Manchester United dan Filsafat Machiavelli
October 29, 2012
Kemenangan, barangkali, selalu berkait dengan keberuntungan. Setidaknya itulah yang kita saksikan dalam pertandingan antara Chelsea dan Manchester United, Minggu malam (28/10) di MNC TV, pukul 23.00. Sempat memimpin 2-0, lewat jasa Van Persie, Manchester United (MU) lalu seperti gugup, dan akibatnya, Chelsea mampu menyamakan kedudukan di awal babak kedua. Permainan pun menjadi terbuka, saling serang, meski MU tampak lebih kedodoran saat bertahan.
Tapi, Dewi Fortuna justru datang kepada ”Setan Merah”, dan ”memaksa” wasit Mark Clattenburg memberikan 3 keuntungan.
Kartu merah untuk Branislav Ivanovic di menit ke-63, setelah dia menjatuhkan Ashley Young yang tengah berlari bebas menuju gawang Chelsea, dan berpeluang menciptakan gol, adalah awal segalanya. Apalagi, hanya berselang empat menit, keuntungan kedua untuk MU datang, Fernando Torres juga diganjar kartu merah. Clattenburg menilai Torres sengaja menjatuhkan diri ketika ”bersentuhan” kaki dengan Evans.
Bermain dengan 9 punggawa, Chelsea seperti tengah menunggu ”hukuman”. Dan di menit ke-75, Javier “Chicharito” Hernandez, yang masuk menggantikan Tom Cleverley, mencetak gol. Dari tayangan ulang, Chicharito jelas offside. Tapi mau bagaimana lagi, wasit tak melihat hakin garis mengangkat bendera. Gol itu sah, dan menjadi keberuntungan ketiga ”Setan Merah”.
”Keputusan itu sangat salah dan wasit telah memengaruhi hasil pertandingan. Mereka jelas memutuskan pertandingan itu menjadi milik lawan. Kartu merah di babak kedua seharusnya tidak terjadi, dan gol ketiga itu jelas offside,” protes Di Matteo, pelatih ”The Blues”.
Di Mateo jelas mengatakan bahwa keputusan wasit amat menguntungkan pihak lawan. Dan seperti gayung bersambut, semua penggemar Chelsea pun menggaungkan hal yang sama. Di stadion, suporter Chelsea mengancam dan mengecam Clattenburg dan asistennya. Teriakan, ”Curang! Curang, curang!!” terus bergema ketika wasit meniup peluit, dan polisi terpaksa mengawal ketat sang wasit dan kedua asistennya, Michael McDonough dan Simon Long saat memasuki ruang ganti.
Di berbagai situs berita yang memuat pertandingan itu, para penggemar dua tim beradu argumen. Tapi jelas, tuduhan bahwa wasit memihat, dan MU hanya memang karena beruntung, menjadi ”agenda” bersama yang dilontarkan para pendukung Chelsea. Penggemar MU? Mereka kebanyakan hanya menjawab singkat, ”Glory! glory, glory Manchester United!” Hahaha….
Permainan Usaha
Benarkah MU hanya beruntung? Sungguhkah Hernandez telah offside?
”Mungkin saja. Sudah kebiasaanku untuk selalu menengok ke hakim garis. Ini adalah partai berat tapi kami beruntung bisa mencetak gol terakhir tersebut,” aku Chicharito seperti dikutip BBC.
”Hari ini semuanya menguntungkan United, dan itu membuat kami sangat tidak bahagia,” keluh Di Matteo.
”Mereka mengatakan gol kemenangan itu lebih dulu offside. Jadi, saya rasa kami sedikit beruntung bisa mendapatkannya,” ucap Ferguson seperti dilansir Skysport.
”MUnyuk diam aja pun pasti menang. Wasit kan sudah dibeli FerGayson, jadi pasti selalu diuntungin!” komentar penggemar ”The Blues” sebagaimana tercatat di detik. Dan komentar semacam itu amat banyak, bahkan menjadi komentar yang umum dalam tiap kemenangan MU melawan klub mana pun. Intinya, MU selalu menang karena beruntung, hadiah wasit, bukan dari sebuah proses bermain yang wajar, sportif, dan teroganisasi.
