Titiek Puspa dan Kupu-kupu

January 20, 2010

Siapa kita sesungguhnya, dapat dilihat dari bagaimana kita menghadapi sakit. Titiek Puspa tahu itu.

Ketika kanker rahim mendera, wajah sedih tak tampak di rautnya. Dia masih gembira, banyak tertawa, dan mampu menciptakan 69 lagu. Sakit seperti energi. Sakit, bagi nenek yang awet muda itu, barangkali semacam terminal, untuk mencapai hidup yang lebih. Dengan diksi yang indah, dalam jumpa pers di Wisma Puspa, Perdatam, Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (19/1/2010), dia mengatakan, “…dalam sakit ini pula saya merasa dibangunkan oleh Tuhan.”

Sakit, seperti hidup, adalah sesuatu yang terberi. Datang begitu saja. Kita, acap kali, tak bisa mengelak, bertanya, apalagi menggugat. Hanya menerima. Kadang tanpa musabab, tak tahu asal. “Oo… akhirnya saya kena juga tho? Saya tahu bapak saya kena, saudara saya juga kena dan sudah dipanggil,” ucap Titiek.

Dan karena itu, sebenarnya, sakit bukanlah sesuatu yang harus disesali, ditolak, apalagi disedihkan. Bahkan, dalam perspektif Nietzscean, sakit adalah kesempatan untuk konsolasi, peluang untuk menemukan hal baru dalam kehidupan. Sakit tak memerlukan kambing hitam, atau penyalahan atas sesuatu yang menimpa kita. Kebutuhan akan kejelasan dan pencarian kambing hitam atas sakit, bagi Nietzsche, adalah cara berpikir yang sakit. Cara berpikir semacam itu, membuat si sakit menemukan kompensasi yang tak benar. Makanan, udara, apa pun, bisa disalahkan, meski hal yang sama tak berpengaruh apa-apa pada orang lain. Cara berpikir yang sakit ini, selalu mencari kambing hitam, pada titik ekstem, juga akan “menyalahkan” Tuhan.

“Barangkali ini cara Tuhan menegur saya,” kata Dinda Kanya Dewi, ketika wajahnya terluka akibat kecelakaan mobil.

“Ini cobaan Tuhan,” ucap Bunga Citra Lestari, ketika dirawat karena lambungnya bermasalah.

Sakit harus diterima dengan kegembiraan dan rasa mabuk untuk sembuh. Tirani sakit dengan demikian hanyalah jalan yang disodorkan kehidupan sebagai tempaan. Maka, sakit pun harus dihadapi secara personal, untuk “menemukan dan menumbuhkan” gizi spiritual. Kita tidak membiarkan dihancurkan dan dihanyutkan oleh rasa sakit, tapi mengolah diri melampaui rasa sakit itu, dan menerima kesembuhan sebagai hal yang biasa.

Di titik inilah diksi Titiek Puspa terasa indah. Dia memakai kata “dibangunkan”, seakan sebelum sakit, ketika sehat, Titiek berada dalam tidur yang panjang. Bangun juga mengindikasikan diri yang bangkit, secara fisik atau batin. “Dibangunkan” juga mengindikasikan keakraban, keintiman hubungan Titiek dan Tuhan. Barangkali juga cinta.

“Dibangunkan” juga penerimaan bahwa Tuhan datang kepada kita bukan dengan wajah yang marah, bukan menegur, atau memberi cobaan.

Sakit diterima Titiek tanpa prasangka bahwa Tuhan tengah marah padanya. Lihat cara dia mengungkapkan ihkwal terkena kanker itu, “Oo.. akhirnya saya kena juga.” Begitu ringan, enteng. “Kena,” seakan sakit kanker itu seringan jerawat, mencret, atau batuk. “Kena”, katanya, seperti menisbankan bahwa sakit itu pasti datang dan tak tak terelakkan karena, “Bapak dan kakak saya juga kena.”

Dalam tahap itulah, sakit tetap membuat Titiek berpikir sehat. Tak ada penyalahan. Menerima kondisi, bagi Titiek, adalah obat pertama. Karena itu juga, jika pun tak sembuh, dia tak cemas. “Saya sudah siap dipanggil, kapan saja,” katanya.

