Melawan Normalitas Kebangsawanan

May 10, 2011

Dari abad kedelapan belas, dunia mencatat kisah gemilang dari tanah Britania lewat mata Daniel Defoe melalui novel Robinson Cruse, Samuel Richardson, dan Henry Fielding. Karya mereka indah, menakjubkan, penuh dengan petualangan dan imaji yang menggeletarkan.

Namun, ada kritik yang cukup tajam atas “imajinasi” mereka, yakni selalu mendasarkan cerita pada harapan “orang kebanyakan”, mimpi dan petualangan penjajah ke daerah lain, realitas yang telah dijinakkan. Mereka, para pengarang abad itu, terselamatkan dari kritik yang tajam itu hanya karena seorang Jane Austen, yang berdiri di luar pagar arus utama saat itu, mencoba memaparkan sebuah cerita yang dekat-dekat saja dengan pengalamannya, bukan mimpi atau semangat penaklukan, bukan heroisme, bahkan lebih semacam igau kepedihan, namun menyentuh, dan dekat, teramat dekat dengan kenyataan.

Pada sosok Jane Austen-lah para kritikus menemukan semangat modern, naluri untuk mengkritisi semangat zaman, bukan semacam penganggukan atau pemberhalaan pada budaya yang melingkupinya. Melalui enam novelnya, Sense and Sensibility, Pride and Prejudice, Mansfield Park, Emma, Northanger Abbey dan Persuasion, ia mencoba meletakkan diri sebagai kaca pembesar yang menampilkan renik-renik ekses konflik masyarakat kelas menengah saat itu, lengkap dengan kisah lucu dan tragis.

Selalu mengambil setting kehidupan masyarakat bangsawan, novel komedi-tragedi yang ia tulis didominasi kisah pencarian jatidiri seorang gadis muda, yang untuk zaman itu pun, sudah tak lazim, mendudukkan posisi seorang wanita dalam sebuah konflik masyarakat, tertekan dan melawan, menggugat dan terkalahkan, dalam gerak masyarakat yang amat mengokohi tradisi dan kehormatan status.

Juru Cerita Tragedi Wanita

Jane Austen (1775-1817) menulis di usia yang sangat muda, 12 tahun, ketika mendapat dorongan dari ayahnya yang seorang agamawan dan guru yang berpikiran progresif, untuk mendalami kesusasteraan. Maka, dunia kanaknya pun dipenuhi pengembaraan dalam imajinasi liar, pejal dan luas dari pengarang dunia, tenggelam dalam puisi, naskah drama, novelet dan prosa, dan mencoba mengungkapkan ketidakpuasan atas pembacaan itu dalam bentuk cerita.

Di usia 18 tahun, sekitar 1793, manuskrip dari serpihan cerita-ceritanya dikumpulkan menjadi tiga bundel, dan menunjukkan satu kesan yang sangat jelas, Jane muda amat terpesona pada parodi yang begitu dominan menguasai cerita-cerita romatik kala itu. Namun, parodi ini tak terlalu lama memesonanya.

Setahun kemudian, ia mulai tertarik dengan tragedi, terutama yang menyangkut ketertekanan wanita. Ia lalu menulis keputusasaan seorang wanita dalam kukungan tradisi. Karena masih sulit mencari bentuk ungkap, Jane masih menulis novelet itu dalam bentuk surat kepada sahabatnya Lady Susan. Cara ini ia anggap sebuah teknik yang lebih menggampangkannya mengungkapkan pikiran dan gagasan tanpa takut terjadi reduksi yang parah. Sayang, baru setengah abad setelah kematiannya novelet-surat ini diterbitkan.

Namun, kemudian Jane mengambil garis tegas, mulai gemar menampilkan perempuan yang pada masa itu danggap sangat maskulin dan menentang arus, sebagai tokoh yang mengambil peran penyampai gagasannya.

