Tangisan Penonton Perempuan

May 19, 2009

Di dunia ketiga, masihkan teve wakil dari mata pria?

Tangisan selalu dimulai dari perempuan. Setidaknya, begitulah yang acap kita lihat di layar televisi. Di acara “Masihkah Kau Mencintaiku???” yang tayang setiap Rabu malam di RCTI misalnya, 15 menit terakhir pasti diwarnai air mata. Bahkan, tangisan penonton perempuan itu seakan menjadi menu, karena ditampilkan secara close-up, dari satu wajah ke wajah penonton yang lain, mulai gerakan menyusut air mata, menutupkan sapu tangan ke wajah, sampai tarikan napas berat menahan sedan.

Tangisan penonton itu sekilas terlihat wajar. Maklum, di 15 menit terakhir, Helmi dan Dian Nitami memang mengondisikan acara  untuk masuk dalam suasana haru melalui peluk dan isakan; narasumber yang bermaafan. Penonton terbawa, air mata tersita. Namun, tangisan penonton perempuan itu juga tumpah untuk acara yang tak dikondisikan berharu-haruan. Di “D-Show” TransTV Senin (4/5) misalnya, acara itu penuh tawa. Julia Perez membuat Desi Ratnasari tergelak, meski dia bercerita tentang ibunya yang menolak Gaston Castanyo. Dialog ibu-anak itu menyegarkan, seperti percakapan mereka di dapur rumah, tanpa basa-basi, apa adanya. Tapi, tawa penonton itu secara cepat berubah jadi tangisan ketika narasumber yang lain, Siska, mengungkapkan juga penolakan ibunya untuk asmara dia dan suaminya. Perpindahan tangis ke tawa ini terasa menakjubkan. Betapa gampang penonton perempuan merasa, terlena….

Bahkan, tangisan semacam itu juga terjadi di acara musik.

Okky Lukman yang berhasil membawa hadiah Rp 100 juta dalam acara “Missing Lyrics” Trans TV, juga memancing tangisan penonton. Okky, memeluk ibunya, jejingkrakan tertawa-tawa. Di sekitar panggung, beberapa menonton menyusut air mata. Ajaib. Di final “Dream Girl” Global TV (13/5) yang mempertemukan trio Topodade dan 3G, penonton bahkan terisak nyaris sepanjang acara. Padahal, di panggung tak ada pertunjukan keharuan ala “Indonesian Idol”, “Idola Cilik”, atau “AFI”. Topodade hanya bernyanyi, sebaik-baiknya. Bukan lagu sedih, terutama ketika bersama Idol Divo mereka menyanyikan “Hitam” milik Andra & The Backbone. Dan penonton, juga Sita RSD yang menjadi juri, tak hanya memberi tepukan, tapi juga tangisan.

Haru. Sesak. Isak.

Air mata.

Bagaimana bisa bertandang?

Kecairan Identitas

Ya. Dari mana datangnya air mata? Mengingat, bahkan acara sejenis “Masihkah Kau Mencintaiku???” saja, menyisakan lobang logika, sehingga amat terlihat yang terjadi di panggung adalah semata rekayasa. Kesedihan di pentas itu, seharusnya, tak akan memancing tangis. Apalagi nyanyian Topodade. Tapi, kritikus Macherey punya jawaban. Dalam bukunya, A Theory of Literary Production, dia mengatakan setiap pembaca, juga penonton, selalu berada di antara representasi dan figurasi. Representasi adalah tujuan yang ingin disampaikan, subjek narasi, niatan. Sedangkan figurasi merupakan pembubuhan di dalam narasi, yang kadang hadir melalui efek pembayangan. Dalam tindak figurasi, pembaca atau penonton melakukan produksi teks atau cerita sendiri. Dengan kata lain, terjadi “pembentukan” teks atau cerita baru di benak penonton yang bisa jadi berbeda dari yang tersaji di atas panggung. Bahasa gampangnya, penonton melakukan pengkhayalan kembali.

