Yang Menyapa Tuhan Begitu Akrab

May 19, 2011

Malam telah sampai di ujungnya. Di samping ranjang yang reot, lelaki muda, tirus dan kurus, duduk menghadapi bukunya. Beberapa kali matanya memejam, napasnya tampak mengejan, seperti ingin melahirkan. Pena di tangannya digerakkan ke buku tulis itu, tapi ditarikkannya lagi. Setelah membuang napas, tubuhnya membungkuk, menuliskan sesuatu.

15 Juli 1969, Aku belum tahu apakah Islam itu sebenarnya.

Tubuhnya menegak. Jemari tangan kirinya bergerak meluruskan rambut ikalnya  yang menjatuhi dahi. Ia menulis lagi.

Aku baru tahu Islam menurut HAMKA, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama kuno, menurut Johan, Islam menurut Subki, Islam menurut yang lain. Dan terus-terang aku tidak puas. Yang kucari belum ketemu, belum terdapat, yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya.

Bagaimana? Langsung studi dari Quran dan Sunnah? Akan kucoba. Tapi orang lain pun akan beranggapan yang kudapat adalah Islam menurut aku sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah islam yang menurut Allah.

Aku harus yakin itu.

Lelaki itu tersenyum, bangkit, bergerak, menjatuhkan dirinya di ranjang.

Di luar, embun telah jatuh.

Di Yogya, hampir semua intelektual muda mengenalnya. Pergaulannya luas, dan dengan satu ciri khas, pertanyaan yang menyentuh wilayah tak terpikirkan, mendobrak tabu. “Ia acap membuat dahi orang lain mengerut. Lebih lagi, apa yang dia persoalkan bagi orang lain adalah sesuatu yang tabu dan telah final,” kenang Mukti Ali dalam pengantar buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib.

Kelebat lelaki itu, Ahmad Wahib, adalah gerak intelektual. Ia penggagas “Lingkaran Diskusi Limited Group”, forum Jumatan di rumah Mukti Ali, kompleks IAIN Sunan Kalijaga, Demangan. Anggota inti forum ini adalah intelektual yang bersinar: Dawam rahardjo, Djohan Effendi, Syuba’ah Asa, Syaifullah Mahyuddin, Djauhari Muslim, Kuntowidjoyo, Syamsuddin Abdullah, Simuh, Rendra, Deliar Noer, sampai Nono Anwar Makarim. Empat yang pertama adalah anggota inti grup itu.

Wahib juga aktivis HMI. Di kelompok mahasiswa islam ini, ia pun menonjol. Kemenonjolan ini, dalam aktivitas dan pemikiran, membuat “kariernya” melesat, memasuki “lingkaran elite” HMI Yogya, dan Jawa Tengah. Djohan Effendi mengenangnya sebagai sosok yang berani berpendirian dan bersikap beda, malah kadang berlawanan dengan sikap umat dan golongan Islam pada umumnya.

“Bagi Wahib, komitmen muslim, pertama-tama dan terutama adalah pada nilai-nilai Islam dan bukan pada organisasi Islam atau pun tokoh Islam tertentu,” kenang Djohan.

Atau dalam kata-kata Wahib, tertanggal 9 Oktober 1969:

Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan budha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana aku termasuk serta dari aliran mana saya berangkat.

Memahami manusia sebagai manusia.

Mengakrabi Tuhan

Ahmad Wahib dilahirkan 9 Nopember 1942 di Sampang, Madura. Lingkungan bergaulnya di masa kanak adalah iklim beragama yang ketat. Ayahnya, Sulaiman, tergolong pemuka agama. Ia sendiri meski tak total, pernah mengecap bangku pesantren.

Namun, keterbukaan ayahnya membuat Wahib bebas memasuki pendidikan umum. Selepas SMA Pamekasan bagian Ilmu Pasti, 1961, ia berangkat ke Yogyakarta. Ia mengambil Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) UGM. Sayang, meski mengecap sampai tingkat terakhir, ia tak menamatkannya.

