Dhani dan Penggemar yang Dewasa
November 29, 2007
Di dunia industri, ide selalu berarti uang, dan bukan ideologi.
“Lagu ini benar-benar menunjukkan isi hati Dhani. Semoga nanti dikirimi Tuhan kekasih yang benar-benar baik hati.” Demikianlah bunyi salah satu SMS yang menjadi teks berjalan di layar teve, Sabtu malam (17/11). Banyak sekali SMS yang ditampilkan dalam acara “Musik Spesial” itu, mulai berisi permintaan lagu, titip salam si pengirim kepada sanak keluarga dan atau kekasih, sampai pujian dan hasutan. Semua SMS selalu berkisar pada grup musik yang tampil, Matta, Nidji, The Rock, dan Dewi-Dewi, yang memeriahkan ulangtahun Marinir di Surabaya itu.
Kiriman SMS memang menjadi hal penting dari acara ini. Pemandu acara Andhara Early dan Teuku Wisnu pun berkali-kali mengingatkan penonton agar terus mengirimkan SMS untuk memilih lagu yang mereka inginkan. Karena, diakhir acara akan ada hadiah untuk penonton yang memilih lagu favorit.Di panggung, semua band tampil antusias. Matta menghibur, Nidji memukau, The Rock memikat, Dewi-dewi memesona. Mereka bergantian unjuk piawai, berinteraksi, dan memberikan lagu-lagu terbaik dengan penampilan sempurna.
Saya, jujur saja, lebih tertarik mengamati SMS yang berjalan di layar. Saya percaya, lagu “Ketahuan” dan “Playboy” dari Matta punya peluang besar untuk jadi favorit penonton. Juga lagu-lagu Nidji yang familiar di telinga. Lagu Dewi-Dewi seperti “Dokter Cinta” dan “Begini Salah Begini Benar” sulit diharapkan dipilih penonton. Dua lagu ini memang populer dan dahsyat dalam pekikan Ina sang vokalis. Tapi gaungnya sudah terasa jauh. Bagaimana dengan The Rock?
Tak dapat dimungkiri, lagu-lagu Dhani memang selalu bagus dan bernada khas. “Munajat Cinta” dan “Kamu Kamulah Surgaku” memberi warna yang berbeda tentang cinta. Apalagi di panggung itu, layar memutar klip kemesraan Dhani dan anak-anaknya. Tapi, melihat kisruh rumah tangga Dhani selama ini, dan pernyataannya yang keras dan dingin tentang Maia, istrinya, sepertinya lagu itu akan bergaung tapi tanpa gema. Apalagi, sore sebelum naik pentas, infotainmen sibuk memberitakan penjemputan Maia pada Al, El, dan Dul, yang tengah syuting di Bogor. Dhani dikatakan telah mengeksploitasi anak-anak mereka. Perseteruan suami istri itu kembali tersulut. Lebih dari itu, di berbagai milis dan forum, “citra” Dhani telah “habis”. Ratusan, mungkin ribuan opini di dunia maya telah mendudukkannya sebagai suami yang kejam, sadis, dan mau menang sendiri. Di ruang maya, Dhani nyaris tanpa pembela.
Maka, saya percaya, “Ketahuan” dari Matta akan menjadi lagu favorit di “Musik Spesial” SCTV malam itu. Semelesetnya, pasti lagu dari Nidji.
Tapi, kenyataan terkadang acap mengkhianati harapan. Kian malam, SMS dari pemirsa berkata beda. “(36) Dhani al-Haq, kami dari padepokan Syeh Siti Jenar selalu mendukungmu”, bunyi salah satu SMS. Lalu, “(36) Saya sangat mengerti apa yang sedang Dhani alami dengan lagu ini. Juga, “(36) Lagu ini mengingatkanku padamu, Euis.” Atau, “(36) Dhani selalu membuat lagu dengan hatinya”. Dan, “(36) Lagu ini cocok untuk kaum jomblo.”
