Potret Lusuh Seorang Sastrawan

August 23, 2008 · Print This Article

SENJA 1943, seorang lelaki bermata merah, ceking dan lusuh, berjalan di antara gerbong-gerbong tua di Stasiun Senen. Matanya menerawang, sebelum langkahnya terhenti di gubuk reot mesum. Dihampirinya perempuan hamil penunggu gubuk itu, di rebahkannya tubuh ringkih itu di pangkuan si perempuan, matanya tetap menerawang.

Perempuan itu, Marsiti, segera membukai baju si lelaki, memijat punggungnya, dan mereka bermesraan sesaat. Kemudian lelaki itu kembali tenggelam dalam bacaannya, buku puisi Marsman, yang dia curi entah dari mana.

Lelaki itu adalah Chairil Anwar, yang jika gundah pasti mendatangi Marsiti, entah itu untuk bermesraan, mencari makan, atau memamerkan beberapa puisi baru yang telah dia ciptakan atau terjemahkan.

Chairil memang sosok yang jalang. Pelacuran, minuman keras, pencurian buku kecil-kecilan, tapi juga kekacauan perang, selalu dia masuki. Semua itu, bagi dia, adalah kebalauan yang selalu memberi inspirasi. Tak heran jika di kepala dia hanya ada satu kata; sastra. Akibatnya, secara ekonomi Chairil tak pernah mandiri.

Ketakmandirian inilah yang justru membuat Chairil punya banyak teman. “Kadang dia datang menyerahkan sebuah puisi, dan langsung meminta honorariumnya. Dia selalu yakin puisinya pasti kami muat,” kenang Kodrat, redaktur Pustaka Jaya.

Di mata Ida Rosihan Anwar, sosok Chairil selalu menyebalkan. “Ia selalu kelaparan, minta uang, dan makan di sana-sini,” kenangnya. “Tapi anehnya, dia selalu diterima semua kawan, dan jika dia tak datang, banyak yang merasa kehilangan,” tambah Ida, dalam acara “50 Tahun Wafatnya Chairil Anwar” di Taman Ismail Marzuki, 1999 lalu.

“Jika tiga hari dia tidak datang, kami semua kehilangan. Tapi jika dia datang, jatah makan kami pun berkurang. Dia sosok yang menjemukan, sekaligus dirindukan. Bicara dengannya, saya selalu merasa kecil,” kenang Sobron Aidit, dalam situs pribadinya.

Keusilan Chairil memang banyak menebar kenangan. Chairil pernah meminta puisi Sobron untuk dimuat, dan saat dimuat, honornya tak pernah dia terima. “Waktu saya tanya, dengan senyum Chairil bilang, ‘Soto yang kau makan lahap kemarin itulah honormu’. Saya selalu ingat gaya tenangnya jika ketahuan menipu,” tambah Sobron.

Berpihak pada Ibu

Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Orang tuanya bercerai, dan ayahnya kawin lagi. Setelah perceraian itu, saat usai SMA, Chairil ikut ibunya ke Jakarta.

Masa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Kedekatan ini begitu berkesan bagi Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda keberpihakan akan nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acap kehilangan sosoknya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada sang ibu.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal liat. Jassin punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dia dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu karena kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil menikah.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Karena kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah mengajukan cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusastraan Indonesia. Dia bahkan menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersetengah-setengah di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

Comments

RSS feed | Trackback URI

6 Comments »

Comment by Muhajir Arrosyid
2008-08-29 11:29:14

“Dia sosok yang menjemukan, sekaligus dirindukan.”Kalau tulisan Mas Aulia menjengkelkan tapi dirindukan. Tapi tulisan yang akhir-akhir ini lebih mantap. reflektif dan tidak lagi menjengkelkan.

Comment by Aulia A Muhammad
2008-08-29 11:54:55

maaf jika membuatmu jengkel. bagiku, menulis bukan untuk menyenangkan orang lain, melainkan diri sendiri.

Comment by enno
2008-10-10 18:13:19

sama. saya juga lebih sering menulis untuk menyenangkan diri sendiri. apakah itu egois mas? :)

(Comments wont nest below this level)
Comment by Aulia A Muhammad
2008-10-10 18:47:08

iya, egois. tapi tidak berdosa dan baik, hihihi… karena kalau engkau dapat menyenangkan dirimulah baru bisa membagi kesenangan itu untuk orang lain

 
 
 
 
Comment by Arief
2008-10-29 15:03:41

kok bisa ya, menjengkelkan tapi dirindukan. Di kampung saya ada preman yang menjengkelkan, tapi tidak ada yang merindukannya. warga malah berharap dia lekas mati tuh mas. mungkin kalau preman itu bisa bikin puisi, dia juga bisa dirindukan ya mas? hehehehehe

Comment by Aulia A Muhammad
2008-10-29 15:36:47

ya, pasti kamu yang merindukannya…

 
 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post