Sikap kontroversial itu juga ditunjukkan Jane dalam kehidupan pribadinya. Di usia 23 tahun, ia mengikuti kehendak orang tuanya untuk menikah dengan Harris Bigg-Whither, bangsawan kaya dari Hampshire. Namun, sehari sebelum “ijab-kabul”, Jane membatalkan pernikahan itu, sebuah tindakan yang amat berani. Sikap ini ia tempuh karena “tak bisa mengkhianati perasaan cintanya pada kekasih pertama”. Sebelumnya, Jane memang pernah berpacaran, namun tak langgeng karena kekasihnya itu mati muda. Jane merasa harus tetap mempertahankan kesucian cinta mereka, dengan tak akan menikah untuk seumur hidupnya. Pilihan yang juga teramat berani saat itu. Banyak yang melihat, riwayat cinta yang pedih –juga agung– ini yang menjadi dasar watak tokoh perempuan dalam setiap novelnya.

Novel pertamanya, Sense and Sensibility yang ia tulis sebagai surat antara dua tokoh wanita Elinor dan Marrianne –yang menjadi nama lain novel ini– terbit pada tahun 1795. Namun pasar belum bereaksi. Dua tahun kemudian, ia juga menyelesaikan versi pertama dari novel populernya, Pride and Prejudice, yang saat itu lebih dikenal dengan judul First Impression. Namun, tak ada juga penerbit yang tertarik. Sang ayah yang sangat mendukung profesi anaknya, menyurati penerbit-penerbit di London, dan tak ada jawaban. Gagal! Tapi Jane tak berhanti menulis.

Jane tak putus asa. Lima tahun kemudian, cahaya itu datang. Seorang agen penerbitan Richard Crosby membeli novelnya, Susan –kini dikenal sebagai Northanger Abbey– seharga sepuluh Pound, namun tetap saja karya itu tak juga diterbitkan.

Baru sewindu kemudian karyanya muncul di pasar, tepatnya di tahun 1811, dan ia menyiasati dengan tak mencantumkan nama aslinya sebagai penulis. Setelah mendapatkan ulasan yang positif, ia berani memakai nama asli, dan memang meraih popularitas yang hebat, membanjiri pasar, menjalani cetak ulang, bahkan menjadi incaran penerbit hingga sampai ke luar Inggris. Bahkan Pangeran Regent –kelak menjadi Raja George IV– dikenal sebagai penggemar berat Austen.

Saat sedang di puncak popularitas, ia mulai sakit-sakitan. Para dokter mendiagnosa ada yang salah dengan empedunya. Kelak, ternyata pengarang ini terkena penyakit Adisson, yang saat itu belum dikenali. Namun, meski sakit, ia tetap menulis novel terakhinya, Sandition, sampai rumah sakit tak dapat lagi ia tinggalkan. Sebulan di rawat intensif, dokter bedah yang selalu memantaunya tak dapat melawan maut yang telah sabar menjemput, dan ia rubuh. Jane dimakamkan di Katedral Winchester. Novelnya yang setengah jadi itu tetap diterbitkan, dan dijadikan simbol sebuah semangat penciptaan, sebuah kecintaan pada kerja.

Komposisi Kau dan Aku

July 28, 2009

kubiarkan cahaya bintang memilikimu
kubiarkan angin yang pucat
dan tak habis-habisnya gelisah
tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
entah kapan kau bisa kutangkap

[nokturno - sapardi djoko damono]

/1/

sore yang berbeda. kau datang ke pikiranku lewat puisi-puisi sapardi, yang dinyanyikan dua-ibu: tatyana dan reda. hujan di luar. dingin. dan lagu “hujan bulan juni” –kenapa tidak gerimis saja– memberi aksentuasi nyeri pada ujung juli ini, dengan “dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu“. akankah jejakku terhapuskan juga dari halaman hatimu?

/2/

kukenang percakapan kita. di riuh ruang maya, sms panjang, jauh tengah malam. ada yang tiba-tiba tanggal, ingatanku tentang peta yang kita pegang.

