Mengembalikan Jamu ke Habitatnya
December 13, 2007
Perang brand antara Bintangin dan Tolak Angin adalah Inul dan Rhoma Irama dalam kancah musik dangdut.
Anda pasti familiar dengan pertanyaan-pertanyaan ini: “Anda seorang karyawan?”, “Tahu bahasa Rusianya karyawan?”, “Berapa jumlah karyawan di dunia?”, “Siapa karyawan pertama yang masuk angin?” Dan pasti Anda tertawa melihat tampang calon pembeli yang melongo, bingung, bukan saja karena dia tidak tahu bagaimana menjawab, melainkan juga takjub, mengapa dia harus ditanyai seperti itu.
Ya. Itulah pertanyaan yang belakangan ini meramaikan televisi, bagian dari iklan jamu antimasuk angin Bintangin produksi Bintang Toedjoe. Iklan di atas merupakan versi kedua dari iklan sebelumnya, yang jauh lebih lucu. Seorang pengendara motor diuji kepintarannya dengan pertanyaan, berapa jumlah baut dalam motor? Siapa penemu spion? sampai kenapa motor rodanya cuma dua. Lalu, seusai dialog itu, menggema suara, “Minum jamu kok harus pinter. Semua orang boleh minum Bintangin!” Benar, iklan di atas “menyerang” jamu Tolak Angin produksi Sido Muncul. Tagline Tolak Angin “Orang pinter minum…” diparodikan dengan adegan dan slogan sebaliknya. Tagline Tolak Angin dijadikan pijakan atau dasar ide iklan itu bahwa siapa pun boleh minum jamu.
Iklan dengan model serangan semacam ini bukan hal yang baru. Sebelumnya, perang iklan juga terjadi antara operator seluler. Ketika XL membuat program Rp 1/detik, Mentari langsung menjawab dengan nol rupiah untuk paket freetalk Rp 5000. Dalam iklan, Dian Sastro yang memenangi lelang karena menawar nol rupiah, dan membuat pelelang sampai menangis haru. Mentari juga memakai tagline “Ayo, hitung lagi!” untuk menegasikan bahwa Xl bukanlah yang termurah.
Kini, perang antara operator itu sudah jadi hal yang rutin. Simpati dan 3 pun melakukan hal yang sama, setengah rupiah perdetik sampai nol rupiah untuk percakapan mulai pukul 1 malam sampai 1 siang. Perang iklan ini tak hanya terjadi di televisi, bahkan sampai ke jalan-jalan, melalui spanduk dan baliho besar.
Sebelumnya lagi, perang iklan juga dilakukan oleh pabrikan Yamaha dan Honda. Dialog Dedy Mizwar dan Didi Petet sangat menyindir Honda, yang cuma ganti warna tanpa perubahan teknologi. Suzuki dengan almarhum Basuki pun masuk ke persaingan, dengan adegan membalap dua motor kompetitornya. Suzuki dengan shogun-nya “menyerang” kecepatan yang menjadi inti kampanye Yamaha.
Loncatan Ingatan
Perang iklan semacam di atas kini menjadi hal yang wajar. Dan, sejauh amatan saya, “perang” itu masih cukup sopan karena tidak langsung menyebut produk kompetitor. Bintangin tidak pernah menyebut Tolak Angin, dan hanya mempermainkan tagline-nya. Jupiter pun tak pernah secara langsung menyebut Honda yang secara visual mereka rontokkan, demikian juga Mentari, tidak pernah menampilkan logo XL. Di luar negeri, perang iklan sudah masuk medan terbuka, dengan menyebut langsung nama kompetitornya. Apple Leopard, misalnya, langsung menyerang Microsoft Vista dengan tagline-nya “Dont give up to Vista!”
