagi,” tambah Hughes di Hotel Indonesia Kempinski dalam acara “Kartini in Me”. Dan seluruh cerita Hughes akhirnya adalah sejarah penurunan berat badan itu. “Olahraga. Sejak Januari aku olahraga 5-6 jam,” ceritanya. “Awalnya dimulai dengan naik sepeda selama 1 jam. Lalu treadmill. Mulanya, kalori yang terbakar selama 2 jam hanya 200 kalori. Selanjutnya naik terus hingga mencapai 1200 kalori selama 5-6 jam. Tapi aku imbangi lagi dengan diet. Aku tidak mengonsumsi karbohidrat,” tambahnya. Artinya, Hughes tak lagi menyentuh nasi, roti, dan jenis pati lainnya.
Perjuangan yang luar biasa. Media pun memamah “sejarah tubuh” itu, menyiarkan, untuk kian menguatkan mitos kecantikan.
Hughes memang menyadari kemungkinan penunggangan “ideologisasi” kecantikan itu. Dia pun mencoba kembali memakai mantra lamanya, penurunan berat badan itu bukan untuk mempercantik diri. “Nggaklah. Aku tetap bangga dengan bentuk tubuhku yang gemuk. Kalau sekarang lebih kurus itu karena ingin sehat. Nggak lebih.” Ceritanya, akhir tahun kemarin, dia acap jatuh dan merasa tubuhnya terlalu berat. Jika berjalan di tempat licin, dia acap terjatuh. Karena itulah, dia ingin kurus, untuk sehat, bukan mencari cantik.
Benarkah? Bukan karena permintaan suami, Roy Immanuel? “Sebenarnya Mas Roy tidak menuntut aku kurus, yang penting sehat saja. Tapi kemarin dia bilang aku lebih cantik kurusan. Hidung aku sekarang juga terlihat lebih mancung. Kelihatannya dia makin cinta. Senang juga sih dipuji suami,” akunya.
Seperti menyadari kontradiksi dari pernyataan di atas, Hughes cepat menambah, “Kecantikan itu bukan dari ukuran dan bentuk tubuh. Kurus itu pola pikir. Selalu berpikiran positif dan enjoy your life. Itu kuncinya. Cantik itu tidak perlu kurus.”
Kredo yang indah. Sayang, terdengar jadi semacam basa-basi, semacam upaya untuk terlihat tak mengkhianati “besar itu indah”. Karena, jika nanti target Hughes terpenuhi, turun 25 kg lagi, bobotnya hanya 60-an kilogram. Tubuhnya tak hanya terlihat sehat tapi juga seksi. Ahh, barangkali, itulah kini yang dikejar Hughes, untuk kian mendapatkan pujian dari suami, dan tentu, lirikan televisi. Sesuatu yang tak salah memang, seandainya kurus dan gemuk tak pernah dia jadikan semacam pengideologian.
[Artikel di atas telah dimuat sebagai "Tajuk" di Tabloid Cempaka, Sabtu 2 Mei 2009]
Penyelamat dari Masa Lalu
April 21, 2009
Dewi Yull seperti tak berubah. Tampil di “Dorce Show”, senyumnya masih sama seperti empat tahun yang lalu, ketika dia ramai diberitakan infotainmen karena dicerai Ray Sahetapy, lembut dan tampak sabar. Ketika Dorce menyinggung tentang dirinya, Dewi pun tak berubah, menjelaskan anak-anaknya, dan hubungan mereka yang tetap baik dengan ayahnya.
Saya ingat, betapa bijak dia menerjemahkan perceraian itu. “Bisa saja hidup kita itu berubah dalam lima menit. Suami, anak, itu semua milik Allah. Manusia tak bisa mengklaim memiliki manusia lain.” Dengan tersenyum, meski tak mampu menutupi matanya yang terlihat kehilangan gairah, dia menambahkan bahwa, “Rumah tanggaku dengan Bang Ray hanya berubah format saja. Tak ada yang luar biasa.”
