Sexophone, Suara Seks Bebas?
October 16, 2012 · Print This Article
Seks dimulai dengan misteri, dan berbahaya jika direpetisi. ”Sexophone” menajamkan sisi bahaya itu.
SEX education. Itulah rumusan singkat tentang acara ”Sexophone” yang tayang di TransTV, Kamis-Jumat tengah malam. Atau, sebagaimana dicatat tvguide.com, ”Acara yang dikemas dengan ringan dan dipandu oleh pasangan pembawa acara cantik, Chantal Della Concetta dan Zoya Amirin ini akan memberikan Anda berbagai pengetahuan dan wawasan baru mengenai sex education.”
Tapi tampaknya, kian lama acara itu makin meninggalkan unsur pendidikan, dan lebih menonjolkan sisi seksnya. Dalam tayangan Jumat (05/10) misalnya, yang membahas tentang ”Mimpi Basah dan Erotic Dreams”, selain menjelaskan defenisi dan beda dua hal dalam tema itu, selebihnya adalah perayaan pengalaman seksualitas. Mario Lawalata yang dihadirkan sebagai bintang tamu misalnya, tampil tanpa beban ”mendidik”. Ia dengan santai berkata, ”Karena sudah dewasa, saya bisa kan masturbasi,” ketika ditanya bagaimana menyalurkan libidonya.
Tak ada yang salah dengan jawaban Mario. Masturbasi memang ”hal wajar” sebagai pelepas katup keterangsangan. Tapi, tindak masturbasi seharusnya mendapatkan penjelasan. Mario menghadirkan masturbasi itu dalam kekosongan alasan. Dan Zoya Amirin atau Chantal tidak sigap untuk masuk ke celah kosong itu.
Barangkali Zoya dan Chantal, juga Mario, berangggapan penonton sudah mengerti. Dan mereka tidak cemas. Tapi kita tahu, banyak masalah seputar tindak mastrubasi: kecemasan berlebih, perasaan berdosa, ketakutan impotensi, sampai durasi sebelum ejakulasi. Zoya seharusnya masuk ke ruang itu, dan atau menciptakan narasi untuk penghadiran ruang itu. Tapi mereka memilih tertawa, dan ”soal” masturbasi terbuang begitu saja.
Subsidi Imaji
Hilangnya unsur pendidikan dalam tayangan ini tampaknya bukan sesuatu yang disengaja. Berbagai tema yang dipilih secara jelas memang mengisyaratkan tentang eskplorasi seksualitas. Tayangan Jumat (28/9) misalnya, yang membahas ”Posisi Bercinta” memang diniatkan untuk hadir sebagai penjelas. Bahkan, statemen dari Fajar, ”Kami suka WOT dan doggy style. Keduanya membuat saya lebih mudah mengontrol orgasme,” adalah ”skenario” yang amat tampak dihadirkan untuk bisa masuk ke sisi penjelasan. Apalagi kemudian, Novita, patner seks Fajar mengangguk, sembari tersenyum ia menambahkan, ”Kami bisa bareng-bareng orgasmenya.”
Kehadiran bintang tamu Marcell dan Rima Melati Adams juga menegaskan ”misi” pendidikan itu. WOT alias women on top dan juga doggy style dieksplorasi kelebihan dan kekurangannya. Posisi apa yang nyaman buat wanita, sampai kemungkinan menghilangkan rasa sakit dan tak nyaman. Intinya, secara serius tayangan itu memang berusaha menghadirkan seks sebagai ”konsumsi” legal dan menjaga agar tak menjadi perayaan atau kebebasan seksual.
Namun di situlah masalahnya. Karena takut wacara pendidikan jadi jatuh sebagai perayaan kebebasan seks, acara itu justru tanpa sadar merayakan seksualitas. Represi atas seks bebas justru membuat kebebasan seks itu tetap hadir, meski tersembunyi.
Freud menyatakan, represi tak akan terpisahkan dari fenomena kembalinya yang direpresi, the return of the repressed. Sesuatu masih tetap ada dan berfungsi, dan masih senantiasa berbicara, di tempat ia ditekan. Ia akan tetap hadir, dalam diam, dalam sembunyi, dalam sunyi. Selama ditabukan, ditekan, kapan pun, di mana pun, seks bebas akan hadir. Tak terelakkan.
