Spasi Lebar yang Butuh Teman
November 15, 2012
Mas Aulia, saya saat ini sudah menjelang 30 tahun dan saya belum juga mendapatkan lelaki yang tepat yang bisa saya ajak hidup bersama.lelaki-lekai yang sebelumnya datang selalu melahirkan sakit dan kecewa. Ketika saya sudah mulai serius dalam rasa, ia malah mengkhianati saya.Apa yang salah dengan saya ya mas? Karena saya merasa saya sudah bersikap teramat baik pada mereka, dan mereka tetap saja melahirkan rasa kecewa.
Nanda Rajata, Jakal - Yogyakarta
Nanda yang tengah galau, ayo perbanyak senyum dan tertawa. Ingat lho, hanya tawa dan senyum yang bisa ”memberhentikan” usia kita. Setuju, kan?Saya turut prihatin dengan nasib asmara Nanda. Memang terkadang kita tak pernah bisa menduga lurus-bercecabangnya kisah cinta, dan tiba-tiba waktu yang berjalan membuat kita bertanya, ”Sudah sampai di mana? Akan ke mana?” Barangkali, pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat Nanda kian risau, kecewa, belum memiliki kepastian kelak bersama siapa.
Dari tulisan tangan, terlihat Nanda sosok yang keras dan punya semangat yang kuat. Ini tentu karakter yang bagus, karena menunjukkan sosok yang tak mudah putus asa. Nanda juga terlihat apa adanya, cukup spontan, dan suka berterus-terang. Ini juga karakter yang baik, tentu jika diterapkan pada waktu dan suasana yang pas. Karena memang tidak semua orang suka atau siap mendengar keterusterangan kita, kan? Nah coba introspeksi, apakah Nanda pernah mendapatkan reaksi-reaksi negatif dari keterusterangan itu, termasuk dari teman dekat?
Dari posisi margin kiri tulisan, terlihat Nanda sosok yang ”terbelenggu” masa lalu. Akibatnya, Nanda jadi ragu memutuskan sebuah hal, apalagi jika sudah punya pengalaman buruk di masa lalu. Ini amat mengganggu, terutama bagi sosok orang dekat Nanda misalnya, yang merasa bahwa Nanda masih menjadi ”milik” masa lalu. Posisi margin kanan yang lebar makin menjelaskan karakter Nanda yang cemas, gugup, dengan masa depan. Klop, kan?
Belum lagi melihat jarak spasi, yang secara tegas menunjukkan jika Nanda memang sulit memecahkan masalah, dan cenderung membuat masalah kian bertumpuk. Spasi yang lebar ini mengasumsikan bahwa Nanda seharusnya meminta pendapat dari orang lain, bisa yang ahli, untuk masalah yang tengah dihadapi, baik itu sekarang, dan terutama di masa lalu.
Pertanyaan saya, selain masalah di atas, apakah teman dekat Nanda juga ”pergi” karena merasa tak mendapat kepastian? Coba Nanda merenung, mengigat-ingat, apakah mereka pergi karena Nanda tak pernah memberi kata pasti? Dari garis tulisan, cukup terlihat jika Nanda juga cenderung tidak menyelesaikan hal-hal yang sudah direncanakan, menggantung.
Tapi, Nanda tidak perlu terlalu kecewa. Kita memang selalu memikiki dua sisi karakter, tinggal bagaimana cara kita mengoptimalkan sisi baik, terutama menyangkut hubungan dengan orang lain. Seringkali, tanpa disadari, kita merasa ditinggalkan, dijauhi, dikhianati. Padahal, jika kita renungkan, sebenarnya faktor utama berasal dari karakter kita sendiri. Beruntunglah, karakter semacam itu bisa kita minimalisir, kita ubah, bahkan hilangkan. Nanda juga bisa mulai dengan cara yang sederhana, merapikan jarak margin kanan dan kiri misalnya, atau merapatkan spasi antarkata, akan membuat karakter Nanda jadi ”menuju” arah yang lebih baik.Sebenarnya, banyak sekali hal-hal lain yang bisa kita ungkap dari tulisan Nanda. Tapi karena keterbatasan halaman, beberapa poin di atas barangkali akan cukup membuat Nanda lebih optimis untuk ”menjawab” masa depan. Terus berusaha, dan saya yakin, Nanda pasti bisa. Salam.
