Andaikata Minggu tak Pernah Ada

February 12, 2011

Kematian biasanya menerbitkan iba, dan kenangan atas si mayit melahirkan cinta. Kita dapat dengan jelas menemukan contohnya, dalam keberpulangan Adjie Massaid, dan rasa kehilangan Angie.

Adjie yang meninggal Sabtu (5/2), menerbitkan iba yang luar biasa. Kita terhenyak, dan tiba-tiba terserang rasa ‘’seram”, bahwa kematian demikian adikuasa, tak bisa ditawar, dan bersifat memaksa. Adjie yang bugar, tiba-tiba runduk, dan sadar, tak pernah ada negosiasi di depan sang maut. Politikus itu tak bisa memberikan konsesi apa pun di depan elmaut, selain wasiat kepada yang hidup, Angie, istrinya. Dan kita pun terbata, ketika Angie menceritakan kepasrahan itu, ””Angie, take care of everything, take care of the children. Mungkin ini udah waktunya.”

Kematian Adjie membuat kita bukan saja merunduk pada sang maut, melainkan lebih berani melihat hidup. Angie, selepas tangisnya yang demikian menyulut iba, mengingatkan kita tentang hidup yang harus dia jalani, sendiri. Kita pun mengira-duga, kuatkah dia, melangkah tanpa genggaman cinta, merawat Keanu, dan menemani Zahwa dan Aaliya, sendiri. Kita lalu membayangkan hidupnya yang akan terasa sulit, dan tanpa sadar, membandingkan dengan hidup kita.

Maut, di titik itu, membuat kita berhenti, mengevaluasi diri, mencerna hidup.

Kematian Adjie membuat kita bertanya dengan nada iri, apakah kelak kita juga mendapatkan kehormatan, cinta, dan ungkapan kehilangan yang sama, selepas kematian.

Adjie mengingatkan kita bahwa hidup secara bersih dan tulus bukanlah sesuatu yang sia-sia, akan selalu kembali kepada kita, bahkan di saat maut mengambil kita dari dunia.

Adjie menginspirasi bahwa kehidupan itu penting, berharga, dan harus dijaga.

Di atas kematiannya, di basah pusaranya, kita menemukan cinta yang lahir, bermekaran, dan menyesakkan dada. Kita jadi percaya, bahwa energi terbesar manusia adalah mencinta, adalah mencinta.

Kematian biasanya menerbitkan iba, dan kenangan atas si mayit melahirkan cinta. Tapi hari-hari ini, kita juga melihat kematian yang melahirkan benci, amarah, dan dendam. Dan kenangan, juga sejarah sang korban, tak menampilkan rasa belas, justru umpat yang culas. Cinta, seperti juga negara, tak hadir, alpa, dalam kasus pembantaian jemaah Ahmadiyah.

Kematian, yang bahkan datang dalam bentuk yang sadis, entah bagaimana, tak menerbitkan rasa miris karena digonggong kebencian dan perasaan absolut dalam menggenggam kebenaran. Pembantaian jemaah Ahmadiyah, yang merupakan bencana kemanusiaan, bukan dihadirkan sebagai ingatan, ancaman, akan nilai-nilai dasar manusia, tapi direduksi sebagai ”kewajaran” dari kesesatan. Di atas mayat sang korban, para cerdik-cendekia, yang mengaku pemuka agama, berdebat siapa benar siapa sesat, bukan menyatakan empati dan bela sungkawa. Cinta entah menguap ke mana. Padahal, di depan tragedi kemanusiaan bukankah kita seharusnya ”melepaskan” agama.

Tapi lihatlah, negara yang diwakili Menteri Agama bahkan meminta Ahmadiyah dibubarkan, dan atau, membentuk agama baru. Sebuah sikap yang bukan menenangkan, mengayomi sang korban, melainkan seperti ”pembenaran” kerusuhan. Padahal, ”Menteri Agama kan bukan cuma menteri orang Islam, tapi semua umat beragama di Indonesia,” kata Karding, Ketua Komisi VIII DPR RI.

Guntur Romly, aktivis antar-iman, dalam debat ”Apa Kabar Indonesia” TV One, juga mengatakan hal yang sama. ”Bagaimana mungkin di hadapan korban kita masih menyalahkan mereka?”

Beriman sekaligus membantai sesama, saya tak tahu bagaimana formulasi itu bisa ada. Saya juga tak tahu darimana ide membentuk agama baru itu bisa lahir?

