Selalu Dibuang Tangan Kekuasaan

March 9, 2009

PERISTIWA 17 Oktober 1952, tentang serangkaian aksi angkatan darat yang mengarahkan meriam ke Istana, sampai saat ini masih menjadi misteri. Tapi satu yang nyata dari peristiwa itu adalah tersiarnya isu kudeta oleh Kolonel Abdul Haris Nasution, yang membuat ia dipecat sebagai Kasad, dan dimahkamahmiliterkan. Padahal, Nasution hanya korban dari intrik “sandiwara” politik itu.

“Saya kemudian dipecat, November 1952, semasa kabinet Wilopo. Secara institusional, sayalah yang bertanggung jawab atas peristiwa itu,” akunya pada Tempo, 12 tahun sebelum kematiannya.

Sebelum peristiwa itu, sebelumnya Angkatan darat telah mengirim petisi kepada Presiden untuk membubarkan parlemen, yang kekuasaannya amat besar, sehingga turut campur dalam urusan internal kemiliteran. Petisi itu disusun di kamar kerja Nasution, dan karena semua kepala divisi menandatangani, Nasution pun ikut.

Kemudian, “sandiwara” 17 Oktober pun dimulai.

Malam sebelum tanggal itu, Nasution mengirim Kolonel Mustopo kepada presiden Sukarno. Dia melaporkan bahwa pada esok harinya, akan ada demonstasi Angkatan Darat ke Istana, dengan tujuan presurre, memakai tank, panser, supaya presiden mau membubarkan parlemen. Ini hanya semacam “permainan” politik. Karena itu, pengiriman Moestopo diharapkan Nasution supaya Presiden tak kaget. Hasil pertemuan dengan Presiden pun kemudian dilaporkan Moestopo pada Nasution.

Tapi sandiwara itu tak sepenuhnya berhasil.

Tanpa perintah Nasution, pasukan mengarahkan meriam ke Istana. Nasution kaget. Tapi, ketika dia tahu kepala pasukan Jakarta adalah Kemal Idris, yang tak menyukai Sukarno, dia bisa mengerti.

Nasution kemudian menghadap Sukarno, yang telah didampingi Hatta, Sri Sultan, dan Wilopo, serta TB Simatupang. Presiden tampak santai, bahkan acap tersenyum, meskipun Simbolon, terutama Kawilarang, memberikan pernyataan yang keras atas “politik” yang dimainkan parlemen.

Dan Bung Karno tetap tak mau membubarkan parlemen, atas nama Undang-Undang Dasar.

“Sandiwara” ini baru meminta korban beberapa hari kemudian, saat Kolonel Zulkifli Lubis, Kepala Biro Informasi Angkatan Perang di Hankam, membuat laporan, “Waktu menghadap Presiden, Kasad Nasution menuntut supaya negara dinyatakan dalam keadaan bahaya.” Laporan itu kemudian melanjutkan, Presiden menjawab, “Baiklah, kalau saya yang memegang kekuasaan, saya akan pecat kamu.”

Padahal, dalam pertemuan itu, Zulkifli tidak hadir. Nasution menduga, laporan itu bagian dari permainan Bung Karno. Laporan itu dikirim ke daerah-daerah, dan militer bersepakat, Nasution berencana kudeta! Mahkamah militer pun digelar.
Nasution pun dipecat, dan posisinya sebagai Kasad diserahkan pada Mayor Jenderal Bambang Sugeng.

Guru yang menjadi Prajurit

Sewaktu kecil, kakek Nasution mengharapkan dia menjadi seorang pendekar silat, meneruskan jejaknya. Tapi, Ayahnya, justru selalu mengharapkannya jadi kiai. Dari ibunya, dia selalu diobsesikan menjadi dokter. Nasution bingung, apalagi ketiga orang yang amat dia sayangi itu, selalu bersikeras dengan keinginannya. Nasution sendiri, lebih bersetuju dengan keinginan ibunya.

Umur 7 tahun, Nasution masuk HIS, dan sorenya, harus masuk maktab, semacam pesantren, belajar agama. Guru yang amat keras di pesantren itu adalah ayah Nasution sendiri.

