Cara Terhormat Melawan Dewi

April 28, 2008

Bagi Dewi Persik, panggung bukanlah ajang pamer suara, melainkan olah-senggama. Orgasme tujuannya.

Wajah Dewi Persik memerah. Duduk di samping Hj Endah Murnalita, penasihat hukumnya, dia tak dapat lagi menahan marah. “Kata-kata Dewi Persik telah merusak moral, itu yang saya tidak bisa terima,” ketusnya seperti terlihat di “Selebrita” Global TV (23/4). “Saya sedih karena semua ini dibuat untuk kepentingan politik!” tambahnya.

Dewi memang tengah gundah. Walikota Tangerang, Wahidin Halim, melarang dia bergoyang. Walikota Bandung, Dada Rosana, juga melakukan hal yang sama. “Coba saja dia minta izin, pasti tidak saya izinkan. Kecuali dia mau mengubah goyangan dan penampilannya,” ucap Dada. Namun Dewi dan penasihat hukumnya yakin, larangan itu hanya upaya untuk menarik simpati warga. Kedua walikota itu ternyata tengah bersiap ikut pilkada, dan mencalonkan diri untuk kali kedua.“Memang kami tidak ingin ini jadi politis. Makanya, kamu tidak mau menanggapi lagi. Tujuannya pilkada,” terang Murnalita.

Dada Rosada jelas membantah motif politik itu. “Saya cuma memenuhi permintaan warga,” katanya sebagaimana ramai dikutip media.

Warga, masyarakat, memang acap dijadikan alat atau alasan untuk bertindak. Forum Pembela Islam pun, atas nama keresahan umat, membakar kaset dan CD Dewi Persik. Forum itu bahkan siap membubarkan panggung Dewi jika mantan istri Saipul Jamil itu tak juga mau berubah. Tapi, apakah yang dimaksud dengan warga, masyarakat atau umat, sebenarnya?

Ubah Persepsi

Goyang Dewi Persik memang sensual. Bahkan dalam beberapa penampilan, seperti yang acap ditunjukkan ragam infotainmen, sangat erotis. Dewi tak cukup hanya menggoyangkan pinggul seperti Nita Thalia, atau memutar pantat seperti Inul, tapi menggelepar-gelepar di panggung, kadang bergaya seolah bersanggama. Eskpresinya pun bukan seperti orang yang tengah bernyanyi, melainkan raut yang sedang bercinta. Bagi Dewi, panggung adalah arena dia untuk berolahasmara, dan dia selalu memperoleh orgasme karenanya. Yang ditampilkan Dewi pada intinya bukanlah pertunjukan suara tapi olah kamasutra. Karena itulah, tak terdengar suara yang mendukung Dewi ketika terjadi pelarangan dan pencekalan di Bandung dan Tangerang, atau pembakaran oleh Forum Umat Islam. Warga, umat, masyarakat, seperti berada di seberang dirinya. Dalam hal inilah, Dewi berbeda dari Inul.

Inul juga pernah seperti Dewi, dilarang dan dikecam, bahkan oleh pemilik “otoritas” Dangdut, Rhoma Irama. Tapi apa yang terjadi kemudian, Inul justru tak pernah merasa sendirian. Selalu ada bagian dari warga, umat, atau masyarakat, yang berdiri di sisinya, membelanya. Sebabnya, Inul bertindak lebih cerdas daripada Dewi.

Ketika larangan dan kecaman datang, Inul tidak mencoba melawan sendirian. Dia minta bantuan dan sowan ke berbagai banyak orang. Inul tahu, “fatwa” Rhoma bukanlah kebenaran satu-satunya. Dia ke Gus Dur, dan teryakinkah untuk tak boleh mundur. Inul memberi “agenda” bahwa yang dia perjuangkan bukanlah soal goyangan semata, melainkan haknya sebagai seorang wanita untuk mencari makan. Inul mengubah persepsi larangan itu jadi pencekalan atas keinginannya untuk menjadi tulang punggung keluarga, hak anak untuk membuat orangtuanya bahagia. “Saya hanya mencari makan dengan bergoyang. Apakah saya salah?” tanyanya.