Titiek berobat, dan dia tetap siap dipanggil. Ini juga sikap yang sama dengan penerimaannya pada sakit, tidak menyerah, tapi bukan merasa pasti. Titiek menerima situasi apa pun yang terjadi padanya. Sakit dan sembuh, sehat atau dipanggil, adalah bagian yang terberi, tak harus dielakkan.

Berada dalam derita sakit, bagi Titiek, adalah seperti pertapa ketika kali pertama membuka mata, dan melihat realitas dengan sudut pandang baru, begitu memesona. Pertapa yang bangun dari ikhtiar panjang, dari perjalanan batin yang luas, untuk bergerak dalam kenyataan.

“Saya merasa dibangunkan…” katanya. Dalam sakit, Titiek merasa dirinya adalah ulat yang tidur dalam kepompong, dan Tuhan membangunkannya sebagai kupu-kupu. Betapa indah dia memaknai kehidupan, dan juga kesepian-kesakitan. Betapa intim cara dia berbahasa dengan Tuhan.

Titiek, aku kagum padamu.

Dari Pemakaman Gus Dur

January 6, 2010

Di pemakaman Gus Dur, saya melihat wajah-wajah yang tak akrab di kamera. Ribuan, menyemut, seperti antrian menggotong gula. Wajah-wajah, yang meski asing, tapi memiliki aura yang sama, raut kehilangan. Paras-paras yang meski terlihat tegang menanti hadirnya jenazah kecintaan mereka, tapi tetap mendaraskan doa. Mereka terhimpun oleh semangat cinta yang sama, melihat, menyentuh, atau sekadar melontarkan takbir, sebelum Gus Dur, dikebumikan. Cinta itu membuat mereka terhimpun di sekitar pemakaman, di depan pesantren, di atas pohon, berjajaran duduk di genteng, bahkan menanti di selokan. Dan ketika jenazah Gus Dur tiba, seperti dalam satu tarikan napas, semua mengangkat takbir, bergerak mendekat.

Tapi, “Jenazah Gus Dur seperti dirampas tentara,” kata Pras, seorang pelayat. Dia berharap dapat dekat, minimal menyentuhkan tangannya ke keranda Gus Dur. Tapi protokoler militer, membuat Pras, juga ribuan pecinta lain, kehilangan hak untuk memberikan penghormatan terakhir.

“Gus Dur itu kiai saya, tetap kiai saya, bahkan ketika beliau menjadi presiden,” sesal Rasmanto, pelayat dari Madiun.

Ribuan wajah itu tetap bertahan, bahkan selewat tujuh hari setelah kematian Gus Dur. Seperti terjadwal, mereka bergiliran datang untuk sowan, membaca Yasin, berdoa, di depan pusara, dan pulang dengan segenggam tanah makam, atau sepucuk kembang.

Sampai kemudian muncul kritik, sikap itu dapat menjadikan peziarah terjerumus dalam laku syirik. Sebuah pandangan yang, secara amat menggelikan, mendudukkan keimanan orang lain, peziarah itu, dalam kadar yang rendah, dan mudah goyang. Lalu makam pun dibentengi dari “pejarah tanah dan kembang”, dengan pagar rafia, yang tanpa sadar, menghapus harapan banyak para pecinta.

Arofah, peziarah dari Surabaya, menangis tersedu-sedu, karena tak dapat menjamah makam Gus Dur. “Saya ingin mengambil sedikit tanah, atau bunga. Tapi tak bisa…,” isaknya.

Saya dapat merasakan kesedihan Arofah. Saya percaya, jika Gus Dur masih ada, dia akan membiarkan laku itu, agar setiap orang dapat terus memiliki harapan, terus hidup dalam keriangan-keriangan. Seperti pembiaran Gus Dur, ketika umat berharap dapat mencium tangannya. Karena bagi Gus Dur, efek penciuman tangan itu bukan buatnya, melainkan buat pecintanya, santrinya, yang berharap dapat berkah. Mencium tangan Gus Dur, menggenggam keranda, mensalatkan, menjumputi tanah makam, atau menyimpan kembang, dengan demikian hanya semacam upaya untuk berusaha mendapatkan cahaya di dalam kegelapan. Mengapa dilarang? Mengapa, “Gitu aja kok repot….”