Tapi kemudian kita tahu, tak hanya rumah tangga, format hidup Dewi pun berubah. Setelah perceraian itu, kariernya yang sudah muram pun kian redup. Rumahnya yang luas dan asri, terpaksa dia jual, untuk menutupi hutang yang, kata sebagian orang, diciptakan Ray ketika membiayai kegiatan teaternya. Tak hanya itu, Dewi juga berkali-kali masuk teve, dengan kabar yang sebelumnya tak pernah penonton bayangkan, tersangkut kasus penipuan atas sejumlah cek kosong yang tak bisa dicairkan untuk membayar utang.
Dewi bahkan pernah dikabarkan bunuh diri.
Seakan tak cukup, Gisca, sosok yang dijadikan Dewi sebagai contoh untuk menjalani hidup, justru mengikuti jejaknya, juga bercerai. Baru kali itulah, Dewi tampak di kamera dengan diri yang seakan tak terjaga. Tak hanya senyum yang hilang, Dewi pun pasti merasa seperti diingatkan dengan ucapannya bahwa, “Tak ada rumah tangga tanpa rintihan. Semua rumah tangga selalu memiliki rintihan.” Dewi tak pernah menyangka, rintihan itu juga ada di dalam rumah tangga anaknya, dan berakhir dengan jeritan perceraian. Benarlah, “Manusia tak bisa mengklaim memiliki manusia lain.”
Tapi di “Dorce Show”, kesedihan itu tak tampak lagi. Dewi tertawa lepas, tergelak. Hanya ketika menyanyikan lagu “Siapa yang Dusta”, wajah sendunya kembali, sebagai bagian dari penjiwaan. “…semua keputusanmu kuhormati, walaupun akhirnya kita berpisah…”
“Jadi Dewi, sebenarnya, siapa yang berdusta?” tanya Dorce sembari tersenyum.
Dewi Yull tertawa. “Sudahlah, Bunda…”
Dewi Yull tentu tahu siapa yang berdusta. Dia cuma tak ingin menjawab. Agaknya Dewi percaya, hanya dengan lupa, apa yang telah menimpanya, meski tak menyembuhkan, terasa tak lagi menimbulkan trauma.
Masalahnya, lupa tidak bekerja seperti yang acap kita inginkan. Lupa seakan punya mekanismenya sendiri. Dan setiap jejak kehidupan lebih sering mengajak kita mengingat daripada melupakan. Dengan kata lain, meski dapat diabaikan, masa lalu tak pernah lelah terus mengejar. Barangkali, itu jugalah sebabnya, Walter Benjamin mengakui tentang waktu –dan masa lalu– yang tak bisa ditampik. Penampikan masa lalu hanya mungkin jika dimampatkan dalam satu konstelasi dengan masa kini. Kemampatan dalam masa kini itulah yang membuat kelampauan –dan luka– berhenti, bahkan hancur. Benjamin mengistilahkannya sebagai “dialektika dalam keadaan berhenti”, lahirnya makna baru di kekinian yang tercipta dari gubalan dengan kelampauan.
Dewi paham itu. “Sudahlah, Bunda…” dengan demikian lebih dapat dimaknai sebagai penolakan Dewi untuk “kembali” ke peristiwa itu, dan bukan situasi yang telah terbebas dari luka. Karena luka memang dibutuhkan untuk menjembut kebahagiaan. Luka adalah harga yang harus dibayarkan untuk mendapatkan kenikmatan hidup, atau mengikuti kembali istilah Benjamin, “penyelamatan dari masa lalu”. Dan Dewi memang masih menjadikan luka itu sebagai titik berangkatnya, meraih hal yang baru. “Sepertinya, lagu ciptaan Bunda tadi tepat sekali, hahaha….” gelaknya di lain saat.