36 adalah nomor urut lagu “Munajat Cinta” yang dilantunkan Dhani. Dan lepas tengah malam, Andhara Earli mengumumkan bahwa “Munajat Cinta” berhasil menjadi lagu favorit pilihan pemirsa. Di layar tertera, tembang itu meraih 39,4% dari seluruh SMS yang masuk.
Saya mengucek mata, nyaris tak percaya.
Anomali Industri
Bertahun lalu, Zainuddin MZ selalu berkata, “Saya tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana.” Popularitas pun selalu mengakrabinya, juga media. Tapi kemudian Zainuddin masuk PPP, lalu kecewa, dan mendirikan Partai Bintang Reformasi. Namanya perlahan tapi pasti meredup. Media menjauh, popularitas merapuh.
Bertahun lalu, Aa Gym selalu mengajarkan bagaimana menjaga hati, memanajemen kalbu. Ia menjadi representasi kiai yang sangat mencintai keluarga. Sikap moralnya menjadi ikutan umat. Popularitas kian menguat, media pun sangat akrab. Lalu, Aa menikah lagi. Kiai ini “difatwa” media telah “melanggar” apa yang selalu dia ajarkan, tentang cinta, keluarga, dan satu istri. Dan perlahan tapi pasti, popularitas menarik diri dari kiai ini, media pun ikut pergi berlari.
Meski tidak sama persis, Dhani justru menjadi anomali dalam industri media. Jangankan kesantuan, sikap rendah hati pun tak dipunyai pentolah Dewa ini. Arogan! Arogansi ini bahkan sudah jadi sikap diri. Ketika Helmy Yahya menasihati peserta “Mama Mia” agar jangan cepat bersombong meski sudah populer, Dhani yang juga duduk sebagai juri, menggamit Helmy dan membisikinya. Helmy kemudian tersenyum, dan berkata, “Karena kata Dhani, yang boleh sombong itu hanya dia.” Penonton bersorak.
Helmy, di dalam buku Manunggaling Dewa juga mengaku tak habis pikir dengan segala popularitas yang didapatkan Dhani. Ketika semua publik figur selalu membangun citra diri, Dhani bahkan seakan tidak urusan dengan hal itu. “Dhani sebuah anomali dalam industri hiburan,” kata Helmy. Tak hanya Helmy, Rheinald Kasali pun mengakui pola-pola yang ditempuh Dhani nyaris tak ditemukan di dalam dunia marketing.
Uniknya, dengan segala arogansi itu, Dhani mengusung tema cinta. Cinta dengan C besar. Lagu-lagunya dibumbui petikan ucapan sufi, dan, katanya, saripati, al-Quran. Album bandnya selalu memakai kata cinta, dari Atas Nama Cinta, Cintailah Cinta, Laskar Cinta sampai Republik Cinta. Dan dia berhasil dengan kampanye cinta tersebut, setidaknya sampai perseteruannya dengan Maia, istrinya, di ujung tahun lalu. Setelah itu, arogansi Dhani mulai dibumbui kebencian, amarah, cacian, dan nista. Dhani justru menunjukkan dirinya sebagai hamba yang jauh dari cinta.
Setahun ini, media selalu berisi perseteruan Dhani dengan Maia, statemen-statemennya yang tak menunjukkan “watak” seorang suami, dan tuduhannya yang sampai kini belum terbukti. Dalam kondisi “hampa cinta” itu, Dhani justru menelurkan album Kerajaan Cinta. Lagu “Dewi” yang menjadi andalah, tetap mencetak hit. Ia pun memproduseri Andra and The Backbond, juga membesut trio Dewi-Dewi, dan meraih platinum. Terakhir bersama bule Australia, dia melempar The Rock. “Munajat Cinta” pun tetap mencetak hit.
