Anang dan Kemenangan Ingatan

May 19, 2011

Anang, barangkali, sudah disuratkan untuk selalu jadi pemenang. Dan Syahrini terlambat menyadari hal itu, ketika telah terlanjur menabuh genderang ”perang”. Maka, ibarat permainan catur, bidak tak pernah bisa melangkah mundur, Syahrini, terutama manajer dan adiknya Aisyahrani, terus menembakkan amunisi, hanya sebagai tanda, mereka belum menyerah.

Kata menyerah sebenarnya tak terlalu tepat untuk kondisi semacam ini. Perang antarmereka sebenarnya bukan di medan yang mereka kuasai. Anang dan Syahrini, berperang di arena yang dikuasai orang ramai: pemirsa. Di antara pemirsa itu ada penggemar keduanya, yang fanatik, dan yang apatis. Tapi yang paling utama dan menentukan arah perang itu adalah pemirsa yang punya ingatan, tahu kesejarahan duet Anang-Syahrini.

Dan karena itulah, Syahrini tak akan pernah bisa menang.

Dalam ingatan banyak orang, Anang bukanlah sosok yang kini dituduhkan pihak Syahrini. Mantan suami Krisdayanti itu sudah terlalu dalam masuk ke memori banyak orang sebagai lelaki yang humble, tenang, dan matang. Anang tak pernah terlihat emosional, dan selalu menjaga bicara, meski dengan diksi yang terlalu biasa. Ia pria yang sederhana, dan melihat masalah dengan cara yang sederhana, mempersempit konflik, mengusahakan kesepahaman, dan menjadikan diri sebagai tameng untuk orang yang dia sayang.

”Jika Yanti melakukan kesalahan, saya minta maaf. Sebagai suami, sayalah yang pertama-tama bersalah…” itulah ucapannya, ketika KD tersangkut gosip selingkuh dengan Tohpati.

Ketika KD tersangkut narkoba, seperti pengakuan sang diva itu, Anang juga yang ”mengobatinya” di sebuah pesantren di Jawa Timur, diam-diam, tanpa amarah, tanpa menyalahkan. Anang selalu menjadikan dirinya sebagai imam, pemimpin, dan KD adalah makmumnya. Jika makmum menyimpang, bagi Anang, sang imam yang pertama kali mendapat teguran.

Dan ketika KD berkhianat lagi, lagi, Anang memilih cara yang paling elegan, melepaskan ikatan perimaman tersebut, bercerai. Nyaris tanpa kemarahan ke media, bahkan tanpa aduan, apalagi ungkitan tentang jasa dan kesakitannya ”mengurus” dan ”mendivakan” KD.

”Saya dan Anang itu klop, ibarat tumbu ketemu tutup,” bangga KD, dulu.

Sebagai ”tutup”, Anang memang ”bertugas” menyimpan, merahasiakan. Dan jika pun tak mampu menahan, dia dapat bersuara, berkata, dengan isyarat, dengan makna yang bertingkat. Tidak frontal, emosional, apalagi menyerang-garang. Itulah sebabnya, ketika sang tumbu mencampakkan tutup, Anang hanya bersuara, merintih, rasa sakit yang dia bungkus dengan indah, ”Sepatuh Jiwaku Pergi” dan ”Jangan Memilih Aku” atau ”Tanpa Bintang”.

Sikap Anang itu telah membuat penonton berada di pihaknya. Anang seakan menjadi anomali dalam dunia industri, yang populer dengan menyebar sensasi, kadang gosip racauan-racauan kontroversial. Meski kemudian Anang masuk pada jualan ”kemesraan”, tetap saja gaya ”malu-malu” yang menjengkelkan penggemarnya itu, menjadi tali komunikasi paling kuat menjelaskan ”kesederhanaannya”. Justru di titik itu, Syahrini mengendali sebagai sosok yang glamour, acap memberi ”tekanan” pada kemesraan mereka, dan memberikan diksi-diksi penguatan sosok Anang dalam hidupnya.

