Juri-juri tanpa Independensi
July 28, 2006
Juri “Indonesian Idol” seharusnya mampu menjaga diri untuk tidak bertingkah seperti para penonton.
“Ibarat krupuk, kamu rocker melempem!” nilai Dimas Jay atas penampulan Ihsan. Itu penilaian yang “seragam” atas penampilan Ihsan saat menyanyikan lagu “Sobat”, yang dipopulerkan grup Padi. Dan di malam “spektakuler” minggu lalu, yang menyisakan 5 kontestan itu, penampilan Ihsan memang yang “terburuk”. Bahkan, kalau mengikuti seluruh ajang spektakuler dari awal, Ihsan-lah yang memang selalu tampil di bawah standar. Indra Lesmana menilainya dengan, “Kamulah kontestan yang paling lambat perkembangannya dibandingkan yang lain.”
Itu belum seberapa. Indra dengan marah, pernah menyemprotnya, “Bosan saya melihat kamu. Bosan! Begitu-gitu aja!” Titi DJ yang biasanya “lembut” terhadap Ihsan, tak kuasa juga menahan “cacian”. Hanya saat menyanyikan lagu “Bento” milik Iwan Fals Ihsan sedikit mendapat pujian, meski tetap dengan celaan keras dari Indy Barens. Uniknya, fans Ihsan banyak. Dia, mengutip kata Titi DJ, “punya wibawa yang membuat orang simpati.” Sehingga, setiap kali tampil dan dinilai buruk, ratusan koor “Hhuuu….” menyerang para juri.
Ihsan memang “istimewa”, justru bukan karena suaranya. Waktu penjaringan, dialah sosok yang membuat Titi DJ nyaris menangis, karena digambarkan begitu “menderita”. Dan, sebelum lolos ke Jakarta, Titi membelikannya celana dan kemeja. Ihsan juga selalu digambarkan dalam “Idol Banget” sebagai sosok yang polos dalam kemiskinan. Dia mengundang simpati, seperti kisah Verry di kontes “AFI” Indosiar. Mata bocahnya yang selalu basah saat mendapatkan cercaan, sungguh mengundang iba. Tapi, bagaimana pun, “Indonesian Idol” adalah kontes suara. Dan, Ihsan tak tersisih juga, hanya karena beberapa hal yang “disengaja.”Menebak Poling
Minggu lalu, saat Atta dan Daniel bertanya pada juri, siapa yang kira-kira akan tersingkir, Indra menjawab, “Dilry!” Titi memilih Maria, Indy juga, dan Dimas Jay, setelah berpikir sesaat, mengucap, “Maria!” Ihsan di mata para juri bukan sosok yang pantas tersingkir. Dua minggu lalu, saat Ihsan tampil tak sebagus yang lain, juri pun memilih Dirly dan Maria yang akan tersingkir. Ihsan tak juga terpilih. Ini aneh.
Dirly menyanyikan lagu “I Miss You But I Hate You” Slank, berdandan nge-rock habis. Titi memuji habis-habisan. Hanya Indi yang sedikit mencela napasnya yang tak terkontrol. Maria tampil lebih menarik lagi. Vokalnya bening saat melantunkan “Jangan Ada Angkara” milik Nicky Astria. Cuma, karena di “Indonesia Idol” “diharamkan” bernyanyi sama dengan gaya penyanyi asli, Maria kena “semprot” juga. Tapi jelas, dari komentar juri –bahkan di minggu-minggu sebelumnya– dia dan Dirly lebih bagus daripada Iksan. Maka, ada apa sampai juri tak pernah berpikir bahwa Ihsan akan tersingkir?
Di sinilah terlihat, juri tidak melakukan penilaian atas kualitas penyanyi. Dirly dan Maria memang selalu masuk zona tidak aman. Nyaris setiap minggu, dukungan suara untuk dua orang ini selalu mendebarkan. Sehingga, menebak bahwa salah satu dari mereka akan tersingkir, bukan hal sulit. Tapi, tebakan semacam inilah yang tak boleh dilakukan para juri. Mereka dipilih untuk menentukan siapa penyanyi terbaik dalam tiap babak, memberi pendapat, yang “mungkin” bisa memengaruhi penonton. Dengan itu diharapkan, kelak yang menjadi next “Indonesian Idol” adalah peserta yang secara teknik vokal dan gaya panggung memang paling mumpuni. Karena kewajiban menilai dan “mendidik” penonton itulah, juri harus independen terhadap tekanan apa pun. Setiap “vonis” yang mereka jatuhkan harus berdasarkan penilaian pribadi mereka, bukan terpengaruh atas apa pun. Dan memang itu yang mereka tunjukkan saat menilai kontestan, tapi tidak saat memutuskan siapa yang akan tersingkir. Juri tidak memilih Ihsan. Karena mereka tahu, dari “sejarah” perolehan suara selama ini, Ihsan cenderung aman. Juri pun dengan sadar memilih Maria atau Dilry. Juri dengan patuh mengikuti kehendak penonton, menebak hasil poling. Di sini, tampak, juri kehilangan independensinya, hanyut. Bukan mendidik penonton tapi tanpa sadar, justru “dididik!”
