Memaknai Maknyus Si Bondan
March 14, 2007
Gesture Bondan, kaget-nikmat, senyum dan gelengan kepala bukanlah ekspresi dari citarasa makanan melainkan bujukan agar pemirsa tertarik untuk mencari atau menikmati makanan yang ditampilkan
“Maknyus,” kata Bondan. “Nyamleng,” puji Arletta. “Wuenakee…” teriak Dorce. Semua kata-kata itu untuk mengungkapkan citarasa makanan yang tengah mereka santap. Idiom atau magic word ini tentu sudah sangat dihapal pemisra televisi. Bahkan, saking hapalnya, begitu Bondan menyesap kuah makanan, pemirsa pasti duluan mengatakan, “Maknyuss”, dan tertawa bersama.
Bondan dan “Maknyus-nya” memang menjadi ikon baru di tayangan kuliner televisi. “Maknyus” itu juga yang menjadi pembeda utama acara Bondan dengan tayangan kuliner lainnya, yang bahkan lebih dulu ada sebelum “Wisata Kuliner” TransTV. Tak heran jika Dorce pun sampai “mencemburui” Bondan. Berkali-kali dalam “Dorce Show: Jalan-Jalan” dia mengungkapkan kecemburuan itu. “Pemirsa, sekarang ya, banyak sekali acara makan-makan, pada meniru saya. Tapi, mana ada yang makannya seperti saya. Semua pake gaya, nggak berani gila seperti saya, ya pemirsa. Kalau saya tidak dibuat-buat, pemirsa. Kalau makan ya makan, kalau enak ya enak aja…” ucapnya sambil mengadukkan kuah rendang ke nasinya, dengan mulut berkecipak berminyak.Dorce benar, setidaknya dalam dua . Pertama, acara kuliner memang luar biasa banyaknya. Jika tidak mandiri, acara ini menjadi imbuhan di acara lain. TransTV misalnya, punya tayangan “Wisata Kuliner” Bondan, “Gula-Gula” Bara Patiradjawane, dan “Jalan-jalan” Dorce. TVRI mengeluarkan “Dunia Wanita”, TPI dengan “Santapan Nusantara”, dan Indosiar memasang “Aroma”, “Iron Chef” serta “Bango Selera Nusantara”. Stasiun televisi lain pun tak ketinggalan, meski tidak menjadikan kuliner sebagai acara khusus. Namun, dari semua stasiun, hanya Trans TV yang sangat “menggilai” acara makan-makan ini. Tak cukup dengan tiga tayangan di atas, makan-makan pun selalu mengambil jatah di “Good Morning”, “Koper dan Ransel”, “Sisi Lain”, “Jelang Siang”, “Jelajah”, bahkan nyusup di “Reportase Sore”. Di Trans TV, acara kuliner-lah yang dapat menandingi infotainmen, dalam keragaman dan perulangannya.
Kedua, memang hanya Dorce yang berani “gila” ketika makan. Dia jarang memakai sendok, makan sambil bicara, bibirnya berkecipak, dan kadang, duduk dengan satu kaki yang diangkat ke kursi. Dorce juga tak rikuh menunjukkan selera primordialnya, menyantap petai, jengkol, dan sambal sampai berkeringat. Hal yang sampai saat ini belum pernah ditunjukkan pembawa acara kuliner yang lain.
Pemanggungan
Banyaknya acara kuliner di televisi menunjukkan telah terjadi “pemanggungan” makanan. Karena itu, makanan yang tampil pun –pengecualian di acara “Dorce Jalan-Jalan”– dimake-up maksimal agar sesuai dengan pakem panggung. Makanan ditata sedemikian rupa di meja dengan ukuran-ukuran estetika sajian, mulai posisi penempatan, kontras warna piring dan taplak meja, sampai latar fisik tempat meja itu berada. Pencahayaan juga diefektifkan, dan tak lupa, point of view, yang akan menjadi sudut pandang penonton juga. Presentasi dan atau narator juga diperhitungkan secara saksama untuk menciptakan sapuan suasana yang sungguh menggugah selera. Pemilihan menu pun mempertimbangkan hukum pementasan, mulai perkenalan, konflik (menu yang unik, ragam, kaya rasa), dan peleraian (minuman yang menghanyutkan semua sensasi rasa makanan tadi).