Publik pun terbelah. Sebagian bahkan jadi berubah arah, mencoba memaklumi. Apalagi, media pun menaruh simpati pada istri Adam Suseno ini, dan memblow-up hal itu menjadi isu feminisme. Dangdut bahkan mendapat gugatan, moralitas, juga agama. Emha Ainun Najib sampai menulis “Pantat Inul adalah Wajah Kita Semua”, dan KH Musthofa Bisri pun menjadikan Inul sebagai tema lukisan. Inul menjadi “gelombang” justru karena dia bisa mengajak orang untuk berpikir bahwa apa yang dia perjuangkan bukan semata soal goyang.

Dewi Persik tak mampu mengubah itu. Dewi terlalu angkuh untuk meminta bantuan dan melawan sendirian. Dia bahkan menantang, melawan, tanpa meminjam mulut orang. Dewi jadi terkesan arogan. Dewi tak mencitrakan diri sebagai sosok yang lemah dan terhina. Dan karena itulah, pembelaan pun tak datang dari “ibu semua artis”, Titiek Puspa.

Secara sadar, Dewi Persik justru mencitrakan diri sebagai perempuan yang bebas menjual sensualitas. “Siapa yang tidak mau? Sudah enak, dapat duit lagi,” katanya, ketika ditanya mengapa mau beradegan intim dalam film Tali Pocong Perawan. Dewi membuat orang tahu, bahwa sensualitas, goyangan syawat dan mimik orgasme itu, adalah pilihan sadarnya untuk mencari uang. Dewi melakukannya dengan riang.

Inul sebaliknya, mencitrakan diri sebagai perempuan yang terpaksa. “Hanya bernyanyi itu yang aku bisa,” katanya dulu. Inul membuat orang berpikir bahwa dia, dengan latar belakang religiusitas keluarga, pun tak bangga menjual goyangannya. Untuk orang yang terpaksa, warga, masyarakat, umat, pasti gampang memberi maaf.

Uji Pasar

Dewi memang secara sadar menjual sensualitas goyangnya. Dia memang tak perlu dibela, dan tentu, tak usah juga dicekal atau dilarang. Pelarangan, pencekalan, atau pembubaran dan pembakaran, bagaimanapun adalah wujud dari sikap yang tidak dewasa. Dewi seharusnya dibiarkan saja. Masyarakat, warga, atau umat, harus terbiasa untuk terbuka pada perbedaan, keanekaragaman. Goyangan Dewi Persik bahkan penting untuk membuat beda antara mutiara dan sampah.

Dewi Persik adalah produk yang lahir dari mekanisme pasar. Dia tumbuh dan berkembang –lihatlah modifikasi goyang Dewi– karena memenuhi hukum permintaan. Harus diakui, di luar umat atau warga yang menentang, ada juga warga dan umat yang lain justru memuja Dewi. Sebagian warga, umat, atau penonton, yang tidak suka harus bisa melihat Dewi bukan “bagian dari kita”, bukan milik “kita”, melainkan produk dan hak warga yang lain. Dan sangat tidak benar, apa pun alasannya, untuk melarang, atau menghakimi, sesuatu yang bukan menjadi bagian dari milik sendiri. Sebagai bagian dari “mereka”, Dewi bebas melakukan hak-haknya. Dengan cara itulah warga jadi dewasa, menghargai heterogenitasnya.

Lalu pemerintah? Pemerintah harus berada di antara warga. Pemerintah atau pemda, harus menjamin warga menikmati kesetujuan dan ketidaksetujuannya, dan tidak menjadi “beking” salah satu di antaranya. Negara harus menjadi wasit, agar tidak terjadi pemaksaan selera dari satu warga kepada warga lainnya. Negara harus berdiri di tengah, agar antara warga yang berbeda tidak bertindak sendiri, menjauhkan anarki. Dengan kata lain, negara atau pemerintah, harus membiarkan proses pasar.

Dewi adalah produk pasar dan harus dilawan di pasar. Jika sebagian warga takut goyangan Dewi merusak moral, lawanlah hal itu dengan membuat dan memasuki pasar dengan produk yang berbeda. Juallah Dewi yang berbeda, yang tidak merusak sendi moral dan agama, Dewi dangdut yang tidak bergoyang erotis di panggungnya. Penganjur moral harus mulai dewasa untuk tidak melakukan larangan atau kecaman saja, melainkan membuat dan memasarkan produk yang memenuhi tuntunan moralitasnya. Biarkan pasar yang mengujinya.