Ada apa dengan Dhani? Mengapa, ketika “aktor” media lain diabaikan pasar karena “sikap moral” yang berbeda dari karya, Dhani masih tetap diterima?
Uang Ideologi
Melihat fenomena Dhani ini, saya “curiga”, penonton teve dan penikmat musik Indonesia telah memasuki fase dewasa. Kedewasaan inilah yang membuat mereka mampu melihat Dhani dalam berbagai posisi, sebagai suami, ayah, pemusik, pencipta, produser, dan embel-embel lainnya. Dengan kata lain, penonton sadar tak selalu ada kausalitas di antara posisi-posisi itu. Gagal sebagai suami, belum tentu gagal sebagai ayah. Tak selalu ada “pertalian darah” antara karya dan penciptanya. Karena, seperti kata Pramudya Ananta Toer, setiap karya memiliki jiwa dan kehidupan sendiri. “Kehidupan yang menentukan apakah karya itu abadi atau tidak. Bukan pengarangnya.”
Penonton atau penikmat musik barangkali juga mulai menyadari bahwa diri itu tidak selalu tunggal dan utuh, tapi terpecah di dan dalam proses. Yang selalu diberikan seseorang bukanlah keutuhan atau ketunggalan, tapi pecahan-pecahan dirinya yang dapat diterima, yang kelak selalu bisa berubah. Karena manusia, mengutip Goenawan Mohamad, selalu menuju dumadi, dadi yang mendapat imbuhan “um”, men-jadi yang selalu dalam gerak, di arus waktu.
Menyadari diri bukan suatu yang tunggal dan utuh, menempatkan penonton pada kesadaran bahwa karya adalah idealisasi dari penciptanya, dan bukan selalu jalan hidup. Karya lebih berupa “apa yang ingin dikatakan” daripada “apa yang akan dilakukan”. Karya atau lagu, adalah hasil olah pikir, kristalisasi ilmu, dan bukan laku. Dan di dunia industri, ide selalu berarti uang, dan bukan ideologi.
Diri Dhani berada dalam “kemelut” ini.
Penggemar yang dewasa akan dapat menikmati lagu-lagu Dhani lepas dari sosok Dhani. Lagu-lagu itu punya energi sendiri, misi sendiri, napas dan jiwa, yang sepenuhnya tidak dikendalikan Dhani. Para pelatun di luar Dhani-lah, yang mendengung di sisi pentas itu, dalam panas dan peluh, yang lebih menentukan warna cinta di dalam tiap lagu-lagu Dewa. Merekalah laskar cinta sesungguhnya. Dan pencipta boleh alfa.
Ketika karya tidak dibebani pencipta, penilaian pun akan berjalan adil. Pencipta boleh masuk penjara, boleh tersangkut narkoba, bercerai, berzinah atau poligami, karyanya tetaplah suci. Karena kita tahu, kehidupan terkadang memaksa seseorang untuk tidak melakukan apa yang dia katakan. Kehidupan kadang membelokkan seseorang ke jurang yang tak pernah dia inginkan. Karena kehidupan kadang hanya meminta kita berkata ‘ya’. Itu saja.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 2 Desember 2007]
Mereka yang Tumbuh dengan Tergesa
November 15, 2007
Industri metode perkembangan anak membuat orangtua tak memiliki kesabaran membiarkan anaknya tumbuh secara alamiah.
“Fahmi, jujur ya, sebenarnya Fahmi mau pilih piala atau harimau?” tanya Marissa Haque.
“Sebenarnya sih, Fahmi maunya pilih piala, Bunda. Tapi kata kakak pembina harus pilih harimau. Kalau tidak pilih harimau, katanya Oom kameramen akan kreek!” jelas Fahmi sambil menebaskan tangannya ke leher. Barangkali maksudnya disembelih.
Marissa Haque tertawa. Penonton juga, bergelak. “Inilah anak-anak ya Ibu-Ibu, jujur dan lugu sekali….” Marissa menggelengkan kepalanya.