Silet, Memanjangkan Prasangka
March 31, 2009
Tentu, aku tak bercerita pada Papa. Di kafe itu, kucoba tertawa, sembari menyimpan airmata. Papa berkali-kali mengelusi rambutku, dan bertanya, mengapa tadi aku menangis. Aku tak menjawab, mengalihkan cerita. Papa tertawa.
“Ila, Papa tahu ada rahasia antara kita. Dan itu tak apa-apa. Tapi, Ila juga harus adil.”
“Adil, Pa?”
“Iya. Jika Ila boleh punya rahasia, orang lain tentu juga punya. Dan seperti Papa yang tak memaksa Ila untuk bercerita, Ila pun tidak punya hak memaksa atau membuka rahasia orang lain.”
“Lho, memang Ila telah membuka rahasia siapa? Papa jangan asal tuduh, dong?!”
Papa tertawa. Jemarinya mengacak rambutku lagi. “Siapa yang menuduh. Papa hanya menjelaskan bahwa kita harus adil, Ila. Apa yang tidak kita sukai dilakukan orang lain pada kita, jangan juga kita perbuat pada orang lain. Papa ingin Ila tahu bahwa ada situasi tertentu yang membuat seseorang tak bisa berbagi atau bercerita. Seperti Ila saat ini misalnya. Dan Papa tidak punya hak untuk memaksa. Ila mengerti?”
Aku mengangguk. Papa menyorongkan kup es krimnya. “Tuh, dihabiskan, kita pulang.”
Kusodorkan juga mangkuk es krimku ke depan Papa. “Stoberinya terlalu asam,” kataku.
“Bukan stoberinya, Nak, tapi suasana hatimu…” bisik Papa, menggoda.
Tiga menit kemudian, Papa menggenggamkan dompetnya ke tanganku, dan menunjuk kasir. Aku tertawa.
Lima menit berikutnya, kami sudah lepas dari parkiran, dan untuk kali pertama, Papa mengizinkanku menjadi sopirnya.
********
Biru, pernahkah engkau merasa kecewa? Pernahkah engkau bangun dan melihat pagi dengan warna yang berbeda? Tahukah Engkau bahwa hujan bisa begitu kejam menjarumi kulitmu, perih dan pedih?
Pagi ini Biru, aku merasai semua itu. Sesak di dadaku tak punah. Ganjalan di hatiku tak pergi. Meski Papa bilang setiap orang boleh punya rahasia, aku harus adil kepada siapa saja. Iya, aku pasti bisa adil, bisa… jika rahasia itu tidak melukaiku dan juga Papa. Aku barangkali tak peduli jika Mama menyimpan bawang di kasur atau menyembunyikan cabe di saku kemeja. Tapi ini kan tidak, Mama menyimpan lelaki lain!
Lelaki lain! Bisa kamu bayangkan itu? Bagaimana aku harus adil?
Biru, bagaimana aku harus menghadapi hal ini? Haruskah aku menelpon lelaki itu dan bertanya, “Hey, kamu siapa? Ada hubungan apa kamu dengan Mamaku?” Sopan tidak ya jika aku bertanya begitu, Biru? Tapi, apakah aku harus bersopan-sopan menghadapi lelaki semacam itu, yang memanggil mesra istri orang lain? Atau aku langsung saja bicara dengan Mama, dan memaksa Mama bercerita, meninggalkan lelaki itu, kalau tidak akan aku laporkan pada Papa. Aku bingung, Biru. Aku mencintai Papa, juga Mama. Aku tak ingin keduanya bertengkar dan apa jadinya jika mereka kemudian berpisah.
Telah dua hari ini tubuhku rasanya berat sekali, seperti menanggung beban yang luar biasa. Telah tiga kali kunaikkan kaki ke timbangan badan, tapi kulihat angka itu seperti tak menunjukkan fakta yang sebenarnya, beratku tak bertambah, bahkan cenderung menurun. Itu kan tidak mungkin, karena aku tahu persis kakiku kini pun mulai goyah untuk melangkah, terutama jika makan malam, sebuah situasi yang membuatku tak bisa tidak harus bertemu Mama.