Bintangin melakukan serangan iklan seperti itu tampaknya lebih sebagai ajang “balas dendam” Bintang Toedjoe kepada Sido Muncul. Hal itu dikarenakan gerusan yang dilakukan Kuku Bima Ener-G terhadap pasar Extra Joss. Sebagaimana dilaporkan Majalah Swa, dengan strategi pemasan yang baik, pasar Extra Joss telah diambilalih dengan cepat oleh Kuku Bima Ener-G, yang memikat melalui aksi “Rosa Rosa!” Mbah Marijan. Jadi, Bintangin adalah senjata yang secara serius disiapkan untuk menggerus dominasi Tolak Angin. Kedua pabrikan tampaknya sengaja untuk bertarung di dua pasar yang sama.
Masalahnya, Bintangin melakukan “kesalahan” fundamental di dalam iklannya. Dengan mendasarkan diri pada “tagline” Tolak Angin, senyatanya produk ini tidak mengomunikasikan kelebihan apa pun. Yang terbentuk dari iklan itu adalah semata upaya untuk merontokkan citra Tolak Angin tanpa membentuk imaji produk yang lebih kuat. Dan lucunya, iklan dengan kreativitas tempelan ini justru memicu ingatan penonton atau konsumen kepada Tolak Angin. Setiap melihat iklan Bintangin yang lebih kuat menempel di benak penonton adalah imaji Tolak Angin. Atau dengan kata lain, alih-alih mengiklankan produk sendiri, Bintangin justru mengampanyekan produk saingannya, Tolak Angin. Ada loncatan ingatan kepada Tolak Angin yang secara tidak sadar diarahkan Bintangin. Iklan ini dengan segala kreativitasnya justu menubuhkan kembali citra Tolak Angin. Bintangin melakukan negasi yang dampaknya justru membuat “mitos” pengukuhan pada citra Tolak Angin.
Peter Montoya dalam The Brand Called You mengatakan brand building selalu dikaitkan dengan upaya sebuah perusahaan untuk membangun image. Image itu seharusnya memiliki nilai benefit di dalam memberikan sebuah persepsi tertentu yang umumnya bersifat positif. Iklan bernada “serangan” yang dilakukan Bintangin justru membangun imaji buruk, produk yang agresif, dan memakai bahawa yang “menyakiti”.
Kreativitas Dendam
Barangkali, negasi yang berhasil dilakukan Bintangin justru pada pemilihan talent. Jika Tolak Angin memakai Rheinald Kasali, Sophia Latjuba, Arie Lasso, dan Setyawan Djodi sebagai ikonnya, Bintangin sebaliknya, memakai wajah tak terkenal, dengan citra pengendara motor atau karyawan rendahan. Pemakaian talent yang berbeda ini menjelaskan pasar yang dituju. Jika Tolak Angin sebagai jamu “orang pintar”, menyasar kelas menengah atas, Bintangin sebaliknya. Dengan tagline “Semua orang boleh minum”, jamu ini menyasar pasar yang “ditinggalkan” Tolak Angin, kaum kebanyakan.
Bintangin dengan iklan itu juga seakan ingin menunjukkan bahwa jamu harus kembali kehabitatnya sebagai konsumsi orang kebanyakan. Jika Tolak Angin ingin menaikkan kelas jamu ke kalangan atas, bintangin sebaliknya, mengembalikan jamu ke habitat aslinya, buatan dan milik rakyat kebanyakan. Perang Brand Bintangin dan Tolak Angin adalah Inul dan Rhoma Irama dalam kancah perang musik dangdut.
Namun ternyata branding tidak sesederhana seperti kampanye iklan Bintangin. Menurut Marty Neumeier dalam The Brand Gap, Branding bukanlah logo, corporate identity, atau juga slogan. Logo, simbol, monogram, dan emblem sebenarnya adalah trademark. Mereka ada karena berdiri sebagai symbol dari branding. Brand juga bukanlah sistem corporate identity. Sistem ini lebih bertugas khusus untuk melakukan fungsi kontrol terhadap aplikasi trademark untuk publikasi perusahaan, iklan, stationery, house style, dan lainnya. Brand juga bukan produk. Brand adalah emosi atau perasaan yang timbul terhadap sebuah produk, jasa, atau perusahaan. Intinya, brand bisa dirasakan efeknya di benak masyarakat konsumen. Brand bukan hanya hidup di luar, bertugas menyentuh sisi kognitif dan emosional konsumen, melainkan juga bersenyawa di dalam tubuh perusahaan. Brand adalah jiwa, adalah filosofi. Brand yang baik selalu mendiferensiasikan produk.