Aspek pemanggungan itu, entah apa sebabnya, justru tidak maksimal di dalam tayangan “Dorce Jalan-jalan” dan “Bango Selera Nusantara” yang dulu juga digawangi Bondan Winarno. Makanan hadir apa adanya, kadang bersama “rombongannya” di etalase warung atau restoran. Dorce juga tidak melakukan “penilain” profesional, hanya celetukan-celetukan kecil sebagai ungkapan pribadi. Selebihnya, rasa nikmat itu dapat dikira pemirsa melalui kerakusan, kecipak mulut dan kealfaan Dorce pada kamera. Dorce makan, dan tidak sedang membujuk pemirsa untuk dapat menikmati makanan yang sama. “Kealfaannya” pada kamera ketika makan itulah salah satu yang membuat acara ini menjadi sangat berbeda. Keberbedaan itu justru menunjukkan “hakikat” yang sebenarnya, makan sebagai makan dan makanan sebagai makanan. Dorce makan sebagai aktivitas alamiah, laku umum ketika orang menghadapi makanan. Antusiasmenya pada masakan padang, caranya mencampur lauk, sayur dan nasi, bahkan memasukkan ke mulut dan mengunyah, tipikalitas orang kebanyakan. Gaya Dorce adalah “pertunjukan” yang setiap hari dapat kita temukan pada orang yang makan di warung Padang pinggir jalan, staf rendahan, para abang becak dan kuli bangunan. Makanan yang disantap Dorce pun nyaris tak berbeda. Ia selalu kembali ke selera yang sama. Dorce merepresentasikan makan dan makanan sebagai sesuatu yang hanya berurusan dengan mulut dan perut. Makan sebagai kewajiban agar raga dapat terus hidup.
Makan Gaya
“Wisata Kuliner” dan pembawa acara yang setipikalitas dengan Bondan, sudah melangkah lebih jauh dari apa yang dilakukan Dorce. Bondan, sebagaimana pengakuannya di Nova, bukan berposisi sebagai pemandu selera, tapi promotor makanan. Jadi, semua tindakan Bondan adalah representasi dari usaha untuk mempromosikan. Gesture Bondan, kaget-nikmat, senyum dan gelengan kepala bukan ekspresi dari citarasa makanan melainkan bujukan agar pemirsa tertarik untuk mencari atau menikmati makanan yang ditampilkan. Citarasa makanan kemudian hadir hanya dalam bentuk ucapan verbal “maknyus”, “nendang banget” dan atau “pecah di lidah”. Bondan sebanding dengan Titi Kamal yang mempromosikan produk mie instan, “Pokoknya…. megang banged!” Semua enak, indah, dan sempurna.
Model representasi di atas juga otomatis membagi posisi makan sebagai kebutuhan primer, dan makan yang sudah menjadi kebutuhan tertier, lux. Aktivitas makan sebagai kebutuhan tertier tidak berurusan dengan kenyang perut. Itulah sebabnya, nyaris tak pernah ada tayangan yang menunjukkan Bondan menghabiskan makanannya semaknyus apa pun itu. Beda dengan Dorce yang menandaskan nasinya, bahkan sampai mulutnya berbunyi “Eeegg…”. Sebagai kebutuhan lux, makan adalah wisata, penjelajahan citarasa dan bukan kepatuhan pada selera. Sebagai wisata, makan adalah kebutuhan non-lahiriah, rasa kenyang didapatkan di dalam “nilai gaib” yang terkandung di makanan itu. “Ini lho, sarapan Hamengkubuwono VIII,” kata Arletta, ketika wisata kuliner ke Yogya.
Membayangkan telah mengonsumsi “nilai gaib” itulah yang kemudian membuat makanan berubah menjadi arena pementasan diri. Orang makan untuk menunjukkan personalitas diri, gaya hidup, bahkan perbedaan kelas. Makanan menjadi cermin untuk berkaca dan memaknai diri. Ketika ke warung Mbah Jingkrak di Semarang, misalnya, tanpa disadari “Wisata Kuliner” telah meletakkan “nilai lain” ke Warung itu. “Promosi” yang dilakukan Bondan sekaligus meninggalkan nilai tanda di Warung itu. Dan kemudian, mereka yang makan ke warung itu bukan sekadar mencari rasa pedas melainkan terutama membeli “nilai tanda” tersebut. Nilai tanda itu bahkan bisa melebar ke spektrum yang tak terbayangkan. Makan di sana menjadi identitas baru sebagai warga yang melek kuliner, tahu selera, dan ngerti gaya hidup. Bahkan mungkin, muncul perasaan tak lengkap sebagai orang Semarang jika belum merasakan ikon-ikon kuliner di kota ini.
Pada akhirnya, menonton acara kuliner di teve, kita diberikan pilihan untuk menjadi manusia yang menghargai makanan atau manusia yang dihargai karena makanannya. Semua terserah kita.
