DNA Gosip
February 20, 2008
Betapa kejam gosip, barangkali Jenny Nuraeni yang paling tahu saat ini. Setahun lalu, dia kehilangan putranya, Adi Firansyah, dalam sebuah kecelakaan berdarah. Di tengah tangis kehilangan, dia masih harus menghadapi rentetan pertanyaan tentang status perceraian anaknya, perebutan harta waris, sampai gosip asmara Adi dan Ussy Sulistyawati. Tapi Jenny menghadapi semuanya, kadang dengam masgul, sebagaimana yang acap tampak di televisi.
Tapi kini, Jenny tidak tahu lagi harus berkata apa. Gosip menyebutkan, Khirania Siti Hartina, anak Mayangsari, adalah benih yang ditanam Adi, dan bukan buah cinta Mayang dan Bambang. “Anak saya sudah meninggal. Kok sekarang malah dikait-kaitkan dengan permasalahan orang-orang besar. Berita itu tidak mungkin!” bantahnya.Bagi Jenny, gosip itu bukan hanya menyakiti hatinya sebagai seorang ibu, tapi juga menakutkan. Dia ngeri, gosip itu tak hanya mengaitkan Adi, tapi juga seluruh keluarganya. “Saya khawatir dengan keluarga saya. Terutama adik-adik almarhum,” katanya. “Semua orang tahu, Bambang adalah suami Mayang. Tapi kok kenapa almarhum anak saya yang disebut-sebut sebagai ayah Khiran,” tanyanya.
Jenny tidak sendiri. Dalam kadar yang berbeda, Luna Maya pun mengalami hal yang sama. Ariel mengajukan cerai, namanyalah yang digosipkan sebagai orang ketiga. Luna sampai tak mengerti, mengapa media selalu menyangkakan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan. Dia bahkan sampai putus asa. “Terserahlah kalian mau bilang apa…” katanya kepada media infotainmen.
Kekejaman gosip terutama bukan pada kabar yang beredar, tapi sumber yang tidak dapat ditemukan. Gosip tak memiliki sumber, datang sebagai kabar angin. Dan karena itu, tak pernah ada dakwaan pada si penunggang gosip. Pewarta gosip, dengan kilah itu, jadi memiliki kebebasan untuk bertanya, tanpa beban apa pun. Yang mereka butuhkan bukanlah jawaban apakah gosip itu benar atau salah, tapi reaksi dari pihak yang disudutkan. Reaksi itulah yang penting, kaget-kejut itulah yang utama. Karena itu, kamera tak boleh alpa merekam reaksi, dan narator tak boleh lupa menambahkan pemanis kata-kata. Dan karenanya, gosip adalah bumbu yang dikembangkan dengan hiperbola.
Kita dapat melihat sungguh hal itu di televisi. Reaksi Ariel yang kaget ketika ditanyakan hubungannya dengan Deanaya, janda pemilik salon di Bandung, sudah menjadi jawaban atas semuanya. Apa pun bantahan Ariel, narator tidak mengindahkannya. Reaksi tubuh itulah jawabannya, sebuah reaksi yang, mengutip kata narator “Insert”, “sesuatu yang tidak dapat disembunyikan…” Reaksi itu diubah infotainmen menjadi pembenaran, ke-be-na-ran.
Demikianlah cara kerja gosip. Dan pewarta rumor sangat paham hal ini. Mereka tak perlu menunjukkan dari mana kabar itu datang, dan siapa yang mengatakan. Dan mereka berhak marah, atau memaksa, jika objek gosip tak mau menjawab pertanyaan. Rasa sakit, terluka, ketakmengertian yang diterima si objek atas rentetan gosip itu adalah hal yang dicari, dan kalau bisa, dimunculkan, untuk disantap kamera. Gosip mencapai keberhasilan, dan dianggap benar, ketika si sumber ketakutan, cemas, menghindar…
Tapi Jenny tidak menghindar. Dia tahu, almarhum Adi tak lagi bisa membela diri, ketika gosip mempermalukannya. Ibu yang wajahnya tampak letih itu bersedia melakukan apa pun untuk membersihkan nama anaknya. “Saya siap membuktikan dalam bentuk apa pun, termasuk tes DNA,” tegasnya.
Mayang dan juga Bambang tak pernah memasalahkan soal Khiran. Jadi, kalau pun tes DNA dilakukan, pembuktian itu untuk siapa? Selain Bambang dan Mayang, siapa sesungguhnya yang punya hak untuk mencari tahu DNA Khiran? Dan kepada siapa pembuktian itu akan diberikan?
Gosip tidak mementingkan hal itu. Karena, ketika gosip tersebar, dirinya telah menjadi kebenaran. Sebelum dibuktikan, sebelum konfirmasi dilakukan. Maka beruntunglah orang yang tidak terkena gosip, dan celakalah, orang yang memproduksi dan atau menunggangi gosip, lalu bertanya tanpa rasa dosa, terutama untuk Adi Firansyah, yang telah tak ada lagi di dunia.
Gosip adalah senjata tak bertuan. Melukai, menyakiti, tanpa pernah bisa dimintai pertanggungjawaban. Ajaibnya, betapa banyak yang menikmatinya, setia memamahnya.
[Diterbitkan sebagai "Tajuk" di Tabloid Cempaka, Kamis 21 Februari 2008]
Ketika Peranan Menjadi Diri
February 5, 2008
Seberapa dalamkah sebuah peran merasuki hidup seseorang? “Beberapa hari setelah usai syuting, aku masih merasa diriku ini orang lain. Butuh waktu lama bagiku untuk keluar dari karakter yang aku perani. Kadang aku takut diriku tak pernah seutuhnya bisa kembali.”
