Kisah Nyata Selebriti di Televisi

June 7, 2006 · Print This Article

Di televisi, kebenaran sudah tak lagi punya banyak sisi.


“Plak!” tamparan keras mendera pipi Maya. Dia pun menangis, di depan Joni, suaminya, yang tampak masih dikuasai amarah. Joni seperti tak menyesal. Bagi dia, mencintai Maya adalah sebuah penghakan atas istrinya. Sehingga marah, tampar dan siksa, bagian integral dari cinta.

Barangkali, itulah “pesan” yang ingin ditonjolkan sinetron “Selebriti Juga Manusia” yang tayang di TransTV Minggu 4 Juni lalu. Cut Memey yang memerankan Maya, dan Toro Margens yang menjadi Joni bermain tak beda seperti dalam sinetron lain. Padahal, seperti pengakuan Memey dan pihak Indika selaku produser, sinetron itu berangkat dari kisah nyata. “Saya memerankan diri sendiri,” aku Memey. Tapi entah mengapa, di sinetron yang juga menghadirkan Elsa Syarif itu, dia menjadi Maya, dan suaminya bernama Joni. Jackson –nama mantan suami asli Memey, tak pernah disebut, meski, seluruh lanskap cerita dan karakter memang meneguhkan bahwa Joni adalah personifikasi diri Jackson.

Sinetron yang gencar diiklankan TransTV ini memang berusaha menampilkan kisah nyata para selebriti. Setelah Memey akan tampil Angel Lelga, Sandy Harun, Ria Irawan, Gito Rolis, dan Hengky Tornado. Semua berkisah tentang kepahitan. Angel berkisah tentang Rhoma, Sandy tentang Tommy Soeharto, Ria pun akan membeberkan kegagalan perkawinannya dengan Yuma. Semua kisah dari sudut mereka. “Biar orang lain dapat belajar dari pengalaman saya,” katanya. Seperti Memey, Ria pun mengakui, bukan hal yang mudah untuk mengisahkan pengalaman pribadi itu. “Banyak pertimbangan untuk melakukan ini. Saya harus mengingat hal-hal yang menyakitkan. Tidak mudah menceritakan hal seperti ini untuk konsumsi publik,” tutur Ria. Kalaupun dia tetap ingin membagi, itu karena dia merasa akan mendapatkan obatnya. “Honornya bisa dipakai untuk refreshing, sambil mengobati rasa sakit hati,” ujarnya, seperti dikutip detik.com.

Kisah nyata?

Klaim kisah nyata dalam sinetron itu memang tak dapat dibantah. Di seri pertama itu memang tampak jelas, Memey memerankan dirinya meski memakai nama Maya. Cerita yang bergulir pun nyaris sebangun dengan berita yang selama ini dikatakan Memey sewaktu berkasus dengan Jackson. Pernik di sana-sini saja yang membuat kisah itu menjadi lebih berwarna. Memey sendiri di dalam Kasak-Kusuk (1/6) mengakui semua yang dia ceritan itu benar. “Aku berusaha untuk selalu jujur. Itulah yang sesungguhnya terjadi. Karena, kan yang paling sulit itu adalah berbohong pada diri sendiri,” ucapnya.

Memey jujur? Nanti dulu. Jackson yang juga dimintai komentar di “Kasak-Kusuk” menyanggah. “Kebenaran seperti apa? Itu kan versi dia, ya? Tapi apa memang begitu?” katanya, keras. Jackson sangat menyayangkan sekali jika kisah dia dan memey sampai menjadi konsumsi publik. Apalagi, sinetron itu dibuat selagi dia dan Memey masih beperkara di peradilan menyangkut kepemilikan mobil. “Ini akan membuat suasana jadi runyam. Akan membuat kesepakatan-kesepakatan akan runyam,” katanya.

