Panggung dan Arsip Ingatan
April 19, 2007 · Print This Article
Hidup kadang diisi oleh hal-hal yang dramatik. Dan menjadi indah jika itu bukan bagian dari sandiwara.
GENTA bernilai ketika dibunyikan, cinta bermakna hanya saat diungkapkan. Tamara menyadari sungguh hal itu. Di depan rumah Rafli, berpegangan teralis-pagar hijau pupus itu, dia berteriak, “Rasya… i love youuu….” Berulang-ulang. Suaranya menggema di ramai jalan Tirtayasa.
Sore itu, dia ingin bertemu Rasya. Dia ingin bertanya, benarkah anak semata-wayangnya itu tak mau bersua dengannya, sebagaimana yang kerap dinyatakan Rafli. Benarkah Rasya menyimpan trauma atas perlakuannya? Itulah sebabnya dia berteriak. Bukan karena dia tak percaya bahwa Rasya tak ada, melainkan lebih sebagai jeritan ibu yang terluka, yang dianggap tak tahu cara mencinta.Seharusnya akan jadi adegan yang mengharukan. Tapi, entah mengapa, teriakan Tamara, guncangan tangannya pada teralis pagar, wajah kecewa dan gegasnya memasuki mobil untuk menyurukkan tangis, jadi terasa begitu biasa. Tiada mencipratkan iba. Saya merasa akrab sekali dengan adegan itu. Dan menjadi tertawa, ketika Cut Tari, dengan ringannya berkata, “Pemirsa, mulai sekarang jangan nonton sinetron lagi ya? Nonton “Insert” aja, toh isinya sama saja, hehehe…” Indra Herlambang yang berada di sampingnya pun ngakak, lalu menggelengkan kepala.
Cut Tari benar, adegan Tamara itu terasa akrab karena tipikalitasnya acap muncul dalam sinetron kita. Itulah sebabnya, gesture Tamara tak terasa alamiah, apalagi mengejutkan. Seluruh sikapnya terasa tertib, seakan mengikuti hukum dramaturgi; ritme yang diatur untuk menunggu ending. Dan akhir itu tercukupi dengan peluk-haru dia dan Rasya, sentuhan pipi dia dan Rafli, dan wicara yang saling memuji. Selesai.
Kalau kau hanya merasa mampu berakting, dunia akan selalu kau lihat sebagai panggung. Tamara agaknya berada di titik ini. Juga Dhini Aminarti. Di dalam sinetron Wulan, dia menghadiahkan dompet untuk suaminya, dan berkata, “Dompet itu akan membuat aku selalu bersama kamu. Dan kau akan selalu ingat aku, merasa ditemani.” Di kehidupan nyata, ketika ulangtahun kekasihnya, Fardan, dia pun menghadiahi dompet. Dan ketika ditanya infotainmen, mengapa sebuah dompet, dengan tersenyum Dhini berkata, “Biar aku selalu bersama dia. Biar dia selalu ingat aku, merasa ditemani, di mana pun dia berada.”
Pemanggungan sinetron. Agaknya itu yang terjadi kini, ketika karakter yang biasa diperani seseorang begitu menyatu dan tak bisa dengan gampang dienyahkan. Film Being John Malkovich dengan getir mencontohkan hal ini. Karakter peranan yang kemudian terbawa ke dunia nyata, menginfiltrasi hidupnya jadi sebuah nestapa. Craig Schwartz (John Cussack) tidak bahagia dengan hal itu. Dia merasa ada beda yang tegas antara dunia dan panggung, dan hidup tak bisa dicukupi hanya dengan sebuah karakter.
Tamara dan Dhini barangkali tidak seperti Craig. Mereka masih hidup dalam karakter peranan ketika “panggung” yang dihadapi justru sudah berbeda. Mereka mungkin merasa dihidupi oleh kemampuan berakting, dan karena itu melihat semua orang sebagai juru kamera. Mungkin juga karena mereka lupa bahwa hidup mereka selalu diarsip, dan penonton acap punya ingatan yang sama.
Hidup dalam ingatan banyak orang itulah yang coba ditampik Anna. Ketika tertangkap basah kamera menginap di rumah pemilik toko buku William Tracker, dia menjadi begitu panik.
“Tenanglah,” kata William, “Kisahmu hanya akan dimuat hari ini, besok semua orang sudah melupakannya.”