Kini saatnya untuk belajar dari Ayat-ayat Cinta, bahwa kebaikan, bahkan “film khotbah” pun memiliki pasar jika dikemas dan dimanajemen secara benar. Bahwa pasar bukan saja menerima hantu, pocong atau perselingkuhan, tapi juga “malaikat” dalam bentuk Fahri, dan cinta dalam wajah poligami. Dan Dewi, bukankah tidak sendiri? Telah ada Ustad Jeffry yang berdangdut dalam barzanzi, melayani, melawan “pasar” Dewi. Dan itulah perlawanan terhormat dalam era liberalisasi.

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 27 April 2008]

Pengkhianatan Indonesian Idol atawa Kemenangan Air Mata Melawan Suara

April 18, 2008

Seperti Muhaimin Iskandar, juara “Indonesian Idol” pun, seharusnya, hanya dapat dijatuhkan dalam “muktamar”.

I belive you can fool,” kata Indra Lesmana kepada salah seorang peserta ketika memimpin audisi di Salatiga, sebagaimana tayang di RCTI, Jumat (11/4). Peserta itu memang “menyedihkan”, bernyanyi seperti ikan yang kehabisan oksigen, mangap-mangap tanpa suara. Dan ketika suaranya keluar, bernyanyi “i belive i can fly”, penonton pasti tertawa, dan kemudian iba. Peserta ini barangkali adalah contoh orang yang tidak menyadari keterbatasan bakatnya. Ia hanya mencoba, siapa tahu nasib baik memihaknya. Cap tolol, terlalu kejam diterakan untuknya.Peserta yang tak menyadari kualitas vokalnya bukan hanya tampil dari Salatiga. Di Brebes, Surabaya, Medan, dan Jakarta, peserta semacam itu selalu ada. Dan komentar pedas, menyakitkan, bahkan kadang bernada penghinaan, acap lahir dari bibir para juri. Anang Hermansyah terutama, yang paling kesulitan menemukan diksi untuk menghaluskan ucapannya. Tak heran, dia acap menjadi sasaran ketidakpuasan peserta, yang merasa terhina dengan penolakannya. Ekspresi ketidakpuasan pada Anang –tentu dengan alasan komersial– bahkan ditunjukkan, mungkin diarahkan oleh pengarah acara, berupa cacimaki, menghancurkan properti, sampai menantang adu nyali di panggung nyanyi. Anang, tampaknya, ingin dicitrakan sebagai Simon Cowell, juri paling “tanpa basa-basi” “American Idol”.

“Indonesian Idol” adalah acara reality show pencarian bakat untuk kualitas suara. Namun, memasuki tahun kelima ini, kian terasa penyimpangan dari tujuan semula. Kualitas suara tak lagi menjadi modus utama, terkalahkan oleh hal-hal lain, yang tujuannya cuma untuk meningkatkan aspek komersialitas acara. Jadi, kemungkinannya, penyimpangan itu memang disengaja.

Juri Cengeng

Indra Lesmana terdiam, menatap tanpa kedip pada peserta di depannya. Melalui kamera, matanya yang mulai berkaca-kaca, dan raut muka yang ikut menahan kesedihan. Di panggung berdiri peserta dari Palembang, yang berkisah dengan tangis. Ibunya saat ini di bui, terpenjara karena tertangkap membawa narkoba di diskotik. Ayahnya telah lama pergi entah ke mana, menelantarkan keluarganya. “Saya ingin ibu bangga pada saya, bahwa saya bisa, bisa membahagiakannya,” isak peserta itu.

Kamera lalu menyanyikan semuanya, wajah tua dan kuyu, yang terhalang teralis, tengah mengisak-tangis. Di bui sempit itu, dia salat, bermunajat, untuk anaknya. Kamera berakhir dengan pelukan si ibu mengantarkan anaknya ke Jakarta.
Tentu, peserta itu lolos ke Jakarta, bertarung di babak berikutnya. Komentar semua juri menyenangkannya. Bahkan, “telinga saya tuli jika tidak dapat mendengarkan keindahan suaramu,” puji Anang. Terpenjara pada kisah sedih itu, Anang ternyata menemukan “diksi” yang lumayan untuk mengungkapkan penilaiannya.

