Selingkuh Tiga Pembunuh

March 24, 2009

 

Warung di pinggir kompleks pelacuran itu masih seperti biasa. Tak ada bir di tiap meja, hanya sebotol kecil kecap, sekuah sambal, dan gulungan tisu kasar. Di kanan bagian dalam, Narto, pemilik warung, juga masih terkantuk-kantuk. Selalu begitu. Jam berapa pun melihatnya, kau akan selalu mendapatinya terkantuk. Tapi cobalah kau sapa, maka dia akan sigap menjawab. Matanya memang seperti orang nggelek, tapi telingnya tetap terbuka. Ia dapat mendengar apa saja. Juga suara tamu-tamu yang selalu ketagihan menyantap sotonya.

“Kalian tahu perempuan yang mati terlindas truk kemarin pagi? Akulah pembunuhnya. Akulah yang membuatnya tergelincir dari motor, menggelinding ke kolong truk, dan krass! kepalanya berhamburan.”

“Kau yang menyenggol motornya?” tanya sebuah suara. Narto hapal suara itu, Yoyok. Ya, pemuda setengah pengangguran itu.

“Tidak.”

“Kalau bukan kau yang menyenggol motornya, kenapa kau mengaku yang membunuhnya?”

“Tapi aku yang membuat dia terjatuh.”

“Kau berada di sekitar peristiwa itu?”

“Tidak.”

“Kau melihat perempuan itu jatuh, berteriak, ‘Ya Allah…’ sebelumnya kepalanya dilindas truk?”

“Tidak. Tapi aku yang menyebabkannya begitu.”

“Halah! Kau cuma mabuk!”

Tak ada jawaban. Mata Narto terbuka. Dilihatnya lelaki yang bicara itu menyalakan rokok.

“Pagi itu susu anakku habis. Aku ke minimarket,” laki-laki itu bersuara lagi. “Begitu mau bayar, ada empat antrean. Karena ingin cepat, aku memotong barisan, masuk ke nomor dua. Perempuan di belakangku protes. Kami ribut sebentar. Aku sempat marah dan menjelaskan kalau anakku sudah menunggu di rumah. Dia juga bilang hal yang sama. Tapi aku tak percaya. Dia memakai baju kantoran. Dia, dengan bersungut-sungut, akhirnya mengalah.”

“Apa hubungannya dengan tabrakan tadi pagi?”

“Perempuan yang ribut sama aku itulah yang mati.”

“Lalu apa hubungannya? Apa karena emosi kemudian kau ikuti dia lalu kau senggol motornya?”

“Kau tidak mengerti. Seandainya aku tidak menyerobot antrean, tentu dia tidak akan berada dalam tabrakan itu. Gara-gara serobotanku, waktunya jadi terbuang lima menit. LIMA MENIT! Jika lima menit itu tidak aku ambil, dia pasti sudah melewati jalan itu, tidak menyenggol motor pengendara lain, oleng dan jatuh ke truk itu. Jika lima menit itu tidak aku ambil, dia tidak akan mati. Kepalanya tidak akan berhamburan seperti semangka.”

Sepi. Yoyok tak memberi sanggahan.

“Kau memang mencuri lima menit waktunya. Tapi bukan kau yang membunuhnya.” Narto melirik. Dia kenali yang bicara. Jono, tukang parkir.

“Kalau tidak karena lima menit itu Jo, dia tidak akan mati.”

“Kalau cuma karena lima menit, dia memang tidak akan mati.”

“Maksudmu?”

“Aku juga mencuri waktunya, San. Jadi akulah yang membunuhnya.”

“Kau juga mengambil waktunya?”

Jono mengangguk. “Setelah kau bertengkar dengan dia seperti kau ceritakan tadi, dia tergesa-gesa ke parkiran. Tapi kutahan. Dia tak bisa menunjukkan bukti parkir. Katanya hilang, barangkali tersangkut di belanjaan. Aku tak percaya. STNK dia pun tak bawa. Kubawa dia di posko. Kami berdebat. Jalan tengah, aku minta dia ngasi nomor yang bisa kuhubungi untuk mengecek motor itu. Dia beri nomor kakaknya. Aku telepon, kakaknya bisa menyebutkan nomor motor itu, lengkap. Dia minta maaf, aku lepaskan dia. Mungkin SEPULUH MENIT aku mencuri waktunya. Itu lebih banyak dari kau, San. Jadi, aku yang lebih pantas menjadi pembunuhnya. Mungkin karena pertengkaran kami, dia jadi emosi dan tak stabil naik motor. Atau terlambat dan ngebut. Itu karena aku San, bukan kau.”

Hasan diam. Yoyok diam. Narto mendengarkan.

“Sebelum kau bercerita tadi San, tak pernah kupikirkan kalau akulah jadi sebab utama matinya perempuan itu.”

“Iya, kau benar, Jo. Kalau Hasan tadi tidak bercerita soal waktu, aku pun tak pernah tahu kalau aku juga telah jadi pembunuh.”

“Kauu…” Narto mendengar seruan Hasan dan Jono. Dia tersenyum. Pasti Hasan dan Jono tidak tahu kalau sejak tadi Espe sudah duduk di situ, mendengar percakapan mereka. Narto tahu, seruan kaget itu punya dua alasan. Pertama, Espe itu polisi, dan mereka berdua mengaku sebagai pembunuh di depan polisi. Kedua, sebagai polisi justru Espe juga mengaku telah menjadi pembunuh. Makin menarik saja, batin Narto.

“Iya, aku,” sahut Espe. “Aku juga bagian dari pembunuhan ini. Ibaratnya, kita seperti telah berencana membunuhnya. Pembunuhan terencana. Manimal 15 tahun, maksimal hukuman mati.”