Pendapat Macherey di atas didukung oleh Thomas Elsaesser. Dalam Cinema Futures: Cain, Abel or Cable? The Screen Art in the Digital Age, dia menulis bahwa televisi yang visual sangat mendorong efek figural, menghadirkan dunia tiruan, dunia bayangan. Penonton pun tumbuh dan hidup dalam dunia rekaan. Jadi, jika pun ada tangis, air mata itu tumpah bukan karena cerita yang tersaji, melainkan lebih karena proses keterlibatan dalam sebuah “kesedihan yang dibayangkan, direka-ulang”.

Tapi mengapa penonton perempuan? Neil Postman punya jawaban. Sebagaimana yang juga dikutip Wilson Sitorus, dalam Amusing Ourselves to Death, Postman mengatakan televisi merupakan dunia kapitalis laki-laki yang tak ramah kepada masyarakat lain di luar itu. Dan sebagai “wakil” lelaki, televisi sangat digdaya menghadirkan dan memancing figur/cerita khayalan. Penonton perempuan adalah mangsa, korban. Meski pandangan Postman ini mulai diragukan para feminis, terutama oleh Gamman dan Marshment melalui The Female Gaze: Women as Viewrs of Popular Culture, tapi di dunia ketiga, televisi memang masih menjadi wakil pria.

Di Indonesia, pendapat Postman didukung data AGB Nielsen, bahwa penikmat terbesar televisi adalah perempuan. Dan efek figurasi itu makin kuat karena penonton perempuan tadi berasal dari strata sosial dan ekonomi D-E. Artinya, pendidikan penonton perempuan ini sebagian besar maksimal SMP, dengan pengeluaran bulanan tak lebih dari satu juta rupiah, dengan ketidakmampuan memiliki barang mewah seperti kulkas dan penyejuk ruangan. Mereka adalah ibu-ibu dan gadis.

Namun, lebih dari faktor pendidikan dan ekonomi, pembayangan cerita dan keterlibatan penonton tercipta karena proses pembentukan identitas feminin dalam model cerita sinematik. Mengikuti argumen Stacey dalam Star Gazing: Hollywood and Female Spectatorship, figurasi terjadi karena tercipta kecairan sementara (temporary fluidity) di antara identitas penonton dan aktor. Kecairan dan “pertukaran” identitas itu biasanya dipicu faktor kesamaan keinginan, nasib, dan hasrat-hasrat yang secara potensial ingin mereka penuhi. Maka, apa yang terjadi di atas panggung, secara sementara, tercipta juga pada penonton. Kesedihan, tangis, meskipun itu rekayasa pemanggungan, bagi penonton, bukan  hanya sebuah tayangan melainkan menjadi internalisasi diri, dirasakan, dialami….

Penonton perempuan melompat ke dalam cerita, memainkan perannya. Maka wajar, jika kemudian mereka bersimbah air mata.

Praduga Kehilangan Drama

May 14, 2009

 

Pernikahan selalu dimulai dengan campur tangan Tuhan. Keyakinan itu diucapkan Adjie Massaid. Dan dia tak sendiri. Angelina Sondakh, istrinya, juga mengaminkan pernyataan itu. Dan kita tahu, campur tangan Yang Esa itu, maksud Adjie, tidak hanya dalam mendekatkan jiwa, tapi juga memilihkan hati mereka untuk berada dalam iman yang sama.

Campur tangan Tuhan itu juga yang membuat Adjie dan Angie tak begitu bernafsu mewartakan pernikahan mereka. Karena setiap warta yang tersiar saat ini, sebahagia apa pun, tak selalu disambut dengan kegembiraan yang sama. Di ujung kamera, dalam gelak tawa, yang tetap diumbar adalah segala cela, juga beda. Apalagi menyangkut agama. Pernikahan Adjie-Angie berada dalam fokus itu, ketika iman, agama, bukan lagi menjadi pilihan dan konsumsi pribadi, melainkan makanan massa.

Adjie mengerti. Ia pun mengelak.

“Soal itu, biarkanlah menjadi hubungan kami dengan yang Maha Kuasa,” ucapnya. “Intinya, kami menikah secara Islam.”

Tapi, bahasa yang halus itu, manalah dimengerti televisi. Terlalu lembut, tanpa bombasme. Penonton tidak diberi keterkejutan, tak mendapat drama. Spekulasi pun dicari. Bukan dalam bentuk bukti, tapi ribuan tanya. Benarkah Angie telah memeluk Islam? Bukankah soal agama itu yang selama ini menjadi penghalang? Siapa yang mengislamkan dia? Apakah masuk Islam hanya untuk dapat menikah? Bagaimana dengan restu orangtua Angie? Benarkah ketiadaan perayaan itu karena kehampaan restu? Mungkinkah Angie melawan orangtuanya? Durhaka?

