Betapa Mudahnya Menjadi Angsa

June 26, 2005


“SUNGGUHKAH ini diriku? Ohh- Tuhan, aku jatuh cinta pada diriku,” isak Christina, sembari menangkupkan tangannya pada wajahnya yang basah airmata. Menatap wajah dan tubuhnya di cermin, badannya terbungkuk menahan haru. Berkali-kali ia mengatakan, “Oh my God, oh my God…” sambil menggelengkan kepala, tak memercayai sosok di depan cermin itu, sosok yang nyaris tak lagi dikenalinya: dirinya sendiri.

Christina, penari perut, pantas kaget, tak percaya, lalu menangis haru. Ia salah seorang yang terpilih untuk ikut dalam acara “The Swan”, reality show produksi Fox, yang siap melakukan apa saja untuk mewujudkan impian seorang wanita yang ingin tampil cantik, menjadi seekor angsa. Reality show ini tampil di TV7 setiap Minggu malam, mulai akhir Mei lalu. Bukan reality show yang baru memang, karena sebelumnya telah ada “Permak Abis” di TV7 juga setiap Sabtu siang, dan “Make Over” di TVG, dan beberapa acara lain yang juga sejenis. Namun, jika reality show yang lain hanya membuat “cantik” dengan mengubah penampilan perempuan melalui pilihan busana, gaya rambut, dan make up, “The Swan” lebih dari itu. Acara ini tak mengedepankan perubahan busana dan make-up, tapi fisik. Bedah plastik, pemasangan inflan, sedot lemak, terapi psikologi, menjadi “santapan” rutin peserta. Dan berbeda dengan para “klien” acara sejenis, “para bebek” yang ingin menjadi angsa di “The Swan” memang memiliki problema fisik dan psikologis yang lebih menyulut iba.

Tayangan pertama “The Swan” misalnya, langsung memancing iba. Rachel merasa seperti bebek buduk. Pinggulnya melorot, dadanya kempes, bibir tak simetris, perut digayuti lemak, pipi berparut bekas jerawat, tulang alis sangat menonjol, dan gigi yang tak rata. “Hidupku seperti di neraka,” isaknya. Ia juga bercerita penghinaan yang dia hadapi, bukan saja dari lingkungan sekitar, terutama dari ayahnya, yang tak pernah merasa bangga padanya. “Gurumu jangan berharap banyak padamu,” itulah hinaan ayahnya, seperti yang dituturkan Rachel. Dan ia pun ikut “The Swan” untuk membuat hidupnya lebih baik.

Kelly, peserta kedua, punya masalah yang nyaris sama. Bahkan, secara psikologis, ia lebih terhina daripada Rachel. Suaminya tak lagi berselera padanya. “Selama tiga tahun ini, kami hanya bercinta 7 kali. Ia nyaris tak menyentuhku. Dia akan melewatiku di jalan,” ceritanya. Dan ia siap melakukan apa saja, untuk membuat dirinya merasa berharga.
“The Swan” butuh tiga bulan untuk menyulap semuanya. Dan, selama tiga bulan itu, tak ada satu cermin pun yang boleh mereka lihat. Setelah operasi plastik di seluruh tubuh, mengisi dan membentuk buah dada, sampai mengoreksi bentuk muka seperti yang diinginkan peserta, tahap penyembuhan diikuti dengan terapi psikologis. “Batin mereka rusak lebih parah dari fisik,” kata Dr Lani, psikolog, yang mendampingi peserta. Cukup? Tidak, mereka juga harus selalu ke ruang fitnes untuk membuat tubuh menjadi langsing dan sehat.

Hasilnya adalah jerit tangis. Rachel sesenggukan kali pertama melihat dirinya di cermin. Tubuhnya susut 16 kg. Dadanya penuh, wajahnya bersih tanpa parut, matanya sempurna, perut tipis. Ia tak mengenali dirinya. Kelly lebih parah lagi. Saat tirai cermin dibuka, dia hanya bengong, matanya kehilangan cahaya. Dan saat tersadar, hanya tangis yang terdengar. “Ke mana Kelly, kau apakan dia? Its me?” ucapnya di sesela tangis. Dan, ketika semua terapis mengangguk, seperti anak kecil ia jejingkrakan, “Aku cantik, aku cantik…” lalu tubuhnya luruh, ia bersimpuh tersedu.
“Percaya dirinya muncul. Kepompong itu akhirnya terbuka….” ucap Patricya Aleni, ibu Kelly.

