PELACUR dan Luna Maya

December 30, 2009

Luna Maya marah, dan pelacur dia jadikan senjata. “Infotemnt derajatnya lebh HINA dr pd PELACUR, PEMBUNUH!!!! may ur soul burn in hell!!…” tulisnya di twitter. Dan kita terperangah. Bukan. Bukan karena dia menghina infotainmen, melainkan diksi yang dia gunakan untuk mewakili umpatannya itu. Dengan pilihan kata itu, Luna bukan saja memaki infotainmen, melainkan, dan terutama, menghina pelacur. Tak heran jika di Tegal, para pelacur pun gerah dengan umpatannya itu.

Luna Maya, barangkali, belum pernah menonton Pretty Women. Di film itu, Vivian Ward, pelacur yang cantik itu, memikat kita bukan saja karena pesona fisiknya, melainkan “sejarah” hadirnya. Dia hidup dalam sebuah situasi yang membuatnya tak bisa memilih profesi lain, dan dia tidak bahagia. Di luar jam “layanan” itu, dia adalah sosok yang merdeka, lucu, dengan keluguan yang memancing iba. Dan kita jatuh cinta, terutama ketika mereka yang memandang hina dirinya, ternyata, lebih melacur dalam arti yang sesungguhnya.

Ada dua pelacur di film itu. Sebagai profesi, panggilan keadaan, dan sebagai sikap diri –ketertarikan jiwa. Vivian berada di posisi pertama, dan kita jatuh cinta. Pertama, karena dia punya cita-cita, memberi kita harapan. Kedua, karena profesi itu tak menghancurkan jiwanya, memberi kita rasa nyaman. Kita pun, dengan ringan, bisa menerima kehadiran Vivian, bukan sebagai sesuatu yang asing, apalagi hina. Kita tak pernah mempermasalahkan derajatnya.

Tapi Luna Maya tidak. Dia bicara derajat, dan juga neraka. Seakan derajat, dan juga neraka, adalah soal matematika, hal yang pasti, satu tambah satu sama dengan dua.

Tapi Luna tidak salah.

Kalau pun salah, dia tidak salah sendirian.

Luna adalah wakil dari kebanyakan orang yang memang menempatkan pelacur dalam level kasta terendah dari sebuah profesi, dan layak dijadikan ludah atau umpatan. Karena Luna, seperti kebanyakan orang lainnya, menempatkan profesi dalam skema moralisasi.

Moralisasi adalah sebuah sikap yang memandang apa pun dari kacamata moral. Dengan moralisasi, sebuah situasi selalu diukur dalam skala binner: hitam-putih, salah-benar, hina-mulia. Moralisasi menafikan penilaian yang lebih kaya warna, lebih adil, dan jujur. Termasuk untuk pelacur.

Karena pelacur bukan persoalan moral. Profesi ini bukan sikap diri –ketertarikan jiwa, melainkan ikatan keadaan. Sebagai panggilan keterpaksaan, pelacuran adalah problem sosial-ekonomi, dan dari kacamata itulah seharusnya dia dikaji. Melihat pelacur(an) dari kacamata moral, mengindikasikan sebuah ruang yang steril, hampa, sehingga menceng ke kiri adalah dosa, dan bergerak ke kanan menjumpa surga. Moralisasi dengan demikian bukan saja mengerdilkan melainkan juga menimbang sesuatu secara salah. Moralisasi, mengikuti kata Pramudya Ananta Toer, menjadi tidak adil sejak dalam pikiran.

Apalagi, dari kacamata moral pun, aktris, seperti Luna Maya, bukanlah profesi yang mulia. Di depan kamera –yang sangat berwatak lelaki–, aktris adalah “pelacur” juga. Bahkan, Koyuki Kazahana, Putri Salju dalam Naruto The Movie: Ninja Clash in the Land of Snow pernah berkata, “Menjadi artis adalah pekerjaan rendah yang bisa dilakukan semua orang. Bayangkan, kau harus menjalani hidup yang dipilihkan oleh orang lain.”

“Menjalani hidup yang dipilihkan orang lain,” kata Koyuki dengan nada pedih, yang membuat Naruto terpana. Betapa terasa tersiksa, dan juga hina. Apalagi, jika kita tahu, menjadi aktris lebih sering adalah ketertarikan hati, pilihan sadar, bahkan obsesi!

Tapi tentu, kita tak ingin seperti Luna Maya, yang memandang sesuatu dari moralitas semata. Kita harus lebih dewasa, dan belajar untuk terbiasa menilai sesuatu dari maqom-nya, bahkan ketika amarah mengambil kendali diri kita. Memakilah, mengumpatlah, untuk melonggarkan beban batin kita, tapi ingat, jangan jadikan pihak ketika sebagai senjata. Karena moralis ala “Silet” dan “Insert” bukan bagian dari kita. Karena kita punya Vivian, yang menunjukkan sisi sosial dan moral, dan kita jadi paham cara menempatkannya.

Jadi Luna, ayo kita tonton lagi Pretty Women. Berdua, saja. Ya??

Prasangka Keartisan

December 15, 2009

“Jika mungkin, saya ingin mencari kekasih dari kalangan orang biasa. Artis atau anak band membuat saya takut,” kata Aura Kasih.