Tak ada jawaban. Angie tak mau memberi penegasan. Semua dia serahkan pada Adjie, mewakili dirinya. Adjie kembali dengan halus berkata, “Semua sudah selesai dengan baik, damai. Saya sebagai imam keluarga harus bertanggung jawab untuk semuanya…”

Tapi tidak bisa? Apanya yang baik? Bukankah ayah Angie mengaku tidak diberitahu soal pernikahan itu jauh hari? Dan terpaksa merestui? Juga mengapa harus menikah secara sembunyi-sembunyi? Jika memang hari bahagia, mengapa tidak dikabarkan kepada rekan-rekannya? Pasti ada sesuatu? Pasti ada yang disembunyikan!

“Saya senang teman-teman masih menaruh perhatian. Tapi biarkanlah ini menjadi kebahagiaan kami saja,” kata Adjie sembari tersenyum.

Huh! Tidak bisa, dong? Cari Reza? Iya, Reza Artamevia, mantan istri Adjie itu. Tanyain dia, apakah Adjie memberi tahu soal pernikahan itu.

“Wah, saya tidak tahu. Mas Adjie sering menelpon, bercerita soal anak-anak, tapi tidak pernah membicarakan soal itu,” jelas Reza.

Nah, Reza saja tidak tahu. Padahal, ada dua anak mereka yang akan menjadi asuhan Angie, Zahwa dan Aaliyah. Pasti Reza akan merasa tersakiti, merasa dilangkahi.

“Tapi saya berbahagia kok. Itu pilihan yang terbaik untuk Mas Adjie. Saya tahu Angie sosok yang tepat untuk anak-anak saya. Apalagi sudah seiman, ya? Semoga apa yang mereka cita-citakan tercapai…”

Lho? Bagaimana ini? Masa tidak ada gregetnya? Nah, ingat deh! Cari Bella Shapira. Iya, itu mantan kekasih Adjie. Meski sudah puluhan tahun lalu, pasti dia bisa memberi komentar. Apalagi, Bella kan dulunya seagama dengan Angie?

“Aku nggak tahu, ya? Namanya juga menikah diam-diam, jadi ya tidak tahu.”

Nah, ada peluang nih? Tentu Bella merasa ada yang aneh atau disembunyikan dari pernikahan diam-diam itu. 

“Hahaha… aku akan mengikuti jejak kalian. Aku jadi terinspirasi. Irit. Lebih baik diam-diam, tidak boros,” tambah Bella.

Duh! Habis deh! Oh tidak. Ternyata, pernikahan 29 April 2009 itu hanya pengesahan. Sebelumnya, mereka berdua ternyata telah menikah sirri, September 2008. Artinya, telah hampir setahun mereka menyembunyikan perkawinan itu, juga keislaman Angie. Cari Habib Abdurrachman Assegaf. Mintai konfirmasi, kapan Angie memeluk Islam.

“Angie itu sudah belajar ngaji dari dulu. Gurunya banyak. Nah, dia termasuk yang masuk islam karena hidayah, bukan karena ingin kawin. Dia mengikuti orang yang dia cintai…”

Payah! Mengapa tak ada yang berkomentar pedas. Masa hanya kita-kita presenter “Insert”, “Selebrita” dan “Kasak-Kusuk” saja yang berprasangka dan memaksakan drama? Ayo cari alasan pengesahan perkawinan itu. Olala, terjawab sudah. Angie ternyata hamil. Sudah hamil 4 bulan. Jadi, pernikahan itu untuk membuat kehamilan tadi menjadi wajar. Ayo, cari Komar. Dia pasti punya komentar.

“Iya, sudah ada hasilnya. Mas Adjie sudah akan jadi ayah dengan tiga anak.  Ya sudah menikah setahun lalu, ya wajar dong hamil. Wong ada suaminya, hahahaha….”

Nyerah deh! Angie, please deh ah, ngomong dong?

