Perselingkuhan Hitam Putih

December 16, 2012

hitam putih

Memilih berselingkuh daripada diselingkuhi lebih dimaknai sebagai laku heroik, kemenangan, dan karena itu, layak mendapat tepuk tangan.

”Selingkuh atau diselingkuhi?!”  Itulah pertanyaan yang nyaris dilontarkan Deddy Corbuzier dalam tiap acara ”Hitam Putih” ,  terutama untuk bintang tamu yang tergolong muda. Pertanyaan yang biasa sebenarnya, apalagi disodorkan kepada para artis yang  menyangkut  perselingkuhan seakan sudah jadi bagian dari ”gaya panggung”. Maka, pertanyaan itu harus dijawab, seperti permintaan Deddy, dengan cepat, tangkas, dan cerkas, tanpa berkerut jidat.

Sebagian artis akan mengakhiri jawaban dengan tertawa, dan atau teriakan bangga, ”Yes!” seperti yang, jika tak salah ingat,  dilakukan oleh Dewi Perssik. Dan di bagian pertanyaan inilah yang biasanya membuat penonton tergelak, tersenyum, terutama ketika bintang tamu seperti bingung, mesam-mesem, dan seolah berpikir.

Padahal, menjawab dua hal itu seharusnya tak perlu menyita waktu.

Selingkuh atau diselingkuhi adalah soal pilihan. Bukan sesuatu yang sulit dijawab, karena ini lebih merupakan sikap moral, sesuatu yang tak perlu penalaran berlebih. Sebagai sikap moral, selingkuh atau diselingkuhi, adalah pilihan yang sebenarnya sudah terintegrasi di dalam pikiran. Jadi, jika pun ditanyakan,  pasti akan terjadi otomatisasi pikiran untuk segera menyatakan pilihan.

Wajar jika Deddy meminta waktu cepat.

Dan jadi aneh ketika para artis salah tingkah, terpekur, lamban, bahkan terlihat gugup-merona, menggeragap.

Tapi, justru itu yang banyak terjadi. Selalu ada jeda waktu sebelum para bintang tamu memberikan jawab. Dan Deddy, biasanya, tersenyum, menaikkan alisnya, atau mengedipkan matanya, menggoda, seakan ”mengejek”  proses jawaban yang lamban itu.

Mengapa Deddy terkesan ”mengejek”? Sepele soalnya. Jawaban mereka, meski seperti berpikir, justru nyaris seragam.

”Selingkuh atau diselingkuhi?!” tanya Deddy.

”Selingkuh! Yess!!” jawab Depe.

”Selingkuh, dong. Enak aja,” kata Jessika Iskandar.

Nyaris, selalu itu jawabannya.  Bisa dengan diksi yang mantap, geram manja, tegas tangkas, atau getar yang ragu, bingung, dan gelengan kepala yang tak jelas maknanya.  Tapi toh, dengan berkerut kening, tertawa, jawabannya tetap sama. Nara sumber pria atau wanita, menjawab seakan seiya-sekata: ”Selingkuh!”

Laku Heroik

hitam putih2Mengapa para narasumber memilih ”Selingkuh”? Tak sulit menebak apa yang mereka pikirkan. Jawaban, ”Selingkuh dong. Enak aja…” mengindikasikan hal itu. Memilih selingkuh daripada diselingkuhi menyatakan posisi, mengejawantahkan  sikap aktif, memilih untuk berada dalam situasi si atas, mendominasi, berkehendak. Memilih selingkuh daripada diselingkuhi menyatakan diri ”tidak sebagai korban”.

Memilih selingkuh daripada diselingkuhi adalah sebuah sikap menolak untuk dikalahlan oleh pihak ketiga.

Sekilas, sikap ini tampak dapat dibenarkan. Masalahnya, jika dalam sebuah hubungan ada ”wilayah pilihan” tentang kemungkinan untuk tidak menjadi ”korban”, bukankah yang terjadi kemudian adalah perselingkuhan-perselingkuhan?  ”Daripada dia duluan, daripada gue diselingkuhin, gue duluan deh. Enak aje…”

Sikap para narasumber ini tampaknya diamini para penonton. Tepuk tangan dan pemberian tawa, tentulah sebuah afirmasi pada jawaban.  Karena, tampaknya, tanpa sadar,  memilih selingkuh daripada diselingkuhi lebih dimaknai sebagai laku heroik, kemenangan, dan karena itu, layak mendapat tepuk tangan.

Benar bahwa jika diselingkuhi setiap orang akan merasakan sakit, nyeri hati, kehilangan kepercayaan pada diri, merasa dicampakkan, tak berharga. Tapi, apakah semua rasa sakit dan ketakberdayaan itu layak dilabeli sebagai korban? Sehingga, menampik diselingkuhi dan memilih untuk (ber)selingkuh adalah tindak untuk menolak menjadi sang korban?

Rasanya tidak.

Jika pun terjadi sebuah perselingkuhan, maka yang layak dijadikan sebagai korban adalah komitmen, kesetiaan. Di sini, korban bukan mengacu pada sosok, pada tubuh atau nama, atau harga diri, tapi lebih kepada nilai-nilai.  Setiap perselingkuhan selalu mengikis nilai kesetiaan. Perselingkuhan menghancurkan sendi komitmen dan kepercayaan.  Perselingkuhan mengorbankan keyakinan tentang cinta yang suci dan menyatukan.

Jadi, salah besar jika posisi korban diletakkan pada sosok yang diselingkuhi. Karena, diselingkuhi adalah situasi yang justru terlindung dari kemunafikan, kebohongan, kejahatan rasa, dan keliaran badaniah.

Diselingkuhi adalah sebuah posisi yang, sebenarnya, terselamatkan!

”Selingkuh atau diselingkuhi?!” serang Deddy.

”Diselingkuhi!” tangkis Tya Ariestya, yakin!

”Diselingkuhi atau jomblo selamanya!” cecar Deddy lagi.

”Jomblo!”

Tya Ariestya tahu, jika dia diselingkuhi, maka lelaki itu tak pantas menjadi kekasihnya, tak pantas menjadi pendampingnya. Dia memilih diselingkuhi, karena hal itu menjadi saring bagi asmaranya, bagi kehidupannya kelak. Diselingkuhi membuat dia terlindungi. Diselingkuhi membuat dia selamat dari cinta yang khianat.

Tya tak memilih (ber)selingkuh karena menyadari itu bukan laku heroik, bukan tindak untuk tak menjadi sang korban, tapi lebih sebagai aktivitas menyalurkan keliaran hasrat.

Bagi Tya, mungkin, memilih selingkuh daripada diselingkuhi adalah mengafirmasi sebuah sikap aktif untuk menghancurkan nilai kesetiaan dan merusak makna cinta.


Hasrat Bicara

Dengan demikian, memilih (ber)selingkuh adalah pernyataan tentang keberpihakan  untuk berbuat jahat, menyakiti, daripada disakiti. Melibatkan diri untuk menjadi perusak aktif kesetiaan dan nilai cinta  ketimbang melawan atau terselamatkan dari kepalsuan.

Memilih (ber)selingkuh adalah pernyataan tentang kebebasan diri untuk memenuhi hasrat libinal, petualangan, keliaran, dan pendobrakan pada nilai kesetiaan.

Itulah sebabnya, memilih (ber)selingkuh dilakukan dengan sedikit rasa bangga, kegelian, atau tertawa yang berderai-derai.

”Ketahuan selingkuh atau menangkap istri sedang selingkuh?” tanya Deddy.

”Lha, kan sudah ketahuan selingkuh, jadi mau bagaimana lagi, hahahaha…” Tora Sudira ngakak.

Penonton lebih lebar tertawa, bahkan terpingkal-pingkal.

Entah apa yang lucu.

Padahal, Deddy bertanya dengan frasa yang berbeda. Bukan lagi, ”Selingkuh atau diselingkuhi?!” tapi ”Ketahuan…”

Artinya, untuk Tora Sudiro, Deddy tidak lagi meminta memilih soal setia atau tidak, tapi lebih pada ketahuan berbuat tak setia atau tidak. Dari pertanyaan ini saja sudah dapat disimpulkan bahwa Deddy menempatkan Tora sebagai pelaku selingkuh. Persoalamnya, ketahuan atau tidak.

Dan memang itulah kenyataannya. Perselingkuhan yang selalu menjadi berita di televisi bukanlah perkara kesetiaan yang tercerabut, tapi soal ketahuan atau tertangkap kamera semata. Dengan kata lain, kesetiaan atau komitmen adalah perkara yang manis di mulut tapi tak jelas sudah bentuk dan wujudnya. Ia hanya ada di awal perpacaran atau pernikahan, dan lalu semua hilang. Perselingkuan adalah bagian integral dari panggung, dunia yang yang tak bisa mereka lepaskan. Dan karena itu lalu  jadi hal yang biasa. Yang mereka lakukan, dengan demikian, bukanlah menghindari perselingkuhan, tapi sekuat mungkin menutupinya.

Selingkuh adalah pilihan untuk merayakan keberhasratan. Dan karena ”perayaan”, maka laku itu dilakukan dengan riang gembira, tertawa, ”Yess!”

Inilah perilaku yang menurut Marquis de Sade sebagai, ”menikmati penyimpangan  dan menertawakannya sebagai bagian dari lelucon kehidupan.” Ssebagai sesuatu yang biasa, dan menjadikan, ”kehidupan adalah perjanjian sadar untuk memuasinya dengan cerita indah dan lucu tentang kesetiaan yang dikutuk.”

Betapa menyeramkan!

Mereka yang memilih (ber)selingkuh daripada diselingkuhi, menurut de Sade, adalah orang yang hidupnya melulu mengejar kenikmatan-kenikmatan inderawi (sense pleasure), dan motivasi hidupnya adalah murni untuk memuaskan seluruh hasrat dirinya. Mencari kenikmatan tubuh dengan melampaui batas-batas normalitas, dan memasuki area-area yang menyimpang.