Orang biasa. Kata itu jadi populer kini, untuk mendikotonomikan antara mereka yang aktris dan bukan. Dan tiap kali seorang aktris berkekasih “orang biasa”, infotainmen pun ramai menggunjingkannya. Seakan, orang biasa itu jadi aneh, sesuatu yang unik, tak biasa, dan mungkin, akan gagap dalam interaksi dengan pasangannya. Bahkan, dalam beberapa infotainmen, frasa “orang biasa” itu diucapkan dengan sedikit nada cemooh. Dengan kata lain, jika di luar aktris adalah “orang biasa” maka mereka yang aktris pasti masuk dalam kategori “luar biasa”.

Tapi, “luar biasa” dalam hal apa?

Ya, kita ingat klan Azhari. Untuk prestasi pamer tubuh mereka memang luar biasa. Skandal seks apalagi, tiap tahun nyaris ada. Atau Roy Marten, yang dua kali tersangkut kasus sama, kasus narkoba? Atau mungkin kisah semacam Krisdayanti, yang sudah memermak tubuhnya di sana-sini untuk tampil dalam kecantikan yang abadi?

Luar biasa, dengan demikian, hanya mengandung pengertian tentang mereka yang mampu melakukan hal-hal yang tidak umum dilakukan khalayak. Bukan saja karena mereka punya keberanian, melainkan memiliki kuasa uang. Dan yang utama, predikat untuk “tampil berbeda”. Luar biasa menegaskan tentang sesuatu yang dapat mereka lakukan dan tetap dianggap pantas.

Juga tentu, menyangkut moralitas.

Masalahnya adalah, tidak semua mereka yang “luar biasa” itu dapat digolongkan dalam “kelas” yang sama. Keluarbiasaan mereka terkadang dicitrakan dengan moralitas yang “bebas-dosa.” Kita ingat bagaimana Pasha Ungu begitu disorot media setelah sukses album religinya. Bersama Enda, Pasha bercerita bagaimana sisi spiritual mereka, ilham lagu yang demikian kuat, datang seperti kilat, lebih sebagai titipan ilahiah. Dan praktis, busana mereka pun mengikuti. Pasha jadi berpeci, berbaju koko, dan tiba-tiba menjadi sahabat dekat ustad gaul Jefri al-Buchori. Pasha, tiba-tiba, di mata kita, menjadi ikon anak muda yang amat kenal agama dan takwa.

Lalu muncul juga Marshanda. Aktris ini memang punya banyak pemuja setelah sukses berperan dalam sinetron “Bidadari”. Wajahnya yang belum jauh dari remaja dan terlihat polos, selalu menimbulkan rasa sayang setiap melihatnya. Tingkahnya yang sopan, berbicara nyaris tanpa teriakan, dan tak pernah terkena gosip murahan, membuat Cacha terbentengi dari “prasangka keartisannya”.

Prasangka keartisan adalah sejenis praduga bahwa sebaik apa pun seorang aktris tampil di media, penonton selalu percaya bahwa mereka memiliki sisi nakal yang tak ditampakkan. Nah, Marshanda bebas dari itu. Pertumbuhannya dari penyanyi remaja sampai kini dewasa, terjaga dengan ketat. Ada selalu ibu di dalam setiap langkahnya. Marshanda pun menjadi contoh sempurna aktris remaja. Dia seakan menjadi protagonis Sheila Marcia.

Tapi tampaknya, stigma itu mewujud juga.

Pasha, tiba-tiba terbukti sangat tempramental, dan suka main tangan. Okie Agustina yang mendampinginya dari mulai “bebek” sampai dia menjelma “angsa” pun angkat tangan, menyerah, mengembalikan rumah tangganya ke pengadilan: bercerai. Bahkan, setelah perceraian pun, Pasha masih menghadiahkan kekerasan kepada istrinya. “Tempramental. Dia suka memukul saya di depan anak-anak, dan juga memukul anak-anak,” terang Okie.

Marshanda sebaliknya,  mulutnya yang biasa melantunkan nada lembut dan asma Ilahiah, tiba-tiba tersebar di <I>youtube<P> dengan sumpah-serapah. Tak ada lagi kendali. Pasha dan Cacha telah muncul sebagai tawanan amarah. Mereka tak ubahnya sosok “orang biasa” yang jika emosi dan dalam tekanan jiwa, melakukan tindakan yang terkadang tak pernah dipikirkan. Lalu, semua terpana. Tak mengira, bahwa pribadi yang demikian terjaga dan menjadi sandera citra, dapat juga terlempar dalam laku “orang biasa”.

Lalu, di mana beda tegas antara aktis –yang mengklain sebagai luar biasa– dan kita-kita yang diklain media sebagai kaum biasa? Satu saja. Jika berbuat salah, kita mengakuinya dan berusaha tak mengulanginya. Sementara mereka, para sandera citra itu, tak pernah merasa salah, tak pernah mencoba memperbaikinya. Tak heran, kita sering mendapatkan mereka terjerembab, berkali-kali, di dalam kesalahan yang sama. Betapa luar biasa!