merindu mei

May 10, 2011

di musim penghujan ini mei, randu hutan pun memekarkan kapasnya, dengan wangi yang kurasakan pernah kucium di kulit bahumu. kamu ingat, mengapa aku memanggilmu mei?

karena kita bertemu di bulan mei, di kala mentari masih malu melihat bahu kita yang telanjang. lalu kita tahu, mei itu jadi penghabisan kita bertemu.

lalu kau menghilang, seperti senja. dan di bulan mei tahun berikutnya, kau datang lagi. dengan bau yang sama.

”mei itu abadi bagi kita…” bisikmu, di sela ayunan tubuh kita.

tapi, apakah yang abadi, mei? cuma bulan, cuma jumpa, cuma ingin. bukan milik.

ya, engkau milik yang lain. bukan aku. kau milik dia yang menguasai januari sampai desembermu, tanpa mei. karena di mei, kau ”milikku”.

”tidakkah engkau dapat puas hanya dengan begitu?” pintamu.

puas mei? bagaimana aku bisa puas dengan sebelas bulan yang kubayangkan seperti jarum menyusup di kulitku. kau tanpa kabar, tanpa alamat. padahal, setiap saat, dapat kucium tubuhmu, dengan bau yang membuatku cemburu. kepalaku mei, tak pernah alpa mengiangkan namamu. imajinasiku selalu kembara antara berharap bertemu dan ingin sudah. aku terpenjara dalam rasa yang ambigu, merindu tapi takut jumpa.

di kamarku mei, kamu tahu, tak ada kalender dengan 12 bulan itu. hanya ada satu bulan, bulan kamu. karena telah lama kukhayalkan, jika setiap bulan adalah mei, tentu kita tak haus begini. tapi, di luar kamar, tetap saja bulan berputar tak seperti mauku. kau hanya hadir di pagi mei, mengetuk kamarku, dan melesat seperti mentari yang acap mencium bahu telanjangku, seperti di gigir pantai awal kita bertemu.

”telah kurangkum setahun ini di dalam diriku, ambillah…” bisikmu.

mei, engkau hanya kumiliki dalam malam. separo impian, selebihnya igauan.

karena kata adalah istana

November 17, 2010

debar, masihkah kau sehangat dulu? seperti lesatan mentari yang memasuki kamarku dari sempit ventilasi pagi?

subuh ini, tubuhku membukai kenangan percakapan sepanjang malam, dalam lagu dua ibu, segarit tompi, juga float. aku ingat “pulang”.

dan lalu
rasa itu tak mungkin lagi kini
tersimpan di hati
bawa aku pulang rindu
bersamamu

dan lalu
air mata tak mungkin lagi kini
bicara tentang rasa
bawa aku pulang
sekarang

jelajahi waktu ke tempat berteduh
hati kala biru

debar, masihkah sempat kau putar lagu itu? di kasur ini, masih kuingat mutiara yang kau goreskan di sampul CD itu? “ini lagumu, Ia… lagu yang menggambarmu di benakku. lagu yang mengantarku pada hujanmu. lagu yang tanpa sengaja kulekatkan di bajumu. mungkin karena biru adalah dirimu. tapi, ini juga lagu kita. mungkin karena kata adalah istana…”

ya, kata adalah istana: kita pernah abadi di dalamnya. tapi kata-kata juga siksa: ia memberi kita ingin, hasrat, tapi tak mencukupkan. selalu ada yang luput,mrucut. aku acap merasa, meski kita sama tahu, rasa itu tak pernah seluruhnya sampai. kata memang jembatan, tapi tak mengantar ke tujuan. karena di seberang kata, kita bertemu penjara: takdir.

dan kita bertemu dalam takdir yang sudah beku. tak mampu diurai, tak bisa dicair-bentuk-baru.

maka kita pun berjumpa dalam kenaifan yang dewasa. kata-kata kita wujudkan hanya di dalam mata.

“ini bukan dosa kan, ia?”

engkau tahu mengapa adam dan hawa dilempar dari surga? ya, karena tiap pertemuan mereka berubah menjadi dosa. tapi ketika di dunia, kerinduan mereka menghapus dosa, juga dusta. dan kini, akulah adam itu, kuharap engkau menjadi hawa. dan kita bertemu untuk “jelajahi waktu ke tempat berteduh kala hati biru”.

jauh dari surga, aku hanya ingin kita menjadi manusia. sesekali, tentu boleh kita berdusta, berdosa, bercinta. karena aku mau, dalam makna yang paling sempurna, kita diikat kasih.

kutunggu

http://www.youtube.com/watch?v=vl8ngWHR0JM

Komposisi Kau dan Aku

July 28, 2009

kubiarkan cahaya bintang memilikimu
kubiarkan angin yang pucat
dan tak habis-habisnya gelisah
tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
entah kapan kau bisa kutangkap

[nokturno - sapardi djoko damono]

/1/

sore yang berbeda. kau datang ke pikiranku lewat puisi-puisi sapardi, yang dinyanyikan dua-ibu: tatyana dan reda. hujan di luar. dingin. dan lagu “hujan bulan juni” –kenapa tidak gerimis saja– memberi aksentuasi nyeri pada ujung juli ini, dengan “dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu“. akankah jejakku terhapuskan juga dari halaman hatimu?

/2/

kukenang percakapan kita. di riuh ruang maya, sms panjang, jauh tengah malam. ada yang tiba-tiba tanggal, ingatanku tentang peta yang kita pegang.

“kenapa kita bertemu di separuh jalan?”

kau diam.

kutemani kau melangkah, dalam tawa-tangis, berharap ujung jalan ini tak ada. kita mencoba tak mengingatnya ada. tapi, sungguhkan pikiran bisa dibersihkan dari kenyataan? dan mata dari kepedihan? atau begini barangkali memang hidup harus dijalani. “…dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya.”

/3/

barangkali, nasib kita berjalan dalam komposisi sapardi. bukankah pernah kukatakan padamu tentang hatiku yang selembar daun? kau tertawa waktu itu. kini kita tahu, memapasmu di separuh jalan, adalah menikmati kebersaatan yang menjadi abadi. ahh-, jadi ingin kuberikan lagi pada telingamu lagu ini:

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput.
nanti dulu, biarkan aku sejenak
berbaring di sini:
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput.
sesaat adalah abadi, sebelum kausapu
tamanmu setiap pagi
“.

aku akan mencari abadi itu, dalam sesaat. setiap pagi, siang, senja dan malam, seperti yang telah kita lakukan selama ini. jadi, tolong buang sapumu…
/4/

kau mungkin tak akan kudapat.

ya. tak akan kudapat.

aku hanya mengantarmu, sampai ke ujung itu. tapi, aku akan merebutmu, meski “entah kapan kau bisa kutangkap“. yang penting, aku telah melakukannya, dan itu bukan sesuatu yang sia-sia. karena aku tahu, “…cinta kita mabuk berjalan, di antara jerit bunga-bunga rekah“.