Kasus Ihsan bukan yang pertama. Sebelumnya, Delon telah mengalami. Siapa yang tidak ingat betapa galaknya para juri dengan penampilan Delon. “Hanya jual tampang!” cerca Indra atau Mutia Kasim. Soal betapa berbanding terbaliknya “kualitas” tampang dan suara Delon, menjadi hal yang serius di mata juri. Delon tak berbakat jadi penyanyi. Tapi, berapa kali juri menyatakan bahwa Delon yang pantas untuk tersingkir? Seperti Ihsan sekarang, juri pun tak mendudukkan Delon sebagai kontestan yang layak tereleminasi. Juri sadar, dengan tampang itulah, Delon mengundang simpati. Dan ketika mereka tidak mengatakan Delon layak tereliminasi, para juri mensahkan bahwa tampang saja cukup untuk masuk ke final “Indonesia Idol”. Tampak, saat berhadapan dengan dukungan para penggemar, independensi juri menjadi limbung.
Selera Pribadi
Selain tak independen dengan dukungan para penonton, juri pun tak independen atas selera mereka sendiri. Minggu lalu misalnya, saat Ihsan tampil, Indra menunjukkan reaksi yang kecewa. Wajah yang malas dan bibir tanpa senyum. Titi DJ pun diam. Indy sesekali menggeleng. Di panggung, Ilham barangkali melihat reaksi itu. Dan lihatlah, semakin ke akhir lagu, suaranya kian terseret, kehilangan gairah. Dirly juga. Reaksi Indy yang tampak tak menikmati lagunya, “meruntuhkan” semangatnya. Di sepertiga terakhir lagu, dia nyanyi seperti mendapat siksa, suara tersengal.
Dan lihatlah apa yang terjadi dengan Gea saat melantunkan “I Love Rock N Roll” milik Joan Jett yang juga dipopulerkan lagi oleh Britney Spears? Sepertiga pertama lagu, Gea belum tampil lepas. Tapi begitu Titi DJ dan Indy berdiri dari duduknya, ikut bergoyang, bertepuk tangan, berteriak menimbrungi, Gea seperti mendapatkan energi baru. Suaranya kian mantap, dia lebih berani mengambil nada tinggi, bergerak bebas, dan seperti otomatis, mengajak penonton melantunkan lagunya. Cemerlang! “Tanpa jaket kulit, tanpa rante, kamu bisa jadi rocker sejati!” pekik Indy Barens. Tidakkah Indy menyadari, reaksi dia dan Titi-lah yang membuat penampilan Gea menjadi terdongkrak?
Benar, Gea tampil memikat, juga Nobo. Tapi, sememikat apa pun, seharusnya juri tidak menunjukkan reaksi yang bisa menurunkan atau menaikkan semangat peserta. Reaksi diri pribadi inilah yang harus dikendalikan. Juri seharunya independen dari selera pribadi. Pujian, reaksi, seharusnya ditunjukkan sehabis peserta melantunkan lagu. Juri, sekali lagi, harus berbeda dari penonton, yang boleh histeris, berteriak, atau pura-pura tidur saat salah satu kontestan bernyanyi. Coba, bayangkan apa jadinya, begitu Ihsan bernyanyi, Indra memunggunginya atau meninggalkan kursinya hanya karena bosan?
Independensi juri, itulah kata kuncinya. Dengan tetap menjaga hal itulah, sebuah perhelatan semacam “Indonesian Idol” dapat terjaga mutunya. Karena, juri yang “tidak matang”, heboh, bahkan over acting, bukan saja dapat meruntuhkan mental kontestan, tapi “membunuh” karier mereka. Dan jika itu terjadi, tidakkah mereka merasa berdosa?