Lalu, tanya diri Anda, pilih mana,  berselingkuh atau diselingkuhi.

Keluarbiasaan yang Tak Teguh

November 17, 2012

Terlalu banyak yang luar biasa di layarkaca, dan hanya cukup layak dijadikan sebagai bahan canda. :D

APAKAH kopi termahal saat ini? Ya, kopi luwak. Dan rasanya, sulit untuk mencari orang yang tak tahu fakta itu. Tapi, di acara ”Bukan Empat Mata” yang tayang di Trans TV (25/10), pengetahuan umum itu punya nilai yang berbeda. Setidaknya, untuk sosok selebriti chef si seksi Farah Quinn. Dia, setelah bercerita soal proses ”permentasi” kopi dalam kotoran luwak, dengan senyum bangga berkata, ”Tapi jangan salah lho, kopi luwak yang itu, justru kopi termahal di dunia!”

Penonton bertepuk tangan, terutama setelah Tukul melabeli ucapan Farah dengan sahutan, ”Luaarrr biasa!”

Apa yang luar biasa?  Entah.

Dan Jangan tanyakan itu kepada Tukul, niscaya dia pun tak akan mampu menjelaskannya. Karena, nyaris dalam setiap jawaban bintang tamu, Tukul akan mencetuskan kata yang sama. Kepada Dewi Perssik, Magdalena, atau Mpok Ati, pelabelan luar biasa itu tetap dia berikan, untuk jawaban yang memang biasa-biasa saja. Dengan demikian, ”pujian” luar biasa Tukul, yang diterima dengan senyum oleh narasumber, dan dibarteri tepuk tangan penonton, hanya semacam basa-basi, atau kalau tidak, proses otomatisasi wicara. Repetisi diksi yang tak memiliki nilai apa pun. Kata ”Luaarrr biasa!” yang diucapkan Tukul itu selevel dengan kata ”Kembaliiiii ke laptop!” Rutin, biasa, dan karenanya, jadi banal.

Celakanya, Tukul tidak sendirian. ”Peluarbiasaan” ucapan para artis ini sepertinya sudah jadi wabah. Raffi Ahmad misalnya, nyaris ”selatah” Tukul. Ia pun, bertepuk tangan, dan mengatakan luar biasa untuk kalimat Tengku Wisnu yang menjadi tamunya dalam acara ”Kata Hati” di Indosiar (26/10). Padahal, Wisnu cuma mengatakan ini: ”Nggak perlu jadi kepala daerah. Dengan buka bisnis, saya bisa bantu sejahterakan rakyat Aceh.”

”Basa-basi” luar biasa itu juga terjadi di ”Hitam Putih”. Contoh terbaik barangkali saat bintang tamu acara yang tayang di Trans 7 itu adalah Adipati Dolken (25/10). Ia dengan penuh percaya diri, menjelaskan arti fans untuk dirinya.

”Fans bagi saya is everything. Segalanya. Tanpa mereka, saya bukan siapa-siapa. Tanpa mereka, saya tidak akan seperti ini, tidak akan berada di sini…”

Coba, berapa banyak artis yang mengatakan hal semacam itu? Ya, nyaris semua. Bahkan, ucapan Adipati Dolken itu, adalah ”mantra” wajib yang pasti dikatakan para artis ketika menerima penghargaan. Jadi, itu hal yang biasa kan? Bahkan amat sangat sungguh biasa sekali.

Bagaimana reaksi Deddy Corbuzier? Dia terpana beberapa detik, lalu berteriak, ”Luarrr biasaa!” Penonton bertepuk tangan, Adipate Dolken tersenyum, sepertinya dia sendiri bangga akan jawabannya. Namun, begitu tepuk tangan mereda, Deddy melanjutkan pujiannya, ”Ya, saya pun bisa berada di sini, duduk di sini, karena sofa ini. Luarrr biasa… ”

Hahahaha…. Nyengit dan kurang ajar sekali si Deddy ini. :) :)

”Downgrade” Kata

Selain pujian ”luar biasa”, masih ada kata yang mewakili ”keterpukauan” itu, yakni ”Super sekali!”. Dan tentu, rekor repetisi kata itu dipegang Mario Teguh lewat acara ”Golden Ways” di Metro TV. Ada dua ”mantra” di acara ini, pertama diucapkan oleh co-host Hibram Dunar, yakni ”Jawaban yang super sekali!” sebagai timpalan setelah Mario memberikan ”pencerahan”. Mantra kedua justru dipegang Mario, yang selalu berkata, ”Pertanyaan yang super sekali!” sebagai sahutan kepada setiap yang bertanya.

Ya, acara ini memang terkesan mekanistis, rapi, tanpa gejolak, dengan semua penanya terpuaskan. Tak ada sanggahan dari tiap jawaban. Posisi Mario sebagai ”yang maha super” nyaris tak terbantahkan. Dia ibarat khatib di salat Jumat, yang dikatakannya tak boleh dibantah, kudu jadi ajimat.

”Jangan lihat diri Anda apa adanya, tapi lihatlah biasa apa Anda,” yakinnya di satu sesi, dan ”Kesuksesan orang yang pertama adalah menjadi orang baik,” lanjtnya di sesi yang lain. Sebuah jawaban yang, ”Super sekali!” saut Hibram di acara Minggu (28/10) itu.

Apakah pelabelan ”luar biasa” atau ”super sekali” itu salah? Tentu tidak. Terutama jika kita menyadari bahwa itu ”hanya” tontotan. Apa pun, asal bisa laku, akan dilabeli, dikemas dan ”dihalalkan”. Apalagi, kita berada di zaman  ketika para motivator, atau nabi-nabi palsu –seperti kata Bre Redana– mendapat panggung dan kamera, maka kata sesederhana apa pun memang bisa berubah jadi doa.

Masalahnya, pelabelan ”luar biasa” dan ”super sekali” itu sulit untuk diterima akal yang biasa-biasa saja. Dengan kata lain, telah terjadi ”pemencongan” arti kata. Ini akan jadi problem ketika kita mencoba mencari batas atau klasifikasi antara yang biasa dan luar biasa, atau super sekali. Karena bisa jadi, makna ”luar biasa” atau ”super sekali” sudah ter-downgrade ke ”amat biasa” atau ”super biasa”.

Masalah lain, keterpukauan ”kita” pada ”seni” menjawab seperti yang dipraktekkan motivator justru menimbulkan problem tersendiri. Karena kemampuan menjawab pertanyaan untuk persoalan-persoalan kehidupan, bukanlah solusi. Masalah kehidupan tidak bisa dijawab dengan hanya mengetahui ”Apa”, tapi harus melangkah ke ”Bagaimana”. Bukan ”Anda pasti bisa” tapi ”Bagaimana supaya Anda bisa”.  ”Apa” hanya berkutat pada definisi, atau penyederhanaan masalah, tapi ”Bagaimana” mencabarkan metode, cara, dan juga kerja. Gampangnya, ”Apa” bisa selesai lewat kata-kata, tapi ”Bagaimana” harus kelar melalui keringat dan usaha.

Tapi, mampu menjawab pertanyaan memang sudah terlanjur dianggap sebagai keluarbiasaan. Sudah jadi asumsi, stigma jalan menuju kesuksesan. Padahal, kesuksesan adalah wilayah enigma. Itulah sebabnya, dengan sedikit gemas, Deddy Corbuzier berkata keras,” Anak-anak yang luar biasa, yang sukses di sekolahnya, yang nilainya tinggi, bukanlah jaminan akan sukses di masa depan. Seringkali, anak-anak yang biasa-biasa saja, kelak akan lebih sukses dari yang luar biasa. Kenapa?” tanyanya, sembari menatap ke penonton, dan lalu ke kamera. Deddy seakan menggugat keinginan, hasrat, untuk mendapatkan cap luar biasa itu. Dan setelah mengambil napas, Deddy melanjutkan ucapannya, ”Karena anak-anak yang luar biasa itu hanya belajar dan diajar menghapal jawaban!”

Entah kenapa, saya tiba-tiba jadi ingat Mario Teguh…. :D :)

Manchester United dan Filsafat Machiavelli

October 29, 2012


Kemenangan, barangkali, selalu berkait dengan keberuntungan. Setidaknya itulah yang kita saksikan dalam pertandingan antara Chelsea dan Manchester United, Minggu malam (28/10) di MNC TV, pukul 23.00. Sempat memimpin 2-0, lewat jasa Van Persie, Manchester United (MU) lalu seperti gugup, dan akibatnya, Chelsea mampu menyamakan kedudukan di awal babak kedua. Permainan pun menjadi terbuka, saling serang, meski MU tampak lebih kedodoran saat bertahan.

Tapi, Dewi Fortuna justru datang kepada ”Setan Merah”, dan ”memaksa” wasit Mark Clattenburg memberikan 3 keuntungan.

Kartu merah untuk Branislav Ivanovic di menit ke-63, setelah dia menjatuhkan Ashley Young yang tengah berlari bebas menuju gawang Chelsea, dan berpeluang menciptakan gol, adalah awal segalanya. Apalagi, hanya berselang empat menit, keuntungan kedua untuk MU datang, Fernando Torres juga diganjar kartu merah. Clattenburg menilai Torres sengaja menjatuhkan diri ketika ”bersentuhan” kaki dengan Evans.

Bermain dengan 9 punggawa, Chelsea seperti tengah menunggu ”hukuman”. Dan di menit ke-75, Javier “Chicharito” Hernandez, yang masuk menggantikan Tom Cleverley, mencetak gol. Dari tayangan ulang, Chicharito jelas offside. Tapi mau bagaimana lagi, wasit tak melihat hakin garis mengangkat bendera. Gol itu sah, dan  menjadi keberuntungan ketiga ”Setan Merah”.

