Seks Bebas? Sutralah….
October 29, 2007
Semakin ditekan, hasrat seks bebas akan kian menampil di dalam iklan
Berhubungan kelamin itu hal yang wajar, boleh, dan tidak berbahaya, sepanjang Anda memakai kondom. Barangkali, begitulah pesan yang secara gamblang dapat kita lihat dalam iklan kondom Sutra yang diperankan oleh Julia Perez. Dalam dua versi, Julia sebagai pekerja seks komersial dan penyanyi dangdut, iklan ini menunjukkan secara tersirat bahaya yang mengintip para lelaki jika tidak menggunakan kondom.
Sampai saat ini, dua iklan di atas melenggang dengan santai di televisi. Tak terdengar kritik atau permintaan henti tayang dari para “penjaga moral”. Padahal, Julia Perez tampil sensual, bergaun merah terbuka, dan seperti biasa, selalu mendesah-desah. Nasib yang berbeda justru diterima iklan Sutra Fiesta. Tanpa desah, apalagi gaun merah terbuka, iklan animasi itu justru menuai kecaman. Berbagai milis dan blog memuat kritik yang seragam bahwa iklan itu menganjurkan seks bebas.Memang, tidak seperti Sutra, Fiesta hanya menceritakan dengan riang kencan sejoli, yang membekali diri dengan Fiesta. Tak ada “pesan” bahaya seks tanpa kondom. Dan kealfaan “pesan” itulah yang membuat Fiesta dinilai mensponsori seks bebas. Para “penjaga moral” mengecam pembuat iklan, dan teve yang mau menayangkannya, sekaligus khawatir dengan dampaknya terhadap penonton. Dan bisa diduga, permintaan henti tayang pun meramaikan berbagai milis.
Saya percaya, tak ada keinginan dari kreator iklan untuk mempromosikan seks bebas, sebagaimana interpretasi banyak pihak. Masalahnya, mengapa “pesan anjuran” seks bebas itu tampak nyata? Dan, apakah mungkin iklan kondom bebas dari pesan tersebut?
Imaji Kondom
Sampai kini, stigma bahwa kondom identik dengan seks di luar pernikahan memang sulit dihapus. Mitos berkurangnya kenikmatan bagi pemakai membuat kondom belum ramah bagi pasangan resmi. “Terasa ada yang ngganjel, gak enak,” kata Krisdayanti. Akibatnya, imaji kondom pun lebih dekat pada perselingkuhan, seks bebas, dan atau pelacuran. Apalagi, promosi kondom lebih diutamakan pada unsur keamanannya, mencegah penyakit kelamin, daripada kemampuannya menghalangi pembuahan.
Imaji itu justru disadari produsen kondom. Pembuat iklan apalagi. Namun tentu, promosi kondom tidak boleh bersandar pada imaji tersebut. Perselingkuhan, seks bebas, dan pelacuran, meskipun telah lazim di negeri ini, tapi haram untuk dinyatakan. Maka, kalaupun ingin beriklan kondom, maka ditempuh cara memutar, akibat jika tidak memakainya. Yang menjadi fokus pesan adalah dampak dari “jika tidak memakai” dan bukan “siapa yang harus memakai”. Karena fokus pesan itulah, posisi Julia Perez sebagai pekerja seks komersial dan penyanyi dangdut tidak dominan. Dominasi teks berada pada lelaki pelanggan PSK yang kesetrum listrik dan atau yang jatuh dari atas panggung. Iklan ini, karena posisi pesannya, dinilai berbeda dari iklan Fiesta, tidak menganjurkan seks bebas. Benarkah?
Meminjam analisa Freud tentang mimpi, sebuah karya menjadi penting bukan hanya karena apa yang ditunjukkannya melainkan apa yang disembunyikannya. Pierre Macherey dalam A Theory of Literary Production bahkan menyebutkan bahwa selalu ada kesenjangan, penjarakan internal, antara apa yang ingin disampaikan sebuah karya dan apa yang benar-benar dikatakannya. Pesan sebuah karya kadang tersembunyi pada ‘apa yang dipaksa dikatakan agar mengatakan apa yang dikatakan’. “Kita senantiasa, pada akhirnya, menemukan di ujung teks itu, bahasa ideologi acap tersembunyi, tapi justru terasa oleh ketidakhadirannya itu sendiri,” ucapnya.
Yang tersembunyi, tapi ada, dan terasa. Apa? Pertama, ini iklan produk tapi berwajah iklan layanan masyarakat untuk mencegah penyakit kelamin. (Ingat iklan “Sutra dan kereta api” dan “Kondom, Helm, dan Pengendara Motor”?)