Cinta 15 Mei

June 1, 2009

Tidurlah, kekasih. Tidurlah. Pejamkan matamu, ikutkan kantuk yang membujuk. Tujulah seberang impian itu, sehingga kau terlelap dalam senyum.

Duduk di samping pinggulmu, kukagumi lentik bulu matamu yang rebah. Baru kutahu, dalam lelap pun kau bisa begitu indah. Keningmu yang bersih, yang selalu kau tempeli punggung tanganku ketika berpamit, begitu lembut. Maafkan, jika tak dapat kutahan bibir ini untuk menciumnya.

Tapi kekasih, kenapa napasmu mengeras? Adakah ciumanku mengganggumu? Atau impimu sedikit terusik, berjeda? Ahh– lama sekali aku tak melihat sempurna tidurmu. Biasanya, sehabis bercinta, akulah yang tertidur, dan membiarkanmu tersenyum sambil memandangi alisku, yang katamu tebal. Sering, sebelum terlelap, kurasai kau garisi alisku dengan telunjukmu, dan kau selalu ngikik kalau aku terganggu. Tapi kini, melihat alismu yang tipis, dengan keringat halus yang membeningkan garisnya, wajahmu nyaris seperti sketsa, dengan kehalusan arsir yang sempurna. Tuhan barangkali tengah tertawa ketika menciptakanmu. Dan pasti Dia juga tengah bersuka, sehingga menjadikan kau bilah rusukku.

Kekasih, aku tak tahu kamu memimpikan apa, sehingga bibirmu membuka. Ahh–, jika engkau tidak pulas, pastilah bukaan bibir itu kuanggap sebagai tantangan untuk mencium, mencumbumu. Engkau tahu sayang, menciummu adalah menjemput kesegaran, kelembutan alamiah. Kekenyalan yang mendatangkan ricik air di kali bening, hujan tipis berkabut, dan… berahi. Tapi kamu, ahh– kenapa selalu menakaliku tiap kita bercium. Selalu kau tarikkan bibirmu, tersenyum, menikmatiku yang sesaat terbebas dari nikmat. “Aku suka melihatmu seperti haus…” bisikmu, sebelum kulekapkan bibirmu.

Tidurlah kekasih, tidurlah. Malam ini kuwakafkan waktu untuk menjagamu. Akan kumanterai ubun-ubunmu, dengan doa-doa jutaan tahun, agar cinta kita terikat, seperti takdir Adam dan Hawa yang selalu merapat. Akan kurajahi dahimu dengan isim Yusuf, sehingga cahaya cinta Zulaikha menapasimu.

Tidurlah kekasih, tidurlah. Jemputlah impimu, dan ceritakan padaku, nanti. Karena kutahu, dalam mimpimu pun, kita selalu bersatu.

Tidurlah cintaku, bilah rusukku, ibu anak-anakku. Lelaplah….

Selingkuh Tiga Pembunuh

March 24, 2009

 

Warung di pinggir kompleks pelacuran itu masih seperti biasa. Tak ada bir di tiap meja, hanya sebotol kecil kecap, sekuah sambal, dan gulungan tisu kasar. Di kanan bagian dalam, Narto, pemilik warung, juga masih terkantuk-kantuk. Selalu begitu. Jam berapa pun melihatnya, kau akan selalu mendapatinya terkantuk. Tapi cobalah kau sapa, maka dia akan sigap menjawab. Matanya memang seperti orang nggelek, tapi telingnya tetap terbuka. Ia dapat mendengar apa saja. Juga suara tamu-tamu yang selalu ketagihan menyantap sotonya.

“Kalian tahu perempuan yang mati terlindas truk kemarin pagi? Akulah pembunuhnya. Akulah yang membuatnya tergelincir dari motor, menggelinding ke kolong truk, dan krass! kepalanya berhamburan.”

“Kau yang menyenggol motornya?” tanya sebuah suara. Narto hapal suara itu, Yoyok. Ya, pemuda setengah pengangguran itu.

“Tidak.”

“Kalau bukan kau yang menyenggol motornya, kenapa kau mengaku yang membunuhnya?”

“Tapi aku yang membuat dia terjatuh.”

“Kau berada di sekitar peristiwa itu?”

“Tidak.”

“Kau melihat perempuan itu jatuh, berteriak, ‘Ya Allah…’ sebelumnya kepalanya dilindas truk?”

“Tidak. Tapi aku yang menyebabkannya begitu.”

“Halah! Kau cuma mabuk!”

Tak ada jawaban. Mata Narto terbuka. Dilihatnya lelaki yang bicara itu menyalakan rokok.

“Pagi itu susu anakku habis. Aku ke minimarket,” laki-laki itu bersuara lagi. “Begitu mau bayar, ada empat antrean. Karena ingin cepat, aku memotong barisan, masuk ke nomor dua. Perempuan di belakangku protes. Kami ribut sebentar. Aku sempat marah dan menjelaskan kalau anakku sudah menunggu di rumah. Dia juga bilang hal yang sama. Tapi aku tak percaya. Dia memakai baju kantoran. Dia, dengan bersungut-sungut, akhirnya mengalah.”

“Apa hubungannya dengan tabrakan tadi pagi?”

“Perempuan yang ribut sama aku itulah yang mati.”

“Lalu apa hubungannya? Apa karena emosi kemudian kau ikuti dia lalu kau senggol motornya?”

“Kau tidak mengerti. Seandainya aku tidak menyerobot antrean, tentu dia tidak akan berada dalam tabrakan itu. Gara-gara serobotanku, waktunya jadi terbuang lima menit. LIMA MENIT! Jika lima menit itu tidak aku ambil, dia pasti sudah melewati jalan itu, tidak menyenggol motor pengendara lain, oleng dan jatuh ke truk itu. Jika lima menit itu tidak aku ambil, dia tidak akan mati. Kepalanya tidak akan berhamburan seperti semangka.”

Sepi. Yoyok tak memberi sanggahan.

