Anak Raja Berjiwa Tentara
March 23, 2009
SEUSAI sidang Dewan Siasat Militer yang dihadiri Soedirman, Gatot Subroto, dan Sungkono, di tahun 1948, Bung Karno memanggil Djatikusomo. Di ruangannya, wajah Bung Karno tampak keruh.
“Lain kali, kalau rapat dewan Siasat Militer, jangan ajak Gatot Subroto,” perintah Bung Karno.
“Kenapa?” tanya Djatikusumo.
“Aku ndak mengerti jalan pikirannya.”
Djatikusumo tersenyum.
Dalam jajaran petinggi militer saat itu, Djatikusumo memang punya posisi penting. Dia acap diminta menghadiri rapat-rapat penting oleh Jenderal Soedirman. Alasan Soedirman sepele: hanya dengan mengikutsertakan Djatikusumo, dia dan beberapa jenderal lain dapat memahami pikiran Bung Karno, Syahrir, Hatta, dan anggota kabinet lain.
“Saya akui, Bung Karno, Hatta, dan Syahrir itu memang orang hebat. Pikiran-pikirannya cemerlang. Para jenderal semacam Soedirman yang hanya guru, Gatot Subroto dan Sungkono yang hanya tamat sekolah dasar, sering sulit memahami pikiran mereka. Saya jembatan bagi mereka untuk memahami jalan pikiran tokoh-tokoh hebat itu,” aku Djatikusumo, sebagaimana dikutip Tempo.
Dalam rapat Dewan Siasat Militer itu juga, para petinggi negara yakin, Belanda akan menyerang Indonesia. Bung Karno menghendaki, militer membentuk wadah angkatan. Dan karena dianggap sebagai tokoh yang paling tepat, Bung Karno menunjuk Djatikusumo menjadi Kepala Staf Angkaran Darat RI, untuk pertama kali (1 Maret 1948-1 Mei 1950).
Perang adalah Guru Terbaik
Djatikusumo lahir 1 Juli 1917, atau tepat hari ke-11 Ramadan, di kedaton Surakarta. Ayahnya adalah Susuhunan Paku Buwono X. Ibunya bernama Kirono Rukmi, garwa ampeyan Sri Susuhunan, bukan permaisuri. Karena itu, berdasarkan asal ibunya yang dari desa Kajoran, di selatan Klaten, Djatikusumo lebih merasa sebagai orang desa.
“Lingkungan kraton dan desa, kelak membentuk watak saya menjadi bangsawan sekaligus rakyat,” akunya, di Mei 1991.
Sejak kecil, ayahnya sudah menanamkan jiwa nasionalis, dengan menceritakan penjarahan Belanda. Tapi, dengan alasan untuk lebih memahami watak Belanda, biar lebih mudah mengalahkannya, Subandono –nama kecil Djatikusumo– justru disekolahkan di Eurepesche Lagere School di Solo, 1924.
Selepas ELS 1931, Djatikusumo dikirim ke HBS di Bandung, dan dititipkan pada keluarga Belanda. Ia “menumpang” selama 8 tahun.
“Kelak, pemahaman saya pada watak, tingkah laku dan pola pikir Belanda, amat mendukung karier Militer dan perjuangan saya saat menghadapi Belanda.”
Karena tak ingin mengangkat sumpah setia pada Sri Ratu dan Konstitusi Belanda, Djatikusumo menolak masuk Akademi Militer Breda di Belanda. Dia malah memilih Institut Technologie Delf di Nederland, 1936.
Tahun 1940, saat pecah Perang Dunia II, dia pulang, dan melanjutkan studi ke ITB.
1941, karena percaya pada Jangka Jayabaya, Djati memutuskan masuk milisi Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) di Bandung. Pangkat kopral ia sandang.
Ternyata ramalan Jayabaya benar, Jepang masuk, Belanda kalah. Dan karier militer Djatikusumo dimulai. Dia masuk PETA. 8 bulan di PETA, tugas berat datang, bernegosiasi dan meminta Jepang menyerah, di Semarang.
“Saat berunding, pikiran saya hanya satu, bagaimana bisa keluar dari markas Jepang dengan selamat,” akunya pada Tempo.
