Irasionalitas Bangsa

June 24, 2008

Di televisi, irasionalitas bangsa ini ditunjukkan dengan jelas sekali. Irasionalitas yang justru diakui dan ditulari mereka yang menyandang gelar akedemik tinggi. Memprihatinkan sekali.

“Akhirnya, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta melaporkan Djoko Suprapto terkait kasus penipuan pembangkit listrik Jodhipati dan energi alternatif Banyugeni.”

Itulah narasi yang tayang di “Buletin Malam” RCTI, Selasa (17/6) malam. Dalam tayangan itu tampak proses pembongkaran pembangkit listrik mandiri Jodhipati, berupa cor-coran semen tebal, dengan beragam kabel yang terurai. Dan “pembangkit” itu diakui tim ahli dari UMY, tidak akan mungkin dapat menghasilkan energi listrik. Padahal, untuk proyek itu, UMY telah setuju mengeluarkan dana Rp 1,34 miliar. Angka yang luar biasa. Saya menggelengkan kepala.Pindah saluran ke Anteve, di acara ulangan “Perspektif Wimar”, tampil Menristek Kusmayanto Kadiman, yang menjelaskan tentang blue energi. Berkali-kali Wimar menggoda Kusmayanto, sebagai pencuci piring dari atasannya, SBY. Wimar menilai SBY begitu panik dengan krisis energi, dan menempuh cara yang tak lazim.

Namun Kusmayanto membantah. “Menurut Einstein, seorang dinilai ilmuwan jika memulai sesuatu dengan ide yang paling gila sekalipun.”

Wimar tertawa. “Iya, tapi kan Presiden tidak boleh punya ide gila, Pak.” Meisya Siregar, co-host Wimar, tergelak. Saya juga, menggelengkan kepala melihat kecerdasan Wimar memasukkan “perspektifnya”.

Ketika jeda iklan, saya kembali ke RCTI, ternyata juga iklan. Tertayang Mama Lauren. “Nasib tak dapat diubah, tapi saya…” Bosan ah! Saya kembali ke Anteve. Walah! Sama saja. Tayang iklan Mbah Roso. “Ketik REG sepasi MANJUR, kirim ke 98…” Segera saya pindah saluran, memilih TVOne. Lho, siapa yang gondrong itu? Oalah, Ki Joko Bodo, yang meminta pemirsa mengirim SMS. “Ketik REG spasi MANTRA, kirim ke…”

Ya Tuhan…

“Tundukkanlah hatimu ketika malam, bersama embun yang turun perlahan. Renungkan hari yang telah kau jalani. Dalam letih tubuh, rasa akan lebih mampu merasa. Pikiran akan lebih jernih mencerna.” Saya lupa, di mana membaca ucapan Gde Prama itu. Intinya, malam adalah “ruang” yang tercipta untuk menemukan terang dan cahaya. Tapi, melihat “nasib” saya ketika mengubah saluran teve, saya justru seperti didudukkan dalam kelam. Tanpa sengaja, saya melihat kaitan yang luar biasa dari perpindahan acara dan iklan di berbagai stasiun itu. Sepanjang Selasa malam itu, sedari pukul 23.00, saya melihat lebih dari 6 kali iklan Ki Joko Bodo, lebih dari 5 kali iklan Mbah Roso dan Mama Lauren. Semuanya berjenis ramalan, mulai dari primbon, sampai telaah wong sinthing. Malam itu memang hanya tayang tiga jenis iklan, tapi saya tahu, jauh sebelumnya telah ada Madame Sahara, Dedy Corbuzier, sampai Safir Senduk. Ramalan atau motivasi yang diiklankan mampu untuk mengubah nasib atau kondisi keuangan seseorang.

Dan iklan itu sukses. Ketika awal-awal tayang, “Ada 70.000 SMS dalam dua minggu. Sehari tayang di lima stasiun televisi,” ujar Ki Joko Bodo. Artinya, selama dua pekan, dari iklan itu terhimpun dana Rp 140 juta! Jadi, ramalam itu secara pasti bukan mengubah nasib pengirim SMS, melainkan peramalnya.

Ramainya peminat Ki Joko Bodo, –apalagi jika menghitung SMS untuk Mama Lauren, Madame Sahara, Mbah Roso– menunjukkan masih kuatnya alam mitis berkuasa di kepala masyarakat kita. Sebuah ironi, terutama jika melihat bagaimana kemitisan dan keirasionalan itu, masuk dan merasuk, melalui teknologi. Barangkali, inilah wujud kekalahan yang paling utama teknologi melawan mitologi. Sebagai produk “kerasionalan”, teknologi justru tunduk dan menjadi penyebar dari keirasionalan. Aneh bin ajaib.