[Artikel ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, 11 Maret 2007. Foto-foto diambil dari www.jalansutra.org]
Ke(g)aiban Popularitas
March 2, 2007
Aib adalah jalan tercepat menuju popularitas.
Perseteruan Maia Ahmad dan Mulan Kwok berakhir sudah. Mereka berdamai. Maia akhirnya membayar sejumlah uang sebagai kompensasi dari semua tuntutan Mulan. “Jumlahnya tidak sebanding ya? Tapi Mulan sudah setuju, ya mau apalagi?” jelas Hotman Paris Hutapea, pengacara Mulan.
Banyak yang mengira, usai perseteruan itu, popularitas Mulan akan berakhir. Di Ratu, Mulan memang tidak berperan besar, hanya vokalis. Berbeda dari Maia, yang menciptakan lagu, memutuskan busana panggung, sampai urusan kontrak dengan pihak ketiga. Itulah sebabnya, pengamat musik Bens Leo meyakini, “Karier Mulan akan lebih sulit. Bagaimanapun posisi Maia sebagai pencipta lagu akan lebih jelas.”Sebelumnya, Bens Leo juga menyayangkan perseteruan itu, apalagi sebabnya bukan karena proses kreatif melainkan uang. Bens menganggap Mulan sebagai pihak yang “bodoh” karena tidak pernah terlibat urusan apa pun di Ratu selain menyanyi.
Di infotainmen banyak sekali pendapat yang senada dengan Bens. Keributan Ratu karena uang, dan sampai berpolemik di media, bagi sebagian pengamat bukanlah langkah yang arif. Sebagian besar menyayangkan sikap Mulan yang seperti “kacang lupa pada lanjarannya”. Sebagian lagi memahami tapi menyayangkan masa depan karier Mulan. Mulan diyakini akan “selesai” tanpa Maia.
Manfaat Aib
Tapi, dunia hiburan punya aturan yang acap tak tertebak. Belum berselang bulan, Mulan sudah naik panggung, sendirian. Pertama, dan ini yang mengejutkan, ustad gaul Jefri al-Buchori merangkulnya untuk membaca saritilawah al-Quran, mendampingi Iis Dahlia. Acara yang mendapat perhatian besar dari infotainmen itu menampilkan sosok Mulan yang berbeda, berkerudung, berbaju kurung, dan senyum yang terus menggantung. Dia tak lagi murung, tampak bahagia. “Takut sih, takut salah-salah…” katanya sumringah, usai acara, sebagaimana tayang di “Obsesi Pagi” Global TV.
Kedua, Mulan menyanyi di “Britama Vaganza” yang tayang di TransTV. Tanpa lagu Ratu, dia tampil sendiri dan duet bersama Donny Ada Band. Penampilannya pun berubah, tak lagi berpakaian setengah terbuka, tabrak warna, dan menggoda. Mulan tampil feminim, dan tetap seksi. Percayalah, berikutnya Mulan pasti akan tetap tampil di banyak acara. Teraan “aib” pada dirinya karena perseteruan nilai kontrak itu, tak akan berpengaruh pada popularitasnya. Maria Eva telah lama mengajarkan hal itu.
Sebelum kasus video intimnya dengan Yahya Zaini, siapa yang kenal dengan pedangdut ini. Bahkan, di awal kasus itu terungkap, masih banyak orang yang mengernyitkan dahi, bertanya, “Maria Eva, siapa dia?” Tapi kini, nyaris semua orang hapal dengan sosoknya. Bahkan, suara serak karena menahan tangisnya pun masih selalu tayang, sebagai iklan acara berita “Reportase” di TransTV. Maria Eva bahkan pernah selama dua bulan lebih, mendiami teritori benak penikmat infotainmen, sama dengan kasus Angel Lelga saat ini. Dan dampaknya, dengan bumbu “simpati” infotainmen di awal-awalnya, popularitas Maria Eva melesat. Ia nyaris tampil di semua acara talkshow. Ia selalu menangis. Ia acap ceritakan latar belakang keluarganya yang agamis. Dan ia tampak menyesal telah melakukan aib itu. Maria Eva pasti menangis. Dan Ruhut Sitompul, pengacaranya, tahu betul bagaimana menambah bobot kesedihan kliennya dengan ucapan-ucapan yang sungguh memancing iba. Maria adalah korban. Dan sebagai korban dia pantas dibela.