Karena prestasinya, Jenderal Oerip Soemahardjo memintanya menjadi kepala divisi di Salatiga. 1946, ia menjadi Kepala Divisi Ronggolawe untuk wilayah Pati, Bojonegoro dan Muncung. Tapi, selama masa ini, hutan jadi wilayah Mantingan justru tempat yang paling berkesan bagi Djati. Di tengah hutan jati itu, dalam suasana perang, ia menikahi Raden Ayu Suharsi, wanita yang kelak memberinya tiga anak.
Agresi Belanda yang pertama pecah. Djatikusumo diminta menguasai Gresik-Lamongan. Tapi, para prajurit yang ia pimpin justru kecut, dan hampir mogok perang. Djatikusumo meradang.
“Mencari musuh itu malah susah. Sekarang, ketika musuh ada di depan mata, kalian malah kecut. Gugur dalam perang adalah hal yang biasa. Guru terbaik bagi prajurit adalah perang itu sendiri. Maju!”
Karena prestasinya, Soedirman menariknya ke Yogya. Dan di sinilah, Djatikusumo mulai berkenalan dengan petinggi negara, Hatta dan Soekarno, sampai ia diminta menjadi KSAD.
Tahun 1950, saat RI menjadi RIS, Djatikusumo adalah saksi hidup kekacauan sistem pemerintahan itu. Sistem federal ternyata tak jalan, dan Bung Karno lebih berkuasa daripada perdana menteri. Bahkan, banyak politisi yang tak tahu harus melakukan apa, termasuk membentuk kabinet. Pada saat itulah, Bung Karno mengeluarkan Surat Keputusan: “Presiden Republik Indonesia Sukarno, dengan ini menunjuk warga negara Indonesia Sukarno untuk membentuk kabinet.”
Atas kekacauan konstitusi itulah, Djatikusumo berinisiatif mengumpulkan para petinggi militer, dan mengusulkan kemungkinan Indonesia kembali memakai UUD 1945.
Kekacauan inilah yang membuat meriam dan tank akhirnya mengarah ke Istana, dan TNI mendesak Bung Karno untuk kembali ke UUD 1945. Tapi, para politisi menolak. Akhirnya, Bung karno mengambil tindakan, memecat AH Nasution dan Gatot Subroto sebagai KSAD dan wakil KSAD, dan melemparkan Jenderal Mokoginta, perancang utama Peristiwa 17 Oktober 1950 itu, ke Amerika, bersekolah ke Port Levenberg.
Djatikusumo sendiri terkena imbasnya, dan dicopot dari jabatannnya sebagai Kepala Biro Perancang Operasi TNI, dan ditugaskan sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat. Ia kemudian dipindah lagi menjadi Direktur Zeni AD, dan ikut aktif menyelesaikan masalah pemberontakan PRRI/Permesta. Sebagai Direktur Zeni inilah, Djati kembali memiliki pasukan, yang salah seorang diantaranya Try Sutrisno, yang sepanjang pengamatannya, tak punya kapasitas istimewa.
Djati kemudian menjadi Dubes di Malaysia. Sayang, hanya 100 hari ia di sana. Konfrontasi Indonesia-Malaysia, membuat karier politiknya nyaris tamat. Terakhir, ia menjadi Dubes Luar Biasa untuk Maroko. Dan di saat jauh dari pusat kekuasaan inilah, dia tak menyaksikan, kejatuhan Bung Karno, orang yang amat ia kagumi.
Semasa Soeharto, ia diangkat menjadi anggota DPA, juga merangkap anggota Tim-BP7. Di masa tua, ia pun mulai berbisnis, merambah bidang yang luas, dari telekomunikasi, perkayuan, sampai konstruktor.
“Ini karena pensiun saya sebagai jenderal, tak cukup untuk hidup,” katanya, sambil menjelaskan uang pensiunnya yang hanya Rp 300 ribu perbulan, di tahun 1991.
Sabtu, 5 Juli 1992, saksi sejarah, dan KSAD RI pertama ini meninggal dunia, di tengah 5 orang cucunya.