Lebih ajaib bin muskil lagi, ketaklukan itu juga sampai kepada para penemu teknologi, mereka yang menghabiskan hidupnya dalam “jajahan” rasionalitas. Proyek Banyugeni di UMY misalnya, melibatkan sekian ahli hanya untuk mengamini “mimpi” Djoko Suprapto, mengubah air menjadi api. Rektor UMY Dr Khoiruddin Bashori bahkan pernah begitu bangga dengan proyek ini, sampai mematenkan, dan “memainkan” berbagai ayat al-Quran, untuk pembenaran, “At-Thur ayat 6, yang berbunyi, ‘perhatikan laut yang berapi’. Al-Anbiya’ ayat 30, ‘dan Kami jadikan dari air segala sesuatu hidup’, dan At-Takwir ayat 6, ‘dan apabila laut dipanaskan’.” Tuhanku….

Kampus, tempat seharusnya rasionalitas ditegakkan, justru menjadi ajang promosi irasionalitas dan kemuskilan. Mengamini dan membiayai “mimpi” tanpa pengedepanan sikap ilmuwan. Itu sudah menjadi kiamat kecil untuk jagad keilmuwanan. Tapi, kiamat besar itu juga datang, ketika Presiden SBY, dengan bangga, menerima Tim Blue Energy yang telah melakukan perjalanan darat Jakarta-Denpasar sepanjang 1.225,7 km dengan lima kendaraan berbahan bakar energi alternatif “blue energy”, di Nusa Dua, Bali, tempat United Nation Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) 2007. Tim itu diketuai Heru Lelono, Staff Khusus Presiden SBY, dan “pabrik” energi “khayal” Djoko Suprapto itu didirikan di Cikeas, dekat rumah SBY. Artinya, keirasionalan itu bahkan sudah memasuki dan mendapat promosi kelembagaan negara yang tertinggi. Mengerikan sekali. Apalagi, ketika Kusmayanto sempat tidak setuju dan mempertanyakan “blue energi” itu, oleh Presiden, sebagaimana dicatat Tempo, dia malah diminta diam. Dan menteri yang pernah menjadi rektor ITB itu, yang diminta diam itu, kini harus menjelaskan atau “merasionalisasikan” keirasionalan pimpinannya. “Anda bagian cuci-cuci piring, ya?” sindir Wimar.

Selasa malam itu, setelah melihat semua yang tayang di televisi, saya menjadi takut, jangan-jangan, bangsa ini tak bisa diselamatkan lagi.

[Artikel ini telah terbit di Harian Suara Merdeka, Minggu 22 Juni 2008]

Poligami, Musik, dan Imagologi

June 6, 2008

Agama industri hiburan, dan juga politik, adalah uang!

“Saya jengkel dengan sinetron Munajah Cinta, meniru habis film Ayat-ayat Cinta. Sudah pemainnya sama, sejak awal, cerita sinetron itu pun sudah mengampanyekan poligami. Saya takut, nanti poligami itu akan jadi kewajaran dan diterima oleh masyarakat kita. Mas Aulia mbok sesekali membahas soal itu.”

Kutipan di atas adalah petikan e-mail dari Ibu (?) Indah. Sudah agak lama e-mail itu terdiam di inbox, terbiarkan karena saya belum memikirkan bagaimana menjawabnya. Jujur saja, Munajah Cinta belum mampu membuat saya berdiam lama di teve untuk menontonnya, apalagi membahasnya. Karena tak ada hal baru dari sinetron ini, baik dari segi cerita, penyutradaraan, akting, bahkan pemotongan antar-adegan sebelum bersambung. Namun, kekawatiran dari Indah membuat saya berpikir, apakah benar, jika sebuah tayangan menawarkan “sikap” tentang poligami, sinetron itu patut dikhawatirkan? Apakah sebuah nilai yang dipajang bisa langsung “menginfeksii” penonton, menulari dengan cepat seperti virus?Penonton tentu saja bukan kertas kosong, dan teve menjadi pensil yang akan segera menggarisi kekosongan itu. Pemirsa selalu membawa “bekal” ketika melihat sebuah tayangan. Bekal itulah yang nanti akan “memilihkan” posisi penonton di hadapan “nilai” yang ditawarkan teve. Penonton mungkin saja mengadopsi nilai itu, karena merasa sejalur dan sepaham. Tapi mungkin juga menegasi, menolak, karena “bekal” yang penonton “bawa” merasakan nilai itu sebagai ancaman. Dan tersedia “posisi” ketiga, menegosiasi nilai itu, mengadaftasi, menyaring, mana yang mungkin dan mana yang tidak. Dan menyangkut “tawaran” poligami dalam Munajah Cinta, sikap penonton pasti berada dalam salah satu dari tiga posisi itu.