Iya Biru, telah dua hari ini aku mencoba menghindari Mama. Tak lagi berlama-lama bersama, termasuk menemani membuat sarapan untuk Papa dan adikku. Aku juga tahu, Mama pasti menyadari perubahanku itu, karena berkali-kali kutangkap Mama menatapku dan mulutnya terbuka, tapi tak ada suara. Barangkali Mama mulai menyadari rahasianya sudah kuketahui, dan malu. Barangkali Mama ingin bercerita tapi ragu. Barangkali Mama merasa aku masih terlalu kecil untuk mengerti hal yang sebenarnya. Barangkali…. Ah entahlah, aku pusing.
Tapi tahu tidak, Papa tenang-tenang saja, Biru. Masih tertawa-tawa, memangku Mama sehabis makan malam sembari membaca koran, masih semesra biasa, seperti tak ada apa-apa. Ya, Papa memang tak mengerti bahwa Mama telah berubah, bahwa perempuan yang selalu mencium punggung tangannya, dan selalu Papa hadiahi kecupan di kening itu, bukan lagi sosok yang sama.
Biru, pedih sekali rasanya melihat Papa menjadi korban sandiwara Mama. Sakit melihat Mama menggelendot manja. Padahal….
Biru, aku tak bisa bercerita langsung padamu. Kutuliskan resahku ini, dan tak akan sampai padamu. Maaf, aku harus menjadikan rahasia ini sebagai milikku sendiri. Biarlah diari ini menjadi bukti, aku telah bercerita padamu, telah berbagi. Bahwa di saat-saat paling pedih pun dalam hidupku, engkaulah sumber energiku, Biru. Kepadamulah kukabarkan semuanya, meski kali ini engkau cuma sosok yang kuhadirkan dalam anganku saja.
******
“Ila, tahu tidak mengapa banyak orang yang merasa tidak bahagia dengan hidupnya?”
Kuurungkan membuka pintu mobil. Tak biasa Papa mengajak bicara dalam situasi yang pendek seperti ini. Biasanya, Papa hanya berpesan, “Riangkan hatimu, hari ini pasti menyenangkan,” dan mendadaiku yang melangkah ke halaman sekolah. Pasti ada sesuatu. Apakah Papa melihat ada yang berubah dengan diriku?
“Maksud Papa apa Ila terlihat tidak bahagia?”
Papa tertawa. “Kamu itu, selalu saja mengambil kesimpulan…, dan salah. Papa tidak mengatakan dirimu, hanya bertanya apakah Ila tahu apa sebab orang sering merasa tidak bahagia dengan hidupnya. Kalau Ila ya pasti bahagia, ada Papa yang sebaik ini, dan ada Mama yang sesempurna itu. Iya, kan?”
Aku menggeleng.
“Lho, jadi Ila tidak bahagia?” suara Papa agak bergetar, seperti terkejut.
Aku tertawa. “Papa itu selalu saja menyimpulkan…, dan salah. Ila menggeleng itu karena tidak tahu mengapa banyak orang yang tidak bahagia. Bukan karena Ila tidak bahagia dengan keluarga kita.”
Papa meninju pundakku, tersenyum. “Kamu itu, mulai pintar membolak-balik kata. Ya sudah, sana turun, nanti terlambat.”
“Lho, terus apa sebabnya orang merasa tidak bahagia dengan hidupnya, Papa?”
Dari tasnya, Papa mengambil selembar kertas kecil berlipat. “Nih, baca di kelas.” Papa menggenggamkan kertas itu, menarikkan pundakku agar hidungnya menjangkau keningku. “Gembirakan dirimu…” bisiknya.
Aku bergegas turun. Kujejalkan kertas berlipat itu ke saku tasku.
Di dalam kelas, segera kubuka lipatan kertas itu. Ada tulisan tangan Papa, bertinta biru, bertandatangan. Aku tersenyum. Papa selalu saja bisa melakukan hal-hal yang membuat aku bahagia. Kubaca kalimat yang cuma dua baris itu. “Angan-angan. Memanjangkan kenyataan. Membenihkan praduga dan syakwasangka, menanam ketakutan dan kesedihan. Itulah sebabnya, Ila. Jadi, jika Ila ingin terus dalam lingkupan suasana bahagia, semailah kepercayaan bahwa kebaikan tidak akan pernah mengkhianati dirimu. Bahwa yang tampak di mata terkadang bukan kenyataan yang sebenarnya, dan jangan dipanjangkan menjadi cerita dengan praduga dan wasangka.”