“Itulah mengapa selama ini saya agak enggan. Bukannya nggak mau, tapi saya tahu teman-teman pasti membidik hal agama itu sebagai meteri yang menarik. Kasihan orang tua saya.”

Lho, berarti benar dong belum dapat restu dari orangtua?

“Orang tua saya tak memasalahkan soal keputusan saya untuk memeluk agama yang dianut Mas Adjie. Tapi, berita yang mem-blow-up itu membuat Papa kurang senang.”

Jadi? “Biarkah soal keimanan kami ini menjadi urusan kami dengan Yang di Atas, menjadi pembicaraan kami pribadi saja…” tutup Adjie.

Puas, puas, puas??! 

[Telah dimuat sebagai "Tajuk" di tabloid Cempaka, Sabtu 16 Mei 2009]

Klien yang Melayani Penonton

May 6, 2009

Ketika reality show hanya bertugas menghibur penonton, tayangan itu pun berubah menjadi sinetron.

Sambil menatap Siksa, dengan yakin Dedy berkata, “Saya tidak pernah menyesal menikahinya. Saya masih mencintainya….” Mendengar pengakuan itu, penonton bertepuk tangan. Sebagian tersenyum dan –ini di-close up berkali-kali– menyusut air mata. Di sisi kanan panggung, Siska, istri Dedy, menggelengkan kepala, seolah tak percaya dengan pengakuan itu. Ia terisak….

Helmi Yahya kemudian mempertemukan keduanya di panggung.

Dapat ditebak, Dedy dan Siska bersedia kembali untuk berbaikan, melupakan berbagai masalah, menempuh hidup bersama dengan cara yang berbeda. Keduanya berpelukan, bertangisan. Dan kembali kamera beredar ke penonton, yang menyambut adegan itu dengan leleran air mata.

Itulah klimaks acara “Masihkah Kau mencintaiku???” yang tayang di RCTI, Rabu malam (29/4). Reality Show yang dipandu Helmi Yahya dan Dian Nitami itu memberikan berbagai pertanyaan untuk menguji “kelekatan” sebuah pasangan. Siksa dan Dedy misalnya, yang tampil dalam tajuk “Suami Kurang perhatian, Istri Menuntut Cerai”, mendapat pertanyaan yang menguji ingatan mereka tentang ukuran beha, kapan ulangtahun mertua, hari lahir anak, sampai apa yang mereka rasakan setelah 11 tahun menikah. Dari ketakyakinan, juga kesalahan, jawaban itulah konflik kemudian tercipta, ditambah keterlibatan kedua orangtua mereka yang selalu membela anak masing-masing. Bahkan, Ray Sita, yang dihadirkan sebagai konsultan, melihat keterlibatan orangtualah yang menjadi konflik utama Siksa dan Dedy.

Memang, dalam tayangan itu tampak ibu Dedy amat membenci dan menyalahkan Siska. Dalam satu adegan, dia bahkan sampai melompat dari bangkunya dan dengan tangan terkepal menuju ke Siska. “Untung” Helmi berhasil menahan langkahnya. Jika tidak, perkelahian mertua-menantu pasti tak terelakkan.

Tapi, di acara sejenis di TPI, “Curhat Bareng Anjasmara”, perkelahian antarkeluarga tak terelakkan. Perkelahian itu juga yang menjadi iklan utama tayangan itu, dengan memperlihatkan Anjasmara yang emosional, berteriak, seakan putus harapan.

Harus diakui, dan seperti telah menjadi kesepakatan, reality show di televisi memang sarat dengan pertengkaran dan perkelahian.  ”Termehek-mehek”, “Kacau”, sampai “Cinta Pertama”, adalah contoh acara yang mengadopsi jurus itu. Tak ada kreativitas yang berbeda untuk menciptakan klimaks yang bukan berwujud kekerasan. Mereka hanya percaya, klimaks berupa perkelahianlah yang dapat membuat akhir cerita menjadi penuh airmata. “Masihkah Kau Mencintaiku???” memang kembali membuktikan ampuhnya resep standar tersebut. Rabu malam itu, sebagian penonton bahkan membiarkan airmata mereka jatuh begitu saja. Mereka seperti terkesima.
Tanpa Empati

“Masihkah Kau Mencintaiku???” dan “Curhat Bareng Anjasmara”, sebagaimana tayangan reality show  lainnya, adalah “adopsi” dari produk mancanegara. Acara jenis ini telah hadir kurang lebih 5 tahun lalu di berbagai televisi di Amerika, Eropa, bahkan India. Di Amerika misalnya, tersedia “The Jerry Springer Show” yang tayang di NBC. Sedangkan di Inggris, acara sejenis bernama “The Jeremy Kyle Show” tayang di ITV. Bahkan, di India Kiran Deli memandu “Aap Ki Kachehri… Kiran Ke Saath”, show dengan tema yang sama.