”Keputusan itu sangat salah dan wasit telah memengaruhi hasil pertandingan. Mereka jelas memutuskan pertandingan itu menjadi milik lawan. Kartu merah di babak kedua seharusnya tidak terjadi, dan gol ketiga itu jelas offside,” protes Di Matteo, pelatih ”The Blues”.

Di Mateo jelas mengatakan bahwa keputusan wasit amat menguntungkan pihak lawan. Dan seperti gayung bersambut, semua penggemar Chelsea pun menggaungkan hal yang sama. Di stadion, suporter Chelsea mengancam dan mengecam Clattenburg dan asistennya. Teriakan, ”Curang! Curang, curang!!” terus bergema ketika wasit meniup peluit, dan polisi terpaksa mengawal ketat sang wasit dan kedua asistennya, Michael McDonough dan Simon Long saat memasuki ruang ganti.

Di berbagai situs berita yang memuat pertandingan itu, para penggemar dua tim beradu argumen. Tapi jelas, tuduhan bahwa wasit memihat, dan MU hanya memang karena beruntung, menjadi ”agenda” bersama yang dilontarkan para pendukung Chelsea. Penggemar MU? Mereka kebanyakan hanya menjawab singkat, ”Glory! glory, glory Manchester United!” Hahaha….

Permainan Usaha

Benarkah MU hanya beruntung? Sungguhkah Hernandez telah offside?

”Mungkin saja. Sudah kebiasaanku untuk selalu menengok ke hakim garis. Ini adalah partai berat tapi kami beruntung bisa mencetak gol terakhir tersebut,” aku Chicharito seperti dikutip BBC.

”Hari ini semuanya menguntungkan United, dan itu membuat kami sangat tidak bahagia,” keluh Di Matteo.

”Mereka mengatakan gol kemenangan itu lebih dulu offside. Jadi, saya rasa kami sedikit beruntung bisa mendapatkannya,” ucap Ferguson seperti dilansir Skysport.

”MUnyuk diam aja pun pasti menang. Wasit kan sudah dibeli FerGayson, jadi pasti selalu diuntungin!” komentar penggemar ”The Blues” sebagaimana tercatat di detik. Dan komentar semacam itu amat banyak, bahkan menjadi komentar yang umum dalam tiap kemenangan MU melawan klub mana pun. Intinya, MU selalu menang karena beruntung, hadiah wasit, bukan dari sebuah proses bermain yang wajar, sportif, dan teroganisasi.

Dalam kasus ini, dan mungkin dalam banyak hal lain, sebagian kita acap menempatkan keberuntungan sebagai dan identik dengan hadiah atau sesuatu yang datang tiba-tiba, tanpa pengusahaan. Keberuntungan adalah perkara nasib, persembahan Dewi Fortuna, dan seakan tak ada urusannya dengan kerja. Keberuntungan tanpa sadar kita ibaratkan melempar kail tanpa umpan ke lautan dan pasti mendapat ikan. :p

Tapi bagi Hernandez, keberuntungan itu hasil kerja, buah dari usaha. ”…kami beruntung bisa mencetak gol terakhir tersebut.”

”Bisa mencetak gol,” katanya, dan ”mencetak” adalah sebuah kerja, usaha, ikhtiar. Dengan kata ”bisa” di bagian depan, kita jadi tahu, datangnya gol ketiga itu adalah sebuah proses,  dari ”permainan” yang tanpa henti. Keberuntungan bagi Hernandes dan juga pemain MU lainnya, dengan demikian, bukanlah persembahan nasib melainkan permainan usaha. Keberuntungan adalah momen yang hadir karena diadakan, dikreasikan, dan dalam sebuah tim, harus berwujud pergulatan bersama. Dua ”hadiah” kartu merah dari wasit tercipta karena proses kerja sama antara Van Persie dan Ashley Young yang coba digagalkan Ivanovic, dan kekokohan Evans yang ingin ”diakali” Torres. Dan inilah yang secara implisit diajarkan Tao, ”Ketekunan akan menciptakan momen-momen keberuntungan.”

Lebih dari 600 tahun lalu, dalam buku The Prince, Nicolo Machiavelli telah mengemukakan juga soal momen keberuntungan ini. Filsuf Italia itu mengatakan bahwa faktor terpenting untuk mencapai kesuksesan adalah keutamaan yang menciptakan keberuntungan. Lalu, apa itu keutamaan? Keutamaan adalah ketrampilan yang mendalam tentang suatu bidang yang didukung aspek intelektual maupun emosional. Jadi, bagi Machiavelli pun, keberuntungan bersinonim dengan pengusahaan.

Sebagai hasil pengusahaan atau penciptaan, keberuntungan tidak berdiri sendiri. Ada prasyarat atau pondasi yang menopangnya. Roger Hamilton dalam buku Your Life Your Legacy menyatakan keberuntungan hanya terjadi jika ada LUCK, location, understading, conection, dan knowledge. Jadi, Hernandez bisa menciptakan keberuntungan karena dia ada di tempat yang tepat, terkoneksi dengan Rafael yang mengumpan, dia memahami tugasnya sebagai penjebol gawang, dan memiliki skill serta refleksivitas yang tinggi. LUCK inilah yang dalam defenisi Nicolo Machiavelli dinamakan keutamaan.

Tapi harus juga disadari, sebagai sebuah proses pengusahaan, keberuntungan adalah momen, dan dengan demikian, bukanlah hal pasti. Atau, mengutip pendapat filsuf Richard Rorty, keberuntungan adalah sebuah situasi kontingensi, ketakpastian. Dan karena statusnya yang ”tak pasti”, kita hanya bisa terus memegang LUCK atau keutamaan. Mungkin  seperti Herdandez yang tak lelah berlari, terus bergerak, mencari dan mengejar bola, karena dia percaya, Dewi Fortuna bersamanya di dalam kerja, di dalam usaha….

Sexophone, Suara Seks Bebas?

October 16, 2012

Seks dimulai dengan misteri, dan berbahaya jika direpetisi. ”Sexophone” menajamkan sisi bahaya itu.

SEX education. Itulah rumusan singkat tentang acara ”Sexophone” yang tayang di TransTV, Kamis-Jumat tengah malam. Atau, sebagaimana dicatat tvguide.com, ”Acara yang dikemas dengan ringan dan dipandu oleh pasangan pembawa acara cantik, Chantal Della Concetta dan Zoya Amirin ini akan memberikan Anda berbagai pengetahuan dan wawasan baru mengenai sex education.”

Tapi tampaknya, kian lama acara itu makin meninggalkan unsur pendidikan, dan lebih menonjolkan sisi seksnya. Dalam tayangan Jumat (05/10) misalnya, yang membahas tentang ”Mimpi Basah dan Erotic Dreams”, selain menjelaskan defenisi dan beda dua hal dalam tema itu, selebihnya adalah perayaan pengalaman seksualitas. Mario Lawalata yang dihadirkan sebagai bintang tamu misalnya, tampil tanpa beban ”mendidik”. Ia dengan santai berkata, ”Karena sudah dewasa, saya bisa kan masturbasi,” ketika ditanya bagaimana menyalurkan libidonya.

Tak ada yang salah dengan jawaban Mario. Masturbasi memang ”hal wajar” sebagai pelepas katup keterangsangan. Tapi, tindak masturbasi seharusnya mendapatkan penjelasan. Mario menghadirkan masturbasi itu dalam kekosongan alasan. Dan Zoya Amirin atau Chantal tidak sigap untuk masuk ke celah kosong itu.

Barangkali Zoya dan Chantal, juga Mario, berangggapan penonton sudah mengerti. Dan mereka tidak cemas. Tapi kita tahu, banyak masalah seputar tindak mastrubasi: kecemasan berlebih, perasaan berdosa, ketakutan impotensi, sampai durasi sebelum ejakulasi. Zoya seharusnya masuk ke ruang itu, dan atau menciptakan narasi untuk penghadiran ruang itu. Tapi mereka memilih tertawa, dan ”soal” masturbasi terbuang begitu saja.

Subsidi Imaji

Hilangnya unsur pendidikan dalam tayangan ini tampaknya bukan sesuatu yang disengaja. Berbagai tema yang dipilih secara jelas memang mengisyaratkan tentang eskplorasi seksualitas. Tayangan Jumat (28/9) misalnya, yang membahas ”Posisi Bercinta” memang diniatkan untuk hadir sebagai penjelas. Bahkan, statemen dari Fajar, ”Kami suka WOT dan doggy style. Keduanya membuat saya lebih mudah mengontrol orgasme,” adalah ”skenario” yang amat tampak dihadirkan untuk bisa masuk ke sisi penjelasan. Apalagi kemudian, Novita, patner seks Fajar mengangguk, sembari tersenyum ia menambahkan, ”Kami bisa bareng-bareng orgasmenya.”

Kehadiran bintang tamu Marcell dan Rima Melati Adams juga menegaskan ”misi” pendidikan itu. WOT alias women on top dan juga doggy style dieksplorasi kelebihan dan kekurangannya. Posisi apa yang nyaman buat wanita, sampai kemungkinan menghilangkan rasa sakit dan tak nyaman. Intinya, secara serius tayangan itu memang berusaha menghadirkan seks sebagai ”konsumsi” legal dan menjaga agar tak menjadi perayaan atau kebebasan seksual.

Namun di situlah masalahnya. Karena takut wacara pendidikan jadi jatuh sebagai perayaan kebebasan seks, acara itu justru tanpa sadar merayakan seksualitas. Represi atas seks bebas justru membuat kebebasan seks itu tetap hadir, meski tersembunyi.

