Cinta dan Kebohongan Situasional

September 8, 2006 · Print This Article

Cinta dirawat dan dipertahankan bukan saja oleh kejujuran, melainkan juga oleh kebohongan-kebohongan kecil, yang tak dapat diungkapkan, yang terpaksa disimpan untuk kebaikan.

“Plakk!!” Tamparan keras mendera pipi kiri Ricky, yang wajahnya masih pias, terkejut dengan kedatangan Ima, kekasihnya. “Jadi, begini ya kerjaan kamu di studio? Bersama perempuan lain?!” pekik Ima. Ia marah. Tapi lihatlah matanya, basah.

Ricky panik. Ia tergeragap, kehilangan kata-kata. “Ya.. mem.. memang begini ini, begini kerjaku?” Dan dia makin pucat ketika melihat lelaki di belakang Ima, pria tinggi-tambun, Danu, ayah Ima, calon mertuanya. Di belakang dan di samping Danu, tampak Yulia Rachman yang tersenyum, dan Joe Richard yang cengengesan. Ricky bahkan seperti tak menyadari Uya yang telah berjaga di sampingnya. Perlu beberapa waktu sampai Ricky menyadari apa yang tengah menimpanya. Ia sempat tampak emosi, dan mengacungkan telunjuknya pada Joe Richard, tapi Uya menghelanya ke luar studio. Sebelum berlalu, kata-kata Danu masih menghajarnya, “Hey, jangan pernah lagi berani kau injak rumahku!!”

Begitulah klimaks “Playboy Kabel” Sabtu (2/9), reality show yang berusaha “membuka” kegombalan pasangan cinta sang “pelapor”. Dan, tayangan Sabtu itu terasa istimewa, karena untuk kali pertama, pelapor adalah orang tua dari pasangan yang tengah berpacaran, Danu. Biasanya, kecurigaan datang dari salah satu pasangan, dan bukan orang tua. Tapi Danu berbeda. Dia menilai Ricky tak pantas untuk Ima. “Saya pernah melihatnya bersama perempuan lain di mal,” adunya pada Yulia Rachman. Dan untuk membuktikan ketaksetiaan itulah, dia mengajak Ima menghubungi “Playboy Kabel”. Dan “terbukti”, Ricky memang “tak setia”. Yulia mengamini keyakinan Danu itu, dengan “firasat orang tua memang banyak benarnya.”Godaan Bohong

Sebagai reality show, “Playboy Kabel” sejauh ini berhasil membuktikan asumsi umum bahwa lelaki memang makhluk yang paling tidak dapat dipercayai. 99% dari lelaki dan perempuan yang diuji “setia” dalam tayangan itu, gagal. Lucunya, kegagalan itu nyaris dengan alasan yang sama. Kepada sang penggoda, mereka mengaku belum memiliki pasangan. Padahal, di ruangan lain, pasangannya tengah menatap kamera tersembunyi, dan menangis, melihat ketidaksetiaan itu dipertontonkan. “dasar cowok tidak tahu diuntung!” umpat salah seorang pelapor.

Dalam tayangan itu juga, kadang tersibak beberapa kasus yang “ajaib”. Lelaki yang ternyata nyambi menjadi gigolo, hanya ingin mendapatkan harta dari pasangannya, atau bahkan yang ternyata gay. Realitas ini kadang membuat penonton terperangah. Apalagi melihat “Pelapor” tersedu menyadari kekasihnya ternyata seorang gigolo, mata duitan, atau diam-diam, gay. Namun di luar kamera “Playboy Kabel”, kesakitan tentu milik para lelaki yang terungkap “motifnya” itu. Andy yang gay misalnya, seperti apa dia menjalani hidupnya kemudian, ketika kamera menayangkan pengakuan tentang orientasi seksnya itu. Pasangannya pun, setelah keterungkapan, dan kelar dari kejut, memeluknya dan menangis. Barangkali ia sedih karena mencintai lelaki yang ternyata gay. Barangkali juga, ia menyesal, telah membuka orientasi seksual lelaki yang dia cintai itu kepada publik, yang sampai saat ini menganggap ke-gay-an adalah sebuah aib. Padahal, “Pelapor” mengungkap jati diri pasangannya secara detil, mulai nama, kuliah di mana, sampai tempat tinggal. Kamera yang acap close-up pun membuat penonton dapat mengingat wajahnya. Sekarang, bayangkan akibat untuk kasus lelaki yang terungkap sebagai gigolo?