“Kau memang mencuri lima menit waktunya. Tapi bukan kau yang membunuhnya.” Narto melirik. Dia kenali yang bicara. Jono, tukang parkir.

“Kalau tidak karena lima menit itu Jo, dia tidak akan mati.”

“Kalau cuma karena lima menit, dia memang tidak akan mati.”

“Maksudmu?”

“Aku juga mencuri waktunya, San. Jadi akulah yang membunuhnya.”

“Kau juga mengambil waktunya?”

Jono mengangguk. “Setelah kau bertengkar dengan dia seperti kau ceritakan tadi, dia tergesa-gesa ke parkiran. Tapi kutahan. Dia tak bisa menunjukkan bukti parkir. Katanya hilang, barangkali tersangkut di belanjaan. Aku tak percaya. STNK dia pun tak bawa. Kubawa dia di posko. Kami berdebat. Jalan tengah, aku minta dia ngasi nomor yang bisa kuhubungi untuk mengecek motor itu. Dia beri nomor kakaknya. Aku telepon, kakaknya bisa menyebutkan nomor motor itu, lengkap. Dia minta maaf, aku lepaskan dia. Mungkin SEPULUH MENIT aku mencuri waktunya. Itu lebih banyak dari kau, San. Jadi, aku yang lebih pantas menjadi pembunuhnya. Mungkin karena pertengkaran kami, dia jadi emosi dan tak stabil naik motor. Atau terlambat dan ngebut. Itu karena aku San, bukan kau.”

Hasan diam. Yoyok diam. Narto mendengarkan.

“Sebelum kau bercerita tadi San, tak pernah kupikirkan kalau akulah jadi sebab utama matinya perempuan itu.”

“Iya, kau benar, Jo. Kalau Hasan tadi tidak bercerita soal waktu, aku pun tak pernah tahu kalau aku juga telah jadi pembunuh.”

“Kauu…” Narto mendengar seruan Hasan dan Jono. Dia tersenyum. Pasti Hasan dan Jono tidak tahu kalau sejak tadi Espe sudah duduk di situ, mendengar percakapan mereka. Narto tahu, seruan kaget itu punya dua alasan. Pertama, Espe itu polisi, dan mereka berdua mengaku sebagai pembunuh di depan polisi. Kedua, sebagai polisi justru Espe juga mengaku telah menjadi pembunuh. Makin menarik saja, batin Narto.

“Iya, aku,” sahut Espe. “Aku juga bagian dari pembunuhan ini. Ibaratnya, kita seperti telah berencana membunuhnya. Pembunuhan terencana. Manimal 15 tahun, maksimal hukuman mati.”

“Kau juga mencuri waktunya?” tanya Jono dan Hasan bersamaan.

Espe mengangguk. “Aku menilangnya.”

“Dia menerobos lampu merah?”

Espe menggeleng.

“Ngebut? Tidak pake helm?”

Espe menggeleng. “Dia terlihat panik.”

“Kau menilang orang hanya karena dia terlihat panik?!”

Espe mengangguk. “Kau harus tahu pikiran polisi, San. Kalau kau lihat wajah seseorang panik, itu artinya ada kesempatan.”

“Kesempatan apa?”

“Sarapan.” Espe meminum kopinya. “Aku selalu menghentikan pengendara yang terlihat panik. Biasanya, wajah yang demikian pasti memberi rejeki.”

“Dia itu panik karena aku telah mencuri waktunya,” jelas Hasan.

“Aku juga mencurinya….” tambah Jono.

“Iya, aku tahu hal itu sekarang.” Espe mengangguk-angguk. “Waktu kuhentikan, dia terlihat langsung seperti akan menangis. Aku tertawa. Aku pasti bisa sarapan. Aku tak tahu dia mau menangis karena kalian telah menzaliminya terlebih dahulu.”

“Kau tilang dia?”

Espe mengangguk. “Dia tak bawa STNK.”

“Kau sarapan?”

Espe menggeleng. LIMA BELAS MENIT kutahan-tahan, dia tak mengeluarkan uang selembar pun. Ya kutilang, kutahan SIM-nya.” Espe berdiri, dia rogoh saku, dia lemparkan sesuatu ke Jono. “Namanya Cempaka. Dia tidak akan pernah mengambil lagi SIM itu ke pengadilan.  Ketika kubaca koran tadi pagi, aku masih tenang-tenang saja. Kalau tidak karena kau, San, tidak pernah kupikirkan akulah sesungguhnya yang membunuh Cempaka.”

“Bukan kau, Pe. Kita…” sahut Hasan.

“Ya, kita,” tambah Jono. “Kita ternyata telah mencuri TIGA PULUH MENIT waktunya. Bayangkan! Dengan tiga puluh menit itu, dia pasti telah tiba di kantornya. Dan jika pun kecelakaan itu terjadi, dia tidak akan berada di sana, bukan kepalanya yang berhamburan.”

“Tiga puluh menit yang kita curi itu telah mengubah garis takdirnya. Kau benar Pe, kita telah melakukan pembunuhan terencana. Kukira kita akan seumur hidup menanggungkannya.”

“Hanya karena susu anakku.”

“Hanya karena karcis parkir.”

“Karena aku ingin sarapan.”

“Seandainya tiga puluh menit itu tidak kalian curi…” Yoyok bersuara lagi.

“Seandainya tiga puluh menit itu tidak bisa kalian curi, dia tidak akan mati.” Tiba-tiba, entah dari mana, seorang lelaki telah duduk di bagian kanan warung. Narto tak pernah tahu kapan lelaki itu hadir di sana. “Kalian tidak akan bisa mencuri waktunya kalau tidak karena aku.”

“Kau?!”

“Pagi kemarin dia tidak akan ke kantornya,” lelaki itu menaikkan kakinya ke kursi, menghembuskan asap rokok. “Dia berjanji dengan seorang lelaki untuk bercinta. Telah tiga minggu mereka tidak bercinta. Keduanya ngebet. Waktu begitu pendek, mereka harus bisa memanfaatkannya.

“Kalian tahu, apa yang dia beli di minimarket itu?”

Hasan, Jono, Espe, juga Yoyok, menggeleng.

“Kondom,” kata lelaki itu. “Dua kotak, enam biji. Mereka ingin bercinta berkali-kali. Di kamar hotel, lelaki itu telah menunggu.”

“Lelaki itu kau?”