Aku membaca berkali-kali, mencoba mencerna. Ah, iya aku ingat, Papa pasti tengah memintaku untuk tak seperti Fenny Rose, pembawa acara “Silet”, yang selalu berpraduga atas sebuah peristiwa.
Tapi, memangnya aku tengah menduga-duga apa??
SMS, Rahasia yang tak Terjaga
March 18, 2009
Sepanjang hidup, cukupkah kita dijaga oleh satu cinta? Aku pasti menjawab ‘Cukup!’ Atau, dicukup-cukupkan. Aku juga percaya, meski usiaku masih jauh dari pengenalan cinta, pendapatku itu pasti disetujui banyak orang. Satu cinta adalah tanda setia. Satu cinta adalah tanda penyerahan diri yang utuh pada seseorang, tanpa rahasia. Semuanya. Semua-muanya. Dan aku percaya, Papa pun telah lama mencukupkan dirinya dengan hanya satu cinta dari Mama.
Tapi ternyata Mama tidak.
Aku menemukan rahasia itu tak sengaja. Dari sebuah SMS.
Sebuah SMS dari satu telepon. Sebuah telepon yang menyimpan satu SMS yang sempat kubaca, dan ratusan SMS lain yang belum sempat kubuka.
Tapi satu SMS itu pun sudah cukup membuatku menjerit: Mama telah tak setia.
Dan semua adalah salahku.
Sore itu, aku berjanji bertemu dengan Papa di sebuah mal. Karena Papa pulang agak telat, aku diminta menunggu di suatu tempat. Sebelum berangkat, aku kirim SMS ke Papa. Tapi gagal. Kucek, pulsaku ternyata telah karam. Takut Papa teraniaya, aku pun meminjam ponsel Mama. “Di meja kerja,” teriak Mama, yang tengah mandi.
Aku segera menemukan ponsel Mama. Segera kuketikkan nama sebuah kafe, dan kukirim ke Papa. Tapi, pada saat itulah, aku mendengar suara SMS masuk. Bukan. Bukan ke ponsel yang aku pegang. Tanda SMS itu keluar dari ponsel yang lain, yang aku tak tahu di mana.
Barangkali, seharusnya aku abai pada suara itu. Dan bergegas keluar dari ruang kerja. Tapi aku justru segera mencari, dan menemukan asal suara itu: dari tas Mama. Aku juga tak meminta izin Mama untuk membuka tasnya. Padahal, dari kecil, tak pernah kami berani membuka milik pribadi siapa pun di rumah ini, tanpa diizinkan. Aku tak tahu, mengapa tiba-tiba saja menarikkan resluiting tas itu. Barangkali aku kaget, ternyata Mama punya lebih dari satu ponsel. Mungkin aku telah curiga.
Tuhan, betapa jahatnya aku. Kepada Mama pun aku curiga.
Tapi kecurigaan itu ada hasilnya. Di tas itu, ada ponsel. Refleks, aku buka SMS itu. Dari “Masku”. Mama punya Mas? Siapa? Bukankah Mama anak tertua? Kupencet, dan pesan itu terbuka: “Dik, nanti pake lingerie yang merah transparan itu, ya?”
Deg!
Dadaku seperti dipukul puluhan palu. Sesak sekali. Tanganku gemetar. Ponsel itu nyaris terlepas dari genggamanku. Mama, Mama… punya seseorang yang memanggilnya “Dik”? Seseorang yang memintanya memakai lingerie? Ya Tuhan….
Airmataku tiba-tiba telah menggenang. Dan dalam mata kaburku, kulihat puluhan SMS lain, hanya dari satu pengirim “Masku”. Mama telah lama berhubungan dengan lelaki itu. Mama telah lama menyimpan rahasia itu. Mama telah lama telah tak setia. Mama telah lama telah mengkhianati Papa.
Dadaku kian sakit, airmataku makin berloncatan.