Jadi Indah, tampaknya tak perlu khawatir. Apalagi, kian hari, saya menyadari industri sebenarnya tidak “berurusan” dengan pemasaran nilai-nilai. Nilai yang dikenal industri adalah nominal dalam bentuk uang. Dan penonton pun, pelan tapi pasti, memandang industri hiburan dalam kerangka semacam itu. Dunia musik adalah contoh terbaik.

Cuma Citra

Dyta kecewa. Malam itu, bersama tiga temannya, dia gagal menemui The Changcuters yang manggung di Surabaya. Padahal, tart sudah mereka bawa, untuk Alda yang berulang tahun. Mereka pun sudah berpakaian ala “Changcuters Angel”, dan antre di depan tenda tempat istrahat band itu. Mengiba, memohon, izin tak juga dapat. Ketika mobil yang membawa Tria dan lainnya melaju, Dyta cuma terpaku. Ada yang meleleh di matanya.

Semua ekspresi Dyta tertayang jelas di acara “Fans” TransTV, Minggu (1/6) sore. Juga kerumun fans lain, yang berloncatan di sisi panggung, ketika Tria, dengan gaya dan dandanan khasnya, bernyanyi. Lihatlah, ketika lagu “Racun Dunia” membahana, penonton histeris. Di barisan paling depan, di sisi panggung, sembari meneriakkan nama Tria, puluhan penonton wanita yang tertangkap kamera, ikut mendendangkan lagu itu. Racun…racun…racun/ Hilang akal sehatku 3x/ Memang kau racun // Wanita racun dunia/ Karna dia butakan semua/ Wanita racun dunia/ Apa daya itu adanya.

Ajaib! Dyta dan puluhan penggemar lain, yang juga wanita, justru menikmati lagu itu. Mereka berjejingkrak, bersesorak, seakan menjadi bagian dari “racun” yang diteriakkan Tria.

Apakah The Changcuters menawarkan “nilai” dengan lagu itu? Apakah Dyta dan puluhan fans lainnya, terutama yang wanita, mengakui dan mengadopsi “tawaran” Tria itu?

Tentu tidak.

Kegembiraan mereka adalah ungkapan keterlibatan emosi atas citra yang dibawa The Changcuters. Sekali lagi, keterlibatan emosi!, yang akhirnya menjadi ketersambungan imaji. Jadi, imaji personal Changcuters-lah yang membuat fans itu bergerak. Lagu Changcuters pun adalah bagian dari imaji mereka, termasuk “Racun Dunia”. Sebagai bagian dari imaji, syair lagu “Racun Dunia” tidak lagi “bicara”, tidak membawa pesan khusus, tergerus dalam keseluruhan citraan kejadulan band itu. “Racun Dunia” bahkan adalah kejadulan itu sendiri, yang dirayakan, dinyanyikan, dalam ketakbermaknaan (meaningless). Sebagai kejadulan, kelampauan, “Racun Dunia” adalah kenangan, juga kerinduan; selebihnya perayaan, selebrasi. Seperti lagu “Begadang” Rhoma Irama, yang berisi larangan begadang, tapi justru lebih sering dinyanyikan mereka yang tengah begadang. Jadi, masihkah kita bisa mendapatkan nilai, mempersoalkan pesan?

Ya, begitulah industri. Sangat mungkin, industri hiburan mengaku memajang nilai, mewartakan kebaikan, menawarkan sebuah ideologi. Tapi saya percaya, pengakuan itu tak lebih hanya kiat pemasaran. Ideologi, dalam industri hiburan, –dan kini masuk ke ranah politik– telah lama menjadi imagologi, penguatan atas imaji. Hanya dengan kemampuan mempermainkan imaji, industri hiburan, dan juga politik, dengan segenap pelakunya dapat terus bertahan. Imajilah yang mereka jual, dan terus mereka ubah. Seperti Mulan, dari Kwok ke Jameela, dari China ke Arabia. Semua cuma soal citra, dan tentu, nilai uang juga.

Jadi Indah, soal Munajah Cinta itu, tak perlu cemas ya? Poligami itu saat ini hanya citraan yang tengah laku. Imaji, dan bukan ideologi, yang ditunggangi industri. Nikmati saja selagi bisa, hitung-hitung sebagai pelipur lara, di tengah harga kebutuhan yang melambung tak terkira, yang bisa membuat kita gila.

[Artikel ini telah terbit di Harian Suara Merdeka, Minggu 8 Juni 2008]