Saya tidak tertawa melihat kejujuran Fahmi dalam acara “Keluarga Dacil” yang tayang di Lativi, Jumat malam (9/11) itu. Kejujuran Fahmi di atas justru menunjukkan satu ironi bahwa apa yang dia tampilkan dalam tausyiah sebelumnya bukanlah suara hatinya, melainkan “pesanan” dari Kakak Pembina. Sikap moral yang dia sampaikan adalah pilihan yang sebenarnya tidak dia mengerti tapi harus dia katakan. Di pentas Pildacil itu, Fahmi belum memanggungkan dirinya.Peserta lain, Aufa, menunjukkan ironi yang sama malam itu. Ketika Neno Warisman bertanya, “Buku apa yang harus dipelajari paling utama di muka bumi ini?”, dengan enteng dia menjawab, “Buku-buku tentang agama Islam, Bunda.”
Neno Warisman terlengak, wajahnya tampak tidak puas dengan jawaban Aufa. “Iya, tapi kalau antara al-Quran dan buku-buku agama Islam, mana yang lebih penting, Aufa?”
Aufa berpikir sebentar. “Mungkin harus kedua-duanya ya, Bunda.”
Plass! Senyum di bibir Neno hilang sesaat. Setelah membuang napas, dia pun berkata, “Iya, tapi banyak orang yang salah belajar tentang Islam karena tidak mendahulukan al-Quran, Aufa. Mereka jadi sesat. Jadi al-Quran itu harus yang utama. Aufa mengerti kan?”
Aufa mengangguk. Neno kembali bersandar ke kursi.
Fahmi, Aufa, Ela, dan Kenia yang tampil malam itu, seperti kata Marissa, adalah anak-anak yang masih lugu dan jujur. Tapi lihatlah, bagaimana orang dewasa, para Kakak Pembina mereka, juga para Bunda yang menjadi juri, menganggap “aneh” kejujuran dan keluguan mereka, dan mencoba menarik mereka ke alam pikir orang dewasa.
Sekadar Hapalan
Dari jawaban Fahmi dan Aufa, kita dapat menduga bahwa tausyiah yang mereka sampaikan adalah hasil hapalan semata. Karena hasil hapalan, apa yang mereka sampaikan bukan lahir dari hasil penalaran, proses mengerti dan memahami. Sehingga kenapa harus memilih harimau dan mengapa harus mengutamakan membaca al-Quran, Fahmi dan Aufa tidak mengerti. Bagi mereka itulah yang harus disampaikan untuk dapat merebut simpati penonton. Proses yang tanpa penalaran itu membuat mereka menjawab berbeda dari tausyiah ketika ditanyai oleh para Bunda. Pilihan pribadi berdasarkan “nalar kanak” pun muncul, yang menimbulkan gelak tawa, sekaligus kerisauan, para Bunda.
Dari penampilan Fahmi, Aufa, Ela, dan Kenia, tampak sekali betapa berat mereka mengingat seluruh ajaran “Kakak Pembina”. Kesetiaan pada hapalan ini membuat Ela tergeragap, dan Fahmi berberapa kali menjedai tausyiahnya, karena lupa. Pemanggungan itu, dalam arti yang sebenarnya, menjadi siksaan bagi mereka. Anak-anak itu cuma mengerti bahwa kesempurnaan penampilan mereka adalah kesetiaan pada hapalan. Tak ada improvisasi, negosiasi, apalagi imajinasi dari keseluruhan tausyiah yang harus disampaikan. Panggung “Keluarga Dacil” itu, senyatanya bukanlah arena kegembiraan, “ladang” permainan, melainkan sebuah tugas, kancah pertarungan siapa yang paling kuat ingatannya. Padahal, metode hapalan semacam itulah yang justru kelak akan merampas kekuatan kognisi anak-anak ini.