Hal di atas cuma membuktikan, dalam amarah, dan mungkin juga benci, kita bukan saja kehilangan kemanusiaan, melainkan juga pengetahuan dan kearifan. Secara cepat, ”kita” membedakan diri dan mengambil garis demarkasi dengan ”mereka”, seakan tanpa hubungan, tanpa ikatan, bahkan atas nama bangsa dan kemanusiaan. Luka, darah, dan kematian,  memang disesalkan, tapi berhenti sebagai ucapan.

Itulah sebabnya, di kematian jemaah Ahmadiyah, kita tak lagi menemukan cinta, dan kita gusar.  Kita melihat kemanusiaan kalah oleh kebencian, dan keadilan dilepaskan dari belas dan iba.

Sabtu (5/2), almarhum Adjie mengingatkan kita tentang cinta, dan hidup yang berharga. Angie memberi kita inspirasi tentang sejarah yang tak berhenti, bahkan ketika Adjie mati. Kita, meski mungkin tak bisa, ingin memiliki dan atau mengenang kisah cinta mereka. Karena kita tahu, dalam cinta, melalui belas dan iba, hidup terasa begitu bersih dan berharga, penuh warna.

Tapi Minggu (6/2), dan juga Senin (7/2) saat tiga gereja di bakar massa di Temanggung, otak kita seakan buntu. Di depan korban, jemaah Ahmadiyah itu, kita merasa malu, menatap cinta yang purna, dan kemanusiaan yang sirna. Kita melihat agama dilepaskan dari cinta, ketika yang ‘’sibuk menentukan batas”, menelikung ”yang menjangkau tanpa batas”. Di depan sang korban, kita berharap tragedi kemanusiaan itu tak tercatat dalam sejarah, tak membekas dalam ingatan.  Di hari-hari ini, barangkali, kita berbisik, ”Andaikata Minggu tak pernah ada, maka Sabtu akan terasa begitu sempurna….”

Anak Raja Berjiwa Tentara

March 23, 2009

 

SEUSAI sidang Dewan Siasat Militer yang dihadiri Soedirman, Gatot Subroto, dan Sungkono, di tahun 1948, Bung Karno memanggil Djatikusomo. Di ruangannya, wajah Bung Karno tampak keruh.

“Lain kali, kalau rapat dewan Siasat Militer, jangan ajak Gatot Subroto,” perintah Bung Karno.

“Kenapa?” tanya Djatikusumo.

“Aku ndak mengerti jalan pikirannya.”

Djatikusumo tersenyum.

Dalam jajaran petinggi militer saat itu, Djatikusumo memang punya posisi penting. Dia acap diminta menghadiri rapat-rapat penting oleh Jenderal Soedirman. Alasan Soedirman sepele: hanya dengan mengikutsertakan Djatikusumo, dia dan beberapa jenderal lain dapat memahami pikiran Bung Karno, Syahrir, Hatta, dan anggota kabinet lain.

“Saya akui, Bung Karno, Hatta, dan Syahrir itu memang orang hebat. Pikiran-pikirannya cemerlang. Para jenderal semacam Soedirman yang hanya guru, Gatot Subroto dan Sungkono yang hanya tamat sekolah dasar, sering sulit memahami pikiran mereka. Saya jembatan bagi mereka untuk memahami jalan pikiran tokoh-tokoh hebat itu,” aku Djatikusumo, sebagaimana dikutip Tempo.

Dalam rapat Dewan Siasat Militer itu juga, para petinggi negara yakin, Belanda akan menyerang Indonesia. Bung Karno menghendaki, militer membentuk wadah angkatan. Dan karena dianggap sebagai tokoh yang paling tepat, Bung Karno menunjuk Djatikusumo menjadi Kepala Staf Angkaran Darat RI, untuk pertama kali (1 Maret 1948-1 Mei 1950).

 
Perang adalah Guru Terbaik

Djatikusumo  lahir 1 Juli 1917, atau tepat hari ke-11 Ramadan, di kedaton Surakarta. Ayahnya adalah Susuhunan Paku Buwono X. Ibunya bernama Kirono Rukmi, garwa ampeyan Sri Susuhunan, bukan permaisuri. Karena itu, berdasarkan asal ibunya yang dari desa Kajoran, di selatan Klaten, Djatikusumo lebih merasa sebagai orang desa.

“Lingkungan kraton dan desa, kelak membentuk watak saya menjadi bangsawan sekaligus rakyat,” akunya, di Mei 1991.

