Si Doel dan WC Kita

March 20, 2009 · Print This Article

Di dalam tiap keramaian, tempik-sorak, tawa-bahak, selalu ada suara sepi. Dan itulah yang kita saksikan dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang kini tayang ulang di RCTI, setiap pagi. Ada suara Mandra, Atun, dan Mas Karyo, yang selalu ingar. Atau deram Babe yang seakan marah, juga desis Mak Nyak yang tergambar sabar. Tapi, lebih dari semua itu, ada si Doel, pemilik porsi terbesar, yang sunyi.

Kalau bicara, Doel bersuara dengan nada ngambang, mirip gumam. Matanya tak pernah berdiam pada objek, mengalih, lebih sering menerawang. Sinar wajahnya kusam, dengan kening yang selalu berhias kerutan. Bahkan cinta Sarah pun, dia rasakan sebagai beban.

Ia wakil dari suara yang, seakan, kehilangan gairah.

Sinetron itu memang dipenuhi “caci-maki” khas Betawi, pertengkaran segitiga Mandra-Atun-Karyo pun menjadi warna utama. Tapi makna sinema itu justru hadir dalam gelisah senyap Doel. Meminjam kosa kata pantun; pertengkaran adalah sampiran, kesunyian menjadi isi. Meski isi itu, dalam beberapa hal, terlihat anomali.

Doel, tokoh kita itu, memang tak mematok tujuan. Ia bergerak dari saat ke saat, setindak-tindak, laku dalam proses. Dia seperti laku yang diminati kaum “nihilis-aktif”, bergerak tanpa patokan, kreativitas yang lahir dalam suasana.

Tapi, di situlah anomali terjadi. Ketakterpatokan itu terasa dalam gairah yang tidak kentara, atau mungkin tak ada. Berbeda dari kaum nietzschean yang bergerak dalam gairah, menerima nasib dengan rasa cinta, “kusayangi apa yang terberi”, atau menjadi “gila”, Doel justru menepi, merenung, seakan pasti menyerah. Ia lebih seperti ketenangan air danau, yang menutupi gerak arus di bawahnya.

Doel memang tak menampik apa pun yang diberi hidup, tapi keberterimaan itu tidak dengan cinta. Ia menerima dalam keadaan yang seakan, “Apa boleh buat…” Dalam hal ini, dia lebih seperti yang dikatakan Camus dalam Mite Sisifus, “Selalu tiba saatnya kita harus memilih antara renungan dan tindakan. Begitulah hakikatnya menjadi manusia. Kepedihan-kepedihan itu mengerikan. Namun untuk hati yg memiliki kebanggaan, di situ tidak mungkin ada pilihan tengah. Ada tuhan atau waktu, salib atau pedang. Dunia ini mempunyai arti yang lebih tinggi yang melampaui segala hiruk pikuknya atau tidak ada suatu pun yang benar selain hiruk pikuk itu.”

Tapi, suara Doel, getar yang kehilangan gairah, atau ajakan Camus untuk merenung, mendapatkan arti yang melampaui kehirukpikukan itu, kini tak kita temukan lagi. Yang kita dengar saat ini dan lusa adalah “tidak ada suatu pun yang benar selain hiruk-pikuk itu.”

Fitri dan Farel contohnya. Dua tokoh utama dalam sinetron Cinta Fitri itu tak pernah sekalipun “jatuh” menjadi Doel, senyap dalam permenungan, diam yang “apa boleh buat”. Fitri dan Farel, dan juga semua tokoh dalam cerita itu, larut dalam keingaran yang tanpa ujung, untuk mendapatkan sesuatu yang mereka jadikan tujuan. Seluruh kisah bermuara menjadi perlawanan pada “nasib”, dengan mengatakan “Tidak!”

Doel mengatakan “Ya”, afirmatif, meski tidak dengan cinta, dan itu membuat dia tahu potensi dirinya di depan nasib, “Aku ingin….” Berbeda dari Farel dan semua tokoh di Cinta Fitri, yang menidakkan nasib, sehingga tak mampu melihat diri dalam relasi dengan dunia, sehingga berkata, “Kalian harus!”

Energi “Kalian harus!” itulah juga yang mendasari keseluruhan sinetron di televisi saat ini. Karena itu, meski cerita bising oleh kebencian, warna dendam, dan alur ketakmasukakalan, sinema itu tetap saja jalan. Ketakberterimaan pada “nasib” itu juga yang membuat cerita sinetron kini terasa jauh, bukan menjadi bagian dari kisah kita. Sinema itu tak mampu memupus keberjarakan seperti yang pernah dilakukan Kisah Serumpun Bambu, Rumah Masa Depan, Keluarga Cemara, atau Jendela Rumah Kita.

“Beberapa waktu lalu saya ke Bandung. Kemudian ada seorang bertanya kepada saya. ‘Bang, apakah anak-anak sekolah di Jakarta seperti di film atau sinetron, ya?’ Saya jadi sedih, kita harus punya tanggung jawab atas tontonan yang kita tampilkan,” harap Rano Karno.