Di Yogya, Wahib tinggal di Asrama Mahasiswa Realino, asrama Katolik. Dan dalam pergaulan bersama para Romo dan teman seasrama, ia merasa sangat bahagia. Sampai, “Aku tak yakin, apakah Tuhan tega memasukkan romoku itu ke neraka,” tanya dalam buku harian itu.

Di luar HMI, lingkungan pergaulan Wahib sangat luas. Dia akrab dengan AR Baswedan, pendiri partai Arab, Ki Muhammad Tauchid, tokok Taman Siswa, Karkono, mantan anggota PNI, dan dari kalangan muda, Ashadi Siregar, Tahi Simbolon, dan Aini Chalid.

Namun, Baswedan dan Wajiz Anwar yang paling ia akrabi. Di mata Baswedan, ia sosok muda yang mengagumkan. Ia banyak yang tak sepaham dengan pikiran Wahib, tapi ia yakin, pemuda itu sangat jujur dengan pikiran-pikirannya.

Tuhan, bisakah aku menerima hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu? Karena itu Tuhan, maklumilah lebih dulu bila aku masih ragu akan kebenaran hukum-hukum-Mu. Jika Engkau tak suka hal itu, berilah aku pengertian-pengertian sehingga keraguan itu hilang….

Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak sendiri yang telah Engkau berikan kpadaku dengan kemampuan bebasnya sekali?….

Tuhan, aku ingin bertanya pada Engkau dalam suasana bebas. Aku percaya, Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan  yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri (9 Juni 1969).

Orang kedua, Wajiz Anwar, adalah dosen filsafat di IAIN Sunan Kalijaga, alumnus Gontor, yang minggat ke Mesir, tapi membelot ke Jerman untuk mendalami filsafat. Sama seperti Wahid, ia juga orang yang sangat getol melempar persoalan yang sangat menggoda pikiran dan mengguncangkan sendi.

Dan karena merasa tak sejalan lagi dengan “kekakuan” di HMI, Wahib pun –bersama Djohan Effendi– menyatakan ke luar, dengan mengeluarkan “Memorandum Pembaharuan dan Kekaderan”. Ia ingin mencari dunia yang lebih memberi arti pada keberbedaan.

Berada di luar HMI, pikiran liar Wahib kian menguar. Ia mengkritisi “sekularisasi” yang dipopulerkan Nurcholis Madjid, mengkritik Mukti Ali, dan kian tajam dalam perenungan-perenungan. Namun, dunia kerja memintanya ke Jakarta. Menjadi reporter Tempo, kuliah di STF Driyarkara, dan aktif berdiskusi di rumah Dawam Rahardjo.

Namun, Tuhan yang acap diajak Wahid berdiskusi, ternyata tak kuat menahan rindu. 31 Maret 1973, tengah malam, ketika ke luar dari kantor Tempo, sebuah sepeda motor menerjangnya. Ia terlempar, dan dalam keadaan tak sadar, kaum gelandanganlah yang membopong tubuh lunglainya ke RS Gatot Subroto. Sayang, lukanya sangat parah, dan dalam perjalanan pemindahan ke RSUP, ia menghembuskan napas terakhir.

“Subuh 1 April 1973, Amidhan, dengan suara terputus menahan tangis mengabarkan kepergiannuya kepada saya. Di sebelahnya, seingat saya, Nurcholis Madjid diam tak mampu bersuara,” kenang Djohan.

Semua sahabat menyesali kepergian Wahid yang terlalu cepat. Tapi Wahid sendiri, mungkin telah lama merindukannya:

Tuhan, aku menghadap padamu bukan hanya di saat-saat aku cinta padamu, tapi juga di saat-saat aku tak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah mau memberontak terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian Rabbi, aku berharap cintaku padamu akan pulih kembali...

Begitulah tulis Wahib, dalam 17 buku catatan harian, yang tersusun rapi di kamar sempit, di gang sempit, Kebon Kacang I/12. Catatan harian yang kemudian diterbitkan LP3ES, yang sempat dilarang beredar karena dikhawatirkan telah “menyempal dari akidah Islam”.