Freud menyatakan, represi tak akan terpisahkan dari fenomena kembalinya yang direpresi, the return of the repressed. Sesuatu masih tetap ada dan berfungsi, dan masih senantiasa berbicara, di tempat ia ditekan. Ia akan tetap hadir, dalam diam, dalam sembunyi, dalam sunyi. Selama ditabukan, ditekan, kapan pun, di mana pun, seks bebas akan hadir. Tak terelakkan.

Pertama, lihatlah penonton yang hadir, yang selalu dilahapi kamera. Nyaris berusia muda, dan tampaknya belum menikah. Inilah penonton yang suaranya terkadang cekikikan ketika percakapan memasuki wilayah sensitif. Penjelasan bahwa ”Sexophone” adalah tayangan dewasa runtuh dengan kehadiran ABG di panggung. Tapi, bukankah para remaja juga berhak untuk mendapatkan pendidikan seksual, termasuk gaya dan teknik berhubungan intim? Jika itu yang dijadikan alasan, maka penelitian Jana L. Kim dan L. Monique Ward yang dipublikasikan dalam jurnal  Psychology of Women Quarterly layak jadi rujukan.

Mereka setelah meneliti 150 mahasiswa sampai pada kesimpulan, ”ketika disuguhi berbagai pesan tekstual yang eksplisit tentang seksualitas wanita dalam artikel-artikel tersebut, pembaca pun cenderung berperilaku atau menuruti gairah seksualnya, dan menganggap itu lebih menguntungkan.” Jana juga menemukan bahwa akibat membaca artikel seks, mereka secara khusus memandang seks pranikah tidaklah berisiko.”

Jana dan Monigue hanya meneliti remaja yang terpapar pesan seks secara tekstual, dan dampaknya sudah demikian. Bayangkan jika pesan seks itu tampil secara visual dan terus direpetisi? Pakaian pemandu acara, misalnya, jadi terasa punya nilai tanda berbeda ketika berkaitan dengan cara kerja kamera yang pasti melahapi tubuh-tubuh terbuka Chantal dan Zoya. Benar-benar melahapi!

Kedua, narasi tayangan ini tidak terjaga. Gea, penyanyi dalam tayangan Jumat (28/9) itu misalnya, menggunakan kata ”pasangan seks”, bukan suami. Pemilihan kata ”Pasangan seks” meluaskan makna keintiman pada aspek suka atau boleh dan bukan legal. Ini hal yang sepele, namun memiliki implikasi yang luas.

Ketiga, dan yang paling penting adalah pemilihan bintang tamu. Di sesi ”Ejakulasi Dini” (4/10) dihadirkan Yeyen Lidya, presenter dan model majalah dewasa. Di edisi ”Mimpi Basah dan Erotic Dream” dihadirkan Mario dan Anita Hara, model yang juga tak bisa jika tak tampil sensual. Kehadiran Yeyen dan Anita adalah ”afirmasi” pada kebebasan hidup dan seks. Sosok mereka yang sudah ”terimajikan” di benak penonton memfigurasi atau membubuhi tayangan ini. Tanpa sadar, terjadi persenyawaan, persetubuhan pesan, subsidi imaji,  dari sosok mereka ke dalam tayangan.  Mereka yang semula hadir diniatkan sebagai ”bumbu” malah beralih menjadi menu.

Meminjam analisa Freud tentang mimpi, sebuah karya menjadi penting bukan hanya karena apa yang ditunjukkannya melainkan apa yang disembunyikannya. Dan mengadaptasi Pierre Macherey dalam A Theory of Literary Production, tersebutkan bahwa selalu ada kesenjangan, penjarakan internal, antara apa yang ingin disampaikan sebuah tayangan dan apa yang benar-benar dikatakannya. Pesan sebuah tayangan kadang tersembunyi pada ‘apa yang dipaksa dikatakan agar mengatakan apa yang dikatakan’.

”Kita senantiasa, pada akhirnya, menemukan di ujung teks itu, bahasa ideologi acap tersembunyi, tapi justru terasa oleh ketidakhadirannya itu sendiri,” ucap Macherey.

Promosi seks bebas memang tersembunyi dalam tayangan ”Sexophone”, tapi dia ada, dan tanpa sadar, berdiaspora dalam benak kita. Sungguh berbahaya.

Anang dan Kemenangan Ingatan

May 19, 2011

Anang, barangkali, sudah disuratkan untuk selalu jadi pemenang. Dan Syahrini terlambat menyadari hal itu, ketika telah terlanjur menabuh genderang ”perang”. Maka, ibarat permainan catur, bidak tak pernah bisa melangkah mundur, Syahrini, terutama manajer dan adiknya Aisyahrani, terus menembakkan amunisi, hanya sebagai tanda, mereka belum menyerah.

Kata menyerah sebenarnya tak terlalu tepat untuk kondisi semacam ini. Perang antarmereka sebenarnya bukan di medan yang mereka kuasai. Anang dan Syahrini, berperang di arena yang dikuasai orang ramai: pemirsa. Di antara pemirsa itu ada penggemar keduanya, yang fanatik, dan yang apatis. Tapi yang paling utama dan menentukan arah perang itu adalah pemirsa yang punya ingatan, tahu kesejarahan duet Anang-Syahrini.

Dan karena itulah, Syahrini tak akan pernah bisa menang.

Dalam ingatan banyak orang, Anang bukanlah sosok yang kini dituduhkan pihak Syahrini. Mantan suami Krisdayanti itu sudah terlalu dalam masuk ke memori banyak orang sebagai lelaki yang humble, tenang, dan matang. Anang tak pernah terlihat emosional, dan selalu menjaga bicara, meski dengan diksi yang terlalu biasa. Ia pria yang sederhana, dan melihat masalah dengan cara yang sederhana, mempersempit konflik, mengusahakan kesepahaman, dan menjadikan diri sebagai tameng untuk orang yang dia sayang.

”Jika Yanti melakukan kesalahan, saya minta maaf. Sebagai suami, sayalah yang pertama-tama bersalah…” itulah ucapannya, ketika KD tersangkut gosip selingkuh dengan Tohpati.

Ketika KD tersangkut narkoba, seperti pengakuan sang diva itu, Anang juga yang ”mengobatinya” di sebuah pesantren di Jawa Timur, diam-diam, tanpa amarah, tanpa menyalahkan. Anang selalu menjadikan dirinya sebagai imam, pemimpin, dan KD adalah makmumnya. Jika makmum menyimpang, bagi Anang, sang imam yang pertama kali mendapat teguran.

Dan ketika KD berkhianat lagi, lagi, Anang memilih cara yang paling elegan, melepaskan ikatan perimaman tersebut, bercerai. Nyaris tanpa kemarahan ke media, bahkan tanpa aduan, apalagi ungkitan tentang jasa dan kesakitannya ”mengurus” dan ”mendivakan” KD.

”Saya dan Anang itu klop, ibarat tumbu ketemu tutup,” bangga KD, dulu.

Sebagai ”tutup”, Anang memang ”bertugas” menyimpan, merahasiakan. Dan jika pun tak mampu menahan, dia dapat bersuara, berkata, dengan isyarat, dengan makna yang bertingkat. Tidak frontal, emosional, apalagi menyerang-garang. Itulah sebabnya, ketika sang tumbu mencampakkan tutup, Anang hanya bersuara, merintih, rasa sakit yang dia bungkus dengan indah, ”Sepatuh Jiwaku Pergi” dan ”Jangan Memilih Aku” atau ”Tanpa Bintang”.

Sikap Anang itu telah membuat penonton berada di pihaknya. Anang seakan menjadi anomali dalam dunia industri, yang populer dengan menyebar sensasi, kadang gosip racauan-racauan kontroversial. Meski kemudian Anang masuk pada jualan ”kemesraan”, tetap saja gaya ”malu-malu” yang menjengkelkan penggemarnya itu, menjadi tali komunikasi paling kuat menjelaskan ”kesederhanaannya”. Justru di titik itu, Syahrini mengendali sebagai sosok yang glamour, acap memberi ”tekanan” pada kemesraan mereka, dan memberikan diksi-diksi penguatan sosok Anang dalam hidupnya.

”Saat ini Mas Anang memang orang yang paling berjasa dalam karier bermusik saya. Tanpa Mas Anang, Syahrini tidak mungkin akan seperti sekarang ini,” akunya, jujur, tulus, spontan.

Lalu Anang-Syahrini yang begitu fenomenal, sampai membuat fans berharap mereka berpacaran dan kemudian kawin, pecah kongsi. Syahrini memilih berkarier sendiri, karena Anang berduet dengan Aurel, dan kemudian Ashanty, yang lalu menempel sebagai kekasih. Dan, sikap Syahrini mulai berubah, setidaknya itulah yang tayang di berbagai infotainmen. Komentarnya mulai pedas, dengan diksi yang penuh sindiran, dan sunggingan senyum, yang dapat dibaca sebagai sikap ketakpuasan, bahkan cibiran. Puncaknya, dengan yakin dia mengatakan posisi yang dia raih selama ini bukan campur tangan orang lain, tapi atas pemberian Tuhan atas kerja kerasnya.

Syahrini mulai menghapus kehadiran Anang. Dia mulai membawa nama Tuhan, bukan untuk mengagungkan Sang Pencipta, tapi sebagai bemper atas argumentasinya untuk ”mengusir” peran Anang. Dan kemudian, terutama lewat adiknya, ”cacat” Anang dia ungkap, dan tak lupa membombastiskan keluguan dirinya. ”Dengan Anang itu proyek ikhlas…” katanya, menyebut ketiadaan bukti hitam-putih kerja sama.