Selalu Dibuang Tangan Kekuasaan
March 9, 2009
PERISTIWA 17 Oktober 1952, tentang serangkaian aksi angkatan darat yang mengarahkan meriam ke Istana, sampai saat ini masih menjadi misteri. Tapi satu yang nyata dari peristiwa itu adalah tersiarnya isu kudeta oleh Kolonel Abdul Haris Nasution, yang membuat ia dipecat sebagai Kasad, dan dimahkamahmiliterkan. Padahal, Nasution hanya korban dari intrik “sandiwara” politik itu.
“Saya kemudian dipecat, November 1952, semasa kabinet Wilopo. Secara institusional, sayalah yang bertanggung jawab atas peristiwa itu,” akunya pada Tempo, 12 tahun sebelum kematiannya.
Sebelum peristiwa itu, sebelumnya Angkatan darat telah mengirim petisi kepada Presiden untuk membubarkan parlemen, yang kekuasaannya amat besar, sehingga turut campur dalam urusan internal kemiliteran. Petisi itu disusun di kamar kerja Nasution, dan karena semua kepala divisi menandatangani, Nasution pun ikut.
Kemudian, “sandiwara” 17 Oktober pun dimulai.
Malam sebelum tanggal itu, Nasution mengirim Kolonel Mustopo kepada presiden Sukarno. Dia melaporkan bahwa pada esok harinya, akan ada demonstasi Angkatan Darat ke Istana, dengan tujuan presurre, memakai tank, panser, supaya presiden mau membubarkan parlemen. Ini hanya semacam “permainan” politik. Karena itu, pengiriman Moestopo diharapkan Nasution supaya Presiden tak kaget. Hasil pertemuan dengan Presiden pun kemudian dilaporkan Moestopo pada Nasution.
Tapi sandiwara itu tak sepenuhnya berhasil.
Tanpa perintah Nasution, pasukan mengarahkan meriam ke Istana. Nasution kaget. Tapi, ketika dia tahu kepala pasukan Jakarta adalah Kemal Idris, yang tak menyukai Sukarno, dia bisa mengerti.
Nasution kemudian menghadap Sukarno, yang telah didampingi Hatta, Sri Sultan, dan Wilopo, serta TB Simatupang. Presiden tampak santai, bahkan acap tersenyum, meskipun Simbolon, terutama Kawilarang, memberikan pernyataan yang keras atas “politik” yang dimainkan parlemen.
Dan Bung Karno tetap tak mau membubarkan parlemen, atas nama Undang-Undang Dasar.
“Sandiwara” ini baru meminta korban beberapa hari kemudian, saat Kolonel Zulkifli Lubis, Kepala Biro Informasi Angkatan Perang di Hankam, membuat laporan, “Waktu menghadap Presiden, Kasad Nasution menuntut supaya negara dinyatakan dalam keadaan bahaya.” Laporan itu kemudian melanjutkan, Presiden menjawab, “Baiklah, kalau saya yang memegang kekuasaan, saya akan pecat kamu.”
Padahal, dalam pertemuan itu, Zulkifli tidak hadir. Nasution menduga, laporan itu bagian dari permainan Bung Karno. Laporan itu dikirim ke daerah-daerah, dan militer bersepakat, Nasution berencana kudeta! Mahkamah militer pun digelar.
Nasution pun dipecat, dan posisinya sebagai Kasad diserahkan pada Mayor Jenderal Bambang Sugeng.
Guru yang menjadi Prajurit
Sewaktu kecil, kakek Nasution mengharapkan dia menjadi seorang pendekar silat, meneruskan jejaknya. Tapi, Ayahnya, justru selalu mengharapkannya jadi kiai. Dari ibunya, dia selalu diobsesikan menjadi dokter. Nasution bingung, apalagi ketiga orang yang amat dia sayangi itu, selalu bersikeras dengan keinginannya. Nasution sendiri, lebih bersetuju dengan keinginan ibunya.
Umur 7 tahun, Nasution masuk HIS, dan sorenya, harus masuk maktab, semacam pesantren, belajar agama. Guru yang amat keras di pesantren itu adalah ayah Nasution sendiri.