Di Brebes lahir kisah yang sama. Peserta yang belum apa-apa sudah menumpahkan airmata, dan berkisah tentang keluarganya. Kakaknya terpaksa masuk penjara karena tak kuat menghadapi kemiskinan keluarganya, jadi copet. Dan dia ikut acara itu demi membuktikan bahwa ada cara terhormat untuk lepas dari kemiskinan.

Di Surabaya, seorang peserta tak dapat bernyanyi karena desakan emosinya keluar demikian tiba-tiba. Dia, kata Melly Goeslaw, lebih seperti “curhat” daripada bernyanyi. Ternyata, lagu yang dia lantunkan adalah ungkapan dari kondisi yang dia alami. Berkali-kali, tangisnya saja yang tumpah. Sampai Titi DJ mendatanginya, memeluknya, dan memintanya untuk menenangkan diri, sebelum bernyanyi lagi. Peserta cantik itu sepertinya korban lelaki, dan kini sendiri, mengasuh bayi benih cintanya.

Di kota lain, kisah semacam ini terus saja tersaji. Dan juri, entah kenapa, selalu terbawa pada suasana. Indra jadi tampak cengeng di depan kisah semacam ini. Matanya selalu berkaca-kaca, dan kehilangan suara. Titi DJ pun sama, Anang juga. Mereka seperti terpesona, tersihir, tapi bukan pada suara. Dan biasanya, peserta dengan kisah semacam ini, selalu sampai ke Jakarta.

Apa yang terjadi sesungguhnya? Di tahun pertama, Indonesian Idol punya Delon. Tampan dan memiliki kesedihan yang sama, muncul dari keluarga tak berpunya. Tapi penonton ingat, rasa iba juri tak terlalu tampak menyengat. Mutia Kasim, juri saat itu, bahkan selalu menjatuhkan Delon, sebagai peserta yang hanya menjual tampang, tanpa kualitas suara. Di beberapa babak akhir, juri bahkan seakan bersepakat untuk tidak menjadikan Delon sebagai juara, dengan komentar dan mimik yang sangat menyangsikan Delon.

Tapi, sikap ini berubah di tahun ketiga, ketika mereka menemukan Ihsan. Lelaki satu ini menyita perhatian yang luar biasa bukan karena kemampuan vokalnya melainkan kisah keluarganya. Titi DJ bahkan ke mal hanya untuk membelikannya busana yang lebih pantas untuk tampil di pentas. Kisah keluarganya, terutama episode ibu Ihkan yang terpaksa menjual cincin kawin sebagai biaya dia ke Jakarta, menghipnosa juri dan penonton. Dan selanjutnya, jalan lempang tersdia untuk Ihsan. Sepanjang ajang, tak ada komentar pedas untuknya. Jika pun penampilannya buruk, diksi yang memaklumi selalu lahir dari bibir para juri. Ihsan akhirnya menang.

Di ajang keempat ada Sarah, single parent, cantik, dengan kisah yang membuat Titi pun acap terdiam. Pujian selalu lahir untuk penampilan “lady rocker” ini, meski penonton mencukupkannya di lima besar. Penonton, barangkali, mulai menyadari, juri tak bisa jadi acuan lagi. Kemenangan Ihsan karena kisah hidupnya, membuat penonton mulai tahu bagaimana memandang itu acara.

Suara Muktamar

Tapi, pengkhianatan terbesar “Indonesian Idol” bukan pada kemenangan airmata melawan suara, melainkan hak penonton yang dikebiri. Dan masalah itu tak pernah jelas sampai kini, menyangkut “Indonesian Idol” pertama.

Di tahun pertama itu, penonton tahu juri begitu takut jika Delon, yang “hanya menjual tampang” jadi jawara. Maka seluruh komentar seperti berusaha menjatuhkannya. Kesinisan yang memancing iba, dan membuat penonton terus mendukungnya, sampai final. Delon memang tidak juara, dan juri tersenyum puas karenanya. Joy Tobing, yang memang bersuara luar biasa, meraih posisi pertama. Penonton memilihnya karena kualitas yang teruji, dan mendudukkan Delon pada posisi yang tak pantas jadi hinaan lagi.