Anang, seperti biasa, selalu mendiamkan hal-hal seperti itu. Dia bicara, seperlunya, santai, ringan, bahkan tertawa-tawa. Lucunya, dia justru merasa bangga pernah bekerja sama dengan Syahrini, seperti dia dulu juga amat bangga pernah hidup sebagai suami bersama KD. Bayangkan! Anang, dengan lugas mengakui, Syahrini telah membantunya meraih popularitas, dan itu sebuah kerja yang luar biasa.

Anang memang lahir untuk jadi pemenang. Bukan karena dia punya banyak strategi, melainkan dia menguasai hati dan ingatan banyak orang. Memori khalayak yang tak pernah dia rusak itulah modal terbesar Anang untuk dengan diam dan senyum, sudah dapat menangkal berbagai tuduhan. Apalagi, Anang terlihat begitu percaya diri, tak risau, atas tuduhan itu. ”Semua kontrak ada, bukti ada…”

Syahrini barangkali tahu Anang tak akan banyak bicara dan membela diri. Sebagai pasangan duet yang bersama nyaris setahun, dia tahu ”kelemahan” Anang itu, yang tak suka pamer diri di luar karya. Maka, Syahrini ingin ”menguasai” media, menginfiltrasi citra Anang dengan cara yang sama, mencipta lagu sebagai manifestasi kesakitan hatinya, ”Kau yang Memilih Aku”. Namun, dia lupa ada Hadi Sunyoto, manager Anang, yang berani bersuara, dan juga ikut menabuh genderang.Hadi, sosok yang Syahrini abaikan ini, sebenarnya adalah personifikasi dari penonton, pengemar, yang punya ingatan, yang mengerti sejarah Syahrini, tahu betul siapa Anang.

Dan di depan penonton dan penggemar yang punya ingatan, Syahrini sulit untuk memenangi perang. Arena yang dia masuki adalah milik orang banyak, memori yang telah sekian lama dibangun Anang, bahkan sebelum Syahrini jadi penyanyi. Tak heran jika dia jadi tergagap-gagap, terus bersuara, hanya untuk meyakinkan media bahwa mereka berani, ada, meski kemenangan dan ”kebenaran” kian jauh dari genggaman. Bidak memang tak mungkin melangkah mundur, meski mungkin hancur…

Udin Tengu dan Gajah KPI

April 21, 2011

Dalam humor, kita tahu, Bill Cosby dan Mahatma Gandhi dapat ”bertemu”. ”You can turn painful situations around through laughter. If you can find humor in anything, even poverty, you can survive it,” kata Cosby. ”Apabila tidak memiliki selera humor, pasti telah lama saya bunuh diri,” timpal Gandhi.

Tapi, disebabkan humor juga, banyak orang yang berpisah jalan, dan merentang pertikaian. Sualuddin dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Nusa Tenggara Barat (KPI) misalnya, bersilang kata soal mana yang lucu dan apa yang menghina.

Sualuddin, penyanyi lagu ”Udin Sedunie” yang populer lewat You Tube, dan kemudian ”dijual” SCTV itu, memang merekam lagunya dengan maksud melucu, bercanda, bahkan dengan gaya yang konyol dan lebay. Sebuah sikap atau cara, yang seperti kata Cosby, menghumori segala hal, termasuk namanya, untuk mengubah dirinya. Namun, KPI yang didukung Majelis Ulama Indonesia Nusa Tenggara Barat dan pemuka agama setempat punya cara nalar yang berbeda. Tiga nama Udin di dalam lagu ”Udin Sedunie” itu, mereka nilai tak sopan dan berkonotasi negatif, bahkan melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang penyiaran terutama pasal 36. Lagu itu dianggap tak sesuai dengan isi siaran yang dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan, dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama serta martabat manusia Indonesia.

”Radio dan televisi di NTB maupun di Jakarta dilarang menyiarkan yang ada tiga kata itu,” tegas Wakil Ketua KPI NTB, Sukri Aruman.

Seperti dicatat Tempo, tiga nama yang mereka larang dinyanyikan adalah Syarafudin (udin yang stres), Sapiudin (Udin yang suka menggembala sapi), dan Tahirudin (Udin yang senang berada di WC). ”Ada unsur melecehkan orang yang bernama Udin,” yakin Sukri.

Tuduhan yang serius, memang. Dan Sukri memiliki landasan, Undang-Undang. Tapi, sebagai produk orang-orang pintar –mengutip kata Ketua DPR Marzuki Ali– UU Penyiaran itu terlalu berlebihan dilawankan dengan karya Udin yang, maaf, seperti kata Marzuki lagi, rakyat biasa yang tak mengerti pikiran orang pintar. Ibarat pribahasa, melawankan gajah dengan tengu.

Tapi tak apalah, sementara ini, kita anggap saja tiga nama itu memang melecehkan. Udin, sebagai identitas, memang punya makna, arti, maksud, dan setiap nama adalah doa. Masalahnya, dan ini yang barangkali tak disadari Sukri KPI dan MUI, identitas itu bukan sebuah wilayah yang ajeg, diam, dan selesai. Identitas, seperti kata Jonathan Rutherford dalam Identity: Community, Culture, Difference, adalah mata rantai masa lalu dengan hubungan sosial, kultural, dan ekonomi di dalam ruang dan waktu suatu masyarakat. Identitas itu dimiliki bersama, disepakati, sebagai pembeda. Dan karena terbentuk dalam hubungan sosial, identitas itu dipelihara sekaligus amat mungkin dimodifikasi. Dan karena itu, menurut Stuart Hall, sebagaimana dikutip Rutherford  dalam buku yang sama, ”Identitas itu tidak pernah sempurna, selalu dalam proses…”

Ketaksempurnaan itu, ketika bergerak dalam proses itu, identitas selalu cair dan mengambang, tak terpihaki (undecidable). ”…setiap orang lalu kehilangan orisinalitas identitas,” kata Baudrillard dalam America, dan terdiferensiasi. Identitas menjadi sesuatu yang profan, ringan, dan dapat dipertukarmaknakan.

Barangkali, dalam kaitan itulah lagu ”Udin Sedunie” layak ditempatkan.

Udin sebagai nama terambangkan dalam proses sebagaimana ”mekanisme pasar”, bukan menciptakan eksklusivitas pemaknaan melainkan sarana kesenangan, permainan, dan kenikmatan, yang dalam bahasa Barthes, jouissance. Nama Udin dengan segala variannya itu hadir dalam ketakbermaknaan (meaningless) dan sekadar mencari efek esktasi ujaran, untuk tertawa, dalam gembira, penuh canda.

”Lagu itu sekadar untuk menghibur. Keluarga saya sendiri banyak yang bernama Udin. Adik saya bernama Awaludin, dan kakak ipar saya Akhirudin,” terang Sualudin. ”Bahkan yang bernama Tahirudin juga minta agar namanya dimasukkan.” Nah!

Humor dengan demikian, bukan sesuatu yang menakutkan dan atau melecehkan. Mark Twain bilang, ”Humor is mankind’s greatest blessing.” Sebagai rahmat, humor pasti memberi manfaat, bukan laknat. Dan itu juga yang tak disadari KPI, pun MUI. Sebagai rahmat, seharusnya, lagu ”Udin Sedunie” dapat diberi tubuh, atau ruh, untuk digerakkan dalam kemanfaatan yang lebih luas. Identitas Udin dengan berbagai varian itu seharusnya dapat menginspirasi penciptaan teritori baru untuk maksud yang lebih luas. Daripada berkubang dengan ”makna pelecehan”, MUI dan KPI dapat membuat ”makna syiar”, dengan memanfaatkan medium yang sudah populer itu. Apalagi, sepeti kata Adorno dalam ”On Popular Music”, sekali sebuah lagu populer, maka lagu itu akan dieksploitasi hingga mengalami kelelahan komersial. Dan hal itu dapat terjadi karena sebuah lagu pop selalu bersifat mekanis, yang detail tertentu bisa diganti dari satu bagian ke bagian lain tanpa efek apa pun dan tak mengubah keseluruhan.

Udin misalnya, memainkan ”teori” Adorno itu, dengan mempingpong makna baru, dalam tiap lagunya. Dia pernah memasukkan Nasiudin untuk Udin yang suka makan nasi, dan, ini sembari tergelak, menyebut Jaheudin sebagai Udin yang suka minuman pedas, di acara ”Inbox” SCTV. Bahkan Andhika serta Gading Martin, host acara musik itu, menimpali dengan menyubutkan nama-nama Udin yang membuat penonton terpingkal-pingkal. MUI misalnya, bisa meminta Udin memasukkan nama Khatamudin, sebagai Udin yang suka mengkhatamkan Quran, atau Sunatudin, Udin yang suka mengerjakan sunah nabi. Apalagi, lagu itu pun telah memberi contoh dengan Alimudin, si Udin yang suka pergi ke masjid.

Dalam kasus inilah kita melihat humor telah dijadikan KPI dan MUI sebagai alat untuk meneguhkan kekuasaan, seakan tertawa sama nilainya dengan syariat yang harus dijaga kesuciannya. Humor tidak ditempatkan sebagai rahmat, yang membuat orang seperti Sualuddin memperoleh nasib yang jauh lebih baik. Padahal KPI semestinya dapat berlaku rileks saja, tertawa mendengar pacar si Udin yang telah lahir, si Siti, ”Siti yang suka bernyanyi namanya Siti Nurhaliza. Siti yang senang berdoa namanya Siti Aminah, Siti yang ngenyang setiap belanja namanya Siti Munawarah.”  Atau guyonan yang lebih kacau lagi, ”Siti yang suka tinju namanya Sitison, Siti yang takut kucing namanya Sitikus, dan Siti yang suka jalan-jalan, namanya Siti Walk, serta Siti yang kurang ajar suka nipu-nipu dan bentak-bentak, namanya Sitibank.”