Lelaki itu mengangguk. “Aku yang memintanya untuk tidak bekerja. Aku yang memintanya membeli pengaman, aku yang memintanya meminjam motor kakaknya agar kami lebih cepat bertemu. Aku yang membuatnya terhubung dengan kalian. Aku yang membuat kalian dapat mencuri waktunya. Jadi, sejak janji untuk bercinta itu kami sepakati, akulah yang telah membunuhnya.”

“Ya, benar, kaulah yang membunuhnya,” tuding Hasan. “Kalau tidak membeli kondom, dia tak akan bertemu denganku.”

“Iya, kalau tidak karena meminjam motor kakaknya, aku pun tak harus meminta karcis parkirnya.”

“Aku pun tidak harus menilangnya.”

Lelaki itu tertawa. “Kalian benar. Aku memang yang membunuh Cempaka. Sekarang kalian pulanglah. Jangan pikirkan soal ini lagi. Pulanglah…”

Narto bengong. Dia lihat Hasan, Jono, Espe, Yoyok, langsung berdiri, dan pulang. Menuruti perintah lelaki itu. Patuh. Narto sungguh tak menyangka. Dengan heran, dia dekati lelaki itu, dia ambil SIM yang ditinggalkan Espe. “Kau terlalu muda untuk jadi kekasih perempuan ini…” katanya.

Lelaki itu mengangguk. “Aku memang bukan kekasihnya.”

“Jadi, kau menipu mereka?”

Lelaki itu mengangguk lagi.

“Mengapa?”

“Aku tak ingin mereka menjadi pembunuh. Aku hanya ingin mereka tahu, sekecil apa pun, kita pasti selalu terhubung dengan kematian seseorang. Tapi itu tak membuat kita jadi pembunuh.”

“Sebenarnya, kau siapa?”

Lelaki itu tersenyum. “Akulah penulis cerita ini.”

Frasa Lirih Konsonan Sedih

October 27, 2008

Setiap kali memasuki kamar, lelaki itu pasti mengempaskan tubuhnya ke ranjang. Membantali kepalanya dengan satuan dua telapak tangan, matanya nanap ke langit-langit, napasnya terdengar panjang. Tiga empat menit dia begitu, lalu duduk, melepaskan tali sepatu. Melemparkan sepatu ke kolong meja, tangannya yang panjang akan meraih kulkas. Segelas aqua kecil dia tenggak. Sebelum berdiri, dan berjalan 7 langkah ke kanan, botol itu dia lempar ke tempat sampah. Menyibak tirai, ia membuka pintu kaca yang menghubungkannya dengan suara-suara di luar sana.

Biasanya juga, ia akan melewati celah pintu kaca itu, dan membiarkan kaki telanjangnya merasai dingin lantai teras kamar. Itu lantai 5, dan dari tembok pengaman sepinggang, pandangannya mengedar ke utara, ke lanskap langit yang bebas dari beton tinggi. 10 menit berdiri, merasa udara kamar telah berganti, tubuhnya bergerak. Mengunci pintu, menarikkan tirai, ia menuju kamar mandi.

Tak lama, ia akan keluar dengan rambut basah. Bersijingkat, tubuh telanjangnya seperti menari menuju almari, menarikkan sarung dan kaos tipis. Dan ketika geraknya sampai ke tengah kasur, sarung dan kaos telah sempurna menyelimuti tubuhnya.

Pasti juga, dia akan memesan kopi kental melalui telepon, kemudian dia tarikkan notebook yang tergolek di dekat bantal. Kalimat yang nyaris sama akan dia ketikkan, “Sepi menekan mendesak. Sendiri. Menanti. Hari keempat, dan hatiku masih saja mau menunggu, ketukannya di bibir pintu.”

Saat notebook padam, terdengar ketukan, tapi bukan dari yang dia tunggu. Kopi datang, dan dia tahu, malam kembali akan terasa panjang.

Setiap kali memasuki kamar, lelaki itu akan melakukan hal yang sama, empat hari ini. Tapi tidak malam ini. Saat dia menolakkan pintu, di kasurnya telah duduk seorang perempuan, memangku bantal. Menunggu.

Perempuan itu adalah aku.



Lima hari lalu, sebuah SMS. “dari sini, aku seperti mendengar halus tarikan napasmu. mataku pun melihat siluet tubuhmu mencemari kaca, di lantai 9 itu. jarak begitu pendek, tapi kau masih terasa jauh…

SMS dari Elang. Ia sudah datang.

Tujuh hari lalu, aku tak bisa berjanji menemuinya. “Elang, kalau menemuimu, aku akan meninggalkan dia. Dan saat ini aku tak bisa. Cukuplah kamu sadari, aku ada. Mengajakmu berbicara dengan hatiku. Kita dekat, elang. Tak berjarak. Masih seperti dulu.”

“Aku tak memintamu meninggalkan dia,” suaranya terdengar cemas. “Aku hanya ingin berjumpa. Aku ingin mengenangmu tidak hanya dari masa lalu.”

“Maaf Elang. Tidak bisa, tidak lagi bisa….”

Ketika sampai di hotelnya 23 menit lalu, resepsionis seperti sudah menungguku. “Ibu Ara, ya? Bapak Elang tadi pesan, jika ibu datang, silakan menunggu saja di kamarnya.” Aku terpaku. Ahh-, lelaki itu masih saja dapat menebak hatiku. Kupegang kunci kamar 512, langkahku berayun seperti hatiku.

Sekarang aku di kamar ini.

Lelaki itu masih seperti 370 hari lalu. Tak ada yang berubah, kecuali matanya yang kian dalam. Geraknya yang terhenti antara jarakku dan televisi, membuatku menangkap sempurna ketegangan di wajahnya.

“Aku tahu kau akan datang…” suaranya seperti cemas yang lepas. Ketika kusambut tangannya, kurasakan tarikannya. Tubuhku memberat. Ia akhirnya yang mendekat, menyandarkan dadanya ke pipiku. Ini janjinya, dan aku memang mendengar gemuruh yang begitu menyenangkan di tubuhnya. Rasa itu masih ada. Ia lalu duduk di depanku, dengan kaki yang menjuntai.

“370 hari, betapa lama….”

Ya, betapa lama. Ketika dulu mengucapkan janji bertemu setelah 12 purnama, aku yakin akan dengan gampang memenuhinya. Elang juga tak meminta lebih. Ia hanya rindu duduk berdua, berbicara. Masih kuingat keinginannya, di suatu subuh saat kubangunkan dia. Suaranya masih berbau mimpi saat berkata, “Mungkin kita hanya bertutur tentang pagi, dingin udara, dan rekah fajar di utara. Atau tertawa mendengar seruling gembala, di sebuah desa, yang namanya tak pernah kita temukan di peta. Kita cuma tahu, kita bahagia.

