Manohara dan Ingatan Pasar
February 24, 2011
Apa yang dapat kita ingat dari Manohara adalah persoalan tubuh. Ia, dengan airmata deras, menunjukkan pada kita luka lebam, dan bekas sayatan, di bagian dada. Ia, dengan bantuan ibunya, Daisy, membuka mata kita tentang dua soal yang tak gampang diurai: cinta –yang gaib, batiniah, dan tubuh –yang nyata, teraba. Dalam tragedi Manohara, kita menemukan kausalitas antara cinta yang cidera dan tubuh yang terdera.
Ia mengajak kita ingatan kita tamasya pada dua periode yang berbeda: tubuh Manohara sebelum ke Malaysia, dan sesudah menikah dengan Fakhry, si pangeran kaya. Dengan bantuan infotainmen, kita menemukan kontras tegas, tubuh pertama demikian sintal, sensual, dan, ”model yang diperkiraan akan menjadi ikon produk kecantikan,” kata narator ”Insert” Trans TV. Tapi tubuh kedua, yang tampil dengan tangis itu, sudah melebar, gemuk, dengan lengan bawah yang tergayuti lemak. Beberapa video dirinya di Malaysia yang tertawa dalam berbagai acara negara, dan dengan tubuh yang ‘’sentosa” itu, ternyata tak berbanding lurus dengan kebahagiaan. Kegemukan adalah kemalangan. ”Dia dipaksa makan oleh Fachri, biar cepat gemuk!” tegas Daisy.
Dan ketika di tubuh gemuk itu berdiam lebam dan bekas sayatan, Mano mendapatkan senjata.
Mano menggugat, Daisy menghujat. Mereka mendapat iba.
Dan kemudian kita tahu, publik jadi berada di belakang Manohara. Asmara dan luka yang semula hanya melibatkan sepasang manusia, berubah menjadi ”percakapan” bangsa, dan politik identitas pun menemukan ruangnya. Mano pun menang, dan ia melenggang. Kisahnya kemudian jadi ‘’sejarah”, meski tak semua orang mau mengingatnya.
Tapi bagi Mano, sejarah kepedihan itu tak pernah dapat dia abaikan.
”Sejarah yang selalu dikenang bukanlah sejarah yang penuh dengan romantika manis. Namun, apa yang selalu membayangi orang adalah ingatan akan penderitaan, memoria passionis,” kata Walter Benyamin, filsuf dari Mazhab Frankfurt.
Sejarah jenis itu, tak hanya menjejaki otak dengan tanggal, hari, percik suasana dan hangat percakapan, melainkan telah berubah menjadi verstehen; pemahaman dalam diri, terinternalisasikan, tertubuhkan. Dalam sejarah semacam itulah, masa depan, hidup yang kini dijalani, mendapatkan penebusan.
”Aku tak bisa melupakan masa lalu. Ada fase dalam hidupku yang begitu bodoh, yang sampai kini pun masih membuatku bertanya, ‘kok bisa aku melakukan hal itu’,” kata Shu Qi, aktris China yang kini telah menapak di Hollywood. ”Tapi ya, itu memang hidupku. Dulu.
”Aku tahu telah berbuat keliru. Saat itu, dalam ketiadaan pengharapan dan dukungan keluarga, aku merasa telah dewasa untuk melakukan apa saja,” tuturnya dalam sesal yang punah sebagai tangis.
Manohara, barangkali, berada di fase yang sama dengan Shu Qi. Ia tak bisa lupa, kepedihan itu, pasti, akan mengikuti dirinya sepanjang masa. Sejarah yang, seperti kata Benyamin, akan menjadi penebusan hidupnya di masa depan. Seperti Shu Qi yang bangkit dan menjadi bintang, Mano pun melakukan hal yang sama, bergerak, menentukan arah, membangun hidup baru, membentuk citra. Tapi tak mudah, gelinjang masa lalu itu, selalu membuatnya menoleh, menoleh, meski tidak lagi dengan sesal, melainkan siasat yang kenyal.
Apa yang kita ingat dari Manohara adalah persoalan tubuh. Dan dia amat tahu itu.
Ingatan kita akan tubuhnya yang telah cidera, dalam lebam, dan bekas sayatan, adalah ”pasar” yang luas dan terabadikan. Kita seakan selalu dalam fase tanya, ”bagaimana tubuh Mano setelah luka itu? Apakah bisa sempurna, sesintal dan semulus dulu?”
Maka, ketika ada gosip video porno Mano, semua seakan gempita, berharap dalam melihat dan menguji ingatan tubuh yang luka itu. Juga ketika foto-foto tubuh Mano yang berpakaian minim, tengah pesta dan bergoyang di dugem malam, kita mencari-cari, apakah bekas luka dan lebam itu masih ada. Kita penasaran karena berharap ingatan akan tubuh luka itu dapat dibuang, dipunahkan.
