Biografi Chairil Merindui Jassin
October 15, 2008
Galuh yang baik,
Dalam genggaman budaya, identitas dan estetika yang kian catur-marut, ketika kata-kata telah kehilangan daya pesonanya, seberapa besarkah arti Chairil bagi kita. Di sini, kini dan esok, dalam problema kehidupan yang kian menjadi mistis untuk diselesaikan, masihkah penting bagi kita untuk membicarakan Chairil, mengutak-atik seutas puisi? Masihkah kita menganggap puisi punya arti dalam kehidupan terpribadi kita?
Aku ragu.
Dalam bilikku yang apak dan temaram ini, kuingat sebuah puisi Ook Nugroho,
Seorang lelaki yang sedang kesepian
bersikeras memcoba menulis sebaris sajak.
Hasilnya adalah tanpa judul samasekali.
Dan kekosongan di antara kata-kata yang
dipilihnya itu tak bisa diisi apa pun
agaknya. Mungkin engkau sendiri yang harus
masuk, melambai atau sekadar sapaan “hallo!”
sudah akan cukup melengkapi sebelum sunyi
menutupnya dengan semacam erangan yang
tak teramat jelas benar maknanya
(”Sajak 1″ dalam Kalam 3/1995)
Puisi itu, dengan sangat jenial justru menunjukkan kehendak sebuah puisi. Di situ ada sebersit ngilu sunyi, mungkin dengan sepercik nada getir, tapi bukan kesedihan. Dengan ringan, puisi itu mengajak kita masuk, sesaat, mungkin melambai, menguluk salam, “hai, hallo!”, sebelum kembali ke sunyi.
Sunyi itulah Galuh, yang menjadi nada puisi. Ia mengajak kita mendengarkan, sesekali melengkapi, dengan sesuati yang mungkin tak berarti; tapi ada. Namun, bisakah kita melengkapi kekosongan yang ditawarkan sebuah puisi?
Aku tak tahu benar jawabnya.
Aku hanya sedikit meyakini, kekosongan yang disediakan seutas puisi, Bukan maksudku mau berbagi nasib. Sebab, nasib adalah kesunyian masing-masing. Kupilih kau dari yang banyak. Tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring. Karena puisi bukan hanya sebatas kata, melainkan juga nada, suasana, atau –meminjam ungkapan yang paling sering diucapkan GM– semacam enigma, yang merajuk, sekaligus membujuk kita untuk membuka diri, dengan tertawa, beria, bahkan berlupa.
*****
Galuh yang baik,
Masa lalu memang tak mudah pergi meskipun kita seperti tak ingin menengoknya. Tapi, jika masa lalu tak mudah pergi, dari bahagian manakah dari Chairil yang akan datang kepada kita, kini? Dari wilayah makannya yang kusam, mitos apa yang akan kita teruskan?
Kebohemiannyakah? Atau kejujurannya dalam mengungkap sang hidup?
Kadang aku berpikir, apalagi yang bisa kita harap dari Chairil. Dia, dalam semesta keliarannya, toh sudah didudukkan sebagai tokoh tanpa tanding perpuisian. Bahkan, kukira terlalu berlebihan kalau menganggap masih banyak dari dirinya yang belum diungkap. Chairil, aku lihat, justru telah dibakukan dalam sebentuk buku –bukan teks– dengan pendahuluan yang memikat dan menjerat, dan penutup yang mencengangkan. Dengan kata lain, sebagai buku, Chairil telah selesai dituliskan.
Atau tanyakanlah pada sahabat-sahabat kita yang mengerti puisi, masihlkah mereka tertarik memaknai sajaknya? Kukira, mereka, sebagaimana aku, lebih acap menggumamkan puisi Chairil dengan makna yang itu-itu saja. Ya, Chairil telah jadi semacam monumen; tanda terpenuhinya mimpi-mimpi kita tentang idealitas puisi dan penyair.
Lalu, masihhkah kita layak menerapkan hidup dan estetika Chairil sebagai ukuran kehidupan dan estetika penyair?
Maaf, aku menjawab tidak. Kita tak lagi bisa bercermin dari wajah Chairil. Kehidupan yang kita jalani dalam ritus kebudyaan yang hampir tak tertebak arahnya, seharusnya membuat kita mendadai Chairil:
Kalau sampai waktuku, dada
Kumau tak seorang kan merayu, dada. Tidak
juga kau, dada tak perlu
sedu sedan itu, dada
Aku ini binatang jalang, dada
(Agus R Sarjono dalam Horison 12/1992)
Atau,
Aku mengaji, anwar anwar
Hidup dari pasar terbuka dalam tubuh
Anwar mengirim tubuh kaku ke daging-daging
Dihembuskan pasar ke pohon-pohon sunyi
Jadi penyair seribu tahun. O
Makani tuhan dalam kuburm anwar-anwar
Aku orang sunyi berlalu dalam cerita
(Afrizal Makna, “Penyair Anwar”)
Galuh,
Penambahan kata dada dari puisi Chairil di atas justru membuat puisi itu kehilangan daya dobraknya. Menggenang, sunyi, mengambang.