Psikolog perkembangan anak, Kathi Hirsh-Pasek dalam buku Einstein Never Used Flash Cards: How Our Children Really Learn - And Why They Need to Play More and Memorize Less menunjukkan “bahaya” jika anak-anak dipaksa menghapal. “Yang diperlukan bagi perkembangan kognisi anak-anak adalah kesempatan yang luas untuk bermain, bergembira, dan bukan menghapal,” katanya. “Bermain akan membangun keahlian intelektual yang kaya, luwes, dan fleksibel, tempat di mana akan tumbuh kemampuan menyelesaikan masalah,” tambahnya. “Bermain merupakan unsur penting dalam kemampuan berpikir ilmiah yang produktif,” kata si jenius Einstein. Dan, Einstein pun ternyata, tak pernah menghapal.
Lalu apa unsur bermain? Pertama, bermain harus menyenangkan dan bisa dinikmati. Kedua, bermain tidak punya tujuan ekstrinsik. Bermain juga harus spontan, tidak memiliki aturan dan alur, melibatkan imajinasi dan ketakterduggan dalam proses bermain. Dari beberapa unsur itu, pementasan “Keluarga Dacil” dapatlah dilihat tak memenuhi syarat sebagai arena bermain.
Anak sebagai Proyek
Apa yang tampil dalam “Keluarga Dacil” atau “AFI Junior” sebenarnya adalah wujud dari progresivitas orang tua yang ingin “memamerkan anaknya”. Progresivitas ini membuat anak-anak mengalami masa kanak denan tergesa-gesa. Tidak ada lagi kesabaran dari orangtua untuk melihat anaknya tumbuh dengan alamiah, belajar sendiri, sebagaimana pertumbuhan bayi sejak ribuan tahun lalu. Industri metode mendidik anak telah mendorong orangtua untuk mendapatkan anak dengan kecerdasan sempurna dan lebih dari anak yang lain. Setiap blue print bagaimana mendidik anak pun dipelajari, dipraktekkan, dengan kegembiraan dan kecemasan yang sama. Efek Mozart, Baby Shakespeare, sampai emotional intelligence untuk bayi, dan puluhan metode lain diikuti, tanpa menyadari semua itu adalah “ilusi” yang dibangun dunia industri. Masa kanak-kanak pun hilang karena program perlombaan kecerdasan dan kesuksesan ini. Anak-anak akhirnya tidak punya dunia sendiri, proyeksi dari harapan dan keinginan orangtua.
Lihatlah keluarga Aufa yang meminta dukungan masyarakat Solok, dan sibuk mendatangi media. Apa sesungguhnya arti popularitas dan kemenangan itu bagi dirinya pribadi? Atau Fahmi, yang mengucapkan “r” pun belum bisa, tentu dia tak mengerti rasa bangga tampil di teve lebih dari yang dialami orangtuanya. Anak-anak ini pun pasti belum tahu bagaimana menggunakan hadiah jika menang, yakni berupa ponsel, simcard, dan voucer Rp 500 ribu. Hadiah yang sungguh tidak ada kaitannya dengan kekanakan mereka. Anak-anak itu pun pasti tak mengerti apa yang dikatakan para Bunda –Marissa, Neno, dan Khofiffah– yang selalu mengaitkan isi tausyiah mereka dengan pembalakan liar, kekalahan pilkada, korupsi, dan kecurangan para politisi.
Dari situ, kita dapat melihat, sesungguhnya pentas “Keluarga Dacil” dan aneka lomba sejenis itu, adalah panggung para orangtua untuk pamer diri atas pencapaian mereka. Anak-anak itu adalah buktinya. Dalam kasus ini, Kafka pun jadi benar ketika mengatakan, “Memiliki dan mendidik anak dalam dunia sekarang adalah pekerjaan paling mustahil.” Mustahil karena anak-anak tidak dididik sebagai anak-anak. Mustahil karena anak-anak adalah pihak yang selalu dipaksa mendengar, diajari menghapal. Mereka adalah kaset yang memutar suara orangtua….