Mano mengerti benar hal itu, dan dia pun ”memberi”. Dalam berbagai penampilan, dia tunjukkan tubuh yang telah pulih, tanpa bekas luka, dan ingatan yang tak lagi menyimpan trauma. Pakaian minim yang dia kenakan adalah sinyal diri yang telah kembali, sekaligus senjata yang menodong dengan tanya, ”Tahukah kalian apa yang membuatku dapat bebas dari trauma dan kembali bertubuh ’sempurna’?”
Dan karena ingatan kita atas tubuhnya adalah ”pasar”, di sanalah produk ketubuhan dia tebar. Mano menjual produk kecantikan dengan namanya, Manohara, berlabel M, dengan lambang lotus, di bagian tutupnya.
”Lotus membuat jiwa dan kehidupan keseharian mendapatkan peningkatan spiritual. Bunga Lotus mengandung arti murni, bersih, dan agung,” katanya.
Lalu dengarlah penjelasannya, ”Produk ini aman dan halal. Mano telah menjadi kelinci percobaan selama beberapa bulan. Mano puas, tak ada efek samping.”
Mano, dengan percaya diri, juga menyadari, akan ada yang menganggap dia hanya menjual nama, tapi, ”Apa pun opini yang muncul, saya tetap akan berpikir positif dan keep moving,” tegasnya.
Mano benar. Dia memang berpikir positif, dan dapat memanfaatkan sejarah tubuhnya sebagai penebusan, bahkan obat di masa depannya. Dengan bisnis kecantikan itu, Mano meletakkan dirinya secara cerdas untuk terus berada di dalam ingatan banyak orang. Tapi kini, bukan dengan jerit tangis, dan tubuh yang guram dalam lebam serta bekas sayatan. Mano telah melampaui ingatan kesakitan itu dan menuju sejarah baru, tarikh pathos, ketika luka dan derita diubah jadi arah, jadi tujuan. Dan bukan hal yang salah, jika kemudian, ingatan kita akan luka dan lebam tubuhnya dia ubah jadi lapak, tempat untuk berjualan….
Anak Raja Berjiwa Tentara
March 23, 2009
SEUSAI sidang Dewan Siasat Militer yang dihadiri Soedirman, Gatot Subroto, dan Sungkono, di tahun 1948, Bung Karno memanggil Djatikusomo. Di ruangannya, wajah Bung Karno tampak keruh.
“Lain kali, kalau rapat dewan Siasat Militer, jangan ajak Gatot Subroto,” perintah Bung Karno.
“Kenapa?” tanya Djatikusumo.
“Aku ndak mengerti jalan pikirannya.”
Djatikusumo tersenyum.
Dalam jajaran petinggi militer saat itu, Djatikusumo memang punya posisi penting. Dia acap diminta menghadiri rapat-rapat penting oleh Jenderal Soedirman. Alasan Soedirman sepele: hanya dengan mengikutsertakan Djatikusumo, dia dan beberapa jenderal lain dapat memahami pikiran Bung Karno, Syahrir, Hatta, dan anggota kabinet lain.
“Saya akui, Bung Karno, Hatta, dan Syahrir itu memang orang hebat. Pikiran-pikirannya cemerlang. Para jenderal semacam Soedirman yang hanya guru, Gatot Subroto dan Sungkono yang hanya tamat sekolah dasar, sering sulit memahami pikiran mereka. Saya jembatan bagi mereka untuk memahami jalan pikiran tokoh-tokoh hebat itu,” aku Djatikusumo, sebagaimana dikutip Tempo.
Dalam rapat Dewan Siasat Militer itu juga, para petinggi negara yakin, Belanda akan menyerang Indonesia. Bung Karno menghendaki, militer membentuk wadah angkatan. Dan karena dianggap sebagai tokoh yang paling tepat, Bung Karno menunjuk Djatikusumo menjadi Kepala Staf Angkaran Darat RI, untuk pertama kali (1 Maret 1948-1 Mei 1950).
Perang adalah Guru Terbaik
Djatikusumo lahir 1 Juli 1917, atau tepat hari ke-11 Ramadan, di kedaton Surakarta. Ayahnya adalah Susuhunan Paku Buwono X. Ibunya bernama Kirono Rukmi, garwa ampeyan Sri Susuhunan, bukan permaisuri. Karena itu, berdasarkan asal ibunya yang dari desa Kajoran, di selatan Klaten, Djatikusumo lebih merasa sebagai orang desa.
“Lingkungan kraton dan desa, kelak membentuk watak saya menjadi bangsawan sekaligus rakyat,” akunya, di Mei 1991.
Sejak kecil, ayahnya sudah menanamkan jiwa nasionalis, dengan menceritakan penjarahan Belanda. Tapi, dengan alasan untuk lebih memahami watak Belanda, biar lebih mudah mengalahkannya, Subandono –nama kecil Djatikusumo– justru disekolahkan di Eurepesche Lagere School di Solo, 1924.
Selepas ELS 1931, Djatikusumo dikirim ke HBS di Bandung, dan dititipkan pada keluarga Belanda. Ia “menumpang” selama 8 tahun.
“Kelak, pemahaman saya pada watak, tingkah laku dan pola pikir Belanda, amat mendukung karier Militer dan perjuangan saya saat menghadapi Belanda.”