Sebagai iklan, yang menjadi tujuan adalah bagaimana agar produk itu laku. Jadi, sasaran utama iklan ini adalah mereka yang diimajinasikan produsen dan pembuat iklan sebagai pemakai utama kondom. Dan itu terbubuhkan di dalam iklan, yakni pekerja seks komersial dan pelanggannya, penyanyi dangdut dan penikmatnya. Kok penyanyi dangdut? Itu juga masih berkait dengan stigma bahwa penyanyi dangdut, terutama yang berada di kota kecil, adalah profesi yang rileks dengan seks bebas. Namun, iklan itu juga melakukan “perluasan” konsumen. Caranya, mengupayakan subsidi imaji dengan penghadiran sosok Julia Perez. Sebagai subjek iklan, Julia Perez adalah afirmasi pada kebebasan hidup dan seks. Di sini terjadi figurasi atau pembubuhan “ideologi” Julia ke dalam iklan.
Kedua, promosi kewajaran hubungan kelamin. Hanya dengan kampanye semacam itulah akan tercipta kebutuhan akan kondom. Semakin marak seks bebas, semakin biasa perselingkuhan dan maraknya pelacuran, akan kian banyak juga permintaan kondom. Jadi, dampak karena tidak memakai kondom yang merupakan pesan dominan di dalam iklan itu sebenarnya hanyalah narasi kecil dari representari kepentingan koorporasi yang disembunyikan. Jadi, iklan Sutra atau Fiesta, Andalan atau Durex, sebenarnya sama saja.
Lalu, apakah mungkin iklan kondom lepas dari promosi seks bebas? Tentu, tidak. Seperti dikatakan di atas, kondom masih identik dengan perselingkuhan, seks bebas, dan pelacuran. Namun, iklan kondom justru “diwajibkan” bebas dari hal tersebut. Di sini, terjadi tekanan, represi, terhadap kreator iklan untuk membuang stigma itu. Dan tanpa disadari, represi itulah yang membuat promsi seks bebas itu tetap hadir, meski tersembunyi. Freud menyatakan, represi tak akan terpisahkan dari fenomena kembalinya yang direpresi, the return of the repressed. Sesuatu masih tetap ada dan berfungsi, dan masih senantiasa berbicara, di tempat ia ditekan. Ia akan tetap hadir, dalam diam, dalam sembunyi, dalam sunyi. Selama ditabukan, ditekan, kapan pun, di mana pun, iklan kondom pasti mengampayekan seks bebas. Tak terelakkan.
Jadi, seks bebas ya Julia Perez-lah, eh ya Sutra-lah….
[Artikel ini telah dimuat di Majalah AdDiction edisi ke-10, Oktober 2007]
Sebatang Sepeda, Remah Koran, dan Misrepresentasi
October 22, 2007
Iklan-iklan inspirasi Idul Fitri pun acap melakukan misrepresentasi.
Sebulanan ini, semua televisi memiliki satu “agama”. Berbagai acara diciptakan untuk berwajah islami. Bahkan, sinetron kejar tayang yang semula tak ada hubungan dengan syiar keislaman, tiba-tiba berubah drastis. Ceritanya berbelok, pemainnya berganti busana, ketakrasionalannya pun bertambah.
Iklan pun mengalami metamorfosa yang sama, terutama menjelang dan selama Idul Fitri. Berbagai perusahaan, instansi, dan partai politik, berlomba mengiklankan diri, merayakan kefitrian, meminta maaf, dan tentu, tetap menyanjung diri.Secara sederhana, ada dua jenis iklan idul fitri yang beredar di televisi. Pertama adalah iklan dari petinggi BUMN dan partai politik yang berisi pernyataan maaf dan kampanye diri. Kedua adalah iklan inspiratif dari perusahaan besar yang berisi keindahan idul fitri, nilai pengorbanan, dan saling berbagi.
Iklan-iklan inspiratif itu menggugah dengan cara yang sama, menghadirkan nilai-nilai sederhana yang mulai sulit kita temukan. Iklan itu mengharukan karena menyadarkan bahwa nilai itu adalah sesuatu yang kita miliki tapi jarang kita sadari; kemampuan menahan diri dalam goda, kemauan berbagi, dan kegampangan memaafkan. Iklan itu, meski sebentar, membuat kita percaya bahwa pada dasarnya manusia adalah benih kebajikan.