“kenapa kita bertemu di separuh jalan?”

kau diam.

kutemani kau melangkah, dalam tawa-tangis, berharap ujung jalan ini tak ada. kita mencoba tak mengingatnya ada. tapi, sungguhkan pikiran bisa dibersihkan dari kenyataan? dan mata dari kepedihan? atau begini barangkali memang hidup harus dijalani. “…dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya.”

/3/

barangkali, nasib kita berjalan dalam komposisi sapardi. bukankah pernah kukatakan padamu tentang hatiku yang selembar daun? kau tertawa waktu itu. kini kita tahu, memapasmu di separuh jalan, adalah menikmati kebersaatan yang menjadi abadi. ahh-, jadi ingin kuberikan lagi pada telingamu lagu ini:

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput.
nanti dulu, biarkan aku sejenak
berbaring di sini:
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput.
sesaat adalah abadi, sebelum kausapu
tamanmu setiap pagi
“.

aku akan mencari abadi itu, dalam sesaat. setiap pagi, siang, senja dan malam, seperti yang telah kita lakukan selama ini. jadi, tolong buang sapumu…
/4/

kau mungkin tak akan kudapat.

ya. tak akan kudapat.

aku hanya mengantarmu, sampai ke ujung itu. tapi, aku akan merebutmu, meski “entah kapan kau bisa kutangkap“. yang penting, aku telah melakukannya, dan itu bukan sesuatu yang sia-sia. karena aku tahu, “…cinta kita mabuk berjalan, di antara jerit bunga-bunga rekah“.

Biografi Chairil Merindui Jassin

October 15, 2008

neruda love poem by chester elmore

Galuh yang baik,

Dalam genggaman budaya, identitas dan estetika yang kian catur-marut, ketika kata-kata telah kehilangan daya pesonanya, seberapa besarkah arti Chairil bagi kita. Di sini, kini dan esok, dalam problema kehidupan yang kian menjadi mistis untuk diselesaikan, masihkah penting bagi kita untuk membicarakan Chairil, mengutak-atik seutas puisi? Masihkah kita menganggap puisi punya arti dalam kehidupan terpribadi kita?

Aku ragu.

Dalam bilikku yang apak dan temaram ini, kuingat sebuah puisi Ook Nugroho,

Seorang lelaki yang sedang kesepian
bersikeras memcoba menulis sebaris sajak.
Hasilnya adalah tanpa judul samasekali.
Dan kekosongan di antara kata-kata yang
dipilihnya itu tak bisa diisi apa pun
agaknya. Mungkin engkau sendiri yang harus
masuk, melambai atau sekadar sapaan “hallo!”
sudah akan cukup melengkapi sebelum sunyi
menutupnya dengan semacam erangan yang
tak teramat jelas benar maknanya

(”Sajak 1″ dalam Kalam 3/1995)

Puisi itu, dengan sangat jenial justru menunjukkan kehendak sebuah puisi. Di situ ada sebersit ngilu sunyi, mungkin dengan sepercik nada getir, tapi bukan kesedihan. Dengan ringan, puisi itu mengajak kita masuk, sesaat, mungkin melambai, menguluk salam, “hai, hallo!”, sebelum kembali ke sunyi.

Sunyi itulah Galuh, yang menjadi nada puisi. Ia mengajak kita mendengarkan, sesekali melengkapi, dengan sesuati yang mungkin tak berarti; tapi ada. Namun, bisakah kita melengkapi kekosongan yang ditawarkan sebuah puisi?

Aku tak tahu benar jawabnya.

Aku hanya sedikit meyakini, kekosongan yang disediakan seutas puisi, Bukan maksudku mau berbagi nasib. Sebab, nasib adalah kesunyian masing-masing. Kupilih kau dari yang banyak. Tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring. Karena puisi bukan hanya sebatas kata, melainkan juga nada, suasana, atau –meminjam ungkapan yang paling sering diucapkan GM– semacam enigma, yang merajuk, sekaligus membujuk kita untuk membuka diri, dengan tertawa, beria, bahkan berlupa.