“Barangkali, kita sesaki percakapan itu dengan tegukan teh, gigitan donat, dan desah membuang dingin. Atau ringkukkan tubuh, gerak refleks mencari hangat. Berkali-kali kusenyumi napasmu yang mengental, uap putih yang tampak sebentar, sebelum dibusar angin.

“Aku bayangkan, di bibir meja, jari-jari kita bersentuhan, dan kau ketukkan baku jarimu di punggung tanganku, iringi lirih bibirmu mendendangkan lagu, “Because I Love You”. Dan dari getar tangan itu, mengalir nada-nada hangat memenuhi dadaku.

“12 purnama, itu tak lama…”

Tapi tadi, dia mengatakan betapa lama.

“Elang, ceritai aku tentang kamu. Aku kangen suaramu, kangen puisi-puisimu.”

Lelaki itu menaikkan kakinya, bersila, dengkul kami bersentuhan. Ia bercerita tentang kerja, dan waktu-waktu kosong yang menyiksa. “Setiap berhenti bergerak, pikiranku serentak menghitung hari, 365 yang telah terkurangi. Dinding kamarku penuh garis, coretan hari yang telah kujalani. Menunggumu, Ra; seperti membunuh diri.”

Ia lalu membuat blog, dan menuliskan patah-patah kenangan. “Tapi, selalu ada yang tak bisa ditulis. Selalu ada yang tak bisa dipindahkan…”

Ia ceritai beberapa perempuan yang memapas langkahnya, tapi, “Dalam hidup seorang lelaki, akan Tuhan tunjukkan satu keajaiban di dalam diri perempuan. Dan aku tahu, kamulah keajaiban itu. Maafkan jika sampai hari ini, aku masih berharap….”

“Elang, sudahlah. Tidak usah diteruskan. Ingat apa yang aku katakan, ingat kan? Kita tidak boleh banyak berharap. Kita percayai saja, garis yang Tuhan bentangkan ini ada ujungnya. Yakin saja, kita akan sampai ke ujung itu. Kalau pun tidak sampai, kita bisa apa? Kita tidak selalu bisa memilih, elang….”

“Tapi Ra, tapi…”

“Ssstt… sudahlah. Sudahlah, elang.” Ada kejap protes di matanya. Tapi aku tahu, jika tak kuhentikan ucapannya, percakapan kami nanti akan berubah jadi ratapan. Aku cuma tak ingin, hari ini diisi dengan kesedihan. “Bacakan saja aku puisi, ya?”

Ia terdiam. Kubiarkan jariku diremasnya, dan sesaat setelah bibirnya menyentuh punggung tanganku, gumam pelannya terdengar.

dalam sel ini kita berbahagia, sebenarnya
bercakap tentang cerita pendek
dan bab yang hilang
pada kertas robek

atau bertanya apa yang diucapkan Ophelia
sebelum hanyut,
meskipun malam
tak hanya menyahut

atau terbaring di dipan datar
mengusut kata, kata, kata,
menyangsikan yang benar adalah benar
dan nasib yang mencederai kita

kadang kita dengar frase yang lirih
dan di luar itu, desah hantu
seperti sepatah konsonan sedih
yang menyimpan masa lalu

tapi dalam sel ini kita berbahagia, sebenarnya*

“Sekarang, ceritakan tentang kamu, Ra. Aku ingin kamar ini tahu semua yang terjadi denganmu, sejak 12 purnama lalu. Kamu tahu kenapa kupilih kamar 512 ini? karena aku bayangkan, akan 5 hari bersamamu, setelah 12 bulan itu. Tapi satu senja ini pun cukuplah. Ayo, berceritalah cintaku. Bukakan tubuhmu di kasur ini. Mengapa kau selalu berangkat dari kelam ke kelam, dari kecemasan sampai istirahat dalam kecemasan…”

Aku tergeragap. Sihir puisi tadi belum sepenuhnya bisa kukuasai, dan Elang meminta cerita. Tentang apa? Yang bisa aku katakan adalah seseorang selain dia. Aku tak bisa, aku tak bisa melihat dia terluka.

“Elang, aku tak punya cerita apa-apa. Aku cuma tahu, aku sayang Elang. Itu saja.” Tanpa sadar, kupindahkan bantal dari pangkuanku. Mata lelaki itu terbeliak.



Aku memekik tanpa suara. Ketika bantal itu berpindah dari pangkuannya, kulihat perutnya yang tidak lagi rata. Wajahnya pias, tangannya menggapai-gapai, kembali meraih bantal. Matanya basah, menangis. “Aku tidak ingin memberitahumu dengan cara begini, Elang. Aku tak ingin menemuimu. Tapi hatiku tak bisa, tak bisa…”

Sedari tadi sebenarnya aku merasa ada yang tak biasa. Ketika melihat dia duduk bersandar dengan memangku bantal, aku merasa ada yang janggal. Tapi hatiku tak terbiasa menaruh curiga. Dan beginilah akhirnya, tubuhku kaku. Lidahku terkunci. Yang dapat aku lakukan hanya membuang napas, dan bangkit. Kuteguk aqua dari kulkas, kuremukkan gelasnya sebelum masuk ke tempat sampah. Kamar ini terasa begitu panas.

Duduk di meja, sedan itu memaksa mataku menemukannya. Dia masih duduk, menatapku dengan mata basah. Di ujung hidungnya, kulihat air. Ingin rasanya aku bergerak, menyurukkan tangis itu ke dadaku. Tapi kakiku tak ada daya. Bahkan ketika berkali-kali kudengar lirihnya, “Maafkan aku, Elang… Tak seharusnya aku datang, tak seharusnya…” Aku tak juga bergerak. Dadaku masih terasa sangat sesak. Dan apa ini, ya Tuhan… mataku pun basah.

“Tak ada yang perlu dimaafkan, Ra. Tak ada yang salah…. Bukankah kita sama percaya pada ujung dari garis ini? Bukankah kita sama berjanji untuk mengikuti rencana Tuhan ini, sampai selesai. Aku tak apa-apa. Aku hanya kaget, sungguh…”

Kubalikkan tubuhku. ingin rasanya aku memekik, memekik, biar semua ganjalan, semua yang tertahan di dada ini tumpah. Biar semua ‘Kenapa? Kenapa?’ ini terbuang. Biar semua… HHhhh–….” Kubuang tubuhku ke kanan, keras kutarikkan tirai, kubuka pintu, dan segar udara luar menyerbu wajahku. Di tembok pembatas sepinggang itu, di luas langit yang tak terjerat beton, kuhembuskan napasku, sekuatnya, sekuat-kuatnya, sebisanya….