Bintangin agak gagap dalam hal ini. Secara visual, iklannya menjadi jembatan ingatan kehadiran Tolak Angin. Segmentasi pasar yang diacu untuk kembali ke “khittah”, ke rakyat kebanyakan pun tidak termanifestasikan dengan jelas. Karena nama Bintangin, pun masih kurang familiar sebagai jamu rakyat. Kata Bintang justru masih beraura elite bahkan jika dibandingkan dengan Tolak Angin. Tampaknya jelas, iklan dan kampanye Bintangin dilakukan dengan tergesa-gesa, dengan kreativitas mengikuti “dendam” perusahaan semata.
[Artikel ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 16 Desember 2008]
Tubuh yang Kehilangan Rahasia
December 6, 2007
Tubuh kini tak ubahnya seperti mal. Semua orang dapat melongok isi di dalamnya. Tanpa rahasia.
Steve membuang napas, gelisah. Meyka yang masih menggenggam jemarinya, mulai menangis. Dia merasa menyesal telah mengebiri cinta Steve, dan lebih memilih Andre. Gadis itu memohon maaf. Tapi Steve cuma diam. Dia biarkan Meyka sesenggukan. Dia abaikan tatapan heran pengunjung di kafe itu, seperti juga makanan yang memenuhi mejanya. Karena Steve sungguh tak mengerti, mengapa Meyka begitu tega mengkhianati. “Apa sih yang lebih dari Andre?” bisiknya.
“Karena Andre lebih kaya….”
“Jadi karena dia lebih kaya maka kamu tega mengkhinati aku?!” suara Steve meninggi, genggaman Meyka dia hentakkan.
“Iya, aku tahu aku salah. Tolong maafkan aku, Steve. Maafkan….” Meyka menangis lagi.Dialog di atas bukan adegan dalam salah satu sinetron. Steve dan Meyka juga tidak tengah berakting. Tangis Meyka, emosi dan teriakan tak mengerti Steve, juga pandangan heran pengunjung kafe itu, adalah reaksi nyata. Kamera “Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK)”, reality show di SCTV yang merekamnya. Dan seluruh penonton jadi tahu isi hati Meyka, rahasia, aib, yang seharusnya dia jaga.
Di “CLBK”, peserta yang ingin kembali pada kekasih lamanya memang harus jujur menceritakan kesalahan yang pernah dia buat. Mengakui pada Gading Martin dan Jennifer, pengampu acara itu, yang kemudian “merumuskan” strategi untuk membuat mantan kekasih peserta mau memaafkan dan menerima dirinya kembali. Maka, seperti Meyka, banyak rahasia yang tersaji di acara ini.
Di televisi, “CLBK” tidak sendirian. Ada acara lain yang juga memaksa pesertanya membuka hal-hal pribadi. “Truck Cinta” misalnya, selalu menyajikan kriteria lelaki yang peserta inginkan untuk menjadi kekasihnya. Kriteria itu detil sekali, menyangkut rahasia hati, ukuran yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik. Di acara “Backstreet” bahkan lebih parah lagi. Kamera tidak saja merekam sebab cinta rahasia itu terjadi, terkadang bahkan menampilkan pertengkaran peserta dengan orangtua. Rahasia keluarga dengan sempurna nongol di layar kaca.
Namun, keberanian membuka dan membongkar aib barangkali masih di pegang acara “Playboy Kabel”. Dalam salah satu episode, seorang istri bahkan menjebak perselingkuhan suaminya. Dia ceritakan apa saja yang suaminya lakukan di rumah, mulai kata-kata kasar dan hinaan fisik, lalu dia permalukan suaminya di depan kamera. Sungguh acara yang membuat penonton dapat tertawa sekaligus mengelus dada dan geleng kepala. Di acara itu, tak ada lagi sekat antara yang private dan yang terbuka. Semua tersingkap, terungkap, tapi yang tercela.