[Artikel ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 30 Juli 2006]
Repetisi Kemalangan
July 17, 2006
Selalu ada yang hilang setiap kita saksikan tayangan ulang.
Pasti Anda tak percaya, dalam 12 jam, 8 kartu merah telah didapatkan Zidane. Dan parahnya, kartu merah itu didapatkan Zidane dengan melakukan kesalahan yang sama, menanduk dada Materazzi. Sehingga wasit Horacio Elizondo dari Argentina harus menarik kartu merah, juga 8 kali! Itu minimal. Karena di luar yang saya saksikan hari itu, kemungkinan, masih berkali-kali Zidane menandukkan kepalanya lagi, menerima kartu merah. Dan jika dihitung sampai hari ini, percayalah, telah beratus kali kepala plontos itu menjengkangkan Materazzi.
Anda mau menghitung?
Di Senin dini itu, SCTV menayangkan tandukan Zidane sekitar tiga kali, sekali tayangan utuh dari menit 0 sampai 112 pertandingan, dan dua replay, slow motion. Usai penalti, presenter meminta penonton menyaksikan lagi replay tandukan itu. Pukul 6 pagi, berita SCTV memutarnya lagi. Lalu pukul 06.30 di “Sport 7″ TV7, dan SCTV menayangkan lagi, partai utuh di pukul 7 pagi. Sore, dengan “gaya” seakan pertandingan belum pernah terjadi, presenter SCTV dan komentatornya, kembali me-replay pertandingan itu. Dan Zidane menanduk lagi. 8 kali! Itu belum dengan tayangan di RCTI, MetroTV, Anteve, dan lainnya. Kepada teman-teman, setengah berkelakar, saya berkata bahwa Prancis protes pada FIFA, maka partai final pun digelar sampai 3 kali. Hasilnya, sama. Domenech tak pernah belajar dari kesalahan pertama, dan tetap memasukkan Zidane di partai kedua, juga ketiga.
Merekatkan ingatan
Tentu, peristiwa Zidane hanya satu contoh. Karena nyaris semua partai dalam Piala Dunia kali ini di-replay. Minimal, 3 kali Inggris kalah penalti melawan Portugal. Dan John Terry, sesenggukan juga minimal 3 kali. Keponakan saya, dengan heran bertanya, “Omm, Ricky Jo itu gak kembung ya, kok minum Extrajoss sampai berkali-kali?”
Ya, tayang ulang memang bukan hal yang baru dalam iklan. Bahkan, sehari kita bisa menyaksikan Tamara mandi berkali-kali, atau si ibu yang “makan ati” sampai puluhan kali. Repetisi dalam iklan adalah hal yang wajib. Namun, tanpa disadari, repetisi ini juga merambah bidang lain. Anehnya, peristiwa itu bukan replay tapi seperti replay. Tidak kembar meski sama. Infotainmen misalnya. Pagi sudah ada “Was-was” di SCTV, membahas pencabutan tuntutan Fanny atas Taufik Hidayat. Beda beberapa menit, tayang hal yang sama di “Ekspresso” Anteve, lalu tayang lagi di “Insert Pagi” TransTV, “Kiss” Indosiar, “Silet” RCTI, “Kabar-kabari”, dan puluhan acara infotainmen lain. Ppfuihh, pusing!
Hal yang sama juga terjadi pada berita sadis. Perkosaan di “Sergap” juga tayang di “TKP” atau “Patroli”. Pembunuhan di “Sidik” juga tampil di “Buser”, “Brutal” dan “Saksi Mata”. Penonton diajak ekstase dari satu cipratan luka ke genangan darah, dari isak kesedihan ke jerit ratap kematian. Berputar, berulang.
Peristiwa politik pun sama. Penemuan ratusan senjata di rumah Koesmayadi misalnya, tayang di “Lintas Siang”, “Liputan 6″, “Buletin Siang”, “Metro Siang” sampai “Tujuh Malam”. Gambar sama, narasi pun tak jauh beda.