Tapi, di mana Joy kini?

Ketika mencari wakil “Asian Idol”, juara pertama “Indonesian Idol I” diakukan pada Delon, bukan Joy. Nama Joy bahkan tak pernah lagi disebutkan dalam penyelenggaraan acara ini, seperti dihindari, dilupakan. Apa yang terjadi?
Joy memang bersiteru dengan Fremantlemedia, pihak yang punya lisensi menyelenggarakan acara ini di Indonesia. Pokok perseteruannya sederhana, sebelum jadi jawara, Joy ternyata sudah punya kaset dengan label lain. Padahal, sebagai jawara, hanya BMG dan Fremantlemedia yang berhak menentukan kaset dan lagunya. Joy merasa dia tak melakukan kesalahan, karena semua yang dia lakukan sebelum ada kontrak. Tapi Frementlemedia kukuh, dan kemudian “membuang” Joy.
Masalahnya, apa hak Fremantlemedia membuang gelar Joy? Apa pun “kesalahan” Joy, Freemantlemedia tidak punya hak mencopot gelarnya karena posisi itu bukan mereka yang mendudukkannya. Joy menang melalui sebuah “pesta” langsung yang dipilih penonton. Dan seharunya, penonton juga yang berhak menjatuhkan atau membatalkan posisinya. Joy ibaratnya adalah Muhaimin Iskandar, yang hanya bisa dipecat atau mundur, atas persetujuan muktamar. Tapi, sampai kini, pernahkan penonton dilibatkan dalam persoalan Joy? Freemantlemedia, dan juga RCTI menganggap penonton tidak ada, dan jutaan SMS yang mendudukkan Joy sebagai jawara, yang juga merupakan sumber utama pendapatan Freemantlemedia, sebagai sampah belaka. Betapa naifnya.

“Indonesian Idol” seperti acara reality show lainnya memang tak pernah menunjukkan realitas yang sebenarnya. Selalu ada pengaburan, penghiperbolaan, untuk memberikan efek kejut bagi penonton. Penonton, tanpa sadar, adalah kawanan yang diarahkan, dipaksa, untuk menjatuhkan pilihan pada sosok yang menurut penyelenggara dapat diterima pasar. Namun, apa pun alasannya, ketika penonton sudah memilih, penyelenggara harus menghormatinya. Cukup Joy saja yang menjadi korban, cukup Ihsan saja yang dimenangkan karena airmata. Karena Freemantlemedia bukanlah dewan syura yang dapat membekukan atau melakukan apa saja….

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 20 April 2008]

Artis dan Diksi yang tak Bunyi

April 10, 2008

Dalam banyak acara non-gosip, para artis seperti keledai tersasar ke kota.

Putri Patricia tergelak. Sesekali dia mengangguk, tersenyum, atau menggeleng. Tangannya acap bergerak menurunkan tepi roknya yang kadang gagal menutupi lutut bersihnya, atau merapikan rambutnya. Matanya fokus mengikuti percakapan HS Dillon dan Wimar Witoelar yang duduk di depannya.

Di acara “Perspektif Wimar” yang tayang di Antv, Rabu pagi (9/4) itu, Putri pasti merasa sepi. Ia berada dalam lalu-lalang pertanyaan dan jawaban antara Wimar dan HS Dillon, tapi tak terlibat di dalamnya. Di beberapa menit terakhir, Wimar bahkan memborong semua pertanyaan, terkekeh-kekeh sendiri. Putri tak dia libatkan. Kamera pun bahkan menjauhi Putri, bergerak fokus untuk Wimar dan HS Dillon. Kehadiran Putri diingkari. Padahal, di acara itu, dia menjadi calon co-host, orang kedua setelah Wimar, yang bertugas mengulik, mendebat, bertanya, atau sekadar bergumam, untuk memancing reaksi atau tanggapan dari narasumber atas masalah yang mereka angkat. Rabu pagi itu, Putri pasti menggumam, betapa jauhnya dia dari tema yang Wimar dan HS Dillon bicarakan.Putri tidak sendiri. Meski tidak terlalu “sunyi”, Refalina S Temat pun tak banyak berbuat ketika menjadi calon co-host Wimar. Ia cuma menyumbang sepatah-dua kata, bagi kegesitan Wimar yang mengorek “perspektif” Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Untunglah, posisi duduk calon co-host yang menyampingi kamera dapat “menyembunyikan” kehadiran mereka, sehingga penonton tak merasa terlalu terganggu. Apalagi, kehadiran mereka ternyata “cuma” untuk mendekatkan acara itu pada khalayak yang lebih muda, seperti tertera di situs Wimar.