Pertama, lihatlah penonton yang hadir, yang selalu dilahapi kamera. Nyaris berusia muda, dan tampaknya belum menikah. Inilah penonton yang suaranya terkadang cekikikan ketika percakapan memasuki wilayah sensitif. Penjelasan bahwa ”Sexophone” adalah tayangan dewasa runtuh dengan kehadiran ABG di panggung. Tapi, bukankah para remaja juga berhak untuk mendapatkan pendidikan seksual, termasuk gaya dan teknik berhubungan intim? Jika itu yang dijadikan alasan, maka penelitian Jana L. Kim dan L. Monique Ward yang dipublikasikan dalam jurnal Psychology of Women Quarterly layak jadi rujukan.
Mereka setelah meneliti 150 mahasiswa sampai pada kesimpulan, ”ketika disuguhi berbagai pesan tekstual yang eksplisit tentang seksualitas wanita dalam artikel-artikel tersebut, pembaca pun cenderung berperilaku atau menuruti gairah seksualnya, dan menganggap itu lebih menguntungkan.” Jana juga menemukan bahwa akibat membaca artikel seks, mereka secara khusus memandang seks pranikah tidaklah berisiko.”
Jana dan Monigue hanya meneliti remaja yang terpapar pesan seks secara tekstual, dan dampaknya sudah demikian. Bayangkan jika pesan seks itu tampil secara visual dan terus direpetisi? Pakaian pemandu acara, misalnya, jadi terasa punya nilai tanda berbeda ketika berkaitan dengan cara kerja kamera yang pasti melahapi tubuh-tubuh terbuka Chantal dan Zoya. Benar-benar melahapi!
Kedua, narasi tayangan ini tidak terjaga. Gea, penyanyi dalam tayangan Jumat (28/9) itu misalnya, menggunakan kata ”pasangan seks”, bukan suami. Pemilihan kata ”Pasangan seks” meluaskan makna keintiman pada aspek suka atau boleh dan bukan legal. Ini hal yang sepele, namun memiliki implikasi yang luas.
Ketiga, dan yang paling penting adalah pemilihan bintang tamu. Di sesi ”Ejakulasi Dini” (4/10) dihadirkan Yeyen Lidya, presenter dan model majalah dewasa. Di edisi ”Mimpi Basah dan Erotic Dream” dihadirkan Mario dan Anita Hara, model yang juga tak bisa jika tak tampil sensual. Kehadiran Yeyen dan Anita adalah ”afirmasi” pada kebebasan hidup dan seks. Sosok mereka yang sudah ”terimajikan” di benak penonton memfigurasi atau membubuhi tayangan ini. Tanpa sadar, terjadi persenyawaan, persetubuhan pesan, subsidi imaji, dari sosok mereka ke dalam tayangan. Mereka yang semula hadir diniatkan sebagai ”bumbu” malah beralih menjadi menu.
Meminjam analisa Freud tentang mimpi, sebuah karya menjadi penting bukan hanya karena apa yang ditunjukkannya melainkan apa yang disembunyikannya. Dan mengadaptasi Pierre Macherey dalam A Theory of Literary Production, tersebutkan bahwa selalu ada kesenjangan, penjarakan internal, antara apa yang ingin disampaikan sebuah tayangan dan apa yang benar-benar dikatakannya. Pesan sebuah tayangan kadang tersembunyi pada ‘apa yang dipaksa dikatakan agar mengatakan apa yang dikatakan’.
”Kita senantiasa, pada akhirnya, menemukan di ujung teks itu, bahasa ideologi acap tersembunyi, tapi justru terasa oleh ketidakhadirannya itu sendiri,” ucap Macherey.
Promosi seks bebas memang tersembunyi dalam tayangan ”Sexophone”, tapi dia ada, dan tanpa sadar, berdiaspora dalam benak kita. Sungguh berbahaya.
No comments yet.