*****


Galuh yang baik,

Masa lalu memang tak mudah pergi meskipun kita seperti tak ingin menengoknya. Tapi, jika masa lalu tak mudah pergi, dari bahagian manakah dari Chairil yang akan datang kepada kita, kini? Dari wilayah makannya yang kusam, mitos apa yang akan kita teruskan?

Kebohemiannyakah? Atau kejujurannya dalam mengungkap sang hidup?

Kadang aku berpikir, apalagi yang bisa kita harap dari Chairil. Dia, dalam semesta keliarannya, toh sudah didudukkan sebagai tokoh tanpa tanding perpuisian. Bahkan, kukira terlalu berlebihan kalau menganggap masih banyak dari dirinya yang belum diungkap. Chairil, aku lihat, justru telah dibakukan dalam sebentuk buku –bukan teks– dengan pendahuluan yang memikat dan menjerat, dan penutup yang mencengangkan. Dengan kata lain, sebagai buku, Chairil telah selesai dituliskan.

Atau tanyakanlah pada sahabat-sahabat kita yang mengerti puisi, masihlkah mereka tertarik memaknai sajaknya? Kukira, mereka, sebagaimana aku, lebih acap menggumamkan puisi Chairil dengan makna yang itu-itu saja. Ya, Chairil telah jadi semacam monumen; tanda terpenuhinya mimpi-mimpi kita tentang idealitas puisi dan penyair.

Lalu, masihhkah kita layak menerapkan hidup dan estetika Chairil sebagai ukuran kehidupan dan estetika penyair?

Maaf, aku menjawab tidak. Kita tak lagi bisa bercermin dari wajah Chairil. Kehidupan yang kita jalani dalam ritus kebudyaan yang hampir tak tertebak arahnya, seharusnya membuat kita mendadai Chairil:

Kalau sampai waktuku, dada
Kumau tak seorang kan merayu, dada. Tidak
juga kau, dada tak perlu
sedu sedan itu, dada
Aku ini binatang jalang, dada

(Agus R Sarjono dalam Horison 12/1992)

Atau,

Aku mengaji, anwar anwar
Hidup dari pasar terbuka dalam tubuh
Anwar mengirim tubuh kaku ke daging-daging
Dihembuskan pasar ke pohon-pohon sunyi
Jadi penyair seribu tahun. O
Makani tuhan dalam kuburm anwar-anwar

Aku orang sunyi berlalu dalam cerita

(Afrizal Makna, “Penyair Anwar”)


Galuh,

Penambahan kata dada dari puisi Chairil di atas justru membuat puisi itu kehilangan daya dobraknya. Menggenang, sunyi, mengambang.

Bait puisi yang semula utuh, dengan kelahiran dada kini tampil sendiri-sendiri, terfragmentasi, dan seakan menggumamkan kesunyian sendiri. Ada semacam penumpasan antroposentris, aku sebagai pusat pemaknaan.

Afrizal itu Galuh, menyindir lebih tajam. Sindiran itu bukan saja dapat kita lihat dari makna puisi, melainkan juga ditumpasnya konsep estetik Chairil, mengubah keutuhan makna menjadi kelumpuhan, dan menegaskan jalinan tanda. Diksi, yang menjadi kekuatan Chairil, dilolosi daya lecutnya, dilumpuhkan, ditunda, dengan jeda dada dan anwar-anwar.

Tapi Galuh, kita masih bisa melihat satu hal dari puisi Chairil: kesombongan sang Aku.