Saling Bertentangan

Kehadiran Putri Patriacia, Revalina S Temat, dan juga Wulan Guritno menjadi calon co-host dalam acara itu kian menegaskan posisi artis dalam permasalahan sosial negeri ini. Mereka tidak terlibat, dan jika pun dilibatkan, mereka sulit masuk. Memang harus diakui, posisi Wimar dan kecerdasannya melemparkan pertanyaan menjadi dilema sendiri bagi calon co-host-nya. Wimar tak menyisakan peluang atau jatah bagi mereka, karena “celetukan” yang ringan dan kecil pun, mungkin secara otomatis, terus keluar dari Wimar. Calon co-host kalah cepat, dan harus “mengejar” sebelum Wimar.

Terlepas dari acara “Perspektif”, kalangan artis memang kesulitan mengungkapkan masalah yang berada di luar diri mereka. Ketika memasuki ranah yang bukan gosip, mereka acap kehilangan kata-kata. Kalaupun mampu mengungkapkan pendapat atau sanggahan, opini mereka terasa aneh, mengangkasa, dan tak sadar, saling bertentangan.

Dengar sergahan Dewi Persik ini, “Saya cuma takut pada Allah. Kalau Allah yang melarang, baru saya patuh. Bukan walikota atau yang lainnya….” Dewi dilarang untuk bergoyang di Tangerang, dan dia meradang. Dewi mengecam larangan itu, seperti yang berkali-kali tayang di infotainmen. Sanggahan Dewi, sekilas memang benar, “hanya Allah yang dia takuti.” Tapi, argumentasi ini bukankah justru melawan dirinya sendiri, dan bukan membantu. Karena jika sungguh Dewi takut pada Allah, tentulah dia tak akan bergoyang aurat begitu. Bukankah bergoyang syahwat itu memang larangan dalam agama mana pun?

Artikulasi yang tak berbunyi semacam itu secara kentara juga tampil di “Silat Lidah” Anteve. Opini-opini yang terlontar dari Julia Perez, Aline, atau Djenar Maesa Ayu, lebih mengejar efek bombasme, kejutan, meski tanpa isi. Akibatnya, masalah yang serius hanya jadi tunggangan untuk menunjukkan betapa “berani” opini mereka, dan bukan nilai kemasukakalannya. Nalar seakan ditinggalkan.

Artikulasi semacam itu pun menjangkiti acara-acara reality show pencarian bakat. Para juri kerap menilai dengan opini yang membuat peserta mengerutkan kening, karena kesulitan menangkap esensi penilaian itu. Bahkan ketika memuji pun, kosa kata mereka berkelindan hanya dari itu ke itu. Juri “Indonesian Idol” beberapa tahun ini memberikan diksi, pilihan kata, yang nyaris sama. Artikulasi yang tak diperbaharui. Indra Lesmana, Titi DJ atau Anang, masih selalu tampak mengulang, tidak memberikan perspektif atau pilihan, apa yang pantas untuk dilakukan peserta di kelak hari. Mereka tidak banyak memberi inspirasi.

Bandingkan misalnya dengan juri “American Idol”. Opini, kritik mereka, meskipun keras, tapi punya arah yang jelas. Bahkan jika pun memuji, artikulasi mereka demikian inspiratif, menggugah bukan hanya untuk peserta malainkan juga penonton. “Syukulah, ada beberapa hal yang membuat kamu bukan jadi makhluk khayalan. Kesalahan kecil tadi membuat dirimu tampak lebih manusiawi, lebih pantas berada di sini,” kata Paula Abdul, yang terpukau pada kemampuan salah satu peserta. Paula menemukan artikulasi yang tepat dan mengagumkan, bahwa ketidaksempurnaan penampilan membuat seseorang jadi pantas dinilai.