Sebagai contekan, seharusnya dua acara di atas mampu tampil lebih baik dari yang mereka adopsi. Kenyataannya, Helmi dan Anjasmara hanya menang dalam membuat keributan. Konklusi yang tercipta pun hadir hanya dari kesepakatan hati, berupa kesediaan memberi dan menerima maaf. Pengakuan bersalah muncul bukan sebagai kesadaran personal tapi keterdesakan dari opini konselor dan teriakan penonton. Ini berbeda dari “The Jeremy Kyle Show” misalnya. Jeremy ttampak tak terlalu pusing dengan respon penonton, dia hadir untuk membuktikan agar seorang “tertuduh” menerima kesalahan sebagai pengakuan pribadi. Dalam satu sesi, Jeremy bahkan menghadirkan bukti DNA, sehingga seorang pria tak lagi dapat membantah untuk mengakui anak yang selama ini dia ingkari.

Pembuktian semacam itu penting untuk menjadi pembeda utama acara ini. Jerry, Jeremy dan Kiran, hadir untuk melayani klien yang punya problem dan mencarikan solusi yang tak terbantahkan, bukan sekadar memaafkan. Sedangkan Helmi dan Anjasmara, juga acara dengan embel-embel reality show lainnya, menghadirkan klien tak lebih hanya untuk melayani penonton. Dan untuk melayani penonton, klien pun harus berlaku sebagai aktor.

Pengaktoran itu tampak sekali dalam “Masihkah Kau Mencintaiku???” Sebagai “pemilik” masalah, Siska dan Dedy tampak rumit mendeskripsikan diri, mereka justru terasing dari problem itu. Bahkan, dalam kategori tertentu, terutama dengan dukungan “aktor” cadangan ibu Dedy, masalah mereka terlihat sebagai naskah yang dihapalkan, skenario yang dimainkan. Gestur ayah Dedy tak bisa menipu. Dia tampak tak cemas dengan kebringasan istrinya, dan hanya bisa berakting dengan mengusapi bahu, untuk menyabarkan. Siska sendiri –duh, memungut dari mana sih,  Hel?– sepanjang acara hanya merengek. Dia tak terlihat menderita dengan permasalahan itu.

Tapi, masalah utama “pengaktoran” justru berada pada Helmi dan Dian Nitami. Helmi masih saja tampil seperti membawakan kuis “Siapa Berani” yang dulu populer di Indosiar, tanpa keterlibatan emosional, tanpa empati. Dia terpaku pada pertanyaan, melempar, selesai. Tak ada penggalian lebih jauh untuk memunculkan endapan-endapan psikologis klien. Helmi bahkan tidak berada di dalam masalah, tidak mengambil posisi untuk terlibat. Barangkali kesadaran bahwa masalah adalah rekaan yang membuat Helmi sudah untuk terlibatkan. Dian Nitami? Ah, setali tiga uang. Dia lebih banyak tertawa, tergelak menikmati “sandiwara”.

Kesadaran hanya untuk melayani penonton juga membuat tayangan ini harus happy ending, berakhir riang gembira, penonton harus bahagia. Perceraian tak akan pernah menjadi solusi. Padahal, dari pemanggungan masalah, sulit diterima nalar hanya dengan 60 menit dikurangi iklan, semua dapat diselesaikan. Penonton di studio dan di rumah bertepuk tangan, terpuaskan dalam tangisan.
Reality show sejenis tayangan itu  pada dasarnya hadir untuk melayani klien, mencarikan solusi terbaik, yang jernih dari infiltrasi kepentingan penonton. Klien hadir di panggung sebagai diri sendiri dan tanpa keinginan untuk memberi inspirasi. Mereka bukan aktor. Tapi di sini, apa pun jenisnya, reality show dihadirkan untuk menjadi hiburan. Klien hanya figuran, yang barangkali diambil dari jalanan, dan dijebloskan ke dalam skenario yang berantakan. Mereka harus menyenangkan penonton, dan karena itu, reality show  selalu berubah jadi sinetron.