Bait puisi yang semula utuh, dengan kelahiran dada kini tampil sendiri-sendiri, terfragmentasi, dan seakan menggumamkan kesunyian sendiri. Ada semacam penumpasan antroposentris, aku sebagai pusat pemaknaan.
Afrizal itu Galuh, menyindir lebih tajam. Sindiran itu bukan saja dapat kita lihat dari makna puisi, melainkan juga ditumpasnya konsep estetik Chairil, mengubah keutuhan makna menjadi kelumpuhan, dan menegaskan jalinan tanda. Diksi, yang menjadi kekuatan Chairil, dilolosi daya lecutnya, dilumpuhkan, ditunda, dengan jeda dada dan anwar-anwar.
Tapi Galuh, kita masih bisa melihat satu hal dari puisi Chairil: kesombongan sang Aku.
Sang aku adalah aku lirik yang tersedimentasi menjadi nama pengucapan diri bagi penyair. Bahkan, bagi Chairil otoritas penciptaan begitu disakralkan dan yang bukan penyair jangan ambil bagian. Nah, dalam kondisi yang demikian, semua proses pemaknaan akhirnya menumpuk hanya padanya. Di luar aku-lirik, makna yang lain tidak ada, dan kalaupuna ada, tak dapat tampil sejajar. Inilah yang dipahami Afrizal sebagai perubahan aku-lirik menjadi aku-ideologis, yang menekan, bahkan melampaui otoritas pembaca dan menjadi semacam hegemoni pemaknaan. Akibatnya, tidak pernah ada yang berani memberi makna lain. Hal itu, misalnya, tampak dalam aku-lirik aku-ideologis; aku ini binatang jalang.
Hal itu berlangsung lama sekali. Aku-lirik menjadi mata yang sepenuhnya memandang. Mata yang berkuasa menafsirkan dunia.
Tentu, kita dapat juga melihat titik ragu dalam diri Chairil, Galuh. Ada kala, aku-lirik yang semula menjadi identifikasi dirinya, pada suatu saat justru diragukannya. Keraguan yang datang dengan nada getir karena terhapusnya keyakinan. Aku berkaca. Ini muka penuh luka. Siapa punya? Aku-lirik, aku-ideologis, mata yang berkuasa memaknai dunia, justru bertanya dan meragukan wajah yang dia pandang di dalam cermin.
Galuh, bagi Afrizal, keraguan itu, walaupun sesaat, menunjukkan ada semacam kelehaman tentang kekuasaan aku-lirik. Aku-lirik yang telah menjadi aku-ideologis, mata-penuh-kuasa, menyadari keterbatasannya sebagai sumber dan peletak makna. Di titik lanjut, bahkan terjadi perubahan keyakinan. Aku yang memandang akhirnya menjadi aku yang dipandang, kemudian menjadi diri-diri lain yang dipandang. Di level lain, aku-lirik pun akhirnya menyerah, mati, dan punah.
hotel sepi. bumi sendiri tanpa manusia. dada. diam. hotelsekarang jadi
kupu-kupu terbang, jadi ulatpergi, jadi kepompong mati, menyembunyikan
radio mati, menyetir mobil mati, menyalakan lampu mati. dunia ditangan
ku. DADA. tidak lagi berpeta.
(Afrizal Malna, “Ekstase Hotel 2″)
*****
Galuh yang baik,
secara gampangan, penyair adalah orang yang berurusan dengan dunia dalam, menggarap makna, berkiprah dalam permenungan. Prestasinya diukur dari seberapa dalam ia mengendapkan dan menyerap makna, lalu mengabarkannya. Maka, tugas penyair bukanlah membuat kita yang membaca puisinya menjadi lebih pintar, atau lebih hebat, melainkan kian mengukuhkan ikatan barin kita dengan sang hidup.
Penyair dalah orang yang berkubang dalam pengalaman. Kalau pun ada ide –untuk menjadikan ide itu bagian yang organis dari puisinya– haruslah ide yang dialami, gagasan yang tidak hanya dipikirkan, tapi diajak bergulul dengan daing dan darah, pikiran yang mengudarkan bau napas dan keringat.