Cinta Buta
Semula, ketakberahasiaan itu hanya milik para artis. Mungkin, karena merasa sebagai figur publik, mereka pun mewajibkan diri membuka apa pun untuk diakses masyarakat atau penonton. Maka, Saiful Jamil sambil tertawa dan bernyanyi, membuka aib Dewi Persik. Dia ambil foto Dewi yang berjilbab dari dompetnya, dia tunjukkan kepada penonton, dia ungkapkan bahwa hanya dengan busana itulah pernikahan mereka akan terjalin kembali. Dia tutup “pertunjukannya” dengan sepotong lagu dari Rhoma Irama, “Hanya istri sholehah…. perhiasan terindah.”
Kita juga ingat, perseteruan Fatma Farida dengan anaknya, Kiki Fatmala. Seluruh rahasia keluarga dia ungkap, tanpa jengah. Yang malu justru penonton yang menyaksikan acara itu. Juga konflik Dhani dan Maia, Dhani dan ayahnya, Dhani dan Vita Ramona. Atau bagaimana “kesaksian” Rassya tentang Oom bule yang pernah tidur dengan ibunya, Tamara Blezinsky, keyakinan suami Sarah Vi soal peralihan seksualitas istrinya, sampai cerita Rieke Dyah Pitaloka, meski setengah bercanda, tentang gaya seks yang dia dan suaminya, Donny Ardian, lakukan, untuk dapat segera memperoleh momongan.
Telah lama memang aktris tak lagi punya ruang pribadi. Mereka, suka atau tidak, harus membuka diri untuk menjadi akses publik. Sampai, Niki Astrea, setengah menangis berteriak, “Apa saya sudah tidak punya privacy?!” Niki terteror karena media televisi memaksanya harus buka suara. Mobilnya dipaksa berhenti, dia diwajibkan bercerita. Dia seakan tak punya hak untuk berahasia.
Televisi kini bukan saja menghadirkan hal-hal pribadi di ruang keluarga, melainkan sudah membuat yang pribadi menjadi tak ada. “Griya Unik” misalnya, menghadirkan rumah dari halaman depan sampai wc di kamar tidur. “Homes” juga sama, membuka ruang tidur seseorang ke mata publik. Puluhan tahun yang lalu, kamar tidur adalah wilayah yang tak terjamah oleh publik. Selain keluarga dekat, tak ada pihak lain yang dapat mengakses ruang intim itu. Tapi kini, dipamerkan! Bahkan, beberapa aktris, dengan ringan, di ruang tidurnya, membuka lemari dan laci yang menyimpan pakaian dalamnya. Lalu sembari tertawa, kepada pemirsa mengintipkan jenis celana dalam yang menjadi favoritnya.
Tak ada lagi rahasia. Maria Eva blak-blakan membuka aibnya kepada media. Aman Jagau bercerita tentang Rp 300 juta yang dia serahkan untuk dapat membuat Angel lelga mau “menikah tiga malam” dengannya. Atau Cut Memey yang memanterai celana dalam Jackson agar terus mau membiayai hidupnya.
Bisa “dimaklumi”, sebenarnya. Karena mereka artis, yang tahu memanfaatkan aib dan hal yang pribadi untuk mendongkrak popularitas (baca: uang). Hanya dengan cara itulah, mereka dapat kekal berada dalam kamera. Yang mengerikan adalah perilaku artis ini mulai menghinggapi orang kebanyakan, ketika menjadikan wilayah pribadi sebagai konsumsi publik. Tak ada motif uang, tentu. Apalagi popularitas. Mereka membuka aib karena cinta. Dan kata orang, cinta itu buta. Makanya, yang berpacaran, di tempat terang pun, suka meraba-raba. Hahaha.