 [Artikel di atas telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 3 Mei 2009]

Ayah Kandung Panji Tengkorak

May 6, 2009

SIAPA  pun Anda, yang sudah melek huruf di tahun 1970-an, pasti tak akan lupa dengan nama satu ini: Panji Tengkorak. Inilah sosok yang menjadi bagian dari kehidupan remaja di akhir 1960-an. Dan, tak pelak lagi, nama penciptanya pun menjadi identik, dialah Hans Jaladara.

Hans adalah salah satu dari 7 “pendekar” komik Indonesia di masanya, selain Jan Mintaraga, Ganes Th, Sim, Zaldy, Djair, dan Teguh Santosa. Dari 7 pendekar itu, hanya Hans dan Djair yang masih bertahan. Selebihnya, telah tunduk di depan maut.

Panji Tengkorak yang terdiri dari 5 jilid, boleh dikatakan karya masterpiece Hans. Meski karya lain, Walet Merah, Si Rase Terbang juga meraih popularitas. Setelah Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes Th, hanya karya Hans itulah yang mampu menyamainya, difilmkan, bahkan sampai mengundang aktris Taiwan Shan Kuang Ling Fung sebagai Dewi Bunga.

“Setelah Si Buta… populer, sebuah penerbit meminta saya membuat cerita serupa Jan. Tapi saya tak mampu meniru. Saya buat Panji, meski tetap saja banyak yang melihat mirip karya Jan,” cerita Hans, sebagaimana dikutip Kompas.

Ia pun membuat tokok yang anti-si Buta, Badra Mandrawata. Jika si Buta berambut panjang, Panji pendek. Si Buta rapi berbaju kulit ular, Panji compang camping. Si Buta membawa wanara, Panji menyeret keranda. Semua berbeda.

Banyak yang menilai, Panji adalah campuran koboi Italia dan silat Cina masa itu. Bahkan, adegan menyeret keranda, adalah peniruan dari film A Coffin for Jango yang dibintangi Franco Nero.

Tiga versi panji

Hans Jaladara bernama KTP Hans Rianto, kelahiran Yogyakarta 1947, anak kedua dari keluarga Linggodigdo. Nama Jaladara baru ia pakai di awal 1970, karena ada yang meniru namanya. Ia ambil Jaladara dari komik wayang karya Ardi Soma, Wiku Paksi Jaladara.

Ayah Hans adalah guru bahasa Inggris, yang memperkenalkan Shakespeare. Ia bahkan hapal pidato Mark Anthony dalam Julius Caesar itu. Ia pun mewarisi bakat melukis.

“Sampai ditimpuk Bu Guru, karena di sekolah menggambar terus,” kenangnya.

Kebiasaan membaca meliarkan imajinasinya. Melihat pengemis, kadang ia berpikir itu orang sakti yang sedang menyamar. Untuk adegan silat komiknya, ia mempertanggungjawabkannya. Maklum, ia belajar kungfu di Cheng BU Mangga Besar, dan belajar Judo pada Tjoa Kek Tiong.

Hans mulai berkomik sejak 1966, Hanya Kemarin yang diilhami film Hollywood Only Yesterday. Honornya kecil. Namun, saat Panji jaya, satu naskahnya sama dengan satu ons emas.

Namun itu tak lama. 1975, ia menurun. Komik mulai kalah saing. Ia masih bertahan dengan melahirkan Durjana Pemetik Bunga. Tapi, 1987, ia tersungkur. “Bikin komik, hasilnya tak seberapa. Temen-temen lain sudah lari, cari usaha lain. Sim misalnya, jauh hari sudah jadi wartawan,” kenangnya.

Untuk bertahan hidup, ia pindah ke Kebumen, 1978-1983, dan 1988-1994. Istrinya, Risnawati, membuka salon. Ia membeli truk dan pikup, tapi bangkrut. Membeli sedan ikut taksi gelap, malah tertangkap. “Jiwa saya memang tidak untuk dagang.” Ia tertawa.