Kampung Nasution, Kotanopan, Tapanuli, Sumatera Timur, adalah basis pergerakan Syarikat Islam. Ayahnya, terutama pamannya, Syeikh Musthafa, adalah pendiri Pesantren Purba, pesantren tertua di Sumatera Timur, yang saat itu menjadi basis pergerakan melawan Belanda. Lingkup pergaulan inilah yang membuat Nasution kental dengan semangat nasionalisme.

Tapi, yang mempengaruhi jiwa Nasution adalah Kemal Attaturk. Saat itu, di Kotanopan, pemimpin Turki ini menjadi semacam ikon perlawanan.

Selepas HIS, dia masuk sekolah guru. “Posisi menjadi guru saat itu amat dihormati. Kelak, saat gerilya semasa Agresi Belanda di Jawa, saya juga tahu, posisi guru pun sangat dihormati,” kenangnya.

Sekolah guru saat itu hanya ada di Bukittinggi. Dan di sanalah Nasution sekolah, sekaligus “berkenalan” dengan Bung Karno, melalui serangkuman pujian dari tokoh pergerakan saat itu.

“Bung Karno amat dipuja di Bukittinggi, foto-fotonya dicetak dengan posisi sedang berpikir keras, dengan pena yang selalu terselip di saku bajunya,” jelasnya.

Tiga tahun di Bukittinggi, dia melanjutkan ke Bandung. Lulus, dia melamar jadi guru partekelir di Muara Dua, Bengkulu, yang membuatnya secara fisik berkenalan dengan Bung Karno, yang sedang diasingkan.

1938, Nasution diterima sekolah cadangan perwira di Bandung. Teman seangkatannya adalah Kawilarang dan Simatupang, yang juga lulus dengan prestasi tertinggi, dan diperbolehkan masuk Akademi Militer di Bandung.

11 November 1945, setelah pertempuran Surabaya, seluruh perwira militer dikumpulkan di Yogyakarta oleh Kepala staf Umum TKR. Pada saat itu disetujui untuk mengangkat panglima besar. Ada beberapa calon, yang paling populer adalah Urip Soemahardjo dan Kolonel Soedirman. Akhirnya, Kolonel Soedirman terpilih, dan tentara pecah dua, karena Urip tak menerima kekalahannya.

Pulang dari Yogya, Nasution menjadi Panglima Divisi III TKR seluruh Priangan ditambah Sukabumi dan Cianjur.

Maret 1946, karena belum memiliki pertahanan yang baik untuk melawan sekutu, laskar dan tentara di Bandung tak sudi menyerahkan Bandung, dan memilih membakar, menjadikan “Bandung Lautan Api”.

“Saya selalu terharu mengenang peristiwa itu. Lasjkar membakari sendiri barak-baraknya, rakyat membakari rumah-rumahnya, semua ikhlas, daripada jatuh ke tangan sekutu,” ucapnya dengan nada pelan.

Mei 1946, Nasution diangkat jadi Panglima Divisi I, wilayah Bandung.

Januari 1948, dalam rangka melawan Agresi Belanda, Nasution Hijrah ke Jawa Tengah. Februari ia diangkat jadi Wakil Panglima Besar Soedirman, yang saat itu mulai sakit-sakitan. Di sinilah ia menerapkan konsep membuat kantung-kantung gerilya, yang menjadi acuan semua panglima divisi, atas perintah Soedirman.

Setelah itu karier Nasution melonjak terus, sampai ia menduduki posisi Kasad saat peristiwa 17 Oktober itu terjadi.
Setelah pemberontakan PKI gagal, Supersemar keluar, dan Suharto berkuasa, status kemiliteran Nasution dipulihkan. Ia kemudian masuk wilayah politik, menjadi Ketua MPRS yang mencabut mandat Bung Karno, dan mengangkat Suharto sebagai Pejabat Presiden.

Tapi, kelak, ia juga yang menjadi “musuh” utama Suharto dengan menjadi anggota Petisi 50, dan “kebebasannya” pun dirampas. Sejarah kemudian mencatat, dalam hidupnya, Nasution memang tak pernah duduk mesra dengan pemegang kekuasaan, sampai Yang Maha Hidup memanggilnya, Mei 2001.