Dari Pemakaman Gus Dur

January 6, 2010

Di pemakaman Gus Dur, saya melihat wajah-wajah yang tak akrab di kamera. Ribuan, menyemut, seperti antrian menggotong gula. Wajah-wajah, yang meski asing, tapi memiliki aura yang sama, raut kehilangan. Paras-paras yang meski terlihat tegang menanti hadirnya jenazah kecintaan mereka, tapi tetap mendaraskan doa. Mereka terhimpun oleh semangat cinta yang sama, melihat, menyentuh, atau sekadar melontarkan takbir, sebelum Gus Dur, dikebumikan. Cinta itu membuat mereka terhimpun di sekitar pemakaman, di depan pesantren, di atas pohon, berjajaran duduk di genteng, bahkan menanti di selokan. Dan ketika jenazah Gus Dur tiba, seperti dalam satu tarikan napas, semua mengangkat takbir, bergerak mendekat.

Tapi, “Jenazah Gus Dur seperti dirampas tentara,” kata Pras, seorang pelayat. Dia berharap dapat dekat, minimal menyentuhkan tangannya ke keranda Gus Dur. Tapi protokoler militer, membuat Pras, juga ribuan pecinta lain, kehilangan hak untuk memberikan penghormatan terakhir.

“Gus Dur itu kiai saya, tetap kiai saya, bahkan ketika beliau menjadi presiden,” sesal Rasmanto, pelayat dari Madiun.

Ribuan wajah itu tetap bertahan, bahkan selewat tujuh hari setelah kematian Gus Dur. Seperti terjadwal, mereka bergiliran datang untuk sowan, membaca Yasin, berdoa, di depan pusara, dan pulang dengan segenggam tanah makam, atau sepucuk kembang.

Sampai kemudian muncul kritik, sikap itu dapat menjadikan peziarah terjerumus dalam laku syirik. Sebuah pandangan yang, secara amat menggelikan, mendudukkan keimanan orang lain, peziarah itu, dalam kadar yang rendah, dan mudah goyang. Lalu makam pun dibentengi dari “pejarah tanah dan kembang”, dengan pagar rafia, yang tanpa sadar, menghapus harapan banyak para pecinta.

Arofah, peziarah dari Surabaya, menangis tersedu-sedu, karena tak dapat menjamah makam Gus Dur. “Saya ingin mengambil sedikit tanah, atau bunga. Tapi tak bisa…,” isaknya.

Saya dapat merasakan kesedihan Arofah. Saya percaya, jika Gus Dur masih ada, dia akan membiarkan laku itu, agar setiap orang dapat terus memiliki harapan, terus hidup dalam keriangan-keriangan. Seperti pembiaran Gus Dur, ketika umat berharap dapat mencium tangannya. Karena bagi Gus Dur, efek penciuman tangan itu bukan buatnya, melainkan buat pecintanya, santrinya, yang berharap dapat berkah. Mencium tangan Gus Dur, menggenggam keranda, mensalatkan, menjumputi tanah makam, atau menyimpan kembang, dengan demikian hanya semacam upaya untuk berusaha mendapatkan cahaya di dalam kegelapan. Mengapa dilarang? Mengapa, “Gitu aja kok repot….”

“Saya selalu ingin dekat dengan Gus Dur. Karena tidak bisa waktu beliau hidup, minimal saya sudah bisa dekat di makamnya,” kata Abdul Hakim, peziarah asal Lamongan. Tiga kali dia berziarah, dan baru pada Rabu (6/1), Abdul dapat membaca Yasin persis di depan kuburan.

******

Di pemakaman Gus Dur, saya melihat wajah-wajah yang tak akrab di depan kamera. Ribuan. Mereka menanggalkan status, jabatan, membuang ikatan-ikatan busana kantoran, melibatkan sarung, duduk sebagai santri, membaurkan diri sebagai pecinta. Semua berharap mendapat kehormatan, menurunkan mayat ke lahat, menyentuh Gus Dur atau hanya keranda dan kafan. Wajah-wajah yang tidak saya kenal, yang saya yakin, juga tak bersentuhan dengan Gus Dur secara pribadi. Asing dalam persentuhan fisik, akrab dalam senggama batin.

Di pemakaman Gus Dur, saya juga melihat wajah-wajah yang juga akrab di depan kamera. Ratusan. Mereka tak menanggalkan status, apalagi jabatan, mengenakan busana kantoran, berjas, berdasi, sepatu mengilap, di udara yang terik berkeringat. Mereka santri. Mereka murid Gus Dur. Sebagian bertalian darah, keponakan. Mereka, dulu, selalu bersentuhan secara pribadi dengan Gus Dur. Akrab dalam kontak fisik, tapi kini, bahkan ketika sang Guru berpulang, mereka tetap menjaraki batin.

Ada Muhaimin Iskandar, Saifullah Yusuf, Alwi Shihab, Helmi Faisal Zaini, dan lainnya, yang berkat Gus Dur, jalan politik mereka tersibak lebar.

Mereka murid, “Saya anak ideologis Gus Dur,” kata Muhaimin, dan terlebih mereka santri, dari berbagai pesantren di Jawa Timur.

Mereka juga, dulu, adalah pecinta Gus Dur yang paling masyuk. “Bahkan kalau Gus Dur bilang langit berwarna hijau, saya akan bilang juga hijau,” tegas Muhaimin.

Merekalah saksi terdekat dan penerima berkah dari “kesaktian” Gus Dur.

Tapi di Pesantren Tebu Ireng itu, mereka “cuma” tamu, yang sebenarnya tak ditunggu.

Dan sebagai tamu, mereka terhalang –atau mungkin merasa nyaman– dengan protokoler jabatan.

Muhaimin, dan yang lain, seperti juga SBY, datang dan membuang waktu dengan menyalami pelayat di jalan. Mereka ditunggu jenazah, bukan menunggu. Mereka tak lagi duduk sebagai “warga” NU.

Di pemakaman Gus Dur, di dekat liang lahat itu, saya harapkan melihat Muhaimin dan Saifullah, atau Alwi, berbaju koko, bersarung dan peci, sebagai santri. Mereka menunggu Gus Dur, sang guru, dan berebut untuk ikut menurunkan jenazah ke bumi, sebagai penghormatan terakhir, sebagai tanda tiada keberjarakan. Mereka akan menguruki tanah makam, karena percaya, seperti  puisi Soebagyo Sastrowardoyo, tak ada batas antara kita. Aku masih terikat kepada dunia/ karena janji/ karena kenangan// Kematian hanya selaput gagasan yang gampang diseberangi/ Tak ada yang hilang dalam perpisahan, semua pulih/ juga angan-angan dan selera keisengan.

Tapi, tak ada Muhaimin sebagai murid di pemakaman itu, tak ada Saifullah sebagai santri, atau Alwi sebagai kiai. Mereka, seperti kata Pras tadi, hadir tak lebih sebagai tentara, berstatus pejabat negara, yang membuat Gus Dur “terhalangi” untuk mendapatkan penghormatan seintim mungkin dari para santri dan pecintanya.

Di pemakaman itu, saya melihat dua wajah pecinta, mereka yang melayat karena mencintai Gus Dur, dan mereka yang datang karena mencintai jabatannya.