Kuhapus SMS yang kubuka tadi, kukembalikan ponsel itu ke tempatnya semula. Segera kuhapus airmata, ketika kudengar teriakan Mama, “Ila…, ayo berangkat, jangan membuat Papamu menunggu. Kasihan…”
Kasihan? Mama yang tidak kasihan dengan Papa. Mama! Bukan aku.
Segera aku bergegas. Kuhampiri Mama tanpa menatap wajahnya. Aku takut, Mama dapat melihat airmataku, dan curiga. Aku tak ingin Mama tahu kalau aku telah menemukan rahasianya. Kucium tangannya tanpa suara. Aku tak ingin Mama mendengar isak di antara pamitku. Setengah berlari, selepas pintu, tangisku pecah lagi.
Di sepanjang jalan, dalam angkot, kukuatkan hati. Aku tak boleh menunjukkan wajah sedih. Aku tak boleh membuat Papa bertanya, “Ila, ada apa?” Aku harus tabah. Aku harus membiarkan rahasia itu tersimpan dulu. Aku harus mencari tahu, siapa lelaki itu. Siapa lelaki yang telah membuat Mama tega mengkhianati Papa. Aku harus membuat Mama kembali ke Papa, tanpa Papa harus tahu tentang kesalahan Mama. Aku tak ingin keluarga ini berantakan. Ya, aku harus gembira. Harus. Papa tak boleh melihat apa pun di wajahku.
Tapi niat itu tak terlaksana. Begitu melihat Papa berdiri, aku telah lupa diri. Seperti terbang, aku berlari, memeluknya, dan… menangis. Entah kenapa, melihat Papa, tiba-tiba dadaku sakit sekali. Aku merasa tak pantas Papa dikhianati. Sangat tak pantas.
“Ila, Ila, ada apa? Ehh, ehh, kok menangis begitu. Hey, Ila… Lho?” Suara Papa yang bingung memasuki telingaku.
Mungkin 10 menit aku tergugu di dada Papa. Kunikmati belaiannya di kepalaku. Lalu, ketika sesak di dadaku sedikit berkurang, kulepaskan tanganku dari pinggangnya. Kemeja Papa basah. Kulihat Papa merogoh sakunya, dan menyodorkan saputangan. “Tuh, lap dulu ingus kamu. Sudah gadis kok masih suka nangis.”
Dewasa, Mencari Lelaki
August 14, 2008
Papa sudah dari tadi mengetok kamarku, dan masuk begitu aku izinkan. Matanya agak kaget melihatku belum cuci muka. Tapi, Papa kemudian tersenyum, dan ikut menempelkan keningnya di kaca jendela. Kami berjajaran, belum juga bicara. Kulirik, kaca di depan Papa pun mengembun, bau rokok yang samar kurasakan keluar.
“Ada apa, Ila? Mau main hujan?” tanya Papa, tanpa mengalihkan wajah.
Aku mengangguk.
“Ila….”
Oalah, Papa pasti tak melihat anggukanku. “Iya… tapi malu, Pa. Nanti pasti Papa meledek, bilang Ila belum dewasa.”
Papa memaling, tersenyum. “Apa hubungannya hujan dan dewasa?”
“Ya ada, Pa. Papa kan tahu, Ila suka mandi hujan. Dari dulu. Dan kalau mandi hujan, Papa juga pasti tahu, paling enak itu telanjang. Nah, kalau Ila telanjang, Papa pasti marah, dan menganggap Ila kekanak-kanakan, atau edan. Iya, kan?”
Papa tertawa, bergelak. Jemarinya mengacak rambutku. “Hari ini tidak sekolah?”
Aku menggeleng. “Malas, Pa.”
“Ya sudah. Tapi jangan lama-lama malasnya.” Papa pergi, setelah mengelus pipiku. Aku tahu, Papa pasti menuju kamar adikku, bertanya ini-itu, selalu begitu sejak dulu.
Aku kembali terperangkap kemalasan. Tak tahu sebabnya. Jendela kubuka, angin yang basah segera menyerbu kamarku. Tapi kemalasan ini tak juga pergi. Aku tak akan sekolah. Bolos. Tanpa surat izin. Tak mungkin kan, menulis “malas” di surat izin? Berbohong dan bilang sakit? Papa pasti akan marah.