”Humor merupakan sesuatu yang tumbuh subur di antara aspirasi manusia dan keterbatasannya,” bisik  pianis dan komedian Denmark Victor Borge,  ”Ada lebih banyak logika pada humor dibanding hal-hal lainnya.” Apalagi, kita tentu tak ingin, seperti kata jurnalis Amerika Erma Bombeck, ”When humor goes, there goes civilization, ketika humor lenyap, hilang jugalah peradaban.”

Malinda Dee & Metafora Dada

April 6, 2011

Malinda Dee bukan selebriti, dan apa pun tingkahnya, seharusnya infotainmen bisa mengabaikannya. Tapi ternyata tidak. Infotainmen tetap menggelar kasus MD, dan pasti bukan semata karena kecerdasan kriminalitasnya. Memang, ada kehadiran Andhika Gumilang, bintang film dan iklan, yang bisa dijadikan newspeg. Namun, ternyata, porsi Andhika sebagai suami muda, kalah menarik ”disiletkan” daripada tubuh Malinda Dee.

Dan terjadilah komentar yang mewakili kepenasaran banyak pihak. Streotip Fenny Rose pun meruak, untuk bertanya, apa yang terjadi dengan wanita yang ketika remaja berjampul-poni itu, sehingga bisa ”dari bebek menjadi angsa”. Jawabannya sederhana, uang. ”Kebebasan finansial” telah membuat Inong Malinda, nama aslinya, yang tidak populer ketika remaja, dapat mewujudkan semua fantasi termutakhirnya tentang tubuh yang sempurna.  Dan seperti kataTempo, uang, tubuh, dan gaya hidup kelas atas itulah yang membuat dia dapat diterima kalangan sosialita Jakarta.

Andhika Gumilang pun tentu dia dapatkan sebagai ekses dari tiga hal itu.

Maka, di televisi, yang tayang kemudian adalah MD –nama ini pasti dulu dimimikrikan dengan KD– bukan sekadar sebagai pesakitan, tapi pesohor yang bohayMetro TV misalnya, menayangkan aksinya di atas panggung, ketika memeragakan busana. Dan, mata kamera, jujur saja, tak menyasar pada kebaya, tapi pada ”ciri khasnya”, yang barangkali akan membuat Julia Perez tak lagi bisa jumawa, dada.

Ya, selain kelangsingan yang memesona, tubuh putih MD memang mengundang keterperangahan pada wilayah dada. Saking seriusnya persoalan dada itu, polisi bahkan tak bisa menyediakan pakaian khusus tersangka padanya. ”Aduh, enggak ada yang pas,” kata Kabareskrim Komjen Pol Ito Sumardi, dengan gerak tangan menunjuk dada, dengan mimik serius saat ditemui wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (5/4).

Persoalan tubuh dan uang itu jugalah, di mata media, yang membuat Malinda lebih populer dari penipu cantik Selly Yustiawati. Tubuh MD sebagai aset ”ditempatkan” dalam konteks atau status yang lebih tinggi dari Selly. Malinda, sederhananya, ”memainkan” tubuh untuk kelas sosial yang jauh berbeda. Dan visualisasi juga narasi di televisi menunjukkan ”kepongahan” tubuh itu.

Tubuh Sosial

Tubuh adalah metafor, dan sebagai metafor, tubuh menyatakan lebih daripada apa yang tampak. Tubuh bukan hanya dapat dilihat sebagai sesuatu yang alamiah atau badanniah, tapi juga sesuatu yang magis. Bahkan menurut Michael Foucault, pemikir paling serius tentang tubuh, persepsi seseorang tentang tubuh adalah efek dari struktur sosial di sekitar kita. Tubuh hanya bisa dilihat sebagai sesuatu yang non-alamiah, memuat citra, tanda, dan prilaku, dan hanya dapat dipahami dalam konsekuensi perubahan sosial. Atau bahasa mudahnya, tubuh seseorang memuat dan menunjukkan tanda dan perilaku, juga situasi sosialnya. Dan dalam kaitan inilah, visualisasi tubuh MD dalam kasus di atas dapat kita baca.

Kamera atau foto yang melahap tubuh Malinda dan menunjukkannya kepada penonton sesungguhnya mengajak kita untuk melakukan tiga hal: berpikir (think), merasa (feel), dan berfantasi (fantasy). Jika tiga hal itu dilakukan, penonton akan mendapatkan sebuah ”jawaban” dari semua kasus di atas, yang secara verbal tidak mungkin dinyatakan oleh infotainmen tersebut. Bahkan, untuk ”membantu” penonton, aksi panggung berkebaya Malinda dapat terus diputar ulang dan juga dalam gerak slow motion, sehingga gambaran ketubuhan itu kian jelas.

Foto dan video tubuh ”alamiah” Malinda meminta kita berpikir seperti Andhika, suami mudanya. Wajah MD yang masih sangat kencang, dengan tulang pipi yang menonjol, tubuh  langsing, dan kaki yang bagus di usia 47, membuat pikiran penonton membandingkan langsung wanita seumurannya. Kamera teve dan berbagai foto yang secara lugas menonjolkan tubuh segar MD itu meminta penonton merasa ada sebuah ”kepantasan” badaniah bagi Andhika untuk bersedia menjadi suami mudanya.

Getaran tubuh ”alamiah” dalam kamera itu juga meminta penonton seolah merasakan dan berfantasi sebagaimana rasa dan fantasi Andhika yang tercukupkan, sebagai pria muda. Di sinilah tubuh itu merespresentasikan dirinya sebagai mesin hasrat, yang meminta untuk dipuaskan. Tubuh sebagai mesin hasrat inilah yang dalam rangka pemenuhan kebutuhannya dapat melanggar norma dan tabu. Sebagai mesin hasrat, tubuh-tubuh itu bukan hanya meminta dipuasi,  melainkan juga meminta dipahami bagaimana cara kepuasan itu didapatkan.

Tubuh sebagai metafor juga menampilkan tanda sosial yang lebih jelas.  Tubuh MD menjelaskan lebih banyak daripada yang tampak. Seruan seorang pembaca saat tahu sosok MD, ”Besarnya… kaya lagi, gelap mata deh Andhika, hahaha…” atau, ”Wow… pantas Andhika jadi iklan Bebaskan Ekspresimu, hehehe..” adalah ungkapan yang paling tepat meski sederhana. Tubuh MD memuat tanda sosial yang sangat jelas. Di usia 47, tubuhnya bak remaja. Pipi kencang, dan badan nyaris tanpa lemak. Tubuh MD membuat penonton langsung berpikir tentang operasi plastik, diet yang ketat, olahraga dengan istruktur hebat, dan lingkup pergaulan yang luar biasa. Tubuh MD bukan hanya dimuati oleh semua ikon kecantikan yang ditawarkan industri melainkan juga menjelaskan betapa adaptifnya dia dengan semua itu. Dan lebih dari itu, tubuh MD menjelaskan status sosial-ekonomi dirinya. Hanya orang sangat kaya sajalah yang dapat merawat dirinya bak remaja di usia senja. Dengan tubuh sosialnya, MD bak permata di usia tua, yang banyak memancing para kolektor untuk memiliki atau menyentuhnya. ”Tanda tangan nasabah juga kerap di atas punggung Malinda,” catat Tempo.

Tubuh sosial itulah yang membuat cinta Andhika bergayut manja. Membuat ratusan nasabah mau menyerahkan miliar duitnya untuk ”dikelola” MD, bertekuk lutut dalam rayuan, kata Tempo, dan menyerahkan blanko kosong. Kecantikan dan tubuh sensual MD, memang punya semacam ”kekuasaan” yang membuat hidup dapat berjalan lebih mudah. Atau mengikuti Paul Virilio dalam The Aesthetics of Disappearance, ” …kekuasaan yang menawarkan kesenangan, kegembiraan, dan kemudahan-kemudahan; kekuasaan yang memungkinkan setiap individu untuk menentukan posisinya di dalam wacana-wacana yang ditawarkan industri.” Kecantikan membuat seseorang merasa dirinya memiliki identitas, kartu akses, yang dapat membuatnya melenggang…

Jadi, kamera yang menampilkan ”kesempurnaan” tubuh Malinda setidaknya memberi kita ruang untuk membaca, merasa, dan berfantasi, seperti Andhika dan nasabah-nasabah itu. Dan dengan cara itu, setidaknya, sedikit tafsir yang berbeda kita dapatkan. Mungkin jadi lebih gampang bagi kita untuk menerima mengapa Andhika dapat menjadi suami muda, dan Malinda mampu merayu-tipu miliaran duit nasabahnya –yang sebagaian besar tak mau membuka identitas. Di depan kebohaian Malinda,  kita jadi dapat mengira betapa hebat daya isap goda, betapa tidak sempurnanya manusia….

Syahrini, Tuhan, dan Kacang

March 24, 2011

Yang mulia dari dirimu bukanlah di mana posisimu saat ini melainkan bagaimana caramu meraih posisi itu.

Syahrini, barangkali, tengah menegaskan hal itu ketika berkata, ”Kesuksesan aku bukan karena bantuan manusia. Ini pemberian Tuhan.” Dia seperti memberi makna bahwa sebagai ”pemberian Tuhan”, anugerah, tentu sukses itu dia dapat dengan jalan yang benar dan halal. Ada proses yang tidak melanggar dari rambu yang dipatok agama. Tak heran juga, seusai kematian ayahnya, Syahrini pun selalu berkata dengan mata yang menerawang, ”Papa selalu mengingatkan aku agar ingat salat, dan menutup aurat.”

Tapi tentu kita juga tahu, Tuhan bekerja bukan dengan cara yang bisa selalu diurutkan dalam logika. Dia memberi, terkadang, lebih sebagai misteri, bukan ”upah” atas kepatuhan kita. Dan karena itu, ”pemberian Tuhan” tidak selalu berbanding lurus dengan ”kesetiaan di jalan-Nya”. Kausalitas, sebab-akibat, pilih kasih, pamrih, adalah pikiran manusia. Dia bekerja dengan cara-Nya sendiri.