Cukup? Belum. Repetisi juga menghinggapi penayangan bencana alam; banjir Bahorok, tsunami Aceh, Gempa Yogya, sampai semburan lumpur panas di Sidoarjo. Penonton berpuluh kali melihat rekaman video Cut Putri saat tsunami menghantam Aceh, menatap ngeri air yang melahap apa saja, menyaksikan jerit-tangis, rumah rubuh, luka, darah, mayat, mayat, mayat… Berserakan, begitu jelas, begitu gamblang. Betapa sering perulangan video ini diputar, sehingga nyaris setiap penonton dapat mengingat detilnya, hapal warna air, kusam cat rumah rubuh, jajaran pohon kelapa dekat masjid, tubuh-tubuh yang terseret…
Mengalpakan Iba
Repetisi memang penting. Pada iklan, repetisi dilakukan agar sebuah produk cepat diingat penonton. Karena begitu banyak merek di dalam jenis produk yang sama, repetisi merekamkan kepada pemirsa keberbedaannya. Lux berbeda dari Giv, Jazz tak sama dengan Yaris. Dengan itu, segmentasi tercipta. Konsumen secara sadar memilihkan apa yang cocok untuk dirinya.
Perulangan tayang pada peristiwa, tidak berfungsi “sesederhana” itu. Pada kasus Zidane, replay penting untuk membuat penonton dapat mengetahui persis apa yang terjadi, dan kamera menjelaskannya melalui slow motion. Dengan begitu, penonton dapat mengambil sikap, memaklumi tandukan itu atau mengutuknya. Replay mencatatkan prosesnya. Kamera melalui medium close-up menunjukkan kesedihan Zidane, mata yang kehilangan cahaya saat wasit mengganjarnya. Penonton dapat mengingatnya.
Begitu juga untuk tayangan kekerasan. Penonton barangkali dijejali agar ikut mengutuk, mencela segala kejahatan, dan didorong menjaga keluarga dan diri agar tak terkena atau melakukan kekerasan yang sama. “Perulangan” yang diindikasikan membuat takut dan atau jera.
Pada kasus tsunami Aceh dan sejenisnya, tayang ulang dilakukan untuk menunjukkan betapa dahsyat peristiwa itu, begitu mencekam. Menuntun penonton untuk dapat seperti mengalami penderitaan yang sama, kengerian dan sakit yang sama. Sehingga hati menjadi tergerak untuk membantu, harta menjadi ringan untuk disumbangkan. Di sini, penayangan ulang kemalangan dapat menciptakan energi kebaikan, melahirkan tangis kebersamaan.
Tapi, setiap hal punya dua sisi. Begitu juga dengan repetisi.
Repetisi memang mengekalkan ingatan kita atas sebuah peristiwa. Tapi, di saat yang bersamaan, repetisi juga melekangkan nilai-nilai peristiwa tersebut. Getar hati yang punah, kesedihan yang timpas, selebihnya permakluman. Suasana yang bisa diprediksi. Zidane menjadi bukti.
Saya nyaris terlompat ketika Zidane menandukkan kepalanya. “Gila! Apa yang dia lakukan?!” Ketika melihat dia merangkul Buffon, dan kamera secara close up menunjukkan matanya yang basah, dan bibirnya yang gemetar, saya hampir menangis. “Kenapa Zidane, kenapa?!” Dan saat dia gontai ke luar lapangan, saya putus asa. Prancis tak lagi punya harapan. Seluruh adegan itu memenuhi dada saya, dan ketakutan, juga keharuan, masuk dengan entengnya, mengalahkan kantuk dengan begitu jumawa. Seakan tak cukup merasakan kesakitan itu sendirian, saya SMS teman, “Habis dia, habis! Akhir karier yang pedih…” Di momen itu, sakit Zidane adalah sakit saya.
Tapi, menyaksikan tandukan itu di tayangan pagi, keharuan tiba-tiba pergi. Saya tak lagi tersedak, meski masih merasa aneh. Dan ketika sore hari menyaksikannya untuk kedelapan kali, tak ada lagi ketercekatan. Hambar. Kini saya melihat tandukan itu dengan tertawa. Lucu.
Perulangan, repetisi yang begitu kelewatan oleh televisi, memang membunuh keterlibatan hati atas peristiwa itu. Tak ada lagi getar, cemas, dan iba. Repetisi memajalkan, menumpulkan rasa. Repetisi mengubah “menu istimewa” menjadi makanan sehari-hari, tak lagi punya daya kejut. Lihatlah tayangan “Buser” atau “Sergap”, perkosaan itu, pembunuhan itu, tak lagi semencemaskan dulu, ketika tayangan itu kali pertama muncul. Tataplah kini video tsunami Cut Putri. Kemana kengerian itu? Ke mana airmata yang dulu begitu saja gampang berloncatan. Ke mana pekik, “Ya Tuhan…” Repetisi menghilangkannya.