Tapi, lebih dari mencari kebahagiaan, penolakan Dewi untuk “kembali” agaknya lebih didasarkan pada tanggungjawab. Ada anak-anak yang harus dia selamatkan. Ada Gisca dan Panji, dua buah hatinya yang memaksanya harus tegar dan kuat, dan “berdialektika dalam keadaan berhenti”. Karena itulah, dalam berbagai kesempatan Dewi mengakui apa yang dia alami tak ada nilainya jika dibandingkan dengan Gisca, yang memiliki “luka” lebih banyak dari dia.
“Saya hanya melihat agar memberi amanat untuk hidup saya dan anak-anak. Ternyata karunia Allah begitu berarti buat saya. Saya bersyukur punya anak seperti Gisca. Saya belajar banyak dari dia. Dia menjadi motivator untuk hidup saya.”
Tapi, di ujung acara itu, Dewi sedikit terisak ketika Dorce mengakui betapa banyak yang sangat menyukai suara lembut Dewi. Dengan bergetar, dia berkata akan terus bernyanyi untuk penggemarnya, dan terutama untuk dua anaknya, Gisca dan Panji, meski, “Sampai kini, mereka berdua belum pernah mendengar suara saya….” Agaknya, itulah luka –sekaligus energi terakbar– yang membuat Dewi “terselamatkan”, berkali-kali.
[Dalam versi yang lebih ringkas, telah dimuat sebagai "Tajuk" di tabloid Cempaka, Sabtu 18 April 2009]
Gugun dan Kekejaman Media
April 3, 2009
Diiringi petikan gitar Tito Soemarsono, dengan lirih, Gugun bernyanyi, “Kupersembahkan lagu ini. Sebagai tanda cinta kasihku. Padamu setulus hati ini untukmu… Kau permata hati….”
Di sisi kiri Gugun, Anna Marrisa, istrinya, mengejapkan mata, berkali-kali. Tangan kanannya terus sibuk mengusapi pundak Gugun. Dan ketika lagu itu sampai di bagian tengah, airmata Anna pun tumpah. Dia peluk Gugun, dia ikuti larik-larik lagu itu, dia biarkan pipinya basah….
Saya tahu, pikiran Anna tidak sepenuhnya berada di situ.
Berkali-kali dia terlihat menengadah, bukan saja menahan airmata yang akan tumpah, melainkan juga mencoba mengais kenangan lama, yang selalu hadir ketika lagu itu dinyanyikan. Di talkshow ”Just Alvin” itu, Anna terpenjara antara kenangan dan kenyataan.
Juga harapan.
Dan gelora cinta.
Tapi tangis itu, saya kira, setengahnya juga berisi rasa nyeri; kepedihan harus merawat cinta di tengah masyarakat yang mengimami gosip, dan menjadikan prasangka sebagai agama. Kesakitan ketika dia harus membuka diri, menyingkapkan rahasia, sehingga massa percaya bahwa benih yang tumbuh dirahimnya berasal dari pancaran cinta dan bukan tindak istri yang durhaka, bahwa Gugun masih seorang lelaki yang “bisa”.
“Banyak orang yang masih mengira Gugun mungkin nggak ‘bisa’. Aku dibilang melakukan dengan orang lain. Cuek sajalah. Yang tahu bagaimana sebenarnya, aku dan keluarga. Memang sih tidak seperti dulu, aku yang harus banyak memulai. Tapi dia bisa melakukannya, semua normal,” cerita Anna.
Tapi Anna tahu, cerita dia tak sepenuhnya dipercaya. Atau, jika pun ada yang percaya, juga dengan gelengan kepala, ketakmengertian, mengapa Anna tega berasmara-ria ketika Gugun masih setengah alpa.
Anna, atas nama cinta, juga untuk menjaga nama baik diri dan suaminya, akhirnya harus menelan kepedihan, dan menceritakan proses persetubuhannya, lengkap dengan lenguhannya. Ia tak kuasa untuk melawan “Insert” dan “Silet” yang telah diimani banyak orang.