Karena itu, bisa jadi ucapan Syahrini, ”Kesuksesan aku bukan karena bantuan manusia. Ini pemberian Tuhan” bukan semata memuliakan Yang di Atas, melainkan dan terutama, untuk mengeliminasi kata sebelumnya, ”bantuan manusia”. Dan kita tahu, kalimat ”bersayap” itu mengarah kepada Anang. Apalagi, dia memberi jelas dengan kalimat sebelumnya, ”Seorang perempuan juga bisa punya semangat juang tanpa suport dari orang lain.”

Tanpa suport orang lain? Syahrini jelas ”lebay”. Tapi kita dapatlah memaafkan hal itu. Dia tengah berada di posisi puncak, kerap disorot media, dan itu dengan semacam ingatan, ”Kesuksesanmu karena Anang”.

Dulu, sebelum ”bercerai” dari Anang, tak ada bantahan darinya. Sembari bergayut manja, atau melempar senyum, kadang lirikan ”gimana gitu”, dia akan berkata, ”Mas Anang mengubah hidup saya…” atau kalimat pujian dan pengakuan sejenisnya. Tapi kini, ketika ”talak” telah terjadi, Syahrini bergegas menghapus jejak Anang dalam dirinya. Penghapusan itu bahkan tidak cukup dengan dua kalimat negasi di atas, tapi juga dalam bentuk lagu, ”Kau yang Memilih Aku”.

Lagu yang ”menyerang” tentu, meski dengan nada-nada sendu. Dengar liriknya, ”Kau yang telah memilih aku/ kau juga yang sakiti aku/ Kau putar cerita/  sehingga aku yang salah// Kau selalu mempermainkan wanita/ Kau ciptakan lagu cinta/ hingga semua tahu/ kau makhluk sempurna//“.

“Ini kisah nyata, di mana aku lakonnya. Aku yang merasakan feel lagu ini. Aku memang mau curhat lewat lirik yang indah. Lirik yang frontal sebenarnya. Pengalaman hidup secara personal,” kata Syahrini, usai menjadi bintang tamu acara ”Dahsyat” di studio RCTI, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Senin (21/3).

”Menghapus” masa lalu, atau rekam jejak seseorang di dalam karier, bukan hal tabu dalam dunia industri. Penghambaan dan kekaguman pada diri sendiri terkadang menjadi titik didih yang tak terkendali. Proses, yang menisbatkan keterlibatan orang lain, kadang disembunyikan, atau tak diakui. Jika pun terucap, lebih sering terasa sebagai basa-basi. ”Aku bisa karena perjuanganku sendiri” dijadikan mantra justru ketika tengah berada di puncak.

Syahrini, dengan ”Seorang perempuan juga bisa punya semangat juang tanpa suport dari orang lain” berada dalam euforia itu. Dia dalam situasi tertekan, ketika publik ragu, akankah tanpa Anang popularitas yang sama dapat dia genggam? Karena, bertahun sebelumnya, Syahrini bukanlah siapa-siapa. Dia adalah sosok yang dipilih Anang untuk ”memerisai” diri dari luka Krisdayanti. Dia dipilih Anang untuk menambal separuh jiwanya yang telah pergi. Syahrini ”hadir” di saat yang tepat ketika Anang juga ingin menghapus jejak Krisdayanti yang ”tak mampu setia”. Dan kini, Syahrini membalik posisi itu, dia hapus bekas Anang di dalam dirinya karena ”Kau selalu mempermainkan wanita”.

Ya, berbalas pantun, saling sindir, biasa dalam industri musik kita. Ada lagu ”Jandamu” berbalas ”Dudamu”.  Seperti juga ”Pengkhianat Cinta” Maia Estianti yang berbalas ”Kau Tusuk Aku dari Belakang” Dhani.  Jadi, jika Anang membuat ”Jangan Memilih Aku”, bukan hal aneh muncul ”Kau yang Memilih Aku”. Masalahnya, jika Maia, seburuk apa pun hubungannya dengan Dhani, tak pernah menghapus jejak ‘’sang guru”, Syahrini justru berbeda. Dia ”nekad” menghilangkan jejak Anang, meski, tanpa sadar justru mengakui hal itu secara lebih benderang.

Frasa ”bukan karena bantuan manusia” dan ”tanpa support orang lain”, justru dia bantah dengan ”Kau yang telah memilih aku”.  Sebagai yang ”dipilih”, Syahrini bukanlah subjek, melainkan objek. Dan kita tahu, objek selalu melekati subjek baru bisa berfungsi. Dengan kata lain, jika objek sukses, maka kesuksesan itu tentulah sekadar nimbrung, nunut, terikut oleh kerja subjek. Dan objek tak akan mungkin bisa mengklaim ”kerja” atas nama dirinya sendiri.

”Kau yang memilih aku” menjelaskan tentang diri yang tak memiliki hak untuk mengelak, hanya menjalani, menerima. Dan jika Syahrini mengakui bahwa dirinya hanyalah sosok yang dipilih maka secara tegas dia pun ”mengatakan” kesuksesan itu bukanlah kerjanya, meski dapat menjadi bagian dari haknya.

Sayang, dalam euforia untuk menunjukkan diri dapat berarti tanpa orang lain dan akar kesilaman, Syahrini lupa kontradiksi itu. Dia membawa nama Tuhan untuk ”mengemplang kuasa” Anang, karena hanya itu cara terindah yang bisa dia lakukan. Tapi, dalam euforia, terkadang hal kecil dapat memupus ‘’skenario” indah itu. ”Kau yang memilih aku..” adalah pernyataan bahwa aku tak akan berarti tanpa dirimu. Aku tak pernah meminta, tapi kau pilih, kau beri… sebuah situasi yang pedih, kesadaran non-eksis.

Tapi, yang mulia dari dirimu bukanlah di mana posisimu saat ini melainkan bagaimana caramu meraih posisi itu. Syahrini mencoba menghapus ”cara” dia mendapatkan posisi sekarang. Dan itu benar, karena sebelumnya, sebagai sosok yang ”dipilih”, dia tak tahu cara dan metode itu. Kini ketika dia harus bergerak sendiri, tanpa Anang, wajarlah jika dia hanya dapat pasrah kepada Tuhan.

Kacang bisa mengabaikan kulit tapi kulit tak dapat melupakan kacang. Tapi untuk Syahrini dan Anang, kita jadi rumit menilai mana kulit dan mana si kacang… :D

Manohara dan Ingatan Pasar

February 24, 2011

Apa yang dapat kita ingat dari Manohara adalah persoalan tubuh. Ia, dengan airmata deras, menunjukkan pada kita luka lebam, dan bekas sayatan, di bagian dada. Ia, dengan bantuan ibunya, Daisy, membuka mata kita tentang dua soal yang tak gampang diurai: cinta –yang gaib, batiniah, dan tubuh –yang nyata, teraba. Dalam tragedi Manohara, kita menemukan kausalitas antara cinta yang cidera dan tubuh yang terdera.

Ia mengajak kita ingatan kita tamasya pada dua periode yang berbeda: tubuh Manohara sebelum ke Malaysia, dan sesudah menikah dengan Fakhry, si pangeran kaya. Dengan bantuan infotainmen, kita menemukan kontras tegas, tubuh pertama demikian sintal, sensual, dan, ”model yang diperkiraan akan menjadi ikon produk kecantikan,” kata narator ”Insert” Trans TV. Tapi tubuh kedua, yang tampil dengan tangis itu, sudah melebar, gemuk, dengan lengan bawah yang tergayuti lemak. Beberapa video dirinya di Malaysia yang tertawa dalam berbagai acara negara, dan dengan tubuh yang ‘’sentosa” itu, ternyata tak berbanding lurus dengan kebahagiaan. Kegemukan adalah kemalangan. ”Dia dipaksa makan oleh Fachri, biar cepat gemuk!” tegas Daisy.

Dan ketika di tubuh gemuk itu berdiam lebam dan bekas sayatan, Mano mendapatkan senjata.

Mano menggugat, Daisy menghujat. Mereka mendapat iba.

Dan kemudian kita tahu, publik jadi berada di belakang Manohara. Asmara dan luka yang semula hanya melibatkan sepasang manusia, berubah menjadi ”percakapan” bangsa, dan politik identitas pun menemukan ruangnya. Mano pun menang, dan ia melenggang. Kisahnya kemudian jadi ‘’sejarah”, meski tak semua orang mau mengingatnya.

Tapi bagi Mano, sejarah kepedihan itu tak pernah dapat dia abaikan.

”Sejarah yang selalu dikenang bukanlah sejarah yang penuh dengan romantika manis. Namun, apa yang selalu membayangi orang adalah ingatan akan penderitaan, memoria passionis,” kata Walter Benyamin, filsuf dari Mazhab Frankfurt.

Sejarah jenis itu, tak hanya menjejaki otak dengan tanggal, hari, percik suasana dan hangat percakapan, melainkan telah berubah menjadi verstehen; pemahaman dalam diri, terinternalisasikan, tertubuhkan. Dalam sejarah semacam itulah, masa depan, hidup yang kini dijalani, mendapatkan penebusan.

”Aku tak bisa melupakan masa lalu. Ada fase dalam hidupku yang begitu bodoh, yang sampai kini pun masih membuatku bertanya, ‘kok bisa aku melakukan hal itu’,” kata Shu Qi, aktris China yang kini telah menapak di Hollywood. ”Tapi ya, itu memang hidupku. Dulu.

”Aku tahu telah berbuat keliru. Saat itu, dalam ketiadaan pengharapan dan dukungan keluarga, aku merasa telah dewasa untuk melakukan apa saja,” tuturnya dalam sesal yang punah sebagai tangis.