Sebenarnya, bukan hanya Kelly, Rachel, Kristy, dan Christina yang takjub. Para penonton pun terpesona. Mereka yang tampil di layar tiga bulan sesudahnya memang sangat berbeda. Bebek yang telah menjadi angsa itu sungguh memesona, bak model-model kelas dunia. Mereka cantik. Tapi, apakah cantik, sebenarnya?

Mainan industri

Kecantikan bagi para peserta “The Swan”, juga bagi mereka yang merasa cantik, barangkali sejenis “kekuasaan” yang membuat hidup dapat berjalan lebih mudah. Atau mengikuti Paul Virilio dalam The Aesthetics of Disappearance, “… kekuasaan yang menawarkan kesenangan, kegembiraan, dan kemudahan-kemudahan; kekuasaan yang memungkinkan setiap individu untuk menentukan posisinya di dalam wacana-wacana yang ditawarkan industri.” Kecantikan membuat seseorang merasa dirinya memiliki identitas, kartu akses, yang dapat membuatnya melenggang….

“Andai aku bisa lari dari semua ini…” tangis Kristy, yang menyesali payudaranya yang luar biasa besar, hidung yang seperti paruh kakaktua, dan pinggul laksana dua bola disatukan. “Aku tak mau jadi funny girl. Hidup bagiku menjadi sulit dengan kondisi ini.” Nah!

Menjadi cantik, yang berarti mendapatkan akses kemudahan untuk apa pun, tentu bukan suatu kesalahan. Menjadi cantik itu baik, apalagi untuk mereka yang karena “kejelekannya” merasa hidup terasa sempit dan sulit. Kristy yang akhirnya merasa bahagia, Christina yang dapat terus menekuni profesinya sebagai penari perut tanpa rasa rendah diri, atau Kelly yang yakin suaminya, Bob Moxley, akan mengajaknya bercinta lebih sering, dengan tubuhnya yang baru. Masalahnya adalah mengapa kejelekan fisik yang menjadi ukuran ketidakbahagiaan? Atau mengapa mereka percaya, kecantikan yang membuat semua masalah akan terselesaikan?

Jacques Lacan, psikoanalisis paska-Freud punya jawaban. Dalam kumpulan esai Ecrit, ia mengatakan bahwa kebudayaan industri telah memberikan pilihan untuk menyelesaikan semua masalah dengan jawaban yang dirumuskan oleh orang-orang yang berkepentingan dalam ekonomi. Industri membuat manusia tidak percaya pada wajah dan tubuhnya sendiri, dan memasrahkan dirinya pada imaji cermin (mirror image), representasi ideal yang direkonstruksi oleh mekanisme industri melalui media massa. Ketika para peserta “The Swan” membuka tirai cermin, dan melihat dirinya yang berubah, sesungguhnya yang mereka lihat adalah seluruh fantasi mereka akan kecantikan yang selama ini menjadi mimpi mereka. Mirror image itulah yang sebenarnya membuat mereka tidak bahagia, bukan kondisi asali jasadiah mereka.

“Aku jatuh cinta pada diriku,” teriak Christina di depan cermin itu. Tapi, dirimu yang mana, Christina? Dirimu yang telah sesuai dengan mirror image, cermin yang dipantulkan di televisi? Atau, tidakkah kamu sebenarnya jatuh cinta pada teknologi yang telah “menyulap” dirimu itu? Ya, reality show ini tampaknya bukan menayangkan orang-orang yang bahagia dengan perubahan dirinya, tapi lebih dari itu, “The Swan” adalah peluru paling tajam untuk mendesakkan mirror image ke benak para penontonnya, dan memasarkan teknologi kecantikan sebagai jalan untuk mendapatkan kebahagiaan. “The Swan” hanya menunjukkan betapa tidak bahagianya menjadi “bebek” dan menawarkan jalan yang sederhana untuk bahagia.

Ah, betapa kian dijauhkannya bahagia, betapa mudahnya menjadi angsa….

**tulisan ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 26 Juni 2005