Aku tahu Elang menangis. Aku tahu dia terluka. Sedari tadi, sebenarnya aku sangat takut dia melihat perubahan di tubuhku. Tapi kukira, bantal itu akan dapat menghalangi sempurna. Dan benar, bantal itu bisa, tapi hatiku yang tidak. Hatiku yang terlalu gembira dengan puisinya, tak bisa menjaga rahasia. Iya Elang, aku hamil. Dengan dia yang datang sebelum kamu. Dengan dia yang tetap ada sesudah kamu. Aku pernah bercerita padamu, bukan? Dan kau paham. Tapi aku tahu Elang, melihat perempuan yang kamu cintai hamil, pasti lebih sakit dari apa pun.

Aku tahu kamu menangis. Dari sini, kulihat pundakmu yang naik turun. Sesenggukan. Maafkan aku, Elang. Seharusnya aku memang tidak menjumpaimu. Seharusnya aku percaya, bahwa ini akan jadi menyakitkan. Tapi tahukah kamu Elang, ini anakmu. Tahukah kamu, setiap malam aku bayangkan kamu yang bersamaku. Setiap saat, aku rasakan kamu yang mencumbuku. Bukan dia, bukan dia, Elang. Secara psikologis, ini anakmu, Elang: anak kita. Kamu harus tahu!

Tapi aku tak sempat mengatakannya. Aku tak bisa lagi mengatakannya.

Sia-sia.

Aku tahu kamu menangis. Bersandar di pintu kaca ini, aku mendengar isakmu, juga isakku. Maafkan aku, Elang. Tidak seharusnya kita berpisah begini. Tapi aku harus pamit, biar ini tak tambah menyakitkan. Percayalah, aku masih menyayangimu. Selalu.

Kulambaikan tangan pada punggung lelaki itu. Ia pasti akan tahu, akan mengerti. Dan saat langkahku menjauhi pintu kaca itu, gumam isaknya menjangkau telingaku.

aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
berapa juni menguncup dalam diriku dan kemudian layu
yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas

awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
kudengar berulang suara gelombang di udara memecah
nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah

telah rontok kemarau yang tipis, ada yang mendadak
sepi
di tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun
menanti
barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama**




*puisi gm, **puisi sdd

Kau yang Dikirim Hujan

September 9, 2008

Kaki hujan itu, Lita, menghampiri lagi rumah kita, menjarumi gentengnya, dengan rintik yang pernah kita khayalkan akan kita dengar bersama.

“Aku akan menghangatkan tubuhmu, dengan peluk dan cium, segelas kopi hangat, atau cerita tentang Luka, anak kita,” katamu di suatu senja yang basah, yang aku tak ingat lagi tanggalnya.

Tapi khayalan memang selalu lebih manis dari apa pun. Di rumah ini, rumah yang kita angankan akan kita tempati bersama, aku terbaring sendiri, menikmati curah hujan yang begitu ritmis, yang menghantarkanku pada kenangan tentangmu.

Rumah ini Lita, kubeli sebulan setelah engkau pergi, kuharapkan, rumah ini akan memanggilmu kembali. Tapi ternyata tidak. Sampai rintik hujan yang kesekian, tak kudengar ketukan di pintu, darimu.

Kau tahu, Lita: kunci itu selalu kuletakkan di bawah pot bunga, di depan rumah kita, seperti yang dulu kamu pinta. “Nanti kuncinya selalu kita letakkan di bawah pot bunga, ya? Biar jika Abang atau aku yang pulang duluan, kita sudah dapat selalu berada di dalamnya,” pintamu, suatu kali, dengan mata terbakar cinta.

Aku selalu menunggumu, Lita, sendiri, terpenjara di sini, dikuasai kenangan tentangmu.
****

Di senja itu, di beranda kontrakannya, rasanya sudah lama sekali, dengan secangkir kopi dan sepotong donat, juga gerimis, ia memulai membuka peta. “Aku harus pergi, Bang,” bisiknya. “Ada yang ingin kuyakinkan.”

Aku diam. Kopi ini terlalu berharga jika harus dipotong dengan percakapan yang serius. Kuacak rambutnya, kutarik pundaknya, menyandar di dadaku. “Kenapa? Tidakkah aku cukup bagimu?”

Dia mencium pipiku, lembut, basah aroma kopi. “Aku hanya ingin pergi,” desisnya. “Nggak tahu kenapa?”

“Berapa lama?”

Dia menggeleng. “Aku akan kirim surat, SMS, atau e-mail, nanti.”

“Ya, sudah, pergilah.”

“Abang nggak ingin tahu alasanku?”

Aku menggeleng. Dia mencium pipiku, membasahi bibirku. “Jika ada uang, belilah rumah yang kita lihat kemarin ya? Suatu waktu, aku akan berada di dalamnya.”
****

Tapi menunggu, Lita: adalah Hawa yang digoda buah khuldi. Dan kesepian, lebih sunyi dari bangun tengah malam dengan irama titik air yang jatuh dari kran. Tidakkah engkau pernah melihat gelisah bayi kehausan yang mencari ujung puting ibunya? Kukira aku kuat. Tapi cinta, ternyata tak lebih seperti Adam, yang mengikutkan Hawa, tergelincir, takut ditinggalkan. Aku pun, ternyata, tak selamanya bisa berpegang hanya pada kenangan. Rumah kita ini, Lita: memanggil penghuninya yang lain, suatu sore.

Hujan. Deras. Genteng rumah seperti disirami ribuan pasir. Di langit utara, lidah petir berkali-kali menyambukkan pijar. Dan di ujung jalan itu, di bawah rimbun pohon mangga, aku melihatnya: tubuh yang hanya berlindungkan payung kecil, kaki yang dirapatkan, tak jelas, adakah gigil yang dia tahan. Aku melambainya. Tubuh itu bergerak.

Kesalahan acap datang dari keramahan yang tanpa pamrih. Begitu dia mendekat –rambut basah panjang, kemeja yang mencetak tubuh, dan pucat pada bibir, juga gigil —menerbitkan iba yang aneh. Kuhangatkan dia dengan senyuman, kuayun tangan memintanya masuk.