Anak Raja Berjiwa Tentara

March 23, 2009

 

SEUSAI sidang Dewan Siasat Militer yang dihadiri Soedirman, Gatot Subroto, dan Sungkono, di tahun 1948, Bung Karno memanggil Djatikusomo. Di ruangannya, wajah Bung Karno tampak keruh.

“Lain kali, kalau rapat dewan Siasat Militer, jangan ajak Gatot Subroto,” perintah Bung Karno.

“Kenapa?” tanya Djatikusumo.

“Aku ndak mengerti jalan pikirannya.”

Djatikusumo tersenyum.

Dalam jajaran petinggi militer saat itu, Djatikusumo memang punya posisi penting. Dia acap diminta menghadiri rapat-rapat penting oleh Jenderal Soedirman. Alasan Soedirman sepele: hanya dengan mengikutsertakan Djatikusumo, dia dan beberapa jenderal lain dapat memahami pikiran Bung Karno, Syahrir, Hatta, dan anggota kabinet lain.

“Saya akui, Bung Karno, Hatta, dan Syahrir itu memang orang hebat. Pikiran-pikirannya cemerlang. Para jenderal semacam Soedirman yang hanya guru, Gatot Subroto dan Sungkono yang hanya tamat sekolah dasar, sering sulit memahami pikiran mereka. Saya jembatan bagi mereka untuk memahami jalan pikiran tokoh-tokoh hebat itu,” aku Djatikusumo, sebagaimana dikutip Tempo.

Dalam rapat Dewan Siasat Militer itu juga, para petinggi negara yakin, Belanda akan menyerang Indonesia. Bung Karno menghendaki, militer membentuk wadah angkatan. Dan karena dianggap sebagai tokoh yang paling tepat, Bung Karno menunjuk Djatikusumo menjadi Kepala Staf Angkaran Darat RI, untuk pertama kali (1 Maret 1948-1 Mei 1950).

 
Perang adalah Guru Terbaik

Djatikusumo  lahir 1 Juli 1917, atau tepat hari ke-11 Ramadan, di kedaton Surakarta. Ayahnya adalah Susuhunan Paku Buwono X. Ibunya bernama Kirono Rukmi, garwa ampeyan Sri Susuhunan, bukan permaisuri. Karena itu, berdasarkan asal ibunya yang dari desa Kajoran, di selatan Klaten, Djatikusumo lebih merasa sebagai orang desa.

“Lingkungan kraton dan desa, kelak membentuk watak saya menjadi bangsawan sekaligus rakyat,” akunya, di Mei 1991.

Sejak kecil, ayahnya sudah menanamkan jiwa nasionalis, dengan menceritakan penjarahan Belanda. Tapi, dengan alasan untuk lebih memahami watak Belanda, biar lebih mudah mengalahkannya, Subandono –nama kecil Djatikusumo– justru disekolahkan  di Eurepesche Lagere School di Solo, 1924.

Selepas ELS 1931, Djatikusumo dikirim ke HBS di Bandung, dan dititipkan pada keluarga Belanda. Ia “menumpang” selama 8 tahun.

“Kelak, pemahaman saya pada watak, tingkah laku dan pola pikir Belanda, amat mendukung karier Militer dan perjuangan saya saat menghadapi Belanda.”

Karena tak ingin mengangkat sumpah setia pada Sri Ratu dan Konstitusi Belanda, Djatikusumo menolak masuk Akademi Militer Breda di Belanda. Dia malah memilih Institut Technologie Delf di Nederland, 1936.

Tahun 1940, saat pecah Perang Dunia II, dia pulang, dan melanjutkan studi ke ITB.

1941, karena percaya pada Jangka Jayabaya, Djati memutuskan masuk milisi Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) di Bandung. Pangkat kopral ia sandang.

Ternyata ramalan Jayabaya benar, Jepang masuk, Belanda kalah. Dan karier militer Djatikusumo dimulai. Dia masuk PETA. 8 bulan di PETA, tugas berat datang, bernegosiasi dan meminta Jepang menyerah, di Semarang.

“Saat berunding, pikiran saya hanya satu, bagaimana bisa keluar dari markas Jepang dengan selamat,” akunya pada Tempo.

