Keluarbiasaan yang Tak Teguh

November 17, 2012

Terlalu banyak yang luar biasa di layarkaca, dan hanya cukup layak dijadikan sebagai bahan canda. :D

APAKAH kopi termahal saat ini? Ya, kopi luwak. Dan rasanya, sulit untuk mencari orang yang tak tahu fakta itu. Tapi, di acara ”Bukan Empat Mata” yang tayang di Trans TV (25/10), pengetahuan umum itu punya nilai yang berbeda. Setidaknya, untuk sosok selebriti chef si seksi Farah Quinn. Dia, setelah bercerita soal proses ”permentasi” kopi dalam kotoran luwak, dengan senyum bangga berkata, ”Tapi jangan salah lho, kopi luwak yang itu, justru kopi termahal di dunia!”

Penonton bertepuk tangan, terutama setelah Tukul melabeli ucapan Farah dengan sahutan, ”Luaarrr biasa!”

Apa yang luar biasa?  Entah.

Dan Jangan tanyakan itu kepada Tukul, niscaya dia pun tak akan mampu menjelaskannya. Karena, nyaris dalam setiap jawaban bintang tamu, Tukul akan mencetuskan kata yang sama. Kepada Dewi Perssik, Magdalena, atau Mpok Ati, pelabelan luar biasa itu tetap dia berikan, untuk jawaban yang memang biasa-biasa saja. Dengan demikian, ”pujian” luar biasa Tukul, yang diterima dengan senyum oleh narasumber, dan dibarteri tepuk tangan penonton, hanya semacam basa-basi, atau kalau tidak, proses otomatisasi wicara. Repetisi diksi yang tak memiliki nilai apa pun. Kata ”Luaarrr biasa!” yang diucapkan Tukul itu selevel dengan kata ”Kembaliiiii ke laptop!” Rutin, biasa, dan karenanya, jadi banal.

Celakanya, Tukul tidak sendirian. ”Peluarbiasaan” ucapan para artis ini sepertinya sudah jadi wabah. Raffi Ahmad misalnya, nyaris ”selatah” Tukul. Ia pun, bertepuk tangan, dan mengatakan luar biasa untuk kalimat Tengku Wisnu yang menjadi tamunya dalam acara ”Kata Hati” di Indosiar (26/10). Padahal, Wisnu cuma mengatakan ini: ”Nggak perlu jadi kepala daerah. Dengan buka bisnis, saya bisa bantu sejahterakan rakyat Aceh.”

”Basa-basi” luar biasa itu juga terjadi di ”Hitam Putih”. Contoh terbaik barangkali saat bintang tamu acara yang tayang di Trans 7 itu adalah Adipati Dolken (25/10). Ia dengan penuh percaya diri, menjelaskan arti fans untuk dirinya.

”Fans bagi saya is everything. Segalanya. Tanpa mereka, saya bukan siapa-siapa. Tanpa mereka, saya tidak akan seperti ini, tidak akan berada di sini…”

Coba, berapa banyak artis yang mengatakan hal semacam itu? Ya, nyaris semua. Bahkan, ucapan Adipati Dolken itu, adalah ”mantra” wajib yang pasti dikatakan para artis ketika menerima penghargaan. Jadi, itu hal yang biasa kan? Bahkan amat sangat sungguh biasa sekali.

Bagaimana reaksi Deddy Corbuzier? Dia terpana beberapa detik, lalu berteriak, ”Luarrr biasaa!” Penonton bertepuk tangan, Adipate Dolken tersenyum, sepertinya dia sendiri bangga akan jawabannya. Namun, begitu tepuk tangan mereda, Deddy melanjutkan pujiannya, ”Ya, saya pun bisa berada di sini, duduk di sini, karena sofa ini. Luarrr biasa… ”

Hahahaha…. Nyengit dan kurang ajar sekali si Deddy ini. :) :)

”Downgrade” Kata

Selain pujian ”luar biasa”, masih ada kata yang mewakili ”keterpukauan” itu, yakni ”Super sekali!”. Dan tentu, rekor repetisi kata itu dipegang Mario Teguh lewat acara ”Golden Ways” di Metro TV. Ada dua ”mantra” di acara ini, pertama diucapkan oleh co-host Hibram Dunar, yakni ”Jawaban yang super sekali!” sebagai timpalan setelah Mario memberikan ”pencerahan”. Mantra kedua justru dipegang Mario, yang selalu berkata, ”Pertanyaan yang super sekali!” sebagai sahutan kepada setiap yang bertanya.