Aib dan popularitas tampaknya tidak bertolakbelakang. Maria Eva tahu memanfaatkannya, dan justru “tertolong” dengan aib itu. Ia misalnya, dengan ringan segera ke Sidoarjo, mengunjungi korban lumpur, dan membagikan uang sumbangan. Selanjutnya, dengan riang juga dia berjoged dangdut di pub di Surabaya, dan tidak menghadiri gugatan cerai dari lelaki yang dia tak akui sebagai suaminya. Beberapa hari kemudian, dia sudah di jakarta, dan menagis lagi, merasa tertekan dengan kasus video intim itu. Maria Eva si penyedih, Maria Eva si penggembira, tampaknya hanya soal waktu dan tempat saja, bagaimana “memainkannya”. Dan puncaknya, di malam tahun baru, Maria Eva adalah pedangdut pemula yang dibayar demikian mahal. “Mau tahu? Rp 150 juta. Itu sudah bersih, termasuk personelnya,” jawabnya. Kok mahal amat? “Ya mahal dong. Maria…” ucapnya, tertawa, sebagaimana tayang di infotainmen dan dicatat di Harian Surya.
Berbuat aib dan berbuah tarif 150 juta, hmmm… siapa yang tak tergoda?
Penikmat Aib
Dunia hiburan, yang representasi kecilnya diwujudkan dalam televisi, seperti dasamuka. Aib bisa bersanding akur dengan kesusilaan, seperti “dosa” Maria bisa menjadi wajah penolong di Sidoarjo sana. Aib bahkan menjadikan seseorang dapat meraih popularitas dengan gampang. Aib adalah komoditi yang dapat dijual mahal. Dan semua itu terjadi karena banyak sekali orang yang butuh keaiban itu, yang merakusi keaiban itu tanpa rasa puas. Lihatlah “Insert” di hari Minggu. Berita tentang aib seorang selebritis, selalu meraih poling tertinggi yang ditonton dan dinanti pemirsa. Maria Eva pernah jadi pemenang. Mulan Kwok juga. Dan kini, pasti, kasus Angel Lelga. Jadi, aib itu ada peminatnya, ada penikmatnya, ada yang diam-diam menyembahnya. Antara pembuat dan penikmat aib membentuk spektrum simbiosis mutualisme, kesalingtergantungan, saling berbagi kenikmatan.
Dunia hiburan tampaknya memang sebuah medan yang tak pernah dapat dipastikan. Tak ada ketentuan arah, kepastian hukum, apalagi kejelasan nilai. Semua diukur dari rasa butuh. Celakanya, rasa butuh yang awalnya diciptakan ini akhirnya membentuk teritorial sendiri di dalam pikiran, dengan menciptakan sensasi kekurangan. Sensasi kurang, tak pernah puas, inilah yang membuat wajah aib jadi hilang. Aib adalah cara, jalan, metode, untuk meraih sesuatu. Maka, ketika Ratu ribut, banyak komentar kalau hal itu adalah cara untuk menaikkan popularitas. Peterpen pecah, dimaknai sebagai cara untuk meningkatkan penjualan album. Bagi penonton, aib juga kehilangan sisi negatifnya, dan kemudian direduksi sebatas hasrat ingin tahu. Penonton tak lagi peduli pada aib tersebut, tapi tersedot pada efek dari aib itu. Nalar akhirnya dikebiri hanya menjadi spektrum hasrat untuk tahu, “setelah ini-lalu-lalu-lalu” yang tak putus-putusnya. Pada saat itulah, di mata filsuf Gilles Deleuze & Felix Guattari, telah tercipta mesin hasrat, membuat seseorang mengalami kenikmatan mengetahui semua kronologis keaiban itu. Kenikmatan itulah yang mendorong orang untuk terus berlomba tahu dan bangga dengan keserbatahuan itu. Inilah makanya, berita aib segera menyebar dengan cepatnya, video Maria terluaskan bahkan sampai ke mancanegara, semua orang ingin jadi yang pertama tahu. Orang pun mau menonton langsung Maria hanya untuk dapat berkata, “Aku telah melihat langsung Maria Eva…” atau, “Ternyata Maria itu tidak seperti…”
Dunia hiburan menyadari mesin hasrat ini. Keaiban adalah magnit yang dapat menyedot kamera, popularitas dan uang. Itulah sebabnya, selalu ada yang mau mendekat mereka, berbagi sedan dan airmata. Selalu ada yang mau jadi pembela atau sebenarnya memanfaatkan “popularitas” mereka. Seperti Mulan Kwok yang tiba-tiba menjadi pembaca saritilawah di forum Ustad Jefri itu.
[Artikel ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 4 Maret 2007]
Recent Comments