Karena prestasinya, Jenderal Oerip Soemahardjo memintanya menjadi kepala divisi di Salatiga. 1946, ia menjadi Kepala Divisi Ronggolawe untuk wilayah Pati, Bojonegoro dan Muncung. Tapi, selama masa ini, hutan jadi wilayah Mantingan justru tempat yang paling berkesan bagi Djati. Di tengah hutan jati itu, dalam suasana perang, ia menikahi Raden Ayu Suharsi, wanita yang kelak memberinya tiga anak.

Agresi Belanda yang pertama pecah. Djatikusumo diminta menguasai Gresik-Lamongan. Tapi, para prajurit yang ia pimpin justru kecut, dan hampir mogok perang. Djatikusumo meradang.

“Mencari musuh itu malah susah. Sekarang, ketika musuh ada di depan mata, kalian malah kecut. Gugur dalam perang adalah hal yang biasa. Guru terbaik bagi prajurit adalah perang itu sendiri. Maju!”

Karena prestasinya, Soedirman menariknya ke Yogya. Dan di sinilah, Djatikusumo mulai berkenalan dengan petinggi negara, Hatta dan Soekarno, sampai ia diminta menjadi KSAD.

Tahun 1950, saat RI menjadi RIS, Djatikusumo adalah saksi hidup kekacauan sistem pemerintahan itu. Sistem federal ternyata tak jalan, dan Bung Karno lebih berkuasa daripada perdana menteri. Bahkan, banyak politisi yang tak tahu harus melakukan apa, termasuk membentuk kabinet. Pada saat itulah, Bung Karno mengeluarkan Surat Keputusan: “Presiden Republik Indonesia Sukarno, dengan ini menunjuk warga negara Indonesia Sukarno untuk membentuk kabinet.”

Atas kekacauan konstitusi itulah, Djatikusumo berinisiatif mengumpulkan para petinggi militer, dan mengusulkan kemungkinan Indonesia kembali memakai UUD 1945.

Kekacauan inilah yang membuat meriam dan tank akhirnya mengarah ke Istana, dan TNI mendesak Bung Karno untuk kembali ke UUD 1945. Tapi, para politisi menolak. Akhirnya, Bung karno mengambil tindakan, memecat AH Nasution dan Gatot Subroto sebagai KSAD dan wakil KSAD, dan melemparkan Jenderal Mokoginta, perancang utama Peristiwa 17 Oktober 1950 itu, ke Amerika, bersekolah ke Port Levenberg.

Djatikusumo sendiri terkena imbasnya, dan dicopot dari jabatannnya sebagai Kepala Biro Perancang Operasi TNI, dan ditugaskan sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat. Ia kemudian dipindah lagi menjadi Direktur Zeni AD, dan ikut aktif menyelesaikan masalah pemberontakan PRRI/Permesta. Sebagai Direktur Zeni inilah, Djati kembali memiliki pasukan, yang salah seorang diantaranya Try Sutrisno, yang sepanjang pengamatannya, tak punya kapasitas istimewa.

Djati kemudian menjadi Dubes di Malaysia. Sayang, hanya 100 hari ia di sana. Konfrontasi Indonesia-Malaysia, membuat karier politiknya nyaris tamat. Terakhir, ia menjadi Dubes Luar Biasa untuk Maroko. Dan di saat jauh dari pusat kekuasaan inilah, dia tak menyaksikan, kejatuhan Bung Karno, orang yang amat ia kagumi.

Semasa Soeharto, ia diangkat menjadi anggota DPA, juga merangkap anggota Tim-BP7. Di masa tua, ia pun mulai berbisnis, merambah bidang yang luas, dari telekomunikasi, perkayuan, sampai konstruktor.

“Ini karena pensiun saya sebagai jenderal, tak cukup untuk hidup,” katanya, sambil menjelaskan uang pensiunnya yang hanya Rp 300 ribu perbulan, di tahun 1991.

Sabtu, 5 Juli 1992, saksi sejarah, dan KSAD RI pertama ini meninggal dunia, di tengah 5 orang cucunya. 