Yang berharga dari tiap manusia adalah memiliki rasa iba. Dan repetisi tayangan di televisi secara sadar mengikisnya. Menghapusnya. Membuatnya alpa.
[Artikel ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 16 Juli 2006]
Begitu Rooney, Begitu juga Zidane…
July 11, 2006
Menonton sepak bola adalah menyaksikan manusia menanggalkan embel-embel kepalsuan yang diterakan media.
Tak ada yang menduga, di menit ke-109 itu, Zidane melakukan sesuatu yang “luar biasa”, menanduk dada Materazzi dengan kepala plontosnya. Materazzi terjengkang. Zidane juga. Lewat close up kamera usai tandukan itu, “Sang profesor” terlihat kaget atas tindakannya. Ia, seperti akan menangis ketika bicara dengan Buffon, bercerita mengapa sampai melakukan hal itu. Bahkan, kamera pun menunjukkan mata basahnya yang tak percaya sewaktu melihat wasit mengangkat kartu merah. Menghembuskan napas, dia berjalan keluar. Gontai.
“Zidane juga manusia.” Begitulah suara seragam yang “membela” tindakannnya itu. Semua pengamat menyayangkan tindakan itu, tapi memaklumi. Der Kaizer Beckeunbauer pun merasa penampilan akhir Zidane sebagai salam pisah dengan cela. Tapi, sebagai mantan pemain sepak bola, yang juga pernah merasakan kerasnya atmosfir Piala Dunia, dan kejamnya tekanan kepada dirinya sebagai ruh tim –hal yang juga diemban Zidane–, dia paham atas tindakan Zidane. “Yang bisa saya katakan tentang Zidane, adalah pribadi yang tenang dan tidak berbahaya,” kata Beckenbauer seperti dilansir AFP, Senin (10/7/2006). “Dia cuma terpancing…”
Ya, Zidane terpancing provokasi Materazzi. Lewat tayangan ulang, usai berebut bola, mereka memang tampak saling berbicara. Zidane masih terlihat tersenyum saat membalikkan diri, berjalan mendahului Materazzi. Kamera juga menunjukkan bibir Materazzi yang masih saja bergerak, mengucapkan sesuatu, sampai… Zidane berbalik dan menandukkan kepalanya. “Materazzi telah memprovokasi Zidane,” kata Gallas, rekan setim Zidane.
“Dia mengaku kepada saya, Materazzi telah mengatakan sesuatu yang sangat serius kepadanya,” ungkap Migliaccio, agen Zidane, seperti dilansir BBC. Migliaccio menambahkan bahwa Zidane tidak mengatakan secara detail apa yang dikatakan Materazzi. “Saya tidak tahu. Zidane tak ingin mengatakan hal itu namun mungkin pekan depan semua dapat diketahui,” ujarnya.
Tebakan lalu beredar, kalau Materazzi telah mengatakan hal yang sensitif, seperti ungkapan rasis, sampai ejekan bahwa Zidane adalah antek teroris. Tapi, Mariane Frere, ahli pembaca gerak bibir, setelah melihat rekaman insiden itu, bisa memastikan apa yang dikatakan Materazzi. Pada satu adegan, sebagaimana dilansir The Sun, bek Inter Milan itu meremas puting Zidane. Frere membaca Materazzi mengumpat, “bola tinggi bukan untuk kotoran sepertimu.” Zidane masih tersenyum dan berlalu. Tetapi, Frere dapat membaca umpatan lain dari Materazzi, “Semua orang tahu kau adalah anak seorang pelacur teroris.” Usai kalimat inilah Zidane membalikkan badannya dan menanduk dada Materazzi.
Cukup? Tidak. Seperti dilansir Tribalfootball, melalui sumber orang yang dekat dengan tim Italia terungkap juga, usai meremas puting Zidane, Materazzi bertanya, “Kenapa, bukankah kau suka?” Zidane membalas, “Sedikit terlalu keras untuk membuat aku terangsang.” Namun Materazzi kemudian melanjutkan, “Ya. Aku melakukannya karena aku tahu seperti apa ibumu.”