Sang aku adalah aku lirik yang tersedimentasi menjadi nama pengucapan diri bagi penyair. Bahkan, bagi Chairil otoritas penciptaan begitu disakralkan dan yang bukan penyair jangan ambil bagian. Nah, dalam kondisi yang demikian, semua proses pemaknaan akhirnya menumpuk hanya padanya. Di luar aku-lirik, makna yang lain tidak ada, dan kalaupuna ada, tak dapat tampil sejajar. Inilah yang dipahami Afrizal sebagai perubahan aku-lirik menjadi aku-ideologis, yang menekan, bahkan melampaui otoritas pembaca dan menjadi semacam hegemoni pemaknaan. Akibatnya, tidak pernah ada yang berani memberi makna lain. Hal itu, misalnya, tampak dalam aku-lirik aku-ideologis; aku ini binatang jalang.

Hal itu berlangsung lama sekali. Aku-lirik menjadi mata yang sepenuhnya memandang. Mata yang berkuasa menafsirkan dunia.

Tentu, kita dapat juga melihat titik ragu dalam diri Chairil, Galuh. Ada kala, aku-lirik yang semula menjadi identifikasi dirinya, pada suatu saat justru diragukannya. Keraguan yang datang dengan nada getir karena terhapusnya keyakinan. Aku berkaca. Ini muka penuh luka. Siapa punya? Aku-lirik, aku-ideologis, mata yang berkuasa memaknai dunia, justru bertanya dan meragukan wajah yang dia pandang di dalam cermin.

Galuh, bagi Afrizal, keraguan itu, walaupun sesaat, menunjukkan ada semacam kelehaman tentang kekuasaan aku-lirik. Aku-lirik yang telah menjadi aku-ideologis, mata-penuh-kuasa, menyadari keterbatasannya sebagai sumber dan peletak makna. Di titik lanjut, bahkan terjadi perubahan keyakinan. Aku yang memandang akhirnya menjadi aku yang dipandang, kemudian menjadi diri-diri lain yang dipandang. Di level lain, aku-lirik pun akhirnya menyerah, mati, dan punah.

hotel sepi. bumi sendiri tanpa manusia. dada. diam. hotelsekarang jadi
kupu-kupu terbang, jadi ulatpergi, jadi kepompong mati, menyembunyikan
radio mati, menyetir mobil mati, menyalakan lampu mati. dunia ditangan
ku. DADA. tidak lagi berpeta.

(Afrizal Malna, “Ekstase Hotel 2″)


*****


Galuh yang baik,

secara gampangan, penyair adalah orang yang berurusan dengan dunia dalam, menggarap makna, berkiprah dalam permenungan. Prestasinya diukur dari seberapa dalam ia mengendapkan dan menyerap makna, lalu mengabarkannya. Maka, tugas penyair bukanlah membuat kita yang membaca puisinya menjadi lebih pintar, atau lebih hebat, melainkan kian mengukuhkan ikatan barin kita dengan sang hidup.

Penyair dalah orang yang berkubang dalam pengalaman. Kalau pun ada ide –untuk menjadikan ide itu bagian yang organis dari puisinya– haruslah ide yang dialami, gagasan yang tidak hanya dipikirkan, tapi diajak bergulul dengan daing dan darah, pikiran yang mengudarkan bau napas dan keringat.

Maka, sebuah puisi pada akhirnya, seharusnya, bukanlah selebaran konsep-konsep. Dia hanya semacam kesaksian. Tentu, kesaksian itu bisa saja imajinatif, reflektif, dan juga naratif, yang kesemuanya dipungut dari inang kehidupan. Puisi, meminjam Karl R Popper, adalah uraian yang brsifat ekspresionisme epistemologis, di mana bagian bagian lariknya tak dapat didiskusikan secara objektif, tetapi harus diterima sebagai ekspresi keadaan mental, situasi kejiwaan, atau percikan keluar dari suatu interioritas yang pribadi dan intim. Dengan demikian, menghadapi seutas puisi tak ubah bak termangu di depan lukisan. Kita hanya dihadapkan pada dua pilihan; menerima atau menolak, menyukai atau mencampakkan. Tanpa harus berkeringat dalam baku argumentasi.

Nah, jika kita melihat puisi dan penyair dengan wajah demikian, masihkah kita dapat mendewakan Chairil, Galuh?