Selalu Dibuang Tangan Kekuasaan

March 9, 2009

PERISTIWA 17 Oktober 1952, tentang serangkaian aksi angkatan darat yang mengarahkan meriam ke Istana, sampai saat ini masih menjadi misteri. Tapi satu yang nyata dari peristiwa itu adalah tersiarnya isu kudeta oleh Kolonel Abdul Haris Nasution, yang membuat ia dipecat sebagai Kasad, dan dimahkamahmiliterkan. Padahal, Nasution hanya korban dari intrik “sandiwara” politik itu.

“Saya kemudian dipecat, November 1952, semasa kabinet Wilopo. Secara institusional, sayalah yang bertanggung jawab atas peristiwa itu,” akunya pada Tempo, 12 tahun sebelum kematiannya.

Sebelum peristiwa itu, sebelumnya Angkatan darat telah mengirim petisi kepada Presiden untuk membubarkan parlemen, yang kekuasaannya amat besar, sehingga turut campur dalam urusan internal kemiliteran. Petisi itu disusun di kamar kerja Nasution, dan karena semua kepala divisi menandatangani, Nasution pun ikut.

Kemudian, “sandiwara” 17 Oktober pun dimulai.

Malam sebelum tanggal itu, Nasution mengirim Kolonel Mustopo kepada presiden Sukarno. Dia melaporkan bahwa pada esok harinya, akan ada demonstasi Angkatan Darat ke Istana, dengan tujuan presurre, memakai tank, panser, supaya presiden mau membubarkan parlemen. Ini hanya semacam “permainan” politik. Karena itu, pengiriman Moestopo diharapkan Nasution supaya Presiden tak kaget. Hasil pertemuan dengan Presiden pun kemudian dilaporkan Moestopo pada Nasution.

Tapi sandiwara itu tak sepenuhnya berhasil.

Tanpa perintah Nasution, pasukan mengarahkan meriam ke Istana. Nasution kaget. Tapi, ketika dia tahu kepala pasukan Jakarta adalah Kemal Idris, yang tak menyukai Sukarno, dia bisa mengerti.

Nasution kemudian menghadap Sukarno, yang telah didampingi Hatta, Sri Sultan, dan Wilopo, serta TB Simatupang. Presiden tampak santai, bahkan acap tersenyum, meskipun Simbolon, terutama Kawilarang, memberikan pernyataan yang keras atas “politik” yang dimainkan parlemen.

Dan Bung Karno tetap tak mau membubarkan parlemen, atas nama Undang-Undang Dasar.

“Sandiwara” ini baru meminta korban beberapa hari kemudian, saat Kolonel Zulkifli Lubis, Kepala Biro Informasi Angkatan Perang di Hankam, membuat laporan, “Waktu menghadap Presiden, Kasad Nasution menuntut supaya negara dinyatakan dalam keadaan bahaya.” Laporan itu kemudian melanjutkan, Presiden menjawab, “Baiklah, kalau saya yang memegang kekuasaan, saya akan pecat kamu.”

Padahal, dalam pertemuan itu, Zulkifli tidak hadir. Nasution menduga, laporan itu bagian dari permainan Bung Karno. Laporan itu dikirim ke daerah-daerah, dan militer bersepakat, Nasution berencana kudeta! Mahkamah militer pun digelar.
Nasution pun dipecat, dan posisinya sebagai Kasad diserahkan pada Mayor Jenderal Bambang Sugeng.

Guru yang menjadi Prajurit

Sewaktu kecil, kakek Nasution mengharapkan dia menjadi seorang pendekar silat, meneruskan jejaknya. Tapi, Ayahnya, justru selalu mengharapkannya jadi kiai. Dari ibunya, dia selalu diobsesikan menjadi dokter. Nasution bingung, apalagi ketiga orang yang amat dia sayangi itu, selalu bersikeras dengan keinginannya. Nasution sendiri, lebih bersetuju dengan keinginan ibunya.

Umur 7 tahun, Nasution masuk HIS, dan sorenya, harus masuk maktab, semacam pesantren, belajar agama. Guru yang amat keras di pesantren itu adalah ayah Nasution sendiri.