Karena tak ingin mengangkat sumpah setia pada Sri Ratu dan Konstitusi Belanda, Djatikusumo menolak masuk Akademi Militer Breda di Belanda. Dia malah memilih Institut Technologie Delf di Nederland, 1936.
Tahun 1940, saat pecah Perang Dunia II, dia pulang, dan melanjutkan studi ke ITB.
1941, karena percaya pada Jangka Jayabaya, Djati memutuskan masuk milisi Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) di Bandung. Pangkat kopral ia sandang.
Ternyata ramalan Jayabaya benar, Jepang masuk, Belanda kalah. Dan karier militer Djatikusumo dimulai. Dia masuk PETA. 8 bulan di PETA, tugas berat datang, bernegosiasi dan meminta Jepang menyerah, di Semarang.
“Saat berunding, pikiran saya hanya satu, bagaimana bisa keluar dari markas Jepang dengan selamat,” akunya pada Tempo.
Karena prestasinya, Jenderal Oerip Soemahardjo memintanya menjadi kepala divisi di Salatiga. 1946, ia menjadi Kepala Divisi Ronggolawe untuk wilayah Pati, Bojonegoro dan Muncung. Tapi, selama masa ini, hutan jadi wilayah Mantingan justru tempat yang paling berkesan bagi Djati. Di tengah hutan jati itu, dalam suasana perang, ia menikahi Raden Ayu Suharsi, wanita yang kelak memberinya tiga anak.
Agresi Belanda yang pertama pecah. Djatikusumo diminta menguasai Gresik-Lamongan. Tapi, para prajurit yang ia pimpin justru kecut, dan hampir mogok perang. Djatikusumo meradang.
“Mencari musuh itu malah susah. Sekarang, ketika musuh ada di depan mata, kalian malah kecut. Gugur dalam perang adalah hal yang biasa. Guru terbaik bagi prajurit adalah perang itu sendiri. Maju!”
Karena prestasinya, Soedirman menariknya ke Yogya. Dan di sinilah, Djatikusumo mulai berkenalan dengan petinggi negara, Hatta dan Soekarno, sampai ia diminta menjadi KSAD.
Tahun 1950, saat RI menjadi RIS, Djatikusumo adalah saksi hidup kekacauan sistem pemerintahan itu. Sistem federal ternyata tak jalan, dan Bung Karno lebih berkuasa daripada perdana menteri. Bahkan, banyak politisi yang tak tahu harus melakukan apa, termasuk membentuk kabinet. Pada saat itulah, Bung Karno mengeluarkan Surat Keputusan: “Presiden Republik Indonesia Sukarno, dengan ini menunjuk warga negara Indonesia Sukarno untuk membentuk kabinet.”
Atas kekacauan konstitusi itulah, Djatikusumo berinisiatif mengumpulkan para petinggi militer, dan mengusulkan kemungkinan Indonesia kembali memakai UUD 1945.
Kekacauan inilah yang membuat meriam dan tank akhirnya mengarah ke Istana, dan TNI mendesak Bung Karno untuk kembali ke UUD 1945. Tapi, para politisi menolak. Akhirnya, Bung karno mengambil tindakan, memecat AH Nasution dan Gatot Subroto sebagai KSAD dan wakil KSAD, dan melemparkan Jenderal Mokoginta, perancang utama Peristiwa 17 Oktober 1950 itu, ke Amerika, bersekolah ke Port Levenberg.
Djatikusumo sendiri terkena imbasnya, dan dicopot dari jabatannnya sebagai Kepala Biro Perancang Operasi TNI, dan ditugaskan sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat. Ia kemudian dipindah lagi menjadi Direktur Zeni AD, dan ikut aktif menyelesaikan masalah pemberontakan PRRI/Permesta. Sebagai Direktur Zeni inilah, Djati kembali memiliki pasukan, yang salah seorang diantaranya Try Sutrisno, yang sepanjang pengamatannya, tak punya kapasitas istimewa.
Djati kemudian menjadi Dubes di Malaysia. Sayang, hanya 100 hari ia di sana. Konfrontasi Indonesia-Malaysia, membuat karier politiknya nyaris tamat. Terakhir, ia menjadi Dubes Luar Biasa untuk Maroko. Dan di saat jauh dari pusat kekuasaan inilah, dia tak menyaksikan, kejatuhan Bung Karno, orang yang amat ia kagumi.
Semasa Soeharto, ia diangkat menjadi anggota DPA, juga merangkap anggota Tim-BP7. Di masa tua, ia pun mulai berbisnis, merambah bidang yang luas, dari telekomunikasi, perkayuan, sampai konstruktor.
“Ini karena pensiun saya sebagai jenderal, tak cukup untuk hidup,” katanya, sambil menjelaskan uang pensiunnya yang hanya Rp 300 ribu perbulan, di tahun 1991.
Sabtu, 5 Juli 1992, saksi sejarah, dan KSAD RI pertama ini meninggal dunia, di tengah 5 orang cucunya.
Recent Comments