Perselingkuhan Hitam Putih

December 16, 2012

hitam putih

Memilih berselingkuh daripada diselingkuhi lebih dimaknai sebagai laku heroik, kemenangan, dan karena itu, layak mendapat tepuk tangan.

”Selingkuh atau diselingkuhi?!”  Itulah pertanyaan yang nyaris dilontarkan Deddy Corbuzier dalam tiap acara ”Hitam Putih” ,  terutama untuk bintang tamu yang tergolong muda. Pertanyaan yang biasa sebenarnya, apalagi disodorkan kepada para artis yang  menyangkut  perselingkuhan seakan sudah jadi bagian dari ”gaya panggung”. Maka, pertanyaan itu harus dijawab, seperti permintaan Deddy, dengan cepat, tangkas, dan cerkas, tanpa berkerut jidat.

Sebagian artis akan mengakhiri jawaban dengan tertawa, dan atau teriakan bangga, ”Yes!” seperti yang, jika tak salah ingat,  dilakukan oleh Dewi Perssik. Dan di bagian pertanyaan inilah yang biasanya membuat penonton tergelak, tersenyum, terutama ketika bintang tamu seperti bingung, mesam-mesem, dan seolah berpikir.

Padahal, menjawab dua hal itu seharusnya tak perlu menyita waktu.

Selingkuh atau diselingkuhi adalah soal pilihan. Bukan sesuatu yang sulit dijawab, karena ini lebih merupakan sikap moral, sesuatu yang tak perlu penalaran berlebih. Sebagai sikap moral, selingkuh atau diselingkuhi, adalah pilihan yang sebenarnya sudah terintegrasi di dalam pikiran. Jadi, jika pun ditanyakan,  pasti akan terjadi otomatisasi pikiran untuk segera menyatakan pilihan.

Wajar jika Deddy meminta waktu cepat.

Dan jadi aneh ketika para artis salah tingkah, terpekur, lamban, bahkan terlihat gugup-merona, menggeragap.

Tapi, justru itu yang banyak terjadi. Selalu ada jeda waktu sebelum para bintang tamu memberikan jawab. Dan Deddy, biasanya, tersenyum, menaikkan alisnya, atau mengedipkan matanya, menggoda, seakan ”mengejek”  proses jawaban yang lamban itu.

Mengapa Deddy terkesan ”mengejek”? Sepele soalnya. Jawaban mereka, meski seperti berpikir, justru nyaris seragam.

”Selingkuh atau diselingkuhi?!” tanya Deddy.

”Selingkuh! Yess!!” jawab Depe.

”Selingkuh, dong. Enak aja,” kata Jessika Iskandar.

Nyaris, selalu itu jawabannya.  Bisa dengan diksi yang mantap, geram manja, tegas tangkas, atau getar yang ragu, bingung, dan gelengan kepala yang tak jelas maknanya.  Tapi toh, dengan berkerut kening, tertawa, jawabannya tetap sama. Nara sumber pria atau wanita, menjawab seakan seiya-sekata: ”Selingkuh!”

Laku Heroik

hitam putih2Mengapa para narasumber memilih ”Selingkuh”? Tak sulit menebak apa yang mereka pikirkan. Jawaban, ”Selingkuh dong. Enak aja…” mengindikasikan hal itu. Memilih selingkuh daripada diselingkuhi menyatakan posisi, mengejawantahkan  sikap aktif, memilih untuk berada dalam situasi si atas, mendominasi, berkehendak. Memilih selingkuh daripada diselingkuhi menyatakan diri ”tidak sebagai korban”.

Memilih selingkuh daripada diselingkuhi adalah sebuah sikap menolak untuk dikalahlan oleh pihak ketiga.

Sekilas, sikap ini tampak dapat dibenarkan. Masalahnya, jika dalam sebuah hubungan ada ”wilayah pilihan” tentang kemungkinan untuk tidak menjadi ”korban”, bukankah yang terjadi kemudian adalah perselingkuhan-perselingkuhan?  ”Daripada dia duluan, daripada gue diselingkuhin, gue duluan deh. Enak aje…”

Sikap para narasumber ini tampaknya diamini para penonton. Tepuk tangan dan pemberian tawa, tentulah sebuah afirmasi pada jawaban.  Karena, tampaknya, tanpa sadar,  memilih selingkuh daripada diselingkuhi lebih dimaknai sebagai laku heroik, kemenangan, dan karena itu, layak mendapat tepuk tangan.