Selama di Kebumen itu, dia masih mengirim naskah ke Jakarta, meski hasilnya sangat kecil, tak dapat diharapkan menjadi sumber penghidupan. Daya gembur komik Jepang tak dapat ia hadapi.

Namun, dalam “dunia persilatan” yang kacau itu, Hans akhirnya melahirkan “tiga Panji”, setidaknya di mata pengamat komik, Seno Gumira Ajidarma. Pertama, Panji Tengkorak 1968. “Adegan perkelahian silatnya melahirkan gambar koreografi yang artistik. Para petarung bergerak bagai penari, bentuk dan gerakan tubuh ditata harmonis. Ia tak mengacu pada pentuk baladiri mana pun, setia pada imajinasinya,” nilai Seno di situs komikaze.

Panji kedua, 1985. Hans sudah terpengaruh Jepang. Gerakan silat pertarungan, khas kungfu baku, seolah diambil dari buku petunjuk. Kostum bajak laut 1968, jadi bajak laut Jepang 1980-an. “Terjadi degradasi di segala aspek, mengurangi teks, mengosongkan ruang gambar.” Hans mulai diikat pasar.

Tapi, kehancuran Panji di mata Seno, terjadi saat Hans menggambar ulang untuk ketiga kali, 1996. “Semua gaya mengadopsi sepenuhnya pada komik Jepang. Mata yang membelalak dan bidang gambar yang bersih tanpa arsiran memenuhi ruang gambar, teks yang pendek. Hans Jaladara yang jago dalam detail dan imajinasi, seperti pelukis yang dikebiri,” kecam Seno.

“Tak ada lagi pendekar bercaping yang berjalan di lembah sunyi, rimbun dan berkabut, yang memberi perasaan teduh. Tak ada lagi gerobak eksotik yang berderak lambat di tengah padang rumput atau tepi jurang. Juga pertarungan yang artistik dalam siluet hitam membayang. Tak ada lagi drama. Ibarat kata,  Panji Tengkorak cuma tinggal tengkorak, tanpa daging, apalagi nyawa. Yang tersisa hanya kostum genit dari pertunujukan yang gagal!”

Pengakuan Hans: semua atas pesanan penerbit.

Perubahan drastis itu tetap saja tak berpengaruh apa-apa pada pasar. Komik itu tak juga laku, apalagi meledak. Inilah yang dinilai Seno, kesalahan kategoris dalam “mengangkat kembali” komik Indonesia. Karena komik kemudian berubah mengikuti selera pasar, bukan kembali ke asalnya, artistik semula, dengan strategi pasar yang baru. Untunglah, telah ada penerbit dari Yogya, yang akan menerbitkan serial Panji dalam bentuk aslinya.

Kelesuan komik itu membuat Hans berusaha menaikkan profesi, jadi pelukis. Tapi sudah terlambat. Beberapa kali mengikuti pameran, nasibnya tak kunjung beranjak. Ia datang di saat yang tak tepat, ketika booming lukisan sudah redup, tak seperti di awal 1990-an.

Kini, sejak 1995 ia kembali ke Jakarta, menempati rumah di kawasan Lippo Cikarang, 30 kilometer sebelah timur Jakarta. Ia masih aktif berkomik di majalah Kita, mengasuk rubrik “Mari Menggambar bersama Pak Hans”, dan membuat serial Kita dan Tata. Tiga kali seminggu, ia mengajar menggambar di SD, SMP, dan SMU Pelita Harapan.

Apa pun kecemerlangan dan kesuraman masa komik Hans, kini, dengan tunjangan usaha istri, ia telah memiliki rumah, dan anak yang sukses bersekolah. Putrinya, Maureen Maybelle (26) sarjana sastra Inggris UKI, dan Elizabeth Visandra, masih kuliah di desain grafis Tarumanegara, mengikuti jejak ayahnya.

Hans apa boleh buat, ibarat pesilat yang telah terlanjur masuk dunia persilatan. Tak ada lagi jalan mundur. Bertarung atau mati. Maka, ia pun tetap berkelana, dalam dunia yang mulai dilupakan….