Memberi, Berbagi
Beberapa anak berlari riang mengejar sobekan kertas yang diterbangkan angin. Di peron stasiun, remah-remah koran dan kardus-kardus bekas mereka punguti dengan tawa lepas. Di ujung sana, di trotoar jalan, tingkah mereka mengundang tawa pemuda-pemuda bergitar.
Kumpulan kertas bekas itu lalu mereka timbang. Dan wajah cemas mereka segera sirna, ketika sebuah gitar menggenapkan berat kertas mereka. Dengan tertawa, mereka berbelanja berkardus mi, dan membaginya ke panti asuhan Ar-Rahim. Dan di hari Lebaran, dengan bernyanyi, mereka bersalaman. Opick tampak di antara pengurus panti itu. Iklan ditutup dengan ucapan “Warnai hari kemenangan dengan saling berbagi. Selamat Idul Fitri”.
Itu memang bukan iklan baru. Setidaknya, tahun lalu iklan itu telah menghiasi hari-hari Lebaran. Namun, meski ulangan, tayangan ini tetap saja terasa indah dan menggugah. Anak-anak pun ternyata tahu tentang bagaimana berbagi dan mengusahakan hal itu dengan jerih mereka sendiri. Anak-anak itu menjadi juru penerang tanpa terasa menggurui.
Iklan kedua yang senada dengan hal di atas bercerita tentang Pak Guru Umar. Istrinya di rumah sakit, dan dia tak punya uang untuk menebus semua biaya. Di ruang kelas, tak ada kemurungan di wajahnya, dia menjadi guru yang baik, menyembunyikan pedihnya dengan memancing tawa murid-murid. Lepas mengajar, lunas juga gembiranya. Hanya suara azan yang mampu menahan dirinya untuk mengambil uang sekolah para murid. Dengan iklas, dia jual sepeda motor bututnya, diiringi tatapan haru para beberapa murid. Menaiki sepeda, mereka bersama ke rumah sakit. Di hari Lebaran, saat bersilaturahmi, para murid menghadiahi sebuah sepeda baru kepada Pak Umar.
Iklan ini terasa begitu mengharukan. Gambarnya sederhana tapi indah, ceritanya menimbulkan rasa sesak di dada. Anak-anak itu, dengan caranya sendiri, tahu bagaimana meringankan beban orang lain. Anak-anak itu adalah tangan firman-Nya yang menjadi kenyataan, yang membayar pengorbanan Pak Umar. Kehadiran anak-anak itu, seperti kata Tagore, adalah tanda bahwa Tuhan belum jera dengan ulah manusia.
Misrepresentasi
Dua iklan di atas dengan nada yang sama berbicara tentang berbagi di hari fitri. Anak-anak dijadikan subjek cerita untuk menekankan betapa kepolosan mereka bukanlah tanda keabaian pada sekitarnya. Kepolosan mereka justru tanda bahwa apa pun yang mereka lakukan jauh dari pamrih. Dan karena itulah, iklan ini terasa menyentuh.
Namun, meski bicara dengan nada yang sama, dua iklan di atas tetap berbeda warna. Perbedaan warna itu terlihat dari kepentingan pengiklan yang masuk ke dalam cerita. Pada iklan pertama, anak-anak itu menjual remah kertas untuk membeli berkardus mi. mi yang mereka bagi ke panti adalah produk Indofood, yakni Indomie. Iklan ini memang dipersembahkan oleh Indomie. Di sinilah, Indomie tidak mampu menahan diri untuk tidak “menonjolkan” produknya pada “pameran” keikhlasan anak-anak itu. Indomie hadir di dalam cerita sebagai produk yang pantas dibagikan di hari nan fitri.
Hal itu tidak terjadi dalam iklan Guru Umar. Anak-anak itu menghadiahkan sepeda, dan iklan ini bukan persembahan dari pabrikan sepeda, malainkan pabrik rokok Djarum. Penghadiran sepeda tak memiliki korelasi apa pun dengan rokok. Di iklan ini, Djarum mampu menahan diri untuk tidak “mempresentasikan” produknya dalam citraan “resmi” mereka selama ini karena larangan visual produk rokok. Iklan itu, tampak “murni” sebagai ajakan tentang keberanian berkorban dan keindahan berbagi. Anak-anak yang hadir di dalam iklan Djarum “mengabarkan” kebaikannya tanpa dibebani pesan sponsor.