Jujur saja, bagiku, mengingat Chairil adalah mengenang luka. Luka itu lahir bukan dari rasa kehilangan, melainkan semesra sesal. Aku merasa, perpuisian kita telah terlalu lama menggantungkan diri pada Chairil. Itu tidak sehat. Seakan tidak ada penyair lain. Bukankah tanpa Jassin, Chairil tak akan berbunyi senyaring kini?

Padahal, di tiap daerah ini, telah terlalu banyak penyair. Banyak yang menyebut mereka sebagai “Chairil Muda”. Tapi bagiku, Galuh; penyebutan itu pun masih membiaskan betapa Chairil adalah dewa. Karena itu, aku tak setuju sebutan Chairil muda itu, karena ada keberjarakan minat dan hasrat yang amat berbeda, dalam situasi dan zaman yang jauh lebih komplek dan menakutkan, juga lebih kaya.

Membaca puisi-puisi mereka, aku melihat semacam posona yang subtil, yang tak mendaras dalam diksi yang keras, dan dalam batas tertentu, memaksaku memekikkan jerit; puisi mereka bukan hanya minta dirasakan tapi juga dipikirkan. Tapi Galuh, inilah zaman ketika kita tak punya lagi Jassin, yang ikhlas membongkar puisi. Inilah masa ketika penyair hidup di zaman puisi tak lagi semenggairahkan dulu, ketika media meletakkan puisi sebagai sedekah budaya, bukan komoditi yang layak. Inilah zaman yang mengogahi dan berlari meninggalkan roh puisi.

Ketiadaan kritikus yang intens inilah yang membuat aku rindu pada Jassin, yang tahu dimana berakhirnya mata seorang penyair.

Galuh, dalam irama budaya kini, mengagungkan Chairil tentu mengingkari zaman. Kini kita harus berani memandang keunikan tiap person tanpa meletakkan superioritas satu subjek di atas subjek yang lain. Semua harus dicatat, semua dapat tempat. Kita harus berbesar hari untuk mendengar suara-suara dari pinggir, dan pelan-pelan menggeser “pusat”. Juga mulai harus bisa menganggap penyair sebagai profesi yang biasa, yang dapat tumbuh dan hidup dalam budaya apa saja. Selama masih ada kekosongan dan kepenuhan rasa, sepi dan juga cinta, selama itu juga puisi akan terus tercipta, penyair terlahir.

Pada intinya yang paling dalam
Sajak ini adalah sebuah hati, impian-
impian tak terhitung dan hasrat tak
kesampaian. Tak perlu judul lagi
sebetulnya. Kata-kata di dalamnya juga
hanya selubung. Engkau harus mencoba
menyingkapnya, dan menyeberangi kekosongan yang
ditinggalkannya bagiku. Hanya dengan begini
engkau akan sampai padaku

(Ook Nugroho, “Sajak 2″)

Galuh Lalita yang baik,

Dalam budaya yang centang-perenang, agaknya Chairil harus kita letakkan hanya sebagai petanda dan bukan penanda dalam dunia kepenyairan kita. Sebagai salah satu petanda, dia tak beda dengan petanda yang lain, yang tak sakral, yang bisa ditampik dan dibongkar. Sebagai petanda, dia bukan diri yang absolut memaknai diri sendiri. Sebagai petanda, dia bertemu tafsir, dia harus membuka diri.

Galuh Lalita Swasti yang baik,

Setakat ini dulu suratku. Sampaikan salamku untuk sahabat-sahabat sejatimu. Di hari lain, aku mungkin akan bercerita tentang puisi-puisi saja, sehingga kita bisa sampai pada kekosongan, pada hening dan bening, cinta yang sama.


Semarang, 28 April 1999. 00.37 WIB

(Maaf Galuh, surat untukmu ini aku umumkan juga dalam diskusi “Hari Chairil Anwar” di FS Undip, 28 April 1999)