Lucunya, “Playboy Kabel” telah membuat tiga kategori untuk para “pemain” dalam tayangan ini. Pertama adalah “pelapor”, lalu “korban”, dan “penggoda”. Penggoda, dengan arahan tim “Playboy Kabel” akan merancang skenario untuk menguji kesetiaan “korban”. Namun, yakinlah, seluruh struktur acara ini seakan menegaskan satu tujuan, “penggoda” harus berhasil menjalankan misinya. Maka, penggoda wajib lebih cantik dan seksi daripada “pelapor”. Lebih genit, dan sangat agresif. Keagresifan yang dapat disamakan dengan gaya pedagang asongan menjajakan barang. Bayangkanlah!

Kasus Ricky misalnya. Penggoda bertubuh sangat sintal, dan wanita matang, berbeda jauh dari Ima. Sangat agresif, manja, bicara dengan mendesah-pasrah, bahkan tak risi memberikan ciuman. Agresivitas yang bukan saja dapat mengguncang kesetiaan, melainkan juga struktur iman. Jika Ricky tergoda, dan saat ditanya mengaku belum memiliki pacar, bukan sesuatu yang mengejutkan. Kebohongan Ricky adalah jenis kebohongan yang lahir dari “situasi” yang memang diciptakan, dan “memaksanya”. Kebohongan yang, mungkin, lahir lebih bukan sebagai upaya mencari keuntungan diri semata. Karena, di depan perempuan yang demikian agresif, pasrah, mengaku suka, dan ketika dia bertanya, “kamu punya pacar, nggak“, lelaki mana pun akan berpikir dua kali untuk menjawab, “punya!” Pikiran pertama adalah, kalau dijawab jujur, tentu perempuan ini akan kecewa, malu, dan terluka. Kelak, lepas dari situasi ini, akan bisa dijelaskan semuanya. Pikiran kedua, “Masa sih gue harus jujur di depan kesempatan yang tidak akan datang dua kali??” Itu kebohongan situasional. Dalam kondisi itu, kebohongan tidak mengindikasikan bahwa Ricky telah mendua hati, dan tak lagi cinta pada Ima. Kebohongan yang lahir karena jebakan, sepatutnya dimaafkan.

Persoalannya akan berbeda tentu, jika seorang perempuan yang seperti Ima, datang tanpa pendekatan yang intens dan agresif, lalu bertanya pada Ricky, apakah dia memiliki kekasih. Jika situasinya seperti itu, Ricky pasti menjawab jujur. Kejujuran yang juga diciptakan oleh situasi. Itulah sebabnya, “Playboy Kabel” telah menerakan label “Korban” untuk si terlapor. Label yang sudah diciptakan bahkan sebelum terungkap “kebohongan” situasional tadi. Ricky dan lelaki lain yang pernah menjadi terlapor, adalah korban. Dan seharusnya, simpati untuk mereka, yang dijebak dalam situasi yang direkayasa, untuk memaksa mereka berbohong.

