Yang tak Diambil Maut
August 18, 2009
Benarkah kematian datang tanpa rencana, selalu tiba-tiba?
Kita bisa menjawab, tidak. Kematian selalu datang seperti tamu yang telah dijadwalkan datang. Dia mengetuk, dan kita mengizinkannya masuk. Mbah Surip misalnya, melafalkan izin itu, sebagaimana yang tayang di televisi. “Jika nanti mati, Mbah pengen dimakamkan di Bengkel Teater Rendra, di bawah pohon jengkol dan pohon kopi, hahahaha…” katanya.
Maut, memang datang tidak dengan wajah yang kejam. Dan terkadang, kita gagal mengenalinya. Mbah Surip pun kita anggap bercanda. Tapi ketika kematian itu terwujud, kita jadi paham, sang Maut memang punya banyak wajah. Dia memberi isyarat meski tak selalu dapat ditangkap.
Kematian, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang jauh. Dia dekat, dan dapat diamati, dicatat, jika kita cermat. Kematian, meminjam Subagyo Sastrowardoyo, seakan kawan berkelakar yang mengajak tertawa -itu bahasa semesta yang dimengerti. Dan karena akrab, kematian tidak menjaraki yang hidup dan mati. Lihat, tak ada batas antara kita. Aku masih terikat kepada dunia/ karena janji/ karena kenangan// Kematian hanya selaput gagasan yang gampang diseberangi/ Tak ada yang hilang dalam perpisahan, semua pulih/ juga angan-angan dan selera keisengan.
Tak ada yang hilang, semua pulih. Betapa benarnya.
Kematian, pada dasarnya, memang tak mengambil apa-apa. Memang ada tubuh Mbah Surip yang terbujur kaku, ada tangis yang mengiris, terbang bersama udara yang pengap, ada tawa hahahaha yang tiba-tiba lindap. Tapi, maut tak mengambil spirit, jiwa. Hari-hari ini, kita menemukan kenyataan itu: dalam tiap lagu “in memoriam” Mbah Surip, kita masih merasakan ruhnya, mendapatkan karakternya.
Maut, bisa jadi, hadir bukan dengan maksud untuk meringkus “yang hidup”. Tak heran kalau Eckhart Tolle meyakini, “Kematian itu tidak ada. Yang terjadi hanyalah perubahan energi. Jadi, sebagai energi, yang mati itu tetap dapat terhubung dengan kita kembali,” kata penulis buku A New Earth, dalam acara “Oprah Winfrey Show”.
Tolle benar. Yang tak dikalahkan kematian, “yang hidup” itu, bahkan menempati jalur yang bebas hambatan. Dia tidak lagi Mbah Surip yang harus tergantung pada kopi, ojek, atau supir, tapi “Mbah Surip” yang abadi, yang berjalan-jalan dalam bentuk energi: kenangan. Kenangan itu, adalah keabadian yang dititipkan sang maut, sebagai tanda, kematian tak pernah utuh menjemput. Ada yang tetap ditinggalkannya untuk yang hidup, sebagai kawan duka, bahwa memang ada yang pergi, tapi tidak selamanya. Ada yang berpulang, tapi bukan tidak kembali. Kenangan akan terus memanasi ingatan, membuat yang tiada kembali menjadi ada.
Tak gendong ke mana-mana/ Tak gendong…. Dengarlah, bukankah dalam kepala kita, tetap hadir sosok berambut gimbal itu, dengan topi tiga warna, tubuh yang condong, dan tawa kerasnya, HAHAHAHA….
Tubuh itu terbujur kaku, kita tahu. Tapi, kita pun menyadari, bukan tubuh renta bau kopi itu yang kita cintai. Yang selama ini menyentuh kita adalah jiwa yang bersembunyi di dalamnya, yang “jelata”, seperti sahabat setelah lama tak jumpa: rindu.
Maka, dalam tiap kematian kita tahu, tangis selalu sementara. Tapi kenangan, –sapa sahabat yang lama tak jumpa itu– abadi bersama kita. Hari-hari ini, seperti klipnya, kita pun menggendong Mbah Surip ke mana-mana. Dia selalu hidup bersama kita.
[Telah dimuat sebagai "Tajuk" dalam tabloid Cempaka, Sabtu 9 Agustus 2009]
Recent Comments