“Aku harus goda-godain bagian tertentu di tubuhnya. Aku raba-raba. Aku taruh tangan dia di bagian tertentu tubuhku.
“Kalau mood-nya lagi bagus, kira-kira 10 menit, ada reaksi-reaksi kecil.
“Aku ‘karoke’ dia. Kadang aku suka ngomong gini ke dia, ‘Sayang, maaf ya, istrimu ini agresif, istrimu ini gila’.
“Selanjutnya normal, dia bisa mencumbu, dia bisa meremas, seperti normalnya saat kami ML. Tapi memang pelan, arah-arahan juga terus aku lakukan. Habis ini tangannya ke sini, ke situ. Sejak dua bulan lalu, dia sudah bisa posisi di atas. Juga posisi duduk, dia yang memangku aku.
“Kalau sudah dirangsang, diarahkan, selanjutnya mengalir begitu saja. Mencumbu, kissing-nya juga pagut-pagutan.
“Lamanya dia sekitar 20 menit sampai setengah jam. Tapi dengan jeda-jeda, nggak terus-terusan.
“Reaksi Gugun ya kayak dulu, ada suara-suara gitu. Kadang kalau aku tanya, ‘Yang, bagaimana? Enak?’ Dia bisa jawab, ‘Enak banget’.
“Minimal seminggu sekali, biasanya malam. Tapi buat aku, enaknya seminggu dua kali. Kapan saja melihat Gugun, aku pengin kok.”
Sedetil itu Anna bercerita, seberani itu dia membuka rahasia, masyarakat –seperti kata infotainmen– masih bertanya, apakah mungkin Gugun yang sempat sekian lama koma, bahkan pernah lupa nama diri dan istrinya, benar-benar ‘bisa’? Dokter Boyke pun diajak bicara. Ketika Boyke justru menguatkan cerita Anna, keraguan masih terus dipupuk, biar cerita masih seperti kerupuk, renyah dan kemriuk. Boyke diragukan, Naek L Tobing diundang. Hasilnya sama. Ketaklumpuhan Gugun menjadi indikasi tentang kelelakiannya yang tak ikut piuh.
Infotainmen percaya? Tentu tidak. Pertanyaan terus dilemparkan, meskipun Gugun ‘bisa’, tapi apakah spermanya dapat membuahi? Maklum, setiap hari Gugun harus menelan 22 jenis obat kimia. Tidakkah spermatozoa-nya terganggu?
Tentu, dokter pun, tanpa meneliti, tak bisa memberi jawaban pasti. Dan ketakpastian itulah yang dicari infotainmen untuk berspekulasi. Anna, setelaten apa pun dia mencinta dan merawat Gugun seperti terlihat di kamera, sebanyak apa pun airmata yang dia tumpahkan, dalam kondisi ini, tetaplah didudukkan sebagai terdakwa. Dan tak ada seorang pun yang bisa menjadi pembela, yang menyaksikan persetubuhan mereka.
Wajarlah ketika Alvin bicara, “Mas Tito, Mas Riko Ceper, Mas Sys NS, semua yang hadir di sini, datang untuk Gugun. Agar Gugun cepat pulih, cepat sehat, agar kita dapat lagi bersama-sama. Agar Gugun tahu bahwa banyak sekali yang berdoa untuk kesembuhan Gugun…” Anna tak mampu menahan isaknya.
Sedu itu, bagi saya, adalah gugatan Anna kepada media, yang telah mendudukkannya menjadi terdakwa, sebagai istri yang tak setia. Dalam tangis itu, saya percaya, Anna pasti berdoa, “Yang, cepatlah sehat, cepatlah bicara. Jadilah pembela, untukku, untuk anak kita….”
[Dalam bentuk yang lebih ringkas, telah dimuat sebagai "Tajuk" di tabloid Cempaka, Sabtu 4 April 2009]
Recent Comments