Jackson benar, sinetron itu memang kisah nyata versi Memey. Artinya, jika pun benar, baru sebatas versi Memey, kebenaran dari satu sisi. Sisi lain, yakni Jackson, pasti punya cerita yang berbeda. Apalagi, di sinetron itu, soal perdukunan –yang dalam konflik mereka sangat mengemuka– tak mendapat porsi. Dengan kata lain, suara Jackson tak beroleh tempat, dipinggirkan. Sengaja dihilangkan.

Itu yang barangkali harus dijawab pihak Indika selaku produser, mengapa klaim kisah nyata itu hanya bersumber dari satu versi? Tidakkah Indika menyadari, meniadakan “versi” Jackson merupakan sebuah ketidakadilan, menyakiti Jackson, dan menzalimi penonton. Indika dan juga TransTV yang menyiarkan sinetron itu, dalam hal ini melakukan perbuatan yang nyaris sama dengan rezim orde baru, ketika memaksakan distribusi “sejarah” dalam satu versi. Dan karena tak ada pembanding lain –entah kalau kelak Indika membuat versi Jackson– penonton pun menerima versi Memey sebagai sesuatu yang sungguh terjadi.

Ruang pembela

Keberpihakan rumah produksi dan televisi kepada selebriti memang bukan hal baru. Untuk kasus Memey apalagi. Kita ingat, ketika kasus ini pertama mencuat, yang muncul adalah klaim dari pihak Jackson melalui istrinya, Suryahati bahwa Memey adalah istri simpanan, dan hidupnya dibiayai Jackson. Suryahati memaparkan banyak bukti, dari pengakuan rekan Memey, Jackson, sampai diungkapkan soal pencurian celana dalam dan perdukunan yang dilakukan Memey. Nyaris dua minggu Memey menjadi “cemar”, karena dia tak berani berkomentar. Tapi kemudian infotainmen mem-blow-up kesakitan yang dialami Memey. Soal kebohongan Jackson yang mengaku telah bercerai, pernikahan sembunyi mereka, sampai sukanya Jackson main pukul untuk menyelesaikan masalah.

Sampai di situ, infotainmen berjalan di jalur yang benar. Meski kemudian Memey dengan status selebritisnya lebih sering tampil dan memberikan pernyataan, –terakhir di acara “Om Farhan” di Antv (6/6), dengan pembelaan Farhan, “Masa Memey dengan tubuh begini masih perlu main dukun?!– setidaknya televisi telah memberi ruang bagi penonton untuk melihat kisah itu dari banyak sisi, Memey, Jackson, dan ujaran para saksi. Televisi, dalam hal ini, menjadi “jaksa” yang memaparkan bukti-bukti dan menghadirkan saksi. Dan penonton didudukkan sebagai “hakim” yang dengan seluruh data-data itu, dapat menentukan siapa yang benar dan salah. Televisi memberi ruang yang luas dan cukup “demokratis” bagi penonton untuk bernegosiasi, melakukan pengecekan, konfrontasi data, sebelum menyimpulkan siapa yang benar. Untuk kasus itu, penonton lumayan mendapat kemerdekaan.

Nah, lalu diproduksilah sinetron di atas. Memey mendapat pembela. Tak ada lagi versi Jakcson. Televisi yang semula jaksa, kini berubah menjadi hakim, dan memutuskan versi Memey-lah yang paling benar dan layak didistribusikan. Kebenaran yang selalu punya banyak sisi, kini dikerdilkan, ditunggalkan, dimakzulkan. Penonton pun dipaksa untuk menerima hal itu sebagai “kebenaran”. Suara Jackson diraibkan.

“Yang paling sulit adalah berbohong pada diri sendiri,” kata Memey. Dan kita tahu, sinetron adalah tayangan untuk publik, dialog Memey kepada khalayak, bukan kepada dirinya sendiri. Jadi…, ah tahulah kita jawabnya.

[Artikel ini telah dimuat di Tablod Cempaka, Kamis 8 Juni 2006]

Comments

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post