Ihh… kenapa ya bisa begini, bahkan keluar kamar pun aku tak tergoda. Mama pasti sibuk di dapur sana. Membuat sarapan, meski sekadar telur ceplok atau dadar. Samar, angin menerbangkan bau dapur ke kamarku, memancing kemeriyuk usus di perutku. Sarapan? Malas ah!
Aku memang diizinkan Papa untuk tak sekolah, jika malas. Papa tidak pernah ingin aku melakukan sesuatu dengan terpaksa. “Kemalasan itu bukan dosa,” kata Papa, “Sepanjang tidak membuat orang lain jadi menderita.” Maksud Papa, aku boleh malas dan tidak melakukan apa pun, jika kemalasan itu tidak membuat rugi orang lain. Bersekolah misalnya. Cuma satu kemalasan yang tak diizinkan Papa, salat. “Malas pun, semalas-malasnya, kamu harus tetap salat,” pintanya. Itu harga mati. Aku tak pernah menawarnya, tak pernah berani.
Papa sesungguhnya ayah yang luar biasa. Meski sedikit bicara, tapi seluruh gestur Papa menunjukkan dia sangat <I>care</I> pada keluarga ini. Papa juga sangat menghargai hak pribadi. Ia tidak akan pernah berani masuk kamarku sebelum aku izinkan. Papa juga tak pernah membuka laci mejaku, telepon selulerku, bahkan saku kemeja atau celanaku. Bagi Papa, sesuatu yang belum aku ceritakan, adalah rahasiaku. “Rahasia itu adalah harta berharga bagi setiap orang. Hanya kepada orang yang paling dia cintai, harta itu ikhlas dia bagi,” kata Papa.
Aku selalu tertawa jika Papa bicara begitu. Dan sambil kurangkul, selalu aku “sanggah” ucapannya. “Kalau Ila belum cerita, itu bukan berarti Ila tidak cinta Papa. Ila cuma menunggu, sampai cinta itu bertambah tua. Seperti Papa, hahaha….” Papa biasanya tertawa, dan memencet hidungku.
Papa juga tidak berusaha tampil sempurna. Kalau ke mal, misalnya, Papa masih sering tergoda pada wajah-wajah cantik, dan menatap lama, terkagum-kagum. Papa tak pernah menyembunyikannya. Dulu aku pernah “marah” dan menegur Papa. Tapi dia cuma tertawa, demikian juga Mama.
“Kenapa Ila tidak marah kalau Papa juga memandang Ila, berlama-lama?”
“Lho, memang Ila cantik?”
Papa mengangguk, tersenyum.
“Tapi…, tapi kan Ila anak Papa.”
“Papa juga memandang mereka dengan mata seorang ayah….”
Halah!
Papa tergelak, demikian juga Mama.
Itulah Papaku, demikian dekat denganku. Aku kadang merasa bukan hanya menjadi anaknya, tapi juga sahabatnya. Bahkan, kemesraan Papa membuat aku kadang merasa menjadi “kekasihnya”.
Dan kedekatan itu mulai berubah. Papa bilang, aku harus mulai kenal lelaki, yang bukan Papa. Lelaki yang seusia denganku, dengan emosi dan pikiran yang setara. “Lelaki yang kepadanya, kamu berani membagi sedikit rahasia.”
“Ila sudah punya, Papa.”
“Hah! Siapa?”
“Elang.”
“Lha, itu kan adikmu?”
Aku tertawa.
Papa ingin aku tidak berada terus dalam image Papa sebagai lelaki yang “sempurna”. Papa bilang, kalau aku masih selalu membandingkan seorang lelaki dengan Papa, itu artinya aku belum dewasa. “Perempuan yang dewasa Ila, sudah dapat lepas dari bayang ayahnya. Menerima lelaki lain tanpa membanding. Kamu harus bisa.”
“Papa ingin aku punya pacar?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Papa ingin kamu punya teman lelaki agar kamu dapat belajar bernegosiasi. Percayalah, makin banyak kamu kenal teman lelaki, kamu akan tahu betapa menarik pikiran mereka. Mengenal mereka membuat kamu tidak akan terpedaya, Ila.”