Itulah pengakuan aktor Robert De Niro, yang aktingnya selalu berbuah pujian. Pengakuan yang menunjukkan bahwa memainkan dan masuk dalam sebuah karakter bukanlah hal mudah. Namun, keluar dari watak yang telah dimainkan ternyata lebih sulit lagi. Karena itulah, aktor “jenius” ini tak sembarangan memilih peran. Ada bagian dirinya yang harus selalu siap dipertaruhkan. Memerankan adalah mengizinkan dirinya “dibawa” watak lain, tanpa ada kepastian bisa kembali. Film bagus Being John Malkovich menunjukkan dengan manis akibat ketika sebuah peranan tak bisa keluar dari diri sang aktor.Berperan, memainkan dan masuk dalam sebuah watak, dengan demikian adalah sebuah keberanian, dan juga pengorbanan. Dan tidak banyak aktor yang punya keberanian seperti itu, apalagi keridhaan untuk berkorban, khususnya di Indonesia, ketika sebuah peran hanya dimaknai sebagai aksi sebatas panggung.
“Apa yang ada di panggung dan televisi hanya sebuah peran, semata-mata untuk keperluan entertain. Kalau keseharian aku seperti itu, ya memang gaya aku dari sananya. Tidak bisa diubah kali,” kata aming.
“Aku santai saja. Hari ini aku pakai bulu mata, mungkin besok aku tampil botak, brewokan atau klimis. Itu hanya tampilan luar saja. Tapi kalau bicara isi, sungguh sama sekali tak ada yang berubah,” ungkap Ivan Gunawan.
“Dia begitu karena tuntutan peran. Ivan seorang lelaki yang berprofesi sebagai desainer. Kalau dia tampil feminin, karena itulah perannya, jualannya,” bela Rossa, mantan pacar Ivan.
“Menjadi perempuan buat aku sebuah pekerjaan. Kenapa tidak? Aku dibayar karena aku tampil sebagai perempuan. Jadi sebagai wujud profesionalitas saja,” tambah Olga Syahputra.
Mereka –Aming, Ivan, dan Olga, membicarakan peran dengan riang, seperti memakai make-up, yang beberapa saat kemudian bisa dihapus atau dibuang. Peran, peralihan watak, pemilihan karakter, dianggap sebagai hal yang biasa, lazim, dan dengan enteng diterima karema mereka yakin, “isi sama sekali tidak ada yang berubah.” Ivan mengaku tetap lelaki sejati, Aming pun begitu, Olga apalagi. “Astagfirullah aladzim. Olga tetap laki-laki. Aku menjalani pekerjaan ini untuk mencari rejeki. yang penting halal, tidak menyakiti hati orang. aku diberi peran, ya sudah aku jalani…”
Olga, Aming, dan Ivan, barangkali tidak menyadari, ada yang selalu tinggal di dalam diri mereka setiap kali peran ditanggalkan. Itulah yang membuat Andy Garcia mengurung diri, karena peran pembunuh acap “mendorongnya” untuk melakukan aksi, justru ketika film telah selesai dibuat. Artinya, sebuah peran yang mendalam, dan lama dimainkan, akan menjejaki diri sang aktor. Membuat dirinya pelan-pelan, bukan tidak mungkin, dikolonisasi watak peranan. Christine Hakim butuh waktu tiga bulan untuk benar-benar bisa bebas dari infiltrasi peran yang dia mainkan dalam sebuah film. Pengorbanan yang besar untuk akting yang memang selalu bersinar.
Aming, Ivan, dan Olga, bisa merasa diri tetap tak berubah, atau berpura tak menyadari diri berubah. Tapi, lihatlah, sekeliling mereka pasti dapat meraba perubahan itu. Di Thailand pada saat pergantian tahun lalu misalnya, Aming yang berlibur ke Pattaya, ditolak memasuki arena hiburan karena dia dinilai ladyboy alias banci. Aming marah. Tapi kemarahannya tak mampu meyakinkan penjaga bahwa dia adalah lelaki.
Olga pun mengakui hal itu. Pulang manggung, di jalan dia digoda lelaki bule, karena dikira banci. “Mungkin aku tampak lebih cantik daripada perempuan asli ya?” katanya, bangga.
Olga, Aming, merasa terbebani dengan peran itu. “Saya pakai image banci karena memang lagi digemari. Nanti jika mereka sudah bosan, aku akan mencari ladang lain,” yakin Aming. Mencari ladang lain, memerankan karakter lain, Aming mungkin bisa. Tapi, apakah dia sepenunnya bisa membuang karakter banci yang bertahun-tahun dia temani dan tumbuhkan di dalam dirinya? Bisakah Aming atau Olga memisahkan diri antara Aming yang banci dan Aming yang lelaki? Karena, sehari-hari pun, Aming telah nyaman memakai busana perempuan, berkaos ketat dan berstoking panjang.
Ivan, Aming dan Olga, seperti Tata Dado juga, tak menyadari, atau tak ambil peduli, jika peran banci yang mereka mainkan kini, suatu hari, kelak, akan menjadi diri mereka sendiri. Pengorbanan yang terlalu berani atas nama peran, yang sesungguhnya, maaf, tak terlalu berarti, karena sekadar memancing tawa.
[Artikel ini telah dimuat sebagai "Tajuk" di Tabloid Cempaka, Rabu 6 Februari 2008]
Recent Comments