“Saya selalu ingin dekat dengan Gus Dur. Karena tidak bisa waktu beliau hidup, minimal saya sudah bisa dekat di makamnya,” kata Abdul Hakim, peziarah asal Lamongan. Tiga kali dia berziarah, dan baru pada Rabu (6/1), Abdul dapat membaca Yasin persis di depan kuburan.

******

Di pemakaman Gus Dur, saya melihat wajah-wajah yang tak akrab di depan kamera. Ribuan. Mereka menanggalkan status, jabatan, membuang ikatan-ikatan busana kantoran, melibatkan sarung, duduk sebagai santri, membaurkan diri sebagai pecinta. Semua berharap mendapat kehormatan, menurunkan mayat ke lahat, menyentuh Gus Dur atau hanya keranda dan kafan. Wajah-wajah yang tidak saya kenal, yang saya yakin, juga tak bersentuhan dengan Gus Dur secara pribadi. Asing dalam persentuhan fisik, akrab dalam senggama batin.

Di pemakaman Gus Dur, saya juga melihat wajah-wajah yang juga akrab di depan kamera. Ratusan. Mereka tak menanggalkan status, apalagi jabatan, mengenakan busana kantoran, berjas, berdasi, sepatu mengilap, di udara yang terik berkeringat. Mereka santri. Mereka murid Gus Dur. Sebagian bertalian darah, keponakan. Mereka, dulu, selalu bersentuhan secara pribadi dengan Gus Dur. Akrab dalam kontak fisik, tapi kini, bahkan ketika sang Guru berpulang, mereka tetap menjaraki batin.

Ada Muhaimin Iskandar, Saifullah Yusuf, Alwi Shihab, Helmi Faisal Zaini, dan lainnya, yang berkat Gus Dur, jalan politik mereka tersibak lebar.

Mereka murid, “Saya anak ideologis Gus Dur,” kata Muhaimin, dan terlebih mereka santri, dari berbagai pesantren di Jawa Timur.

Mereka juga, dulu, adalah pecinta Gus Dur yang paling masyuk. “Bahkan kalau Gus Dur bilang langit berwarna hijau, saya akan bilang juga hijau,” tegas Muhaimin.

Merekalah saksi terdekat dan penerima berkah dari “kesaktian” Gus Dur.

Tapi di Pesantren Tebu Ireng itu, mereka “cuma” tamu, yang sebenarnya tak ditunggu.

Dan sebagai tamu, mereka terhalang –atau mungkin merasa nyaman– dengan protokoler jabatan.

Muhaimin, dan yang lain, seperti juga SBY, datang dan membuang waktu dengan menyalami pelayat di jalan. Mereka ditunggu jenazah, bukan menunggu. Mereka tak lagi duduk sebagai “warga” NU.

Di pemakaman Gus Dur, di dekat liang lahat itu, saya harapkan melihat Muhaimin dan Saifullah, atau Alwi, berbaju koko, bersarung dan peci, sebagai santri. Mereka menunggu Gus Dur, sang guru, dan berebut untuk ikut menurunkan jenazah ke bumi, sebagai penghormatan terakhir, sebagai tanda tiada keberjarakan. Mereka akan menguruki tanah makam, karena percaya, seperti  puisi Soebagyo Sastrowardoyo, tak ada batas antara kita. Aku masih terikat kepada dunia/ karena janji/ karena kenangan// Kematian hanya selaput gagasan yang gampang diseberangi/ Tak ada yang hilang dalam perpisahan, semua pulih/ juga angan-angan dan selera keisengan.

Tapi, tak ada Muhaimin sebagai murid di pemakaman itu, tak ada Saifullah sebagai santri, atau Alwi sebagai kiai. Mereka, seperti kata Pras tadi, hadir tak lebih sebagai tentara, berstatus pejabat negara, yang membuat Gus Dur “terhalangi” untuk mendapatkan penghormatan seintim mungkin dari para santri dan pecintanya.

Di pemakaman itu, saya melihat dua wajah pecinta, mereka yang melayat karena mencintai Gus Dur, dan mereka yang datang karena mencintai jabatannya.