Pada iklan Indomie, terkesan kepolosan anak-anak itu dimanfaatkan untuk menonjolkan citra produknya. Sebagai iklan yang mewartakan ketakberpamrihan, iklan ini justru terasa “gagal”. Jika anak-anak itu mau mengumpulkan remah kertas sebagai jalan untuk berbagi tanpa mengharap pamrih, Indomie justru membuat iklan ini dengan pamrih. Dengan masuknya produk mereka ke dalam cerita, tampaklah “ajakan berbagi tanpa pamrih” hanya sebagai iklan, pemanis bibir saja. Iklan ajakan itu akhirnya nyaris setara dengan iklan-iklan dari partai politik dan pimpinan BUMN. Ada penonjolan diri pribadi dan atau institusi di dalamnya. Iklan itu dengan demikian hanya berfungsi sebagai ajakan tentang sebuah nilai kemauan untuk berbagi dan bukan contoh nyata sifat berbagi.
Iklan idul fitri Indomie di atas menunjukkan bagaimana terjadinya “misrepresentasi”. Sebuah “kesalahan” citra diri yang sangat sering kita lihat dilakukan para politikus, terutama di momen Idul Fitri.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 21 Oktober 2007]
Imaji, Sensualitas, dan Julia Perez
October 2, 2007
Yang pertama kali diserang oleh tubuh-tubuh sensual adalah pikiran, bukan mata.
Semua yang hadir di televisi seharusnya merupakan impian dari para penonton. Demikianlah apologi yang pernah diucapkan oleh Raam Punjabi. Raja sinetron ini yakin, penonton teve adalah makhluk-makhluk yang letih dan mencari kesenangan dalam aktivitas menonton. Karena itu, dia pun membuat sinetron yang memenuhi hasrat dari para penonton yang letih oleh kehidupan real mereka.
Keyakinan Raam Punjabi ini, harus kita akui, juga menjadi kepercayaan mayoritas penggagas acara di televisi. Karena itulah, sampai kini format acara di televisi nyaris tak pernah berubah. Memang acara-acara baru selalu hadir, menawarkan kesegaran baik dari segi cerita dan penampil, namun masih selalu dalam esensi yang sama, sekadar menghibur pemirsa. Dan karena motifnya menghibur dan memberi mimpi, satu hal yang pasti, acara-acara televisi tersebut acap tidak “membumi”.Dengan kacamata yang sederhana, pemenuhan hiburan dan impian pemirsa itu diwujudkan dalam dua bentuk: glamouritas dan sensualitas. Dengan menampilkan dua hal itu, penggagas acara di teve yakin tayangannya akan popular dan meraih rating tinggi. Keyakinan yang memang tak bertepuk sebelah tangan. Karena itulah, tubuh-tubuh sensual selalu berseliweran di setiap acara. Sensualitas yang selalu dipadukan dengan kehidupan glamour.
Ikon Sensual
Sinetron adalah pemasok utama tubuh-tubuh seksi dan kehidupan glamour. Namun, acara lain pun, merasa tidak nyaman jika tidak menyisipkan sensualitas. Komedi misalnya, pasti selalu menghadirkan tubuh-tubuh sensual, meskipun hanya sekadar untuk dipamerkan pada penonton dan jadi ajang pelecehan di panggung. Srimulat sukses memakai ajian ini. “Extravaganza” juga pintar meramu, dengan memakai tubuh seksi para bintang tamu. Yang terkadang lucu, tubuh sensual pun masih “dijual” dalam acara bola. Komentator bola di Anteve misalnya, selalu ditemani bintang tamu bertubuh aduhai, yang gugup berbicara tentang bola.
Ya, Anteve yang tengah berubah tampaknya menyadari bahwa sensualitas dan glamouritas adalah cara mujarab meraih popularitas. Tak heran, lebih dari stasiun lain, teve ini menggelar sensualitas dalam bentuk massal. Ikon-ikon tubuh sensual pun dipajang dalam tiap acara untuk sajian visual yang menjerat mata. Anteve bahkan “memasang” Julia perez sebagai tenaga marketing sensualitas itu.
Semula, kehadiran Julia Perez memang hanya selintasan di dalam puluhan acara di Anteve. Namun, belakangan ini, tubuh Jupe justru menjadi “magma” dalam acara unggulan. Kehadiran Jupe yang rutin pertama kali muncul dalam “Seleb Mendadak Dangdut”. Dalam acara ini, Jupe bahkan sengaja dilawankan dengan Rachma Azhari, yang membuat keduanya tampil menggila, dengan busana serba terbuka. Sesi satu panggung keduanya adalah pameran tubuh dan goyang sensual, yang membuat penonton di studio acap terperangah, dan juri kehilangan kata-kata. Kadang, demi sensualitas, busana yang mereka kenakan justru membuat goyang mereka tidak leluasa. Karena, jika tetap bergoyang, dapat dipastikan pakaian mereka tak akan lagi mampu tersangga oleh dada. “Jupe bagus, tapi barangkali karena busananya ya, jadi tidak bisa maksimal pergerakannya. Saya maklumlah…” kata Liza Natalia, salah satu juri “Seleb Mendadak Dangdut”.