“Mau handuk?”

Dia menggeleng.

Tapi, kusorongkan juga handuk padanya. Ragu, dia tarik, dan kemudian, terjadilah visualisasi ini: dia mengelap muka, kedua tangannya membuka ketika mengeringkan rambut, menggoyangkan kepala membuang butir air, yang sebagian dinginnya menerpai wajahku. Sensual sekali.

Hidup, barangkali, berjalan seperti patahan-patahan dalam teka-teki silang, kita tinggal mengisi di kotak-kotak yang kosong, dalam lajur yang telah disediakan. Satu kata, mengisi dan menjadi penentuk kata lain. Namanya Maia, sekretaris di sebuah media. Sore itu, dia ingin melihat salah satu rumah yang diklankan, tapi hujan dan angin mengirimkannya padaku.

Jika kemudian Adam dan Hawa dilempar dari surga, siapakah yang patut disalahkan? Bagiku, kesalahan Adam dan Hawa justru terjadi kemudian, ketika mereka melahirkan keturunan: aku, Lita, dan Maia. Dan hidup, ternyata tak sama persis dengan teka-teki silang, yang jika gagal diisi hari ini, minggu esok sudah tersedia jawaban. Tangan yang kusodorkan pada Maia, siapa sangka, adalah tulang rusuk Adam yang mengubah diri jadi Hawa.
****

Kepastian adalah apa yang kita pilih, bukan kita rencanakan. Aku pun memilih merangkai peta lain. Tapi, siapa sangka, peta baru ini begitu memesona, bayi yang tergeragap mengayun langkah pertama. Lita, perlahan, jadi hanya berupa bayang, baur, berjalan antara kenangan dan penghargaan. Dan cakrawala, ternyata memberi warna yang berbeda tiap sore, atau hati kita kah yang mengubah warna, Maia? Sampai suatu sore…

Aku, Maia, dan gerimis. Secangkir teh, kopi, dan secukupnya pelukan. Lalu sebuah ketukan…

Maia bergerak, aku menahan pundaknya. Aku takut itu Lita. Tapi terlambat, Maia sudah bergerak, meninggalkan aku yang sibuk berdoa. Lalu, di sisi pintu itu, Maia berdiri, menatapku. Dia seperti bingung. Tak ada siapa-siapa, katanya. Lega. Maia pun masuk lagi ke rangkulanku, menyandarkan pipinya pada hangat punggung tanganku. Lalu ketukan lagi….

Maia beranjak. Aku gelisah. Kususul dia. Di teras, aku melihat Lita yang melihat Maia, rambut basah panjang, kemeja yang mencetak tubuh, dan pucat pada bibir, juga gigil —menerbitkan iba yang aneh. Seperti pada Maia, kaki hujan itu, telah kembali mengirimkan Lita padaku.

Tapi, kepastian adalah apa yang kita pilih, bukan yang kita rencanakan. Hidup, seperti kubilang, juga bukan semacam teka-teki silang. Atau, barangkali, aku adalah Adam, yang diletakkan antara Qain dan Qabil. Ketika Lita, Maia, bersamaan bertanya padaku, sambil saling menunjuk, “siapa?”, aku kehilangan suara, tak punya jawab. Kurasakan sore begitu senyap, dan titik air di kran, entah kenapa, jadi terasa begitu dekat, begitu nyaring.

Kala Bayang

August 20, 2008

keakraban kita dulu alangkah
tanpa batas. keakraban yang kita pintal dulu
alangkah seumpama rama-rama yang bebas
sungguh seumpama rama-rama dan
musim bunga, musim bunga dan
rama-rama, dan bunga-bunga…
*

cantik, masih ingat kamu dengan semua percakapan kita? hari ini, aku membaca ulang semua bincang kita. entah kenapa, aku kangen banget sama kamu, dan aku malu. ini kejadian yang langka; aku kembali ke muasalku, mengedepankan rasa, bertungku dan hangat dengannya.

membaca ulang ucap-riang itu, senyum dan rasa bahagia mendatangiku lagi. aku takjub pada kebersamaan kita dulu –alir cerita yang dahsyat, alur yang begitu lena, pembagian tawa dan luka yang mahasempurna– yang kini, aduh, entah kemana? aku takjub dengan keberanianku dulu, yang demikian nyaman mengungkapkan betapa aku kangen kamu, sayang kamu, dan ingin –suatu waktu– menikmati malam dan hujan denganmu. aku takjub dengan magnit dan segala suasana, yang membuatku terhubung denganmu, salut dengan diriku yang begitu ikhlas terbuai dengan rasa itu, tanpa takut kehilangan apa pun dari harap yang jelas tak bersandar pada sebuah nisbat tentang kebersatuan.

kukira, dulu, aku jatuh cinta padamu. sekarang, aku tahu, aku memang pernah mencintaimu. dan mungkin akan mencintaimu lagi, jika kau satukan ruang-waktu untuk kembali menyapaku.

ah, sudahlah. aku menyapamu, hanya mengabarkan, betapa aku memutar ulang kembali apa pun tentang kita; semuanya, tanpa sisa, memamahnya, mencoba mengerti, mencari lagi, semoga magnit itu, masih memberi kesempatan untuk menautkan kita, membuat kenangan yang lebih banyak, lebih panjang, lebih melenakan, lebih ngalir, meski tak kita bebankan pada tujuan.

aku mengenangmu, cantik: mengenangmu, sama seperti ketika kali pertama kita berbaku sapa, kala aku membayangkan kamu, dalam bingkai yang tak tercemari apa pun, sampai kini.

maafkan, jika kekangenan ini, sekarang, mengganggumu.

*) dikutip dari ingatan pasase pertama dari novel segi empat patah sisi

Rahim Kemarau

August 14, 2008

kulupakan hari-hari yang lewat
agar aku dapat hidup kembali di hari ini
kubuang puing waktu ke kuburannya yang paling rahasia
barangkali serahasia mimpi
yang ada kemudian hanyalah kesamaran
semakin samar
dan… hilang*

tapi dia tidak sepenuhnya hilang. gerimis yang tiba-tiba merintih pagi ini, yang lahir dari rahim kemarau, datang seperti sapa, memintaku mengingatnya. kepedihan, entah kenapa, selalu punya jalan untuk tetap bertandang.