Benar bahwa jika diselingkuhi setiap orang akan merasakan sakit, nyeri hati, kehilangan kepercayaan pada diri, merasa dicampakkan, tak berharga. Tapi, apakah semua rasa sakit dan ketakberdayaan itu layak dilabeli sebagai korban? Sehingga, menampik diselingkuhi dan memilih untuk (ber)selingkuh adalah tindak untuk menolak menjadi sang korban?

Rasanya tidak.

Jika pun terjadi sebuah perselingkuhan, maka yang layak dijadikan sebagai korban adalah komitmen, kesetiaan. Di sini, korban bukan mengacu pada sosok, pada tubuh atau nama, atau harga diri, tapi lebih kepada nilai-nilai.  Setiap perselingkuhan selalu mengikis nilai kesetiaan. Perselingkuhan menghancurkan sendi komitmen dan kepercayaan.  Perselingkuhan mengorbankan keyakinan tentang cinta yang suci dan menyatukan.

Jadi, salah besar jika posisi korban diletakkan pada sosok yang diselingkuhi. Karena, diselingkuhi adalah situasi yang justru terlindung dari kemunafikan, kebohongan, kejahatan rasa, dan keliaran badaniah.

Diselingkuhi adalah sebuah posisi yang, sebenarnya, terselamatkan!

”Selingkuh atau diselingkuhi?!” serang Deddy.

”Diselingkuhi!” tangkis Tya Ariestya, yakin!

”Diselingkuhi atau jomblo selamanya!” cecar Deddy lagi.

”Jomblo!”

Tya Ariestya tahu, jika dia diselingkuhi, maka lelaki itu tak pantas menjadi kekasihnya, tak pantas menjadi pendampingnya. Dia memilih diselingkuhi, karena hal itu menjadi saring bagi asmaranya, bagi kehidupannya kelak. Diselingkuhi membuat dia terlindungi. Diselingkuhi membuat dia selamat dari cinta yang khianat.

Tya tak memilih (ber)selingkuh karena menyadari itu bukan laku heroik, bukan tindak untuk tak menjadi sang korban, tapi lebih sebagai aktivitas menyalurkan keliaran hasrat.

Bagi Tya, mungkin, memilih selingkuh daripada diselingkuhi adalah mengafirmasi sebuah sikap aktif untuk menghancurkan nilai kesetiaan dan merusak makna cinta.


Hasrat Bicara

Dengan demikian, memilih (ber)selingkuh adalah pernyataan tentang keberpihakan  untuk berbuat jahat, menyakiti, daripada disakiti. Melibatkan diri untuk menjadi perusak aktif kesetiaan dan nilai cinta  ketimbang melawan atau terselamatkan dari kepalsuan.

Memilih (ber)selingkuh adalah pernyataan tentang kebebasan diri untuk memenuhi hasrat libinal, petualangan, keliaran, dan pendobrakan pada nilai kesetiaan.

Itulah sebabnya, memilih (ber)selingkuh dilakukan dengan sedikit rasa bangga, kegelian, atau tertawa yang berderai-derai.

”Ketahuan selingkuh atau menangkap istri sedang selingkuh?” tanya Deddy.

”Lha, kan sudah ketahuan selingkuh, jadi mau bagaimana lagi, hahahaha…” Tora Sudira ngakak.

Penonton lebih lebar tertawa, bahkan terpingkal-pingkal.

Entah apa yang lucu.

Padahal, Deddy bertanya dengan frasa yang berbeda. Bukan lagi, ”Selingkuh atau diselingkuhi?!” tapi ”Ketahuan…”

Artinya, untuk Tora Sudiro, Deddy tidak lagi meminta memilih soal setia atau tidak, tapi lebih pada ketahuan berbuat tak setia atau tidak. Dari pertanyaan ini saja sudah dapat disimpulkan bahwa Deddy menempatkan Tora sebagai pelaku selingkuh. Persoalamnya, ketahuan atau tidak.