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 18 November 2007]
Mengabadikan Ketakmasukakalan
November 5, 2007
“Prime Time” justru menjadi penyedap rasa bagi ragam ketakmasukakalan di televisi kita.
“Di sinetron kita, misalnya ada tokoh yang sekali teraniaya, terus jadi teraniayaaa banget. Kalau ada tokoh jahat, jahaaat banget. Yang baik, baiiik banget. Akhirnya kami berpikir, mengapa tidak memarodikan pola-pola cerita yang selalu ada dalam sinetron itu?” kata Fransiska S. Dia pun memproduseri “Prime Time”.
“Prime Time” memang memelesetkan adegan sinetron yang sudah menjadi “tipekalitas”. Misalnya marah sambil melotot dan berkecak pingang, tangisan yang dalam beberapa detik sudah banjir airmata, sampai cerita yang konyol. Acara yang tayang di TransTV setiap Minggu malam ini merupakan reinkarnasi “Sketsa ABG”, mulai dari para pemain sampai tipekalitas akting. Jadi, nyaris secara keseluruhan, “Prime Time” sewajah dengan “Sketsa ABG” dan “Extravaganza ABG”. Yang membedakan cuma, “`Sketsa ABG` syuting di dalam studio, sementara `Prime Time` hampir semua outdoor,” jelas Siska.Dan begitulah, Olga masih tampil dengan “kualitas” tipikalnya, sama dengan karakter Aming yang kedahsyatannya “dipatok” sebagai “Pinkyboy” di “Extravaganza”. Raffi Ahmad yang terkadang berakting apik di dalam sinetron pun masih belum beranjak dengan wajah cengengesan yang kental di “Sketsa ABG”, juga Dawiyah Sukaesih. “Prime Time” tampaknya belum diniatkan sebagai wajah baru dari “Extravanza ABG”.
Dua Parodi
Fransiska meyakini tayangan ini akan menjadi alternatif karena berisi parodi atas kejumudan kreativitas sinetron Indonesia. Apalagi, titik pijak acara ini adalah kesadaran mereka tentang kekonyolan dan ketakmasukakalan di dalam sinetron yang bisa dijadikan bahan tertawaaan. Masalahnya, apakah kesadaran itu difigura dalam visi yang benar atau tidak? Atau, cukupkah membongkar “ideologi” visual sinetron kita dengan visualisasi parodi saja? Apalagi, seperti pengakuan Siksa, mereka hanya mengambil sisi humornya saja, untuk memancing penonton tertawa.
Jika demikian, barangkali yang dimaksudkan “kesadaran” oleh Siksa bukanlah semacam upaya untuk membongkar ketakmasukakalan di dalam sinetron, melainkan sekadar peluang untuk membuat acara baru, memancing responsibilitas yang lebih tinggi dari penonton “Sketsa ABG” selama ini. Hal ini dapat dilihat dari petilan-petilan parodi itu yang hanya tayang 3-5 menit. Pemarodian itu pun terkesan sangat sederhana, hanya mengutamakan unsur yang dapat memancing tawa. Yang dibidik dari parodi ini bukanlah syaraf pikir melainkan syaraf tawa penonton. Parodi di sini telah mengalami penyempitan makna.
Di dalam buku A Theory od Parody, Linda Hutcheon mendefenisikan parodi sebagai imitasi yang mengandung ironi. Parodi selalu mengandung unsur kritik untuk mengungkapkan ketidakpuasan, ketidaksenangan, atau kekecewaan. Tapi, parodi tidak hanya cukup sebagai imitasi, dan harus memuat ruang “permainan” untuk menghadirkan makna baru. Parodi mengajak orang tertawa dan sekaligus berpikir.