Ya, acara ini memang terkesan mekanistis, rapi, tanpa gejolak, dengan semua penanya terpuaskan. Tak ada sanggahan dari tiap jawaban. Posisi Mario sebagai ”yang maha super” nyaris tak terbantahkan. Dia ibarat khatib di salat Jumat, yang dikatakannya tak boleh dibantah, kudu jadi ajimat.

”Jangan lihat diri Anda apa adanya, tapi lihatlah biasa apa Anda,” yakinnya di satu sesi, dan ”Kesuksesan orang yang pertama adalah menjadi orang baik,” lanjtnya di sesi yang lain. Sebuah jawaban yang, ”Super sekali!” saut Hibram di acara Minggu (28/10) itu.

Apakah pelabelan ”luar biasa” atau ”super sekali” itu salah? Tentu tidak. Terutama jika kita menyadari bahwa itu ”hanya” tontotan. Apa pun, asal bisa laku, akan dilabeli, dikemas dan ”dihalalkan”. Apalagi, kita berada di zaman  ketika para motivator, atau nabi-nabi palsu –seperti kata Bre Redana– mendapat panggung dan kamera, maka kata sesederhana apa pun memang bisa berubah jadi doa.

Masalahnya, pelabelan ”luar biasa” dan ”super sekali” itu sulit untuk diterima akal yang biasa-biasa saja. Dengan kata lain, telah terjadi ”pemencongan” arti kata. Ini akan jadi problem ketika kita mencoba mencari batas atau klasifikasi antara yang biasa dan luar biasa, atau super sekali. Karena bisa jadi, makna ”luar biasa” atau ”super sekali” sudah ter-downgrade ke ”amat biasa” atau ”super biasa”.

Masalah lain, keterpukauan ”kita” pada ”seni” menjawab seperti yang dipraktekkan motivator justru menimbulkan problem tersendiri. Karena kemampuan menjawab pertanyaan untuk persoalan-persoalan kehidupan, bukanlah solusi. Masalah kehidupan tidak bisa dijawab dengan hanya mengetahui ”Apa”, tapi harus melangkah ke ”Bagaimana”. Bukan ”Anda pasti bisa” tapi ”Bagaimana supaya Anda bisa”.  ”Apa” hanya berkutat pada definisi, atau penyederhanaan masalah, tapi ”Bagaimana” mencabarkan metode, cara, dan juga kerja. Gampangnya, ”Apa” bisa selesai lewat kata-kata, tapi ”Bagaimana” harus kelar melalui keringat dan usaha.

Tapi, mampu menjawab pertanyaan memang sudah terlanjur dianggap sebagai keluarbiasaan. Sudah jadi asumsi, stigma jalan menuju kesuksesan. Padahal, kesuksesan adalah wilayah enigma. Itulah sebabnya, dengan sedikit gemas, Deddy Corbuzier berkata keras,” Anak-anak yang luar biasa, yang sukses di sekolahnya, yang nilainya tinggi, bukanlah jaminan akan sukses di masa depan. Seringkali, anak-anak yang biasa-biasa saja, kelak akan lebih sukses dari yang luar biasa. Kenapa?” tanyanya, sembari menatap ke penonton, dan lalu ke kamera. Deddy seakan menggugat keinginan, hasrat, untuk mendapatkan cap luar biasa itu. Dan setelah mengambil napas, Deddy melanjutkan ucapannya, ”Karena anak-anak yang luar biasa itu hanya belajar dan diajar menghapal jawaban!”

Entah kenapa, saya tiba-tiba jadi ingat Mario Teguh…. :D :)