Tanggung jawab itu sebenarnya sudah lama diambil alih kesepian dan permenungan, yang kini menjadi “si entah” dalam televisi kita. Yang kalau pun datang, “si entah” itu hadir tak dalam kesebandingan. Sepi itu muncul sebagai ulangan, bukan dauran. Dan di dalam ulangan, tak ada lagi proses, tak terjadi perubahan, Si Doel tak seperti Si Unyil yang bermetamorfosa. Si Doel lebih seperti Oshin yang juga tayang lagi di TVRI, hadir sebagai kenangan, untuk ingatan suatu masa, untuk ikatan sebuah massa. Massa yang bukan menjadi bagian dari penonton teve kini.

Dengan kata lain, meski yang sunyi itu tetap hadir, sebenarnya dia ditampik. Yang diterima adalah kebingaran yang telah menjadi “kebenaran”. Kebenaran, yang cuma sampiran itu,   dibobotkan ke dalam selera penonton, rating, dan iklan. Kebenaran yang seakan berkata, “Tak ada lagi tempat untuk kesepian dan renungan.”

Barangkali, tempat untuk itu masih ada, di WC kita. Sayangnya, tak pernah ada yang betah berlama di sana.

 

[Dalam versi yang lebih pendek dan berbeda, telah dimuat sebagai "Tajuk" di tabloid Cempaka, Sabtu 21 Maret 2009]

Comments

RSS feed | Trackback URI

18 Comments »

Comment by goop
2009-03-24 17:34:02

saya betah kok berlama-lama di sana…
asal bersama kepulan-kepulan asap rokok, WC yang bersih dan berbau wangi :D
bahkan, saya tidak pula mendapatkan sunyi itu, karena terlampau riuh dengan persyaratan-persyaratan, bukan? :D

Comment by Aulia A Muhammad
2009-03-24 17:38:03

wangi karbol ya, goop? jangan-jangan betah karena suka mendengarkan suara-suara dari wc sebelah, hahaha…

 
 
Comment by Edhitok
2009-03-24 23:47:00

Yang pasti saya akan lari jika mendapati potongan tubuh seperti digambarnya mas, apalagi di WC.

Comment by Aulia A Muhammad
2009-03-25 11:55:32

hhmmm….

 
 
Comment by haris
2009-03-28 15:51:49

soal Farel dan Fitri itu, benar sekali kalo tak ada kesunyian di dlm sinetron itu. tapi dua tokoh itu kegemaran ibu dan kakak perempuan saya, mas. kalo tak salah, teuku wisnu dan shiren sungkar kan jg menang panasonic award.lengkap sudah kebisingan! benar katamu: ia sudah jadi kebenaran! he2.

btw, aku lagi garap “S”, mas. jadi agak sibuk dan blm sempat nulis utk blog. ha3.

Comment by Aulia A Muhammad
2009-03-30 16:27:46

wah, soal menggarap si “S”, aku jadi merasa “berdosa”, Ris…

Maafkeun ya

 
 
Comment by ezra
2009-03-28 23:33:15

benar, mas. sangat bising. spertinya semua orang ingin berteriak lebih keras dari yg lain supaya keberadaan mereka dpt diakui.

Comment by Aulia A Muhammad
2009-03-30 16:28:08

bising, tapi suka kan? hehehe

 
 
Comment by silvian
2009-03-30 10:42:09

Aku suka gaya cerita mas aulia. Sering ada banyak pemikiran yang lewat di otakku tapi aku susah nemu gaya pengungkapan cerita dalam kemasan yang cantik. Mbok ajari aku bercerita mas…

Comment by Aulia A Muhammad
2009-03-30 16:28:33

maturnuwun…

 
 
Comment by Pertanyaan
2009-03-31 14:15:45

yah mungkin ini satu diantara banyak sinetron yang layak di tonton, satu lagi PPT(produsernya nyalon presiden malah)… semoga ada pembenahan kualitas sinetron yang amburadul

Comment by Aulia A Muhammad
2009-03-31 15:05:34

semoga. pembenahan utama pada penonton, sebenarnya.

 
 
Comment by eL
2009-04-03 09:47:22

ah.. lama nggak baca di tampet njenengan. masih, bernas dan nyaman dibaca :)

sebenarnya saya pengin membuang televisi yang ada di rumah ke laut, tapi orangorang pasti akan marah, juga tak tega pada laut kalau dia disampahi televisi..

Comment by Aulia A Muhammad
2009-04-03 12:59:51

buang ke rumahku aja El, pasti ga ada yang marah kok. (si capung pun pasti ga marah, hahaha..)

Comment by eL
2009-04-03 14:05:50

hahahaaaa….
si capung pasti nggak marah? maksudnya….??? *garukgaruk kepala

(Comments wont nest below this level)
Comment by Aulia A Muhammad
2009-04-03 14:27:14

gak ada maksud apa-apa, kok. suer. yakin. sungguh. hahahahahaha

 
 
 
 
Comment by eL
2009-04-03 16:54:49

halah. suer, yakin, dan sungguh-nya itu malah makin mengindikasikan sesuatu, mencurigakan. hehe

Comment by Aulia A Muhammad
2009-04-03 17:21:51

iya deh El, aku ngaku kalau aku cemburu, hahahahahahah (jangan bilang siapa-siapa ya, apalagi si cap.. hihhihiih)

 
 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post