Mekanisme Pasar

Acara talkshow mungkin dapat menunjukkan betapa parahnya artis kita mengartikulasikan pendapatnya. Di “Ceriwis” atau “Dorce Show” acap tampak artis yang kehilangan diksi untuk hal-hal yang sederhana. Ucapan mereka tak meyakinkan, bahkan untuk penjelasan karier mereka. “Saya sih mengalir saja, Bunda….” Ucapan ini menjadi pilihan mayoritas setelah “Semua kita serahkan pada kuasa Tuhan, Bunda…” Diksi semacam itu, entah mengapa, selalu mendapat tepuk tangan membahana. Padahal, ucapan itu tidak memberikan penjelasan apa pun tentang progres diri, rencana dan eksekusi, atau evaluasi. Bandingkan dengan artis yang hadir di “Oprah Winfrey Show”. Artikulasi Jennifer Aniston begitu mengguncang, wacana diri dan kareir Julia Robert membuat penonton terhenyak dan takjub. Artis ini menemukan diksi yang luar biasa untuk menjelaskan apa yang dia raih dan dia impikan, bagian yang riang dan sakit, dan apa yang telah dia lakukan untuk orang banyak. Oprah sendiri menjadi bagian dari pertunjukan artikulasi dan diksi yang terpemanai.

Apa sebabnya artis kita acap kehilangan diksi? infotainmen menjawab, pendidikan. Tak heran, jika ada artis yang wisuda atau melanjutkan pendidikan, infotainmen melakukan liputan “mendalam”. Dini Aminarti yang lulus S1, juga Andien, tayang nyaris satu minggu. Bahkan Acha yang berkuliah di Malaysia saja, mendapat porsi yang luar biasa. Dian Sastro apalagi, tamat kuliah filsafat, dan magang sebagai asisten dosen, di mata infotainmen, itu peristiwa yang dahsyat. Kadar liputan pun jadi berlipat-lipat. Infotainem barangkali tidak tahu, Judie Foster tamat magna cum laude dari Yale, dan dapat gelar doktor lebih dari dua universitas. Atau Mira Sorvino yang juga meraih magna cum laude dari Harvard, dan liputan atas mereka di sana, malah sunyi senyap.

Ya, bukan pendidikan yang jadi masalah melainkan “mekanisme pasar” yang membuat artis tak punya waktu dan tak perlu untuk terus membekali dirinya. Pasar tak meminta standar tinggi, hanya berorientasi pada wajah dan kontinuitas produksi. Akibatnya, artis hanya bergerak dari dan dalam kamera, dan abai pada hal lainnya. Dan ketika satu “peran” meminta mereka terlibat dalam globalitas persoalan bangsa, hanya senyum dan anggukan yang mereka bisa, tanpa kata-kata. Putri Patricia dan Revalina S Temat sudah menunjukkannya. Wimar Witoelar seharusnya bisa abai, tak memaksakan diri melibatkan mereka, dan tidak membuat penonton sakit mata.

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 13 April 2008]

Membuka Imajinasi

April 3, 2008

Siapa yang dapat menghentikan imajinasi? Pertanyaan ini layak dilontarkan setelah tersiar beberapa foto artis yang berpakaian minim, atau berulah “nakal” di diskotik. Nia Ramadhani misalnya, merasa heran ketika fotonya yang berbikini dijadikan berita. Dia merasa wajar jika berbikini di kolam renang. “Kecuali itu mall, itu bisa diomongin,” ucapnya. Soal pria yang memeluk dan dia peluk, Nia juga punya jawaban. “Itu saudara saya, nggak mungkinlah mereka ngapa-ngapain,” ujarnya saat ditemui dalam premier film terbarunya Kesurupan, di Senayan City XXI, Jakarta, Selasa (25/3) malam.