Dalam kasus ini, dan mungkin dalam banyak hal lain, sebagian kita acap menempatkan keberuntungan sebagai dan identik dengan hadiah atau sesuatu yang datang tiba-tiba, tanpa pengusahaan. Keberuntungan adalah perkara nasib, persembahan Dewi Fortuna, dan seakan tak ada urusannya dengan kerja. Keberuntungan tanpa sadar kita ibaratkan melempar kail tanpa umpan ke lautan dan pasti mendapat ikan. :p
Tapi bagi Hernandez, keberuntungan itu hasil kerja, buah dari usaha. ”…kami beruntung bisa mencetak gol terakhir tersebut.”
”Bisa mencetak gol,” katanya, dan ”mencetak” adalah sebuah kerja, usaha, ikhtiar. Dengan kata ”bisa” di bagian depan, kita jadi tahu, datangnya gol ketiga itu adalah sebuah proses, dari ”permainan” yang tanpa henti. Keberuntungan bagi Hernandes dan juga pemain MU lainnya, dengan demikian, bukanlah persembahan nasib melainkan permainan usaha. Keberuntungan adalah momen yang hadir karena diadakan, dikreasikan, dan dalam sebuah tim, harus berwujud pergulatan bersama. Dua ”hadiah” kartu merah dari wasit tercipta karena proses kerja sama antara Van Persie dan Ashley Young yang coba digagalkan Ivanovic, dan kekokohan Evans yang ingin ”diakali” Torres. Dan inilah yang secara implisit diajarkan Tao, ”Ketekunan akan menciptakan momen-momen keberuntungan.”
Lebih dari 600 tahun lalu, dalam buku The Prince, Nicolo Machiavelli telah mengemukakan juga soal momen keberuntungan ini. Filsuf Italia itu mengatakan bahwa faktor terpenting untuk mencapai kesuksesan adalah keutamaan yang menciptakan keberuntungan. Lalu, apa itu keutamaan? Keutamaan adalah ketrampilan yang mendalam tentang suatu bidang yang didukung aspek intelektual maupun emosional. Jadi, bagi Machiavelli pun, keberuntungan bersinonim dengan pengusahaan.
Sebagai hasil pengusahaan atau penciptaan, keberuntungan tidak berdiri sendiri. Ada prasyarat atau pondasi yang menopangnya. Roger Hamilton dalam buku Your Life Your Legacy menyatakan keberuntungan hanya terjadi jika ada LUCK, location, understading, conection, dan knowledge. Jadi, Hernandez bisa menciptakan keberuntungan karena dia ada di tempat yang tepat, terkoneksi dengan Rafael yang mengumpan, dia memahami tugasnya sebagai penjebol gawang, dan memiliki skill serta refleksivitas yang tinggi. LUCK inilah yang dalam defenisi Nicolo Machiavelli dinamakan keutamaan.
Tapi harus juga disadari, sebagai sebuah proses pengusahaan, keberuntungan adalah momen, dan dengan demikian, bukanlah hal pasti. Atau, mengutip pendapat filsuf Richard Rorty, keberuntungan adalah sebuah situasi kontingensi, ketakpastian. Dan karena statusnya yang ”tak pasti”, kita hanya bisa terus memegang LUCK atau keutamaan. Mungkin seperti Herdandez yang tak lelah berlari, terus bergerak, mencari dan mengejar bola, karena dia percaya, Dewi Fortuna bersamanya di dalam kerja, di dalam usaha….
Sexophone, Suara Seks Bebas?
October 16, 2012
Seks dimulai dengan misteri, dan berbahaya jika direpetisi. ”Sexophone” menajamkan sisi bahaya itu.