Kampung Nasution, Kotanopan, Tapanuli, Sumatera Timur, adalah basis pergerakan Syarikat Islam. Ayahnya, terutama pamannya, Syeikh Musthafa, adalah pendiri Pesantren Purba, pesantren tertua di Sumatera Timur, yang saat itu menjadi basis pergerakan melawan Belanda. Lingkup pergaulan inilah yang membuat Nasution kental dengan semangat nasionalisme.
Tapi, yang mempengaruhi jiwa Nasution adalah Kemal Attaturk. Saat itu, di Kotanopan, pemimpin Turki ini menjadi semacam ikon perlawanan.
Selepas HIS, dia masuk sekolah guru. “Posisi menjadi guru saat itu amat dihormati. Kelak, saat gerilya semasa Agresi Belanda di Jawa, saya juga tahu, posisi guru pun sangat dihormati,” kenangnya.
Sekolah guru saat itu hanya ada di Bukittinggi. Dan di sanalah Nasution sekolah, sekaligus “berkenalan” dengan Bung Karno, melalui serangkuman pujian dari tokoh pergerakan saat itu.
“Bung Karno amat dipuja di Bukittinggi, foto-fotonya dicetak dengan posisi sedang berpikir keras, dengan pena yang selalu terselip di saku bajunya,” jelasnya.
Tiga tahun di Bukittinggi, dia melanjutkan ke Bandung. Lulus, dia melamar jadi guru partekelir di Muara Dua, Bengkulu, yang membuatnya secara fisik berkenalan dengan Bung Karno, yang sedang diasingkan.
1938, Nasution diterima sekolah cadangan perwira di Bandung. Teman seangkatannya adalah Kawilarang dan Simatupang, yang juga lulus dengan prestasi tertinggi, dan diperbolehkan masuk Akademi Militer di Bandung.
11 November 1945, setelah pertempuran Surabaya, seluruh perwira militer dikumpulkan di Yogyakarta oleh Kepala staf Umum TKR. Pada saat itu disetujui untuk mengangkat panglima besar. Ada beberapa calon, yang paling populer adalah Urip Soemahardjo dan Kolonel Soedirman. Akhirnya, Kolonel Soedirman terpilih, dan tentara pecah dua, karena Urip tak menerima kekalahannya.
Pulang dari Yogya, Nasution menjadi Panglima Divisi III TKR seluruh Priangan ditambah Sukabumi dan Cianjur.
Maret 1946, karena belum memiliki pertahanan yang baik untuk melawan sekutu, laskar dan tentara di Bandung tak sudi menyerahkan Bandung, dan memilih membakar, menjadikan “Bandung Lautan Api”.
“Saya selalu terharu mengenang peristiwa itu. Lasjkar membakari sendiri barak-baraknya, rakyat membakari rumah-rumahnya, semua ikhlas, daripada jatuh ke tangan sekutu,” ucapnya dengan nada pelan.
Mei 1946, Nasution diangkat jadi Panglima Divisi I, wilayah Bandung.
Januari 1948, dalam rangka melawan Agresi Belanda, Nasution Hijrah ke Jawa Tengah. Februari ia diangkat jadi Wakil Panglima Besar Soedirman, yang saat itu mulai sakit-sakitan. Di sinilah ia menerapkan konsep membuat kantung-kantung gerilya, yang menjadi acuan semua panglima divisi, atas perintah Soedirman.
Setelah itu karier Nasution melonjak terus, sampai ia menduduki posisi Kasad saat peristiwa 17 Oktober itu terjadi.
Setelah pemberontakan PKI gagal, Supersemar keluar, dan Suharto berkuasa, status kemiliteran Nasution dipulihkan. Ia kemudian masuk wilayah politik, menjadi Ketua MPRS yang mencabut mandat Bung Karno, dan mengangkat Suharto sebagai Pejabat Presiden.
Tapi, kelak, ia juga yang menjadi “musuh” utama Suharto dengan menjadi anggota Petisi 50, dan “kebebasannya” pun dirampas. Sejarah kemudian mencatat, dalam hidupnya, Nasution memang tak pernah duduk mesra dengan pemegang kekuasaan, sampai Yang Maha Hidup memanggilnya, Mei 2001.
Recent Comments