Sebelum Nia, Julie Estele juga mengemukakan argumen yang sama. Dia merasa heran, mengapa fotonya dengan pakaian renang itu dipermasalahkan. Apalagi, dalam liburan romantis itu, dia bersama kekasihnya, juga diketahui orangtuanya. “Heran saja, mengapa hal itu diributkan,” tukasnya.Davina juga punya jawaban, ketika foto-foto nude-nya tersebar di internet. “Itu foto fashion,” jelasnya.

Ya, foto telanjang Davina memang artistik, hitam-putih, dan tidak menonjolkan sensualitas. Pengaturan cahaya, sudut pengambilan, juga fokus tubuh, menyiratkan pendekatan fotografi yang terencana matang. Jadi, seperti juga Nia dan Julie, foto mereka hadir dalam “konteks” yang dapat diterima, di kolam renang, liburan di Lombok, dan kepentingan fesyen. Yang dilupakan oleh mereka adalah kehadiran jendela imajinasi, ketika melihat foto tersebut.

Imajinasi tak punya rumah, dia mengembara ke mana pun, tanpa ketetapan arah. Imajinasi hanya butuh pemantik, dan foto-foto Nia, Julie, juga Davina, menyediakannya. Melihat foto mereka, imajnasi bekerja bukan pada apa yang terlihat, melainkan yang tersembunyi, yang tak terekam dalam kamera. “Apa yang mereka lakukan dalam liburan itu? Benarkah mereka sekadar berlibur?” tanya narator “Insert Investigasi”.

Yang tidak terlihat tapi dapat direka, itulah yang membuat imajinasi bekerja, dan kemudian jadi “berita”. Komposisi imajinasi pun dijabarkan dalam satu praduga, jika demikian bebasnya liburan Julie dan Moreno, tentu pacaran mereka pun lebih “berani” dari itu? Imajinasi lebih berkembang lagi, “Apakah mereka tidur satu kamar ketika liburan itu? Benarkah orangtua Julie ikut dan mengawasi?”

Barangkali, komposisi imajinasi tidak mengarah ke sana. Tapi, “Insert Investigasi” dan infotainmen lain harus mengelolanya, agar kontroversi tercipta. Foto Evan Sander yang mepet badan dengan lelaki bule pun, menjadi rangkaian imajinasi yang luar biasa. Komposisi cerita disusun, keraguan ditanan, dan kesimpulan disiapkan: Evan Sanders, barangkali, tak sepenuhnya lelaki. Evan belingsatan menghadapi spekulasi ini, dia membatah, dan segera berkabar akan secepatnya menikah.

Nia, seperti yang lainnya, bukan tak menyadari peluang imajinasi itu. Dengan menjelaskan konteks peristiwa, juga pelaku sebagai saudara-saudaranya, dia mencoba menutup cerita bahwa tak ada “hal yang tersembunyi” dari yang tampak. Nia bahkan harus menambah dengan keterangan bahwa orangtuanya sudah tahu, “Mereka nggak masalah dengan foto itu.” Penjelasan itu, bagi Nia, adalah penutup yang jelas untuk menghilangkan purbasangka.

Tapi, prasangka, imajinasi, tak akan pernah bisa dikendalikan, apalagi dilarang. Terutama, ketika infotainmen telah menjadi industri yang menggurita seperti ini. Imajinasi harus dihadirkan, dikelola, diliarkan, dalam prasangka-prasangka yang bahkan terkesan mengada-ada. Nia, Julie, dan Davina, barangkali memang jujur menjelaskan konteks foto-foto mereka. Tapi gosip akan selalu meragukannya, dan imajinasi menjadikannya kontroversi. Nia, Julie, juga Davina, seharusnya menyadari hal itu, dan tak perlu mengheraninya. Karena mereka pun hidup dalam dunia imajinasi banyak orang, dan berusaha diimajinasikan khalayak. Ketika foto mereka hadir dalam kesemestaan yang berbeda, mereka harus menerima jika imajinasi menafsirkan berbeda. Bukankah mungkin, foto pribadi itu mereka sendiri yang menyebarkannya, sebagai cara untuk terus berada dalam kepala banyak orang, membuka imajinasi, dalam prasangka, yang membuat mereka dapat terus jadi berita.

[Telah dimuat dalam "Tajuk", Tabloid Cempaka, Kamis 3 April 2008]