Dalam Dialogic Imagination, Michael Bahtin meyakini parodi selalu lebih menonjolkan aspek distorsi dan plesetan maknanya. Karena itu, parodi tidak pernah berangkat dari satu teks tunggal, namun dialog dari berbagai teks untuk menciptakan makna baru. Dalam parodi selalu ada “dua wajah”, yang imitasi dan asli. Parodi juga tidak selalu berangkat dari sisi negatif.
“Prime Time” di satu sisi telah berhasil memarodikan ketidakmasukakalan di dalam sinetron kita. Tapi di sisi lain, ketidakmasukakalan itu hadir tanpa jarak di dalam pemanggungan mereka. Alih-alih merepresentasikan” ini loh ketidakmasukakalan itu”, “Prime Time” justru terjebak dalam bagaimana menciptakan ketidakmasukakalan baru. Ironi kata kuncinya. Ironi atas teks itu yang belum tereksplorasi secara serius di dalam “Prime Time”. Acara ini masih sebatas hanya menyangatkan atau menghiperbolakan dan belum sampai pada membelokkan atau memutus teks asli. Karena itu, parodi ini nyaris tidak memiliki efek kejut, dan tidak memperhubungkan penonton langsung dengan teks atau visual asli yang dituju. Lompatan makna baru antara teks asli dan imitasi tidak terjadi dalam satu ketersegeraan. Sehabis tawa, nyaris tak tersisa apa-apa. “Prime Time” berangkat dari kesadaran peluang untuk memancing tawa dan bukan menawarkan wacana.
Micin Olga
Sebagai produksi TransTV, tentu memang sulit berharap “Prime Time” memosisikan dirinya sebagai “oposisi” ketakmasukakalan dalam sinetron kita. Karena sangat tidak mungkin acara ini mengebiri acara lain yang juga tayang di TransTV. Apalagi, TransTV justru salah satu persemaian utama dari kekonyolan sinetron kita. Sinetron yang tayang di teve itu, misalnya Sinema Hidayah, Legenda, Hikayah, dan sinetron lepas lain, justru selalu membuat kekonyolan baru, dan menjadi rujukan bagi teve lain. Sinetron Legenda misalnya, yang justru bisa jadi ladang parodi yang sebenarnya, justru memperhamba pada kenaifan dan ketakmasukakalan sebagai bumbu utama legenda. Apalagi sinentron Hikayan dan Hidayah, yang membaurkan kemuskilan dalam dogma agama, dan menjadi acara yang paling diunggulkan oleh TransTV.
Maka, tidak mungkin berharap “Prime Time” adalah “solusi” atas kekonyolan sinetron kita. Kecuali, acara ini, misalnya, tayang di MetroTV, yang tidak akan menimbulkan konflik bisnis di dalamnya. “Prime Time” hanyalah satu lini acara baru yang hanya menambah “penyedap rasa” atas ketidakmasukakalan dalam sinetron kita. Micin itu ada dalam diri Olga, Raffi, dan juga Dawiyah. Dan dengan tambahan penyedap rasa ini, ketidakmasukakalan itu punya wajah baru, menjadi tayangan mandiri, yang lepas dari teks asli yang mereka parodikan. Dan sebagai parodi yang mengutamakan sisi lucu saja, sehingga lepas dari teks asli, tayangan ini justru kian mengukuhkan ketidakmasukakalan itu sendiri. Karena, yang konyol, yang tidak masuk akal itu, yang aneh bin ajaib di dalam sinetron kita, bukanlah unsur yang meniadakan akal sehat, melainkan memancing syaraf tawa. Kehadirannya tak perlu ditampik, tak perlu dicela, karena kita bisa melihatnya hanya dengan tertawa. Dan ketika sebuah ketidakmasukakalan sinetron hanya dianggap sebagai lelucon, jangan harapkan ada perubahan. Karena dengan lelucon itu, para perajin sinetron semakin merasa tak ada yang salah dalam produk mereka. “Prime Time” telah membuktikannya.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 11 November 2007]
Recent Comments