Makna Setia

Sebagai reality show, “Playboy Kabel” memang berpihak pada realitas yang selama ini dipercayai, lelaki adalah makhluk yang tidak setia. Karena itu jugalah, kesetiaan pada pasangan diukur dengan parameter yang sangat sederhana, kejujuran. Jika kejujuran berhenti, kesetiaan pun padam. Cinta pun usai. Padahal, kesetiaan seperti inilah yang dikecam filsuf cinta Gabriel Marcel. Bagi Marcel, kesetiaan bukanlah aktivitas yang tidak mengenal henti. Bukan pula ketahanan menghadapi godaan. Marcel dalam Homo Viator: Introduction to A Metaphysic of Hope mengatakan, “seseorang disebut setia jika memiliki kehendak untuk terus memelihara hubungan pribadinya dengan orang lain. Sikap setia itu dia tunjukkan untuk terus memperbarui komitmen kesatuannya dengan orang lain.” Itulah yang oleh Marcel disebut kesetiaan yang kreatif, yang tetap teguh dan mampu menciptakan kembali ikatan persatuan yang mungkin telah retak. Kesetiaan adalah kekuatan untuk menjaga, membimbing, menghadirkan ikatan, ketika ada komitmen yang terciderai. Di situlah tampak, kesetiaan tidak otomatis gugur hanya karena sebuah kebohongan karena ukurannya adalah keinginan untuk tetap terikat selepas kebohongan itu terungkap.

Nah, jika mengikuti pendapat Marcel, ujian kesetiaan justru lebih pada pihak “pelapor” daripada “korban”. Apakah si pelapor masih setia untuk tetap memperbaharui keterhubungan dan ikatan itu, ketika dia melihat pasangannya “berbohong”. Kesetiaan adalah energi maaf yang berusaha menarik kembali pasangan kita untuk berada di dalam komitmen yang sama, seperti sebelumnya. Kesetiaan adalah kebersediaan untuk menerima kembali “sang korban”.

Tampaknya, ukuran kesetiaan Gabriel Marcel ini yang paling tepat untuk menilai “Playboy Kabel”. Apalagi, tidak hanya lelaki, perempuan yang menjadi “korban” pun selalu gagal di acara ini. Tergoda lelaki yang lebih tampan, kaya, dan romantis. Artinya, dengan melihat betapa sedikitnya persentase “kejujuran” yang dapat dibuktikan dalam acara itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebohongan adalah sebuah hal yang menjadi mungkin ketika seseorang didudukkan dalam kondisi tertentu. Dan kebohongan situasional itu tidak pararel dan cocok sebagai ujian kesetiaan. Karena, saya percaya, jika Pak Danu, ayah Ima yang dijadikan “korban” dan digoda, dia pasti akan bertindak lebih jauh daripada yang dilakukan Ricky.

Maka, masalahnya tidak terletak pada “sang korban”, melainkan pada rekayasa yang membuat sebuah dusta terpaksa tercipta. Karena, cinta dirawat dan dipertahankan bukan saja oleh kejujuran, tapi juga oleh kebohongan-kebohongan kecil, yang tak dapat diungkapkan, yang terpaksa disimpan untuk kebaikan….

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 10 September 2006]

Comments

RSS feed | Trackback URI

2 Comments »

Comment by vietha
2011-07-14 21:50:03

cinta adalah ungkapan kasih sayang pada seseorang yg dicinta dng menerima kekurangan serta kelebihan pasangan kita secara apa adanya,apalah arti hidup nich tanpa perhatiaan tanpa curahan hati yg tulus dr hati seseorang yg di cinta.
dng ketulusan hati mampu berkorban dan bertahan walau badai menghadang sekalipun dunia kiamat tp tetap bersama dalam suka maupun duka.itulah kekuatan cinta tanpa setia en kejujuran hati takkan dapat bertahan melawan badai di depan mata.

 
Comment by vietha
2011-07-14 21:59:38

bila cinta dng kebohongan,tuch bukan cinta tapi kepalsuan yg di bungkus dng rapat.sekali bohong akan terus berbohong dan tuch dosa sama aja membohongi diri sendiri.
sekalipun dibungkus rapat tp bau bangke akan tercium juga.jadi lebih baik jujur walaupun akhirnya menyakitkan tp sebelum terlambat jadi benci.

 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post