SEX education. Itulah rumusan singkat tentang acara ”Sexophone” yang tayang di TransTV, Kamis-Jumat tengah malam. Atau, sebagaimana dicatat tvguide.com, ”Acara yang dikemas dengan ringan dan dipandu oleh pasangan pembawa acara cantik, Chantal Della Concetta dan Zoya Amirin ini akan memberikan Anda berbagai pengetahuan dan wawasan baru mengenai sex education.”
Tapi tampaknya, kian lama acara itu makin meninggalkan unsur pendidikan, dan lebih menonjolkan sisi seksnya. Dalam tayangan Jumat (05/10) misalnya, yang membahas tentang ”Mimpi Basah dan Erotic Dreams”, selain menjelaskan defenisi dan beda dua hal dalam tema itu, selebihnya adalah perayaan pengalaman seksualitas. Mario Lawalata yang dihadirkan sebagai bintang tamu misalnya, tampil tanpa beban ”mendidik”. Ia dengan santai berkata, ”Karena sudah dewasa, saya bisa kan masturbasi,” ketika ditanya bagaimana menyalurkan libidonya.
Tak ada yang salah dengan jawaban Mario. Masturbasi memang ”hal wajar” sebagai pelepas katup keterangsangan. Tapi, tindak masturbasi seharusnya mendapatkan penjelasan. Mario menghadirkan masturbasi itu dalam kekosongan alasan. Dan Zoya Amirin atau Chantal tidak sigap untuk masuk ke celah kosong itu.
Barangkali Zoya dan Chantal, juga Mario, berangggapan penonton sudah mengerti. Dan mereka tidak cemas. Tapi kita tahu, banyak masalah seputar tindak mastrubasi: kecemasan berlebih, perasaan berdosa, ketakutan impotensi, sampai durasi sebelum ejakulasi. Zoya seharusnya masuk ke ruang itu, dan atau menciptakan narasi untuk penghadiran ruang itu. Tapi mereka memilih tertawa, dan ”soal” masturbasi terbuang begitu saja.
Subsidi Imaji
Hilangnya unsur pendidikan dalam tayangan ini tampaknya bukan sesuatu yang disengaja. Berbagai tema yang dipilih secara jelas memang mengisyaratkan tentang eskplorasi seksualitas. Tayangan Jumat (28/9) misalnya, yang membahas ”Posisi Bercinta” memang diniatkan untuk hadir sebagai penjelas. Bahkan, statemen dari Fajar, ”Kami suka WOT dan doggy style. Keduanya membuat saya lebih mudah mengontrol orgasme,” adalah ”skenario” yang amat tampak dihadirkan untuk bisa masuk ke sisi penjelasan. Apalagi kemudian, Novita, patner seks Fajar mengangguk, sembari tersenyum ia menambahkan, ”Kami bisa bareng-bareng orgasmenya.”
Kehadiran bintang tamu Marcell dan Rima Melati Adams juga menegaskan ”misi” pendidikan itu. WOT alias women on top dan juga doggy style dieksplorasi kelebihan dan kekurangannya. Posisi apa yang nyaman buat wanita, sampai kemungkinan menghilangkan rasa sakit dan tak nyaman. Intinya, secara serius tayangan itu memang berusaha menghadirkan seks sebagai ”konsumsi” legal dan menjaga agar tak menjadi perayaan atau kebebasan seksual.
Namun di situlah masalahnya. Karena takut wacara pendidikan jadi jatuh sebagai perayaan kebebasan seks, acara itu justru tanpa sadar merayakan seksualitas. Represi atas seks bebas justru membuat kebebasan seks itu tetap hadir, meski tersembunyi.
Freud menyatakan, represi tak akan terpisahkan dari fenomena kembalinya yang direpresi, the return of the repressed. Sesuatu masih tetap ada dan berfungsi, dan masih senantiasa berbicara, di tempat ia ditekan. Ia akan tetap hadir, dalam diam, dalam sembunyi, dalam sunyi. Selama ditabukan, ditekan, kapan pun, di mana pun, seks bebas akan hadir. Tak terelakkan.