“Apakah lelaki suka memperdaya, Papa?”
“Untuk wanita cantik, iya?”
“Papa juga sering, dong?”
“Lho, kok?”
“Ila kan cantik. Juga Mama.”
Papa tertawa, begitu kerasnya.
Yah, aku memang harus mengenal lelaki. Hmm… tapi siapa ya? Ray? Nggak ah, dia gak asyik. Heru? Ah, dia masih kekanak-kanakan. Viktor? Emoh ah, dia Batak. Hahaha… apa juga hubungannya. Kayaknya si Galang aja deh. Anaknya pendiam, penyendiri, dan suka puisi. Dia agak mirip Papa. Lho, kok malah “mencari” yang mirip Papa? Tidak, tidak boleh. Lalu siapa?
Papa….. Ila bingung niihhh!
Taman, Prasasti Ingatan
August 8, 2008
Tak ada hujan di dua hari ini. Kemarau –musim yang kubenci– tampaknya, mulai bertandang. Pagi tadi, uap embun pun tak kurasakan bersisa di ujung pohon singkong, yang memagari taman belakang rumahku. Udara memang masih dingin, dingin yang kering. Mawar ungu, yang dahan berdurinya menjuntai, kelopak kembangnya tak menyisakan bintik air sisa malam. Juga talas hutan, telapak daunnya mengasap, menahan kering.
Aku pun telah merasakan kemarau, di dadaku.
Kemarau adalah bunga yang menguning satu-satu, lalu layu. Talas yang berubah hijau tua, juga tanah yang ditinggalkan rerumputan, menandus, dan merekah, beretakan. Aku tahu betul metamorfosa alam itu. Dari jeruji jendela kamarku yang menghadapi taman, perubahan itu selalu terbaui hidungku. Setiap tahun, jika kemarau mampir, siklus sikap tetumbuhan di tamanku itu nyaris sama. Di sisi kanan taman, yang dipagari koral-koral bulat sekepalan, akan terbaring selang. Pagi dan sore, jika sempat, kusemburkan air, menepikan kemarau.
Karena, hanya taman itulah yang bisa mengusir kemarau, di dadaku.
Tamanku berada di bagian belakang rumah. Tak luas, 9×7 meter, di lingkari teras. Di taman itulah masa kanakku terpahatkan. Rumput Jepang yang menjadi alas tanah, membuat aku bebas bermain, tanpa takut jatuh dan terluka. Pinus paro-baya besar, tempat bersandar, ketika lelah mulai menggoyahkan kakiku. Saat menyandar di pinus itu, dapat kulihat seluruh bagian belakang rumah. Meski tak pernah bisa lama aku melepas lelah bertopang dagu. Papa yang biasanya duduk sembari membaca koran, akan memanggilku, memintaku masuk dalam pelukannya, memangku. Papa akan meminumkan teh dari gelasnya, mengusap keringat dari keningku sebelum mendaratkan ciumannya, dan berbisik pelan di telingaku, “<I>I love you</I>.” Papa lalu membacakan koran dengan suara yang cukup keras, meski aku acap tak mengerti. Tak lama, Papa pasti menggelar kolam-kolaman plastik, mengisikan air, dan membiarkan aku bermain di dalamnya, sepuasnya. Sesekali Papa akan mengangsurkan gelasnya, memaksaku mereguk teh pahit hangat kesukaannya.
Itulah rutinitas pagiku di hari Minggu. Bertahun lalu.
Di taman, masih kulihat jelas jejek-jejak kemesraan itu. Pinus itu telah kian menua, dengan batang yang membersih di bagian bawahnya, karena terlalu sering kusandari. Mawar ungu telah berganti beberapa kali. Nyaris tiap awal penghujan, ditanam mawar-mawar baru, mengganti mawar lama yang pasti mati. Hanya talas hutan itu yang kuat bertahan, dengan cara menuakan kehijauan daunnya. Rerumputan Jepang pun menguningkan diri, sebagian mati. Meski nanti ketika hujan datang, seperti disihir, mereka menghijau lagi.
Kemarau memang mengubah tamanku. Tapi setiap penghujan, mereka akan kembali. Utuh lagi.
Cuma aku yang tak bisa kembali. Ditinggalkan masa lalu, masa kanakku.