Acara ini memang menjual sensualitas. Tak heran jika kemudian Jupe pun menang. Saat ini, popularitasnya memang tak terlawankan oleh dua Azhari, Rachma dan Sarah, sekalipun. Lepas dari “Seleb Mendadak Dangdut”, Jupe masih dijerat Anteve dalam “Seleb Dance”. Dia didapuk sebagai pembawa acara. Dan untuk peserta, ditampilkan “ikon” tubuh sensual lain, Tessa Mariska, yang “matang” dalam acara “Komedi Nakal” di TransTV.
Dan penampilan perdana Tessa Mariska bersama Andre, benar-benar mengguncang panggung “Seleb Dance”. Busananya yang terbuka di bagian dada, tak menghalanginya untuk bergerak liar, yang membuat bagian tubuh itu terekspose demikian bebas. Penonton berteriak, heboh, tapi juri justru terhenyak. “Bagi saya itu bukan dance, tapi kecelakaan,” nilai Joko Anwar, salah satu juri. Shanty, juri yang lain, bahkan hanya bengong. Dia tak bisa berkomentar apa pun. Julia Perez sendiri mengaku keringatan melihat penampilan Tessa Mariska. Juri memberi nilai jelek untuk penampilannya. Tapi sampai kini, Tessa-Andre lolos terus. Ini bukti, bukan kemampuan menari, tapi eksplorasi sensualitas tubuh yang menjadi nilai utama.
Tak cukup hanya menjadi pembawa acara di “Seleb Dance”, Julia Perez pun didapuk sebagai panelis di “Silat Lidah”, yang juga tayangan baru di Anteve. Jupe termasuk panelis yang rutin tampil, mendampingi Ria Irawan, Melissa Karim, dan Ratna Sarumpaet. Acara ini, seperti pengakuan sang host Irwan Ardian, hanya menampilkan perempuan yang sensual tapi berotak kosong.
Serang Pikiran
Kehadiran Julia Perez di tiga acara baru itu memberi tanda bahwa sensualitas adalah anak kandung dunia hiburan. Dengan cara apa pun, kehadirannya tidak bisa ditampik. Sebab, selain menghibur, sensualitas juga membuat penonton melakukan identifikasi hasrat. Penonton perempuan misalnya, secara tidak sadar akan mengidentifikasikan hasrat tubuh idealnya pada diri aktris seksi idamannya. Sedangkan penonton lelaki mendapatkan pemenuhan imaji tentang objek hasratnya. Dua hal ini berkelindan, membentuk imaji harapan tentang idealisasi hasrat yang beroleh pemenuhan.
Julia Perez adalah akrtis yang tahu bagaimana menjual sensualitas tubuhnya. Seluruh aktivitasnya, gerak tubuh, lirikan mata, busana, sampai duduk, tak pernah lepas dari pembentukan imaji tentang tubuh yang ideal dan nikmat. Dalam satu sesi “Silat Lidah” misalnya, Ria Irawan membantah penilaian Irwan bahwa Jupe memiliki dada besar. “Yang besar ganjelannya,” sergah Ria. Namun, Jupe tidak gusar. Dengan membusungkan dada, mendesah dan meleletkan lidah, dia berkata, “yang penting einakk boo…”
Citra sensual Julia Peres yang sudah “jadi” inilah yang dimanfaatkan Anteve untuk mendongkrak acaranya. Sebagai ikon sensualitas, Julia Perez kini tidak perlu lagi membuka busana untuk memamerkan kemolekan tubuhnya. Karena saat ini, nyaris di benak semua orang, mendengar kata Julia Perez saja, sudah terimajikan tubuh sensual yang hanya ditutupi selembar benang. Dan di sinilah kelihatan betapa mengerikannya dampak tayangan yang memuja sensualitas. Karena yang pertama kali diserang adalah pikiran dan bukan mata. Julia Perez bisa saja tampil di televisi memakai pakaian tertutup di bulan Ramadan ini. Tapi, di benak penonton, yang tergambar adalah Julia Peres yang selalu kehilangan busana. Anteve tahu benar memanfaatkannya.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 30 September 2007]
Recent Comments