“ia, aku senang kok sempat jadi hujanmu. makasih juga telah dibuatkan tulisan seperti itu.”

aku hanya bisa menulis, debar. dengan itulah aku mengobati semuanya. membuat yang “sempat” bisa jadi abadi, yang sementara dapat bertahan masa. siapa tahu, tulisanku dapat membuat hujan mau tercurah selamanya.

“hujan akan selalu ada, ia. meski bukan aku lagi. bukan aku lagi…”

******

“kamu bisa ikhlas kan, ia?”

bukan bisa. tapi harus, debar. hanya dengan ikhlas aku bisa menerima apa pun yang terjadi sebagai jalan yang mesti dilalui. menyadari diri hanya lintasan-lintasan dari apa pun. jika yang memintas itu mau berlabuh, menetap, atau hanya lewat, semua sudah ada garisnya. semua harus berjalan…

“iya ya, bener banget.”

setiap sahabat adalah rahmat. setiap rahmat adalah harap, debar…

“dan setiap harap pasti berjawab, kan?”

dan harap itu cintaku, tidak bicara tentang keabadian, tapi kebersaatan, keterkejutan, nikmat kejap, syukur dalam keterbatasan.

“bagaimana syukur dalam keterbatasan, ya?”

iya, dengan meyakini, memang kebersaatan itulah yang menjadi hakku. singgahmu yang sebentar itulah milikku. aku tak boleh berharap lebih. aku harus mampu berterimakasih dengan meski….

*******

alam memang contoh terbaik dari keajaiban. jika hujan bisa lahir dari rahim kemarau, tawa pun pasti bisa terbit dari fajar airmata. pelan-pelan, aku patrikan hal itu di benakku. aku ikhlaskan dia pergi, tanpa sesal, tanpa pedih. aku kenang semuanya dengan tawa, ucap syukur, dan rasa lega, seperti keleluasaan rasa yang hinggap saat pertamakali kukecup matanya.

berjalanlah, kasih. aku tak memberatimu lagi. karena seperti katamu, engkau tetap akan pergi, kini atau nanti. bergeraklah, raihlah kegembiraanmu. yakinlah, dari tiap sujud sempurnaku, akan tetap lahir doa-doa terbaik tempaan ribuan tahun, yang memanteraimu, menjagamu, agar tetap bahagia, seperti saat sebelum engkau denganku berjumpa. bergegaslah….

*) dikutip dari ingatan, satu pasase dalam novel segi empat patah kaki

maafkan aku

August 8, 2008

Debar jantungku, telah kuikhlaskan engkau pergi. pergilah…

tapi, sebelum langkahmu menjauh, tolong maafkan kesalahanku. kau ingat, betapa dulu begitu susah aku menyebutkan namamu. tiga kata saja, dan begitu repot kuhapal urutannya. sungguh, aku tak tahu kenapa bisa begitu. namun percayalah, seterbalik apa pun aku menyapamu, di benakku kamu tetap indah. dengan kata apa pun lidahku menjeritkanmu, kaulah itu. ya, kamu.

aku juga sering salah mengenali suaramu, maafkanlah. kau tentu tahu, selalu kusapa mesra setiap kali operator telepon kantormu menghubungiku. kukira itu kamu, selalu kamu. sebenarnya, bukan hanya operator kantormu, nyaris setiap suara kukira kamu. terutama di hari-hari kangenku.

debar, aku bukan tak kenal warna suaramu. begitu terjajah gendang telingaku, sehingga membuat setiap gema selalu kukenali sebagai kamu. kini, setiap suara harus kusaring dua-tiga kali, sampai aku yakin, itu bukan kamu.

maafkan juga, aku yang sering menghubungimu tiba-tiba, hanya untuk mengatakan, “aku kangen kamu, kangen kamu…” percayalah, sebelum mengatakan itu, telah habis tenagaku untuk menahan gempurannya. aku kalah. jadilah, di saat-saat yang barangkali tidak kamu sangka, aku mengucapkannya. kini kusadari, betapa hal itu pasti membuatmu jengah, malu pada sekitarmu. sehingga, selalu kamu berbisik, “aku tahu, ia. aku tahu…” ucapan yang pasti membuat semua gemuruh di dadaku punah. gempa yang kehilangan tenaga.

yang utama, maafkanlah aku di pertemuan itu, karena kubiarkan waktu berjalan dalam diam. dan hanya kunikmati kamu bermain dengan ponsel, tanpa ada usaha untuk menarikmu masuk dalam arusku. tak kututupi pandanganmu yang “berjalan” pada lelaki di luarku. kubiarkan kamu bercerita tentang semuanya, tapi bukan tentang kita.

debar, aku sudah bahagia bisa bersama kamu. melihatmu, merasakan keras napasmu, melihat kau nyata, seperti keringatmu yang kuseka tanpa sengaja di punggung tanganmu. seluruh sketsa tubuhmu, yang semula hanya permainan bayang di benakku, adalah keajaiban. keajaiban itu pula yang membuatku tidak bisa melakukan apa pun, kecuali membebaskanmu, meluaskan pandanganmu. saat itu, kamulah yang memenuhi duniaku. jadi, bagaimana mungkin aku dapat menarikkanmu ke garis edarku?

aku juga pernah membuat kamu marah. ahh-, terlalu sering bahkan. ketika engkau cemas, aku seperti meringankan ketakutanmu. ketika kamu ingin berbagi, aku seperti berlari. ketika kamu menangis, aku malah memberi lelucon basi. ketika kamu cemburu, aku tak tahu. ketika aku cemburu, aku memaksamu tahu. maafkahlah semua itu… tak ada alasan pembenaran apa pun atas kebodohan itu. yang aku tahu, aku menyayangimu.

debar…, banyak sekali kebodohanku. menilasi semua kesalahan itu, aku insyaf, kamu telah menghipnotisku. dalam ketaksadaran atas pesonamu itulah aku berani mendekatkan garis takdirku, menjajarimu. kumimpikan, suatu waktu, garis itu akan menyilang, bersinggungan, nasib kita bertemu. nyatanya, kamu bergerak lebih lekas, terlepas. jadi, jika memang kau harus pergi, pergilah…. karena aku tak akan mampu menahanmu. cuma, jangan paksa aku melupakanmu. karena dengan mengingatmulah aku merasa, ada satu fase dalam hidupku yang demikian bermutu.

pergi, pergilah, debaranku. maafkan, jika aku akan tetap menjeritkanmu. karena kalau kau debar jantungku, bagaimana mungkin aku bisa terus hidup tanpamu.

Next Page »