Maka, sebuah puisi pada akhirnya, seharusnya, bukanlah selebaran konsep-konsep. Dia hanya semacam kesaksian. Tentu, kesaksian itu bisa saja imajinatif, reflektif, dan juga naratif, yang kesemuanya dipungut dari inang kehidupan. Puisi, meminjam Karl R Popper, adalah uraian yang brsifat ekspresionisme epistemologis, di mana bagian bagian lariknya tak dapat didiskusikan secara objektif, tetapi harus diterima sebagai ekspresi keadaan mental, situasi kejiwaan, atau percikan keluar dari suatu interioritas yang pribadi dan intim. Dengan demikian, menghadapi seutas puisi tak ubah bak termangu di depan lukisan. Kita hanya dihadapkan pada dua pilihan; menerima atau menolak, menyukai atau mencampakkan. Tanpa harus berkeringat dalam baku argumentasi.
Nah, jika kita melihat puisi dan penyair dengan wajah demikian, masihkah kita dapat mendewakan Chairil, Galuh?
Jujur saja, bagiku, mengingat Chairil adalah mengenang luka. Luka itu lahir bukan dari rasa kehilangan, melainkan semesra sesal. Aku merasa, perpuisian kita telah terlalu lama menggantungkan diri pada Chairil. Itu tidak sehat. Seakan tidak ada penyair lain. Bukankah tanpa Jassin, Chairil tak akan berbunyi senyaring kini?
Padahal, di tiap daerah ini, telah terlalu banyak penyair. Banyak yang menyebut mereka sebagai “Chairil Muda”. Tapi bagiku, Galuh; penyebutan itu pun masih membiaskan betapa Chairil adalah dewa. Karena itu, aku tak setuju sebutan Chairil muda itu, karena ada keberjarakan minat dan hasrat yang amat berbeda, dalam situasi dan zaman yang jauh lebih komplek dan menakutkan, juga lebih kaya.
Membaca puisi-puisi mereka, aku melihat semacam posona yang subtil, yang tak mendaras dalam diksi yang keras, dan dalam batas tertentu, memaksaku memekikkan jerit; puisi mereka bukan hanya minta dirasakan tapi juga dipikirkan. Tapi Galuh, inilah zaman ketika kita tak punya lagi Jassin, yang ikhlas membongkar puisi. Inilah masa ketika penyair hidup di zaman puisi tak lagi semenggairahkan dulu, ketika media meletakkan puisi sebagai sedekah budaya, bukan komoditi yang layak. Inilah zaman yang mengogahi dan berlari meninggalkan roh puisi.
Ketiadaan kritikus yang intens inilah yang membuat aku rindu pada Jassin, yang tahu dimana berakhirnya mata seorang penyair.
Galuh, dalam irama budaya kini, mengagungkan Chairil tentu mengingkari zaman. Kini kita harus berani memandang keunikan tiap person tanpa meletakkan superioritas satu subjek di atas subjek yang lain. Semua harus dicatat, semua dapat tempat. Kita harus berbesar hari untuk mendengar suara-suara dari pinggir, dan pelan-pelan menggeser “pusat”. Juga mulai harus bisa menganggap penyair sebagai profesi yang biasa, yang dapat tumbuh dan hidup dalam budaya apa saja. Selama masih ada kekosongan dan kepenuhan rasa, sepi dan juga cinta, selama itu juga puisi akan terus tercipta, penyair terlahir.
Pada intinya yang paling dalam
Sajak ini adalah sebuah hati, impian-
impian tak terhitung dan hasrat tak
kesampaian. Tak perlu judul lagi
sebetulnya. Kata-kata di dalamnya juga
hanya selubung. Engkau harus mencoba
menyingkapnya, dan menyeberangi kekosongan yang
ditinggalkannya bagiku. Hanya dengan begini
engkau akan sampai padaku
(Ook Nugroho, “Sajak 2″)
Galuh Lalita yang baik,
Dalam budaya yang centang-perenang, agaknya Chairil harus kita letakkan hanya sebagai petanda dan bukan penanda dalam dunia kepenyairan kita. Sebagai salah satu petanda, dia tak beda dengan petanda yang lain, yang tak sakral, yang bisa ditampik dan dibongkar. Sebagai petanda, dia bukan diri yang absolut memaknai diri sendiri. Sebagai petanda, dia bertemu tafsir, dia harus membuka diri.
Galuh Lalita Swasti yang baik,
Setakat ini dulu suratku. Sampaikan salamku untuk sahabat-sahabat sejatimu. Di hari lain, aku mungkin akan bercerita tentang puisi-puisi saja, sehingga kita bisa sampai pada kekosongan, pada hening dan bening, cinta yang sama.