Open Society
Hilangnya “ruang” pribadi itu tak hanya berada di televisi. Dalam keseharian, hal-hal yang intim pun sudah dengan rileks dipublikasikan. Kita tahu, bertahun lalu, perempuan masih merahasiakan haidnya. Haid seakan aib, sehingga dibungkus dengan metafora yang lebih halus menjadi “datang bulan”, “palang merah”, atau “em”. Kini, haid menjadi pembicaraan yang tawar, hadir di ruang publik tanpa metafora. Kondisi haid, pra dan sesudahnya, bahkan menjadi ladang bisnis, dari obat-obatan sampai pembalut. Dan televisi, dengan iklan mengenai produk itu, membuat kehaidan keluar dari wilayah tabu.
Beberapa tahun lalu, kita pasti ingat, tak ada remaja yang berani mengenakan baju terbuka. Atau, kalaupun berani terbuka, seperti busana yang dikenakan aktris pada umumnya, mereka tetap tak pede pamer tali bra. Tali bra adalah sesuatu yang pribadi, sehingga harus ditutupi dengan teliti, disamarkan dengan kaos dalam. Tapi kini, tali bra hanya menjadi aksesori, atau kalau tidak, identitas seksi. Membuka bahu dan memperlihatkan tali bra sudah jamak dan biasa. Bahkan, memamerkan bra, sampai tak mengenakannya pun mulai dianggap “napas zaman”. Bertahun lalu, saya percaya, nyaris setiap lelaki akan menutupi tubuh terbuka kekasih atau istrinya. Kini, mereka barangkali akan membiarkannya dengan rasa bangga. Pembiaran itu bukan saja tanda “habisnya” kekuasaan lelaki atas tubuh pasangannya, tapi juga munculnya kesadaran bahwa perempuan punya hak yang sama dengan lelaki atas tubuhnya.
Tiga-empat tahun lalu, kita akan malu jika orang dapat melihat celana dalam kita. Tapi kini, hadirnya celana dalam di ruang publik sudah jadi hal biasa. Jeans model hipster membuat bokong perempuan menjadi indah justru karena memperlihatkan celana dalam plus “celengannya”, dan tidak harus merasa malu. Lelaki juga, dengan celana jeans longgar, seperti yang acap dikenakan Arie K Untung, juga nyaman memamerkan celana dalamnya. Berbusana bukanlah merahasiakan bagian tubuh, melainkan memperindah bagian yang intim dengan cara memajangnya. Seluruh mode busana dikelola dalam rangka ekonomi narsistik.
Dalam asmara, hal yang pribadi pun telah tak ada. Kita tahu, bertahun lalu, adegan ciuman Rangga dan Cinta dalam film Ada Apa dengan Cinta?, menjadi pembicaraan di mana-mana. Majalah Times pun mengulasnya, sebagai indikator “sikap moral” orang muda di Indonesia. Tapi kini, kalau melihat kenyataan, Times pun akan segera meralat liputan itu. Ciuman sudah jadi biasa, bahkan bukan hanya di film. Termasuk menceritakan atau memamerkannya. Dengan teknologi ponsel sekarang, berkirim foto mesra bersama pacar baru, bukan hal tabu. BPara remaja dengan bangga merekam adegan intim, dan kemudian mengedarkannya. Di friendster, berjuta foto remaja Indonesia tersaji dengan “indahnya”, mulai di kamar tidur, sampai kamar mandi, dari sekadar berbusana seksi, sampai polos sama sekali.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa kini ruang pribadi telah lebur dan menjadi konsumsi sehari-hari? Atau, apakah kita telah masuk agenda George Soros dalam membangun open society, masyarakat yang memberi kebebasan luar biasa bagi individual, ketika nilai tidak punya simpul, dan hal-hal pribadi akan hilang sama sekali?
Sulit untuk menilainya. Tapi, barangkali Soros memang benar ketika berkata dalam On Soros: Staying Ahead of the Curve bahwa nilai-norma adalah soal pilihan, seperti orang memilih di tempat mana mau berinvestasi atau berspekulasi. Dan kita tahu, nilai dan ruang pribadi kini nyaris tak lagi, dan itu terjadi bukan hanya di televisi.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 9 Desember 2007]
Recent Comments