Manohara, barangkali, berada di fase yang sama dengan Shu Qi. Ia tak bisa lupa, kepedihan itu, pasti, akan mengikuti dirinya sepanjang masa. Sejarah yang, seperti kata Benyamin, akan menjadi penebusan hidupnya di masa depan. Seperti Shu Qi yang bangkit dan menjadi bintang, Mano pun melakukan hal yang sama, bergerak, menentukan arah, membangun hidup baru, membentuk citra. Tapi tak mudah, gelinjang masa lalu itu, selalu membuatnya menoleh, menoleh, meski tidak lagi dengan sesal, melainkan siasat yang kenyal.

Apa yang kita ingat dari Manohara adalah persoalan tubuh. Dan dia amat tahu itu.

Ingatan kita akan tubuhnya yang telah cidera, dalam lebam, dan bekas sayatan, adalah ”pasar” yang luas dan terabadikan. Kita seakan selalu dalam fase tanya, ”bagaimana tubuh Mano setelah luka itu? Apakah bisa sempurna, sesintal dan semulus dulu?

Maka, ketika ada gosip video porno Mano, semua seakan gempita, berharap dalam melihat dan menguji ingatan tubuh yang luka itu. Juga ketika foto-foto tubuh Mano yang berpakaian minim, tengah pesta dan bergoyang di dugem malam, kita mencari-cari, apakah bekas luka dan lebam itu masih ada. Kita penasaran karena berharap ingatan akan tubuh luka itu dapat dibuang, dipunahkan.

Mano mengerti benar hal itu, dan dia pun ”memberi”. Dalam berbagai penampilan, dia tunjukkan tubuh yang telah pulih, tanpa bekas luka, dan ingatan yang tak lagi menyimpan trauma. Pakaian minim yang dia kenakan adalah sinyal diri yang telah kembali, sekaligus senjata yang menodong dengan tanya, ”Tahukah kalian apa yang membuatku dapat bebas dari trauma dan kembali bertubuh ’sempurna’?

Dan karena ingatan kita atas tubuhnya adalah ”pasar”, di sanalah produk ketubuhan dia tebar. Mano menjual produk kecantikan dengan namanya, Manohara, berlabel M, dengan lambang lotus, di bagian tutupnya.

”Lotus membuat jiwa dan kehidupan keseharian mendapatkan peningkatan spiritual. Bunga Lotus mengandung arti murni, bersih, dan agung,” katanya.

Lalu dengarlah penjelasannya, ”Produk ini aman dan halal. Mano telah menjadi kelinci percobaan selama beberapa bulan. Mano puas, tak ada efek samping.”

Mano, dengan percaya diri, juga menyadari, akan ada yang menganggap dia hanya menjual nama, tapi, ”Apa pun opini yang muncul, saya tetap akan berpikir positif dan keep moving,” tegasnya.

Mano benar. Dia memang berpikir positif, dan dapat memanfaatkan sejarah tubuhnya sebagai penebusan, bahkan obat di masa depannya. Dengan bisnis kecantikan itu, Mano meletakkan dirinya secara cerdas untuk terus berada di dalam ingatan banyak orang. Tapi kini, bukan dengan jerit tangis, dan tubuh yang guram dalam lebam serta bekas sayatan. Mano telah melampaui ingatan kesakitan itu dan menuju sejarah baru, tarikh pathos, ketika luka dan derita diubah jadi arah, jadi tujuan. Dan bukan hal yang salah, jika kemudian, ingatan kita akan luka dan lebam tubuhnya dia ubah jadi lapak, tempat untuk berjualan….

Andaikata Minggu tak Pernah Ada

February 12, 2011

Kematian biasanya menerbitkan iba, dan kenangan atas si mayit melahirkan cinta. Kita dapat dengan jelas menemukan contohnya, dalam keberpulangan Adjie Massaid, dan rasa kehilangan Angie.

Adjie yang meninggal Sabtu (5/2), menerbitkan iba yang luar biasa. Kita terhenyak, dan tiba-tiba terserang rasa ‘’seram”, bahwa kematian demikian adikuasa, tak bisa ditawar, dan bersifat memaksa. Adjie yang bugar, tiba-tiba runduk, dan sadar, tak pernah ada negosiasi di depan sang maut. Politikus itu tak bisa memberikan konsesi apa pun di depan elmaut, selain wasiat kepada yang hidup, Angie, istrinya. Dan kita pun terbata, ketika Angie menceritakan kepasrahan itu, ””Angie, take care of everything, take care of the children. Mungkin ini udah waktunya.”

Kematian Adjie membuat kita bukan saja merunduk pada sang maut, melainkan lebih berani melihat hidup. Angie, selepas tangisnya yang demikian menyulut iba, mengingatkan kita tentang hidup yang harus dia jalani, sendiri. Kita pun mengira-duga, kuatkah dia, melangkah tanpa genggaman cinta, merawat Keanu, dan menemani Zahwa dan Aaliya, sendiri. Kita lalu membayangkan hidupnya yang akan terasa sulit, dan tanpa sadar, membandingkan dengan hidup kita.

Maut, di titik itu, membuat kita berhenti, mengevaluasi diri, mencerna hidup.

Kematian Adjie membuat kita bertanya dengan nada iri, apakah kelak kita juga mendapatkan kehormatan, cinta, dan ungkapan kehilangan yang sama, selepas kematian.

Adjie mengingatkan kita bahwa hidup secara bersih dan tulus bukanlah sesuatu yang sia-sia, akan selalu kembali kepada kita, bahkan di saat maut mengambil kita dari dunia.

Adjie menginspirasi bahwa kehidupan itu penting, berharga, dan harus dijaga.

Di atas kematiannya, di basah pusaranya, kita menemukan cinta yang lahir, bermekaran, dan menyesakkan dada. Kita jadi percaya, bahwa energi terbesar manusia adalah mencinta, adalah mencinta.

Kematian biasanya menerbitkan iba, dan kenangan atas si mayit melahirkan cinta. Tapi hari-hari ini, kita juga melihat kematian yang melahirkan benci, amarah, dan dendam. Dan kenangan, juga sejarah sang korban, tak menampilkan rasa belas, justru umpat yang culas. Cinta, seperti juga negara, tak hadir, alpa, dalam kasus pembantaian jemaah Ahmadiyah.

Kematian, yang bahkan datang dalam bentuk yang sadis, entah bagaimana, tak menerbitkan rasa miris karena digonggong kebencian dan perasaan absolut dalam menggenggam kebenaran. Pembantaian jemaah Ahmadiyah, yang merupakan bencana kemanusiaan, bukan dihadirkan sebagai ingatan, ancaman, akan nilai-nilai dasar manusia, tapi direduksi sebagai ”kewajaran” dari kesesatan. Di atas mayat sang korban, para cerdik-cendekia, yang mengaku pemuka agama, berdebat siapa benar siapa sesat, bukan menyatakan empati dan bela sungkawa. Cinta entah menguap ke mana. Padahal, di depan tragedi kemanusiaan bukankah kita seharusnya ”melepaskan” agama.

Tapi lihatlah, negara yang diwakili Menteri Agama bahkan meminta Ahmadiyah dibubarkan, dan atau, membentuk agama baru. Sebuah sikap yang bukan menenangkan, mengayomi sang korban, melainkan seperti ”pembenaran” kerusuhan. Padahal, ”Menteri Agama kan bukan cuma menteri orang Islam, tapi semua umat beragama di Indonesia,” kata Karding, Ketua Komisi VIII DPR RI.

Guntur Romly, aktivis antar-iman, dalam debat ”Apa Kabar Indonesia” TV One, juga mengatakan hal yang sama. ”Bagaimana mungkin di hadapan korban kita masih menyalahkan mereka?”

Beriman sekaligus membantai sesama, saya tak tahu bagaimana formulasi itu bisa ada. Saya juga tak tahu darimana ide membentuk agama baru itu bisa lahir?

Hal di atas cuma membuktikan, dalam amarah, dan mungkin juga benci, kita bukan saja kehilangan kemanusiaan, melainkan juga pengetahuan dan kearifan. Secara cepat, ”kita” membedakan diri dan mengambil garis demarkasi dengan ”mereka”, seakan tanpa hubungan, tanpa ikatan, bahkan atas nama bangsa dan kemanusiaan. Luka, darah, dan kematian,  memang disesalkan, tapi berhenti sebagai ucapan.

Itulah sebabnya, di kematian jemaah Ahmadiyah, kita tak lagi menemukan cinta, dan kita gusar.  Kita melihat kemanusiaan kalah oleh kebencian, dan keadilan dilepaskan dari belas dan iba.

Sabtu (5/2), almarhum Adjie mengingatkan kita tentang cinta, dan hidup yang berharga. Angie memberi kita inspirasi tentang sejarah yang tak berhenti, bahkan ketika Adjie mati. Kita, meski mungkin tak bisa, ingin memiliki dan atau mengenang kisah cinta mereka. Karena kita tahu, dalam cinta, melalui belas dan iba, hidup terasa begitu bersih dan berharga, penuh warna.

Tapi Minggu (6/2), dan juga Senin (7/2) saat tiga gereja di bakar massa di Temanggung, otak kita seakan buntu. Di depan korban, jemaah Ahmadiyah itu, kita merasa malu, menatap cinta yang purna, dan kemanusiaan yang sirna. Kita melihat agama dilepaskan dari cinta, ketika yang ‘’sibuk menentukan batas”, menelikung ”yang menjangkau tanpa batas”. Di depan sang korban, kita berharap tragedi kemanusiaan itu tak tercatat dalam sejarah, tak membekas dalam ingatan.  Di hari-hari ini, barangkali, kita berbisik, ”Andaikata Minggu tak pernah ada, maka Sabtu akan terasa begitu sempurna….”

Next Page »