Semarang, 28 April 1999. 00.37 WIB
(Maaf Galuh, surat untukmu ini aku umumkan juga dalam diskusi “Hari Chairil Anwar” di FS Undip, 28 April 1999)
Tuhan dan Kecemburuan
September 18, 2008
Marilah kita bicara tentang Tuhan, yang kata Amir Hamzah, juga ganas dan memangsa: Engkau ganas/ Engkau cemburu/ Mangsa aku dalam cakar-Mu/ Bertukar tangkap dengan lepas. Tuhan di sini, ibarat kekasih, yang tak ingin kecintaannya berpaling. Karena itulah, Ustad Fery, dalam satu nasihat yang bening, memperingatkan Azam, agar tak terlalu memikirkan Aya. “Jangan buat Allah cemburu, Azam. Karena tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah.”
Azam, tentu saja, terhenyak. “Kenapa Allah cemburu pada saya, Ustad?”
“Karena hatimu, setiap hari, lebih menzikirkan hal-hal duniawi.”
Bagi Ustad Fery, yang dimainkan Akri Patrio dengan bagus dalam Para Pencari Tuhan, cinta manusia pada apa pun, haruslah merupakan jalan untuk mencintai dan mendapatkan cinta Allah. Karena itu, anak, istri, kekasih, jabatan, harta, baru bernilai ketika dapat menjadi selasar untuk menjumpai sang Khalik.
Bertuhan, dengan demikian, lebih merupakan suatu pengalaman personal.
Dalam personalisasi semacam itulah, Tuhan acap “ditemukan” dalam banyak “wajah”. Novelis Danarto misalnya, mengaku melihat Tuhan dalam paras kanak, yang bercahaya. Atau Alm Gito Rollies, yang menjadi “kenal” dan akrab dengan Tuhan, ketika menanggungkan sakit. Zaskia Mecca malah merasa “ditegur” Tuhan lewat foto merokoknya yang tersebar. Di sini, dalam pengalaman personal mereka, Tuhan telah hadir, meski tersamar, tampak, mengejawantah. Mereka merasakan persentuhan itu. Padahal, Chairil Anwar, merasakan betapa… susah sungguh/ Mengingat Kau penuh seluruh.
Tapi di sinilah dilema itu dimulai. Mengingat, mengenal, ditegur, adalah pengalaman yang mewaktu, ketika alpa dan ingat, dapat bertukar lepas dengan tangkap. Padahal, Tuhan yang datang lewat wahyu, justru mengatasi waktu. Wahyu hakikatnya tak mewaktu, melampaui masa, di luar fase sejarah. Jadi, bagaimana mungkin “sesuatu” yang di luar waktu, dbahasakan dalam personalisasi pengalaman?
Dilema itu punya titik temu: bertuhan adalah pengalaman personal yang terbahasakan.
Pengalaman personal yang dimaksud di sini adalah sebuah situasi yang berada di luar kala, semacam ekstase kaum sufi, suasana ning ketika berzikir, atau blank, suwung, tatkala menanggungkan sakit atau rindu. Dalam ketakmewaktuan itulah Tuhan hadir. Seperti “ketercerabutan” Muhammad dari realitas, kebersaatan, ketika menerima wahyu melalui Jibril.
Nah, kehadiran Dia yang di luar kala itu, tak punya arti, sebelum dikatakan dalam bahasa orang ramai. Itulah sebabnya, al-Hallaj, membuka rahasia syatahat. Yazid al-Bistami bernubuat di kelimun umat. Tuhan yang mereka dapat di dalam ketakberkalaan, bukan mereka simpan, tapi dileburkan dalam kancah perbuatan.
Bertuhan dengan demikian adalah perilaku. Adalah akhlak, sikap, tindak, adalah cara mencinta.
Ukuran kebertuhanan pun menjadi bukanlah pada pengalaman personal seseorang dalam kesendirian, kealiman batin dan kesantunan pribadi, melainkan kesalehan sosial, keberdampakan iman bagi orang banyak. Bertuhan, dan beriman, dalam skala yang paling akbar, adalah perjalanan atau pengalaman personal mikraj Muhammad, ketika mendapat pesan melalui bahasa langit, dan kembalinya Muhammad untuk mewartakan pesan tadi kepada umat ke dalam bahasa bumi.
Bertuhan, dan sekaligus beriman, “Bukanlah orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid,” kata Emha, “dan membiarkan beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.” Bertuhan adalah melihat segala hal sebagai “tak ada yang bukan Tuhan”, al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-Lah. Segala nikmat dan laknat ibarat thariqah dan syariah, sebagai jalan, atau pintu, meraih Tuhan. Menyatunapaskan tugas lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Tapi tentu, bukan dengan keinginan untuk meraih surga sendirian. ”Di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tak bisa berpaling,” kata Chairil.
Diri yang tak bisa berpaling itulah, barangkali, insan yang tak lagi dicemburui Tuhan.
[Dimuat sebagai "Tajuk" di tabloid Cempaka, Sabtu 20 September 2008]
Recent Comments