Anna justru meradang. “Kau tidak tahu, begitu peristiwa ini dicatat, dia akan menjadi arsip dalam kehidupanku. Dan ketika orang bicara tentang diriku, arsip ini pasti dibuka lagi, akan selalu diulang….”
Anna adalah tokoh fiktif yang diperankan dengan bagus oleh Julia Robert dalam Notting Hill, selebritis yang ingin hidup wajar dan menampik kamera. Dia ingin kehidupan pribadinya menjadi milik dirinya sendiri. Dia tahu, popularitas berumur pendek tapi meminta terlalu banyak, merenggut yang paling intim di dalam hatinya, menjadi diri sendiri. Anna mengerti, saat yang paling pedih adalah ketika dirinya hidup dalam ingatan banyak orang. Itulah sebab, mengapa dia selalu bersembunyi. Selalu kembali kepada William (Hugh Grant), lelaki yang riuh aroma pasar dan jalan, kealamiahan.
Anna memang bukan Tamara. Bagi sebagian aktris kita, hidup dalam ingatan banyak orang adalah kebahagiaan. Mereka lupa, ingatan bersama itu juga yang kelak menjadi hakim atas sikap mereka. Seperti kisah Tamara dan Rafli yang memperebutkan Rasya.
Tamara merasa dijauhkan dari buah hatinya. Dia menilai Rafli tidak berlaku adil. Haknya sebagai ibu tidak dipenuhi. Dia mengecam, dan melaporkan psikolog Yussy ke polisi. “Saya tidak ingin ada pihak ketiga yang selalu mencampuri urusan kami,” katanya. Tamara lupa, puluhan kamera yang mengikuti seluruh geraknya di rumah Rafli, yang merekam teriakan dan airmatanya, juga adalah pihak ketiga. Polisi, Ersa Syarif pengacaranya, adalah juga pihak ketiga-kesekian. Penonton juga pihak ketiga, yang dilibatkan Tamara untuk melihatnya dengan iba, mendukungnya dengan bela. Tapi penonton tak pernah lupa, karena “Insert”, “Kabar-kabari”, “Silet”, “Kasak-Kusuk” dan puluhan infotainmen lain telah mengarsip hidup Tamara, dan membukanya di setiap pagi, siang dan senja; bahwa pernah dulu Tamara melakukan hal yang sama, menghaki Rassya hanya untuk dirinya. “Kini posisi itu berubah sudah,” kata narator “Insert”.
Mungkin, ingatan itu juga yang membuat kisah Tamara berbeda dari Notting Hill. Ada yang terasa menyentuh ketika dengan putus asa Anna mengiba, “…lihatlah aku. Bagaimanapun aku seorang perempuan, yang menyatakan cintanya pada seorang lelaki, yang hanya minta dicintai…” Anna hanya ingin dilihat sebagai seorang perempuan, sosok yang tak mengemban karakter apa pun. Diri yang bersih dari kamera. Adegan itu pun terjadi di toko buku wisata, tempat orang datang dengan kesadaran untuk pergi, bergegas, berpindah. Anna ingin berhenti. Dia capek menanggungkan kebohongan. “Apakah kau berharap aku jujur berkata tentang perasaanku di depan kamera?” Begitulah dia berkata sebelumnya, ketika William mengungkit kebohongannya di depan kamera.
Saya bayangkan Tamara mendatangi Rafli, Rasya, dan mertuanya di Tirtayasa, seorang diri, tanpa kamera. Saya angankan dengan lelah dia berkata, “Rafli, bagaimanapun aku adalah seorang ibu, yang haus memeluk anaknya. Bagaimanapun aku adalah perempuan yang pernah engkau cintai, yang engkau percayai merahimi Rasya. Pandanglah aku dengan semua kebaikan itu. Lihatlah, pernah ada hal yang begitu indah dalam kehidupan kita. Apakah engkau percaya bahwa aku akan merusak keindahan itu?”
Saya bayangkan Rafli akan menuntun Rasya, dan mendekapkannya ke Tamara, sambil berbisik, “Begitulah Tamara, begitulah seharusnya…” Dan di sudut sana, Cut Haslinda, mertua Tamara, tersenyum, mengucap hamdallah, dengan menyusut airmata.
Hidup kadang diisi oleh hal-hal yang dramatik. Dan semua bisa jadi indah jika itu bukan bagian dari sandiwara….
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 22 April 2007]
No comments yet.