”Saat ini Mas Anang memang orang yang paling berjasa dalam karier bermusik saya. Tanpa Mas Anang, Syahrini tidak mungkin akan seperti sekarang ini,” akunya, jujur, tulus, spontan.

Lalu Anang-Syahrini yang begitu fenomenal, sampai membuat fans berharap mereka berpacaran dan kemudian kawin, pecah kongsi. Syahrini memilih berkarier sendiri, karena Anang berduet dengan Aurel, dan kemudian Ashanty, yang lalu menempel sebagai kekasih. Dan, sikap Syahrini mulai berubah, setidaknya itulah yang tayang di berbagai infotainmen. Komentarnya mulai pedas, dengan diksi yang penuh sindiran, dan sunggingan senyum, yang dapat dibaca sebagai sikap ketakpuasan, bahkan cibiran. Puncaknya, dengan yakin dia mengatakan posisi yang dia raih selama ini bukan campur tangan orang lain, tapi atas pemberian Tuhan atas kerja kerasnya.

Syahrini mulai menghapus kehadiran Anang. Dia mulai membawa nama Tuhan, bukan untuk mengagungkan Sang Pencipta, tapi sebagai bemper atas argumentasinya untuk ”mengusir” peran Anang. Dan kemudian, terutama lewat adiknya, ”cacat” Anang dia ungkap, dan tak lupa membombastiskan keluguan dirinya. ”Dengan Anang itu proyek ikhlas…” katanya, menyebut ketiadaan bukti hitam-putih kerja sama.

Anang, seperti biasa, selalu mendiamkan hal-hal seperti itu. Dia bicara, seperlunya, santai, ringan, bahkan tertawa-tawa. Lucunya, dia justru merasa bangga pernah bekerja sama dengan Syahrini, seperti dia dulu juga amat bangga pernah hidup sebagai suami bersama KD. Bayangkan! Anang, dengan lugas mengakui, Syahrini telah membantunya meraih popularitas, dan itu sebuah kerja yang luar biasa.

Anang memang lahir untuk jadi pemenang. Bukan karena dia punya banyak strategi, melainkan dia menguasai hati dan ingatan banyak orang. Memori khalayak yang tak pernah dia rusak itulah modal terbesar Anang untuk dengan diam dan senyum, sudah dapat menangkal berbagai tuduhan. Apalagi, Anang terlihat begitu percaya diri, tak risau, atas tuduhan itu. ”Semua kontrak ada, bukti ada…”

Syahrini barangkali tahu Anang tak akan banyak bicara dan membela diri. Sebagai pasangan duet yang bersama nyaris setahun, dia tahu ”kelemahan” Anang itu, yang tak suka pamer diri di luar karya. Maka, Syahrini ingin ”menguasai” media, menginfiltrasi citra Anang dengan cara yang sama, mencipta lagu sebagai manifestasi kesakitan hatinya, ”Kau yang Memilih Aku”. Namun, dia lupa ada Hadi Sunyoto, manager Anang, yang berani bersuara, dan juga ikut menabuh genderang.Hadi, sosok yang Syahrini abaikan ini, sebenarnya adalah personifikasi dari penonton, pengemar, yang punya ingatan, yang mengerti sejarah Syahrini, tahu betul siapa Anang.

Dan di depan penonton dan penggemar yang punya ingatan, Syahrini sulit untuk memenangi perang. Arena yang dia masuki adalah milik orang banyak, memori yang telah sekian lama dibangun Anang, bahkan sebelum Syahrini jadi penyanyi. Tak heran jika dia jadi tergagap-gagap, terus bersuara, hanya untuk meyakinkan media bahwa mereka berani, ada, meski kemenangan dan ”kebenaran” kian jauh dari genggaman. Bidak memang tak mungkin melangkah mundur, meski mungkin hancur…