Kampung Nasution, Kotanopan, Tapanuli, Sumatera Timur, adalah basis pergerakan Syarikat Islam. Ayahnya, terutama pamannya, Syeikh Musthafa, adalah pendiri Pesantren Purba, pesantren tertua di Sumatera Timur, yang saat itu menjadi basis pergerakan melawan Belanda. Lingkup pergaulan inilah yang membuat Nasution kental dengan semangat nasionalisme.

Tapi, yang mempengaruhi jiwa Nasution adalah Kemal Attaturk. Saat itu, di Kotanopan, pemimpin Turki ini menjadi semacam ikon perlawanan.

Selepas HIS, dia masuk sekolah guru. “Posisi menjadi guru saat itu amat dihormati. Kelak, saat gerilya semasa Agresi Belanda di Jawa, saya juga tahu, posisi guru pun sangat dihormati,” kenangnya.

Sekolah guru saat itu hanya ada di Bukittinggi. Dan di sanalah Nasution sekolah, sekaligus “berkenalan” dengan Bung Karno, melalui serangkuman pujian dari tokoh pergerakan saat itu.

“Bung Karno amat dipuja di Bukittinggi, foto-fotonya dicetak dengan posisi sedang berpikir keras, dengan pena yang selalu terselip di saku bajunya,” jelasnya.

Tiga tahun di Bukittinggi, dia melanjutkan ke Bandung. Lulus, dia melamar jadi guru partekelir di Muara Dua, Bengkulu, yang membuatnya secara fisik berkenalan dengan Bung Karno, yang sedang diasingkan.

1938, Nasution diterima sekolah cadangan perwira di Bandung. Teman seangkatannya adalah Kawilarang dan Simatupang, yang juga lulus dengan prestasi tertinggi, dan diperbolehkan masuk Akademi Militer di Bandung.

11 November 1945, setelah pertempuran Surabaya, seluruh perwira militer dikumpulkan di Yogyakarta oleh Kepala staf Umum TKR. Pada saat itu disetujui untuk mengangkat panglima besar. Ada beberapa calon, yang paling populer adalah Urip Soemahardjo dan Kolonel Soedirman. Akhirnya, Kolonel Soedirman terpilih, dan tentara pecah dua, karena Urip tak menerima kekalahannya.

Pulang dari Yogya, Nasution menjadi Panglima Divisi III TKR seluruh Priangan ditambah Sukabumi dan Cianjur.

Maret 1946, karena belum memiliki pertahanan yang baik untuk melawan sekutu, laskar dan tentara di Bandung tak sudi menyerahkan Bandung, dan memilih membakar, menjadikan “Bandung Lautan Api”.

“Saya selalu terharu mengenang peristiwa itu. Lasjkar membakari sendiri barak-baraknya, rakyat membakari rumah-rumahnya, semua ikhlas, daripada jatuh ke tangan sekutu,” ucapnya dengan nada pelan.

Mei 1946, Nasution diangkat jadi Panglima Divisi I, wilayah Bandung.

Januari 1948, dalam rangka melawan Agresi Belanda, Nasution Hijrah ke Jawa Tengah. Februari ia diangkat jadi Wakil Panglima Besar Soedirman, yang saat itu mulai sakit-sakitan. Di sinilah ia menerapkan konsep membuat kantung-kantung gerilya, yang menjadi acuan semua panglima divisi, atas perintah Soedirman.

Setelah itu karier Nasution melonjak terus, sampai ia menduduki posisi Kasad saat peristiwa 17 Oktober itu terjadi.
Setelah pemberontakan PKI gagal, Supersemar keluar, dan Suharto berkuasa, status kemiliteran Nasution dipulihkan. Ia kemudian masuk wilayah politik, menjadi Ketua MPRS yang mencabut mandat Bung Karno, dan mengangkat Suharto sebagai Pejabat Presiden.

Tapi, kelak, ia juga yang menjadi “musuh” utama Suharto dengan menjadi anggota Petisi 50, dan “kebebasannya” pun dirampas. Sejarah kemudian mencatat, dalam hidupnya, Nasution memang tak pernah duduk mesra dengan pemegang kekuasaan, sampai Yang Maha Hidup memanggilnya, Mei 2001.