“Menjadi gadis,” kata Papa, “adalah meluangkan waktu untuk diri sendiri. Menjadi gadis adalah rajin bertanya, apa yang aku maui untuk hidupku.”
Aku mau kembali menjadi anak kecil Papa, yang disulangi ketika lapar, dan dipangku sembari minum teh bersama. Aku mau bermain air bersama, bergulingan di taman, dan berpura-pura jatuh dan terluka. Aku mau digendong, diayun-ayunkan, atau duduk di pundak Papa, dan memandang taman dari ketinggian tubuhnya. Aku mau dibedaki, diminyaki, diparfumi, sebelum dipakaikan kemeja atau celana. Aku mau semua hal yang dulu begitu indah dan mengundang tawa. Aku mau….
Tapi, “Bukan itu, Ila. Bukan itu. Semua yang kamu inginkan itu masih ada. Akan selalu ada, dalam wujud yang beda. Ila cuma harus menerima perubahan kemesraan kita. Karena Ila sudah dewasa,” jelas Papa.
Papa, kalau harus kehilangan semua itu, aku tak mau jadi gadis, apalagi dewasa. Aku tidak mau, Papa…
Hujan, Masa Kanak yang Menepi
August 6, 2008
Barangkali, beginilah hidup tanpa gairah. Aku cuma bergerak antara kasur, jendela, dan meja belajar. Dikuasai malas. Sedari pukul 6 tadi, hidungku menempel di kaca jendela, memandang hujan yang menderas di luar sana. Kubiarkan kaca mengembun, dihangati napasku yang masih bau mimpi. Kubiarkan tanganku menggarisi kaca, membentuk silangan-silangan, yang aku sendiri tak tahu, untuk apa?
Aku juga tak tahu, mengapa kemalasan ini begitu memenjara.
Bangun tidur tadi, badanku seperti menolak untuk bergerak. Kupandang langit-langit, kucari-cari selipan mimpi, tapi ingatanku tak memberi satu pun informasi. Pasti, aku tak bermimpi buruk. Tapi juga bukan mimpi indah. Ah, barangkali aku tak bermimpi. Aku sering tidur tanpa mimpi. Dan kata Papa, itu tidur yang baik sekali. Aneh. Bukankah dalam hidup, ketika melek, kita acap diminta bermimpi?
Hujan masih menggila di luar sana. Di tanah, air yang jatuh dari genteng teras, membuat cekungan kecil. Beberapa ekor ayam, berdiam di bawah pohon mangga, seperti kedinginan. Tapi di sebelah mereka, dua itik justru mengepakkan sayapnya, bermain dengan hujan, bergembira.
Bergembira? Rasanya, sudah lama aku tidak merasakan hal itu. Dulu, kalau hujan begini, di halaman belakang, aku pasti bertelanjang, dan berlari, mengejari ayam. Kubiarkan cipratan tanah basah melukisi pahaku, kadang sampai ke badanku. Kurasakan Papa yang tertawa, dan memerintahiku untuk terus berlari, sepuas-puasnya. Terkadang Papa turun gelanggang, berkolor dan ikut bergulingan di taman. Lalu kegembiraan itu kami tutup dengan mandi, dari air yang dialirkan selang.
Yang dulu itu, kini telah hilang.
Hilang sejak Papa bilang aku tak lagi pantas mandi di taman, dan telanjang.
Hilang sejak Papa bilang kalau aku harus belajar jadi dewasa.
Dewasa? Betapa mengerikan. Aku kehilangan hujan, aku tak dapat lagi mandi bersama Papa dengan semburan air dari selang. Dan sejak itu, aku merasa hujan cuma mendatangkan keburaman. Seperti pagi ini.
Haahh… masa kanak, mengapa cepat pergi. Sungguh, aku tak ingin jadi dewasa dengan cara begini, terasing di suatu pagi, dan memandangi hari yang begitu kusenangi, cuma dari jendela ini. Silangan-silangan dari jari yang tanpa sengaja menggarisi kaca jendelaku ini, barangkali adalah garis nasib yang memotong masa kanakku menjadi seorang gadis.
Menjadi gadis, hmm… entah apa gunanya.
Recent Comments