Dan memang itulah kenyataannya. Perselingkuhan yang selalu menjadi berita di televisi bukanlah perkara kesetiaan yang tercerabut, tapi soal ketahuan atau tertangkap kamera semata. Dengan kata lain, kesetiaan atau komitmen adalah perkara yang manis di mulut tapi tak jelas sudah bentuk dan wujudnya. Ia hanya ada di awal perpacaran atau pernikahan, dan lalu semua hilang. Perselingkuan adalah bagian integral dari panggung, dunia yang yang tak bisa mereka lepaskan. Dan karena itu lalu  jadi hal yang biasa. Yang mereka lakukan, dengan demikian, bukanlah menghindari perselingkuhan, tapi sekuat mungkin menutupinya.

Selingkuh adalah pilihan untuk merayakan keberhasratan. Dan karena ”perayaan”, maka laku itu dilakukan dengan riang gembira, tertawa, ”Yess!”

Inilah perilaku yang menurut Marquis de Sade sebagai, ”menikmati penyimpangan  dan menertawakannya sebagai bagian dari lelucon kehidupan.” Ssebagai sesuatu yang biasa, dan menjadikan, ”kehidupan adalah perjanjian sadar untuk memuasinya dengan cerita indah dan lucu tentang kesetiaan yang dikutuk.”

Betapa menyeramkan!

Mereka yang memilih (ber)selingkuh daripada diselingkuhi, menurut de Sade, adalah orang yang hidupnya melulu mengejar kenikmatan-kenikmatan inderawi (sense pleasure), dan motivasi hidupnya adalah murni untuk memuaskan seluruh hasrat dirinya. Mencari kenikmatan tubuh dengan melampaui batas-batas normalitas, dan memasuki area-area yang menyimpang.

Lalu, tanya diri Anda, pilih mana,  berselingkuh atau diselingkuhi.

Istri Kaya Istri Miskin

November 14, 2008

Jika Robert T Kiyosaki tinggal di Indonesia, saya yakin dia tidak akan menulis buku Rich Dad Poor Dad, melainkan Istri Kaya Istri Miskin. Isinya tentu mirip, meski tak sebangun, bagaimana melepaskan diri dari beban finansial, bahwa setiap orang punya kesempatan untuk menikmati waktu dan juga uang.

Dia pasti akan bercerita, seperti ayah miskin yang juga ayah kandungnya, istri miskin juga istri sendiri. Sedangkah ayah kaya dan istri kaya adalah ayah teman, atau istri orang lain, istri yang diangankan. Tapi tentu, dalam beberapa hal fundamental mengenai jurus bebas dari beban keuangan itu, buku Istri Kaya Istri Miskin akan amat berbeda. Buku ini, karena belajar dari “pengalaman” hidup keindonesiaan, tentu akan lebih aplikatif, gampang dipraktekkan, tanpa harus melalui seminar motivasi berharga jutaan.

Kiyosaki, saya bayangkan, akan memandu beberapa langkah jitu berdasarkan “kemampuan alamiah” seseorang. Misalnya begini, jika engkau seorang pelayan kafe dan haus seks, maka usahakan menikah dengan seorang janda. Kalau bisa, carilah yang bernama Ratna. Dialah istri miskinmu. Sebagai istri miskin, dan juga janda, dia akan memenuhi fantasi seksualmu. Dan bukan itu saja, karena kecintaannya, dia tentu akan membukakan jalan bagimu untuk melangkah maju. Ratna, karena koneksinya yang luas, akan mengenalkanmu pada Andika, yang pernah memopulerkan Ariel. Dan nasibmu akan berubah, engkau akan segera terkenal jadi penyanyi, wajahmu akan cepat terpampang di televisi.

Tapi ingat, Ratna itu hanya istri miskinmu, engkau harus lepas darinya. Maka, buatlah dia putus asa atas tingkahmu. Rekamlah keliaranmu dalam bercinta, dan biarkan dia membuka ponselmu. Buat semua seakan itu keteledoranmu. Dan kalau bisa, tularkan penyakit dari “jajanmu”, biar dia makin tersiksa. Jika Ratna mengugat cerai, kabulkan saja. Kini engkau bebas waktu, bebas dari beban uang, bebas meliarkan hasrat seksualmu. Eh, namamu masih Rizky The Titan, kan?