Pertama, lihatlah penonton yang hadir, yang selalu dilahapi kamera. Nyaris berusia muda, dan tampaknya belum menikah. Inilah penonton yang suaranya terkadang cekikikan ketika percakapan memasuki wilayah sensitif. Penjelasan bahwa ”Sexophone” adalah tayangan dewasa runtuh dengan kehadiran ABG di panggung. Tapi, bukankah para remaja juga berhak untuk mendapatkan pendidikan seksual, termasuk gaya dan teknik berhubungan intim? Jika itu yang dijadikan alasan, maka penelitian Jana L. Kim dan L. Monique Ward yang dipublikasikan dalam jurnal Psychology of Women Quarterly layak jadi rujukan.
Mereka setelah meneliti 150 mahasiswa sampai pada kesimpulan, ”ketika disuguhi berbagai pesan tekstual yang eksplisit tentang seksualitas wanita dalam artikel-artikel tersebut, pembaca pun cenderung berperilaku atau menuruti gairah seksualnya, dan menganggap itu lebih menguntungkan.” Jana juga menemukan bahwa akibat membaca artikel seks, mereka secara khusus memandang seks pranikah tidaklah berisiko.”
Jana dan Monigue hanya meneliti remaja yang terpapar pesan seks secara tekstual, dan dampaknya sudah demikian. Bayangkan jika pesan seks itu tampil secara visual dan terus direpetisi? Pakaian pemandu acara, misalnya, jadi terasa punya nilai tanda berbeda ketika berkaitan dengan cara kerja kamera yang pasti melahapi tubuh-tubuh terbuka Chantal dan Zoya. Benar-benar melahapi!
Kedua, narasi tayangan ini tidak terjaga. Gea, penyanyi dalam tayangan Jumat (28/9) itu misalnya, menggunakan kata ”pasangan seks”, bukan suami. Pemilihan kata ”Pasangan seks” meluaskan makna keintiman pada aspek suka atau boleh dan bukan legal. Ini hal yang sepele, namun memiliki implikasi yang luas.
Ketiga, dan yang paling penting adalah pemilihan bintang tamu. Di sesi ”Ejakulasi Dini” (4/10) dihadirkan Yeyen Lidya, presenter dan model majalah dewasa. Di edisi ”Mimpi Basah dan Erotic Dream” dihadirkan Mario dan Anita Hara, model yang juga tak bisa jika tak tampil sensual. Kehadiran Yeyen dan Anita adalah ”afirmasi” pada kebebasan hidup dan seks. Sosok mereka yang sudah ”terimajikan” di benak penonton memfigurasi atau membubuhi tayangan ini. Tanpa sadar, terjadi persenyawaan, persetubuhan pesan, subsidi imaji, dari sosok mereka ke dalam tayangan. Mereka yang semula hadir diniatkan sebagai ”bumbu” malah beralih menjadi menu.
Meminjam analisa Freud tentang mimpi, sebuah karya menjadi penting bukan hanya karena apa yang ditunjukkannya melainkan apa yang disembunyikannya. Dan mengadaptasi Pierre Macherey dalam A Theory of Literary Production, tersebutkan bahwa selalu ada kesenjangan, penjarakan internal, antara apa yang ingin disampaikan sebuah tayangan dan apa yang benar-benar dikatakannya. Pesan sebuah tayangan kadang tersembunyi pada ‘apa yang dipaksa dikatakan agar mengatakan apa yang dikatakan’.
”Kita senantiasa, pada akhirnya, menemukan di ujung teks itu, bahasa ideologi acap tersembunyi, tapi justru terasa oleh ketidakhadirannya itu sendiri,” ucap Macherey.
Promosi seks bebas memang tersembunyi dalam tayangan ”Sexophone”, tapi dia ada, dan tanpa sadar, berdiaspora dalam benak kita. Sungguh berbahaya.
Recent Comments