Tak Stabil
Manusia memang bukan makhluk yang stabil. Secara generik, kata insan –manusia dalam bahasa arab– pun mengartikan hal itu, sebagai “yang gampang terombang-ambing”. Ambingan yang datang dari hasrat, emosi, dan mimpi-mimpi. Dan Zidane secara “alamiah” menunjukkan posisinya yang tetap sebagai manusia. Dia bukan “dewa” sebagaimana yang dielu-elukan penggemarnya. Benar, dia “sang profesor” yang mengolah bola nyaris tanpa cela. Tapi, dalam ketiadacelaan memainkan bola, tersimpan watak alamiah manusia, yang bisa marah, dan kehilangan kendali. “Saya menyimpan tumpukan agresi. Suatu saat, tiba-tiba, agresi itu keluar, dan saya meledak,” aku Zidane. “… jika seseorang memprovokasi, saya tidak bisa tinggal diam. Saya bisa terjangkit untuk membalasnya. Itulah saya.”
Zidane tidak sendirian. Wayne Rooney juga melakukannya. Ketika kesembuhannya dari cidera patah tulang metatarsal dipastikan, seluruh media Inggris menyambutnya. “Sang Dewa…” tulis The Sun. “Masa depan Inggris di tangannya,” tulis media lain. Rooney seakan tak tersentuh cela. Kelabilan emosinya tak pernah diungkap. Tanpanya, diyakini, Inggris tak akan mampu meraih Piala Dunia. Tapi lihatlah, anak bengal itu menunjukkan dengan pasti bahwa dia bukan dewa. Dihadang Calvalho, Fereira, amarah Rooney terjaga. Dia melakukan hal buruk, yang katanya, “terjadi begitu saja tanpa sengaja,” menjejakkan kakinya di selangkangan Calvalho. Dan ketika tandemnya di Manchester United, Ronaldo, berteriak protes, kemudaan Rooney bicara. Seperti Zidane, dia pun harus keluar lapangan. Gontai. Layangan lepas benang, putus asa. Dua dewa, dari dua negara, dengan kecemerlangan mengolah bola yang nyaris sama, “dimanusiakan” dengan cara yang tak berbeda, di tangan wasit yang sama, Horacio Elizondo, dari Argentina.
Tapi, tentu “salah” jika hanya melihat amarah dalam diri Zidane dan Rooney sebagai unsur kemanusiaannya. Di panggung sepak bola, lewat medium long shoot dan close up, replay juga slow motion, kita jelas melihat manusia-manusia, dan bukan dewa. Akting diving Grosso yang membuat Australia terlempar, semi-diving Henry yang membuat Portugal menangis, kedipan mata Ronaldo usai Rooney dikartumerahkan, juga khas watak manusia, yang dalam sepersekian detik, nyaris seperti otomatis, mengambil keuntungan ketika tercipta kesempatan. Sesuatu yang, mengikuti pengakuan striker Chelsea, Didier Drogba, “akan dilakukan pemain mana pun jika kesempatan itu datang.” Sesuatu yang salah, dibenci, tapi dalam situasi tertentu, seperti otomatis, terlakukan, begitu saja…
Barangkali seperti saat mengambil penalti. Siapa yang sangsi pada keakuratan Gerrald atau Lampard? Ketajaman Trezequet? Dan lihatlah, dalam ketegangan, dalam tekanan sejarah kegagalan Inggris tiap penalti, dua dewa penendang akurat itu menjadi manusia yang lemah, mata yang kehilangan cahaya, dan kemudian… tangis. John Terry pun terisak-isak usai kegagalan itu. Sehingga media mulai mencemoohnya, “Terlalu cengeng untuk bisa menjadi Kapten Inggris.”
Di panggung akbar sepak bola, kita memang menyaksikan keahlian yang nyaris sempurna, yang tak mungkin dimiliki manusia biasa, skill para “dewa” — meski, entah seperti apa sebenarnya dewa-dewa itu. Kita meyaksikan sosok-sosok yang dicitrakan media seperti cahaya, menyilaukan, tak terjamah, barangkali menjadi seperti impi. Tapi, skill itu dihidupi, dinapasi sebungkus daging yang masih bernama manusia, tempat benar dan salah, puji dan cela. Maka, senyum sabar Ronaldinho, tandukan Zidane, kartu merah dari Elizondo –yang bahkan tak menyaksikan peristiwa itu–, dan yang terutama, caci-maki agresi Materazzi, adalah tingkah manusiawi. Dan kita harus bersyukur karena menyaksikan permainan manusia, bukan robot atau dewa yang sempurna. Bukankah hikmah selalu kita temukan dalam cacat, dalam sesuatu yang tak sempurna?
[Artikel ini telah dimuat di Tabloid Cempaka, Kamis 13 Juli 2006]
Recent Comments