Jika engkau hanya pengamen di kereta, mimpimu harus dibangun dengan sederhana. Pertama, di antara penumpang kereta, carilah wanita yang terhitung bersih. Usahakan namanya Fani. Tipe ini akan menerimamu apa adanya, kedekilanmu, juga kemiskinanmu. Dia pasti akan selalu mendoaimu. Dan percayalah doa seorang istri yang acap bersimbah airmata, selalu dikabulkan Tuhan. Jadikan doa dan tangis itu jalanmu meraih kesuksesan. Ikutilah acara reality show semacam “Indonesian Idol”, engkau akan jadi pemenang. Kepopuleran dan juga uang akan segera jadi milikmu.

Tapi ingat, Fany hanya istri miskinmu. Dia cuma jalanmu meraih kesuksesan, dan harus segera engkau tinggalkan. Kirimlah seorang penggemarmu ke rumah, dan kesankan kalau perempuan itu adalah kekasih barumu. Usahakan jangan pernah menemui Fany, juga jangan berkirim uang. Biarkan saja dia menangis, menyesal, dan berbicara ke media. Dia hanya mencoba menarikmu ke masa lalu. Padahal, engkau milik masa depan. Engkau milik istri kaya-mu, yang telah antre berada di bibir panggung, memujamu, memohonkanmu, “Aris… Aris….”

Kalau engkau berbakat jadi pengarang, siapkan kisahmu dari hal yang paling sederhana, misalnya sekolah yang buruk, guru yang luar biasa, dan teman-teman bersahaja tapi setia. Kalau ingatanmu buruk, minta bantuan istrimu. Ah, pasti namanya Roxanna, kan? Dia pasti membantumu, karena dia juga bagian dari laskarmu, anak orangkaya yang karena sesuatu jadi dapat bersamamu. Percayalah, kisahmu akan populer. Engkau akan cepat bebas dari beban finansial, royaltimu nilainya bermilyar. Lalu engkau harus berpura-pura jadi malaikat, suci, dan tulus. Susunlah jutaan pujian dan kekaguman orang-orang menjadi daya jual novelmu. Jadikan film, dan katakan, film itu sungguh nyata menggambarkan masa mudamu yang penuh derita. Ah, engkau akan kian mendapat puja.

Tapi ingat, Roxanna itu harus engkau enyahkan. Dia benalu untuk dirimu kini yang telah penuh puji. Maka, kalau dalam beberapa wawancara, akuilah engkau perjaka. Dan kalau Roxanna yang mengaku Flo itu menggugatmu, lecehkan saja. Bukankah dia tak punya bukti engkau pernah menikahinya, kecuali sebuah fotocopy? Santai saja, katakan itu hanya ulah fans fanatikmu. Engkau akan bebas dari istri miskinmu itu, dan di depan pemujamu, yakinlah engkau akan tetap jadi Andrea yang malaikati itu….

Dan ini yang terakhir. Jika modalmu hanya tampang yang tampan dan sedikit bisa melucu, carilah istri yang mapan. Namanya pasti Anggi Kadiman. Dia perempuan miskinmu, yang akan mengantarkan pada kemujuran. Jadi, biarkan jika selama beberapa tahun pernikahan itu, engkau cuma menganggur dan mertua menanggung biaya hidupmu. Percayalah, Anggi mencintaimu, dan akan mencarikan jalan untukmu agar bebas dari masalah keuangan. Dan lihatlah, dia memintamu ikut kasting “Extravaganza”. Karena kamu tampan, dan penuh tato, gambaran kenakalan sekaligus kemisteriusan, engkau akan diterima. Kian hari, bersama doa Anggi, engkau akan populer. Produser film pun antre meminta tandatanganmu. Engkau sibuk, dan manfaatkanlah itu untuk lupa pada Anggi dan anakmu. Santai saja, kalau bisa, selama setahun engkau jangan pulang. Kirimi saja sedikit uang, beres.

Jika Anggi bertahan dalam situasi itu, ciptakan asmara baru. Pacari rekan kerjamu. Namanya Mike Amalia, bukan? Dan buat mertuamu tahu. Anggi pasti malu, dan dia pasti akan meminta untuk berpisah. Kini, engkau dapat bebas dari masa lalu, dan meluangkan waktu untuk menikmati uang dan popularitaasmu.

Saya percaya, buku Istri Kaya Istri Miskin akan populer, lebih dari Ayat-ayat Cinta. Siapa yang meragukan Kiyosaki, coba?

[Esai ini dimuat sebagai "Tajuk" di tabloid Cempaka, Sabtu 15 November 2008]