“Kau juga mencuri waktunya?” tanya Jono dan Hasan bersamaan.

Espe mengangguk. “Aku menilangnya.”

“Dia menerobos lampu merah?”

Espe menggeleng.

“Ngebut? Tidak pake helm?”

Espe menggeleng. “Dia terlihat panik.”

“Kau menilang orang hanya karena dia terlihat panik?!”

Espe mengangguk. “Kau harus tahu pikiran polisi, San. Kalau kau lihat wajah seseorang panik, itu artinya ada kesempatan.”

“Kesempatan apa?”

“Sarapan.” Espe meminum kopinya. “Aku selalu menghentikan pengendara yang terlihat panik. Biasanya, wajah yang demikian pasti memberi rejeki.”

“Dia itu panik karena aku telah mencuri waktunya,” jelas Hasan.

“Aku juga mencurinya….” tambah Jono.

“Iya, aku tahu hal itu sekarang.” Espe mengangguk-angguk. “Waktu kuhentikan, dia terlihat langsung seperti akan menangis. Aku tertawa. Aku pasti bisa sarapan. Aku tak tahu dia mau menangis karena kalian telah menzaliminya terlebih dahulu.”

“Kau tilang dia?”

Espe mengangguk. “Dia tak bawa STNK.”

“Kau sarapan?”

Espe menggeleng. LIMA BELAS MENIT kutahan-tahan, dia tak mengeluarkan uang selembar pun. Ya kutilang, kutahan SIM-nya.” Espe berdiri, dia rogoh saku, dia lemparkan sesuatu ke Jono. “Namanya Cempaka. Dia tidak akan pernah mengambil lagi SIM itu ke pengadilan.  Ketika kubaca koran tadi pagi, aku masih tenang-tenang saja. Kalau tidak karena kau, San, tidak pernah kupikirkan akulah sesungguhnya yang membunuh Cempaka.”

“Bukan kau, Pe. Kita…” sahut Hasan.

“Ya, kita,” tambah Jono. “Kita ternyata telah mencuri TIGA PULUH MENIT waktunya. Bayangkan! Dengan tiga puluh menit itu, dia pasti telah tiba di kantornya. Dan jika pun kecelakaan itu terjadi, dia tidak akan berada di sana, bukan kepalanya yang berhamburan.”

“Tiga puluh menit yang kita curi itu telah mengubah garis takdirnya. Kau benar Pe, kita telah melakukan pembunuhan terencana. Kukira kita akan seumur hidup menanggungkannya.”

“Hanya karena susu anakku.”

“Hanya karena karcis parkir.”

“Karena aku ingin sarapan.”

“Seandainya tiga puluh menit itu tidak kalian curi…” Yoyok bersuara lagi.

“Seandainya tiga puluh menit itu tidak bisa kalian curi, dia tidak akan mati.” Tiba-tiba, entah dari mana, seorang lelaki telah duduk di bagian kanan warung. Narto tak pernah tahu kapan lelaki itu hadir di sana. “Kalian tidak akan bisa mencuri waktunya kalau tidak karena aku.”

“Kau?!”

“Pagi kemarin dia tidak akan ke kantornya,” lelaki itu menaikkan kakinya ke kursi, menghembuskan asap rokok. “Dia berjanji dengan seorang lelaki untuk bercinta. Telah tiga minggu mereka tidak bercinta. Keduanya ngebet. Waktu begitu pendek, mereka harus bisa memanfaatkannya.

“Kalian tahu, apa yang dia beli di minimarket itu?”

Hasan, Jono, Espe, juga Yoyok, menggeleng.

“Kondom,” kata lelaki itu. “Dua kotak, enam biji. Mereka ingin bercinta berkali-kali. Di kamar hotel, lelaki itu telah menunggu.”

“Lelaki itu kau?”

Lelaki itu mengangguk. “Aku yang memintanya untuk tidak bekerja. Aku yang memintanya membeli pengaman, aku yang memintanya meminjam motor kakaknya agar kami lebih cepat bertemu. Aku yang membuatnya terhubung dengan kalian. Aku yang membuat kalian dapat mencuri waktunya. Jadi, sejak janji untuk bercinta itu kami sepakati, akulah yang telah membunuhnya.”

“Ya, benar, kaulah yang membunuhnya,” tuding Hasan. “Kalau tidak membeli kondom, dia tak akan bertemu denganku.”

“Iya, kalau tidak karena meminjam motor kakaknya, aku pun tak harus meminta karcis parkirnya.”

“Aku pun tidak harus menilangnya.”

Lelaki itu tertawa. “Kalian benar. Aku memang yang membunuh Cempaka. Sekarang kalian pulanglah. Jangan pikirkan soal ini lagi. Pulanglah…”

Narto bengong. Dia lihat Hasan, Jono, Espe, Yoyok, langsung berdiri, dan pulang. Menuruti perintah lelaki itu. Patuh. Narto sungguh tak menyangka. Dengan heran, dia dekati lelaki itu, dia ambil SIM yang ditinggalkan Espe. “Kau terlalu muda untuk jadi kekasih perempuan ini…” katanya.

Lelaki itu mengangguk. “Aku memang bukan kekasihnya.”

“Jadi, kau menipu mereka?”

Lelaki itu mengangguk lagi.

“Mengapa?”

“Aku tak ingin mereka menjadi pembunuh. Aku hanya ingin mereka tahu, sekecil apa pun, kita pasti selalu terhubung dengan kematian seseorang. Tapi itu tak membuat kita jadi pembunuh.”

“Sebenarnya, kau siapa?”

Lelaki itu tersenyum. “Akulah penulis cerita ini.”