Sejak kecil, ayahnya sudah menanamkan jiwa nasionalis, dengan menceritakan penjarahan Belanda. Tapi, dengan alasan untuk lebih memahami watak Belanda, biar lebih mudah mengalahkannya, Subandono –nama kecil Djatikusumo– justru disekolahkan  di Eurepesche Lagere School di Solo, 1924.

Selepas ELS 1931, Djatikusumo dikirim ke HBS di Bandung, dan dititipkan pada keluarga Belanda. Ia “menumpang” selama 8 tahun.

“Kelak, pemahaman saya pada watak, tingkah laku dan pola pikir Belanda, amat mendukung karier Militer dan perjuangan saya saat menghadapi Belanda.”

Karena tak ingin mengangkat sumpah setia pada Sri Ratu dan Konstitusi Belanda, Djatikusumo menolak masuk Akademi Militer Breda di Belanda. Dia malah memilih Institut Technologie Delf di Nederland, 1936.

Tahun 1940, saat pecah Perang Dunia II, dia pulang, dan melanjutkan studi ke ITB.

1941, karena percaya pada Jangka Jayabaya, Djati memutuskan masuk milisi Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) di Bandung. Pangkat kopral ia sandang.

Ternyata ramalan Jayabaya benar, Jepang masuk, Belanda kalah. Dan karier militer Djatikusumo dimulai. Dia masuk PETA. 8 bulan di PETA, tugas berat datang, bernegosiasi dan meminta Jepang menyerah, di Semarang.

“Saat berunding, pikiran saya hanya satu, bagaimana bisa keluar dari markas Jepang dengan selamat,” akunya pada Tempo.

Karena prestasinya, Jenderal Oerip Soemahardjo memintanya menjadi kepala divisi di Salatiga. 1946, ia menjadi Kepala Divisi Ronggolawe untuk wilayah Pati, Bojonegoro dan Muncung. Tapi, selama masa ini, hutan jadi wilayah Mantingan justru tempat yang paling berkesan bagi Djati. Di tengah hutan jati itu, dalam suasana perang, ia menikahi Raden Ayu Suharsi, wanita yang kelak memberinya tiga anak.

Agresi Belanda yang pertama pecah. Djatikusumo diminta menguasai Gresik-Lamongan. Tapi, para prajurit yang ia pimpin justru kecut, dan hampir mogok perang. Djatikusumo meradang.

“Mencari musuh itu malah susah. Sekarang, ketika musuh ada di depan mata, kalian malah kecut. Gugur dalam perang adalah hal yang biasa. Guru terbaik bagi prajurit adalah perang itu sendiri. Maju!”

Karena prestasinya, Soedirman menariknya ke Yogya. Dan di sinilah, Djatikusumo mulai berkenalan dengan petinggi negara, Hatta dan Soekarno, sampai ia diminta menjadi KSAD.

Tahun 1950, saat RI menjadi RIS, Djatikusumo adalah saksi hidup kekacauan sistem pemerintahan itu. Sistem federal ternyata tak jalan, dan Bung Karno lebih berkuasa daripada perdana menteri. Bahkan, banyak politisi yang tak tahu harus melakukan apa, termasuk membentuk kabinet. Pada saat itulah, Bung Karno mengeluarkan Surat Keputusan: “Presiden Republik Indonesia Sukarno, dengan ini menunjuk warga negara Indonesia Sukarno untuk membentuk kabinet.”

Atas kekacauan konstitusi itulah, Djatikusumo berinisiatif mengumpulkan para petinggi militer, dan mengusulkan kemungkinan Indonesia kembali memakai UUD 1945.

Kekacauan inilah yang membuat meriam dan tank akhirnya mengarah ke Istana, dan TNI mendesak Bung Karno untuk kembali ke UUD 1945. Tapi, para politisi menolak. Akhirnya, Bung karno mengambil tindakan, memecat AH Nasution dan Gatot Subroto sebagai KSAD dan wakil KSAD, dan melemparkan Jenderal Mokoginta, perancang utama Peristiwa 17 Oktober 1950 itu, ke Amerika, bersekolah ke Port Levenberg.

Djatikusumo sendiri terkena imbasnya, dan dicopot dari jabatannnya sebagai Kepala Biro Perancang Operasi TNI, dan ditugaskan sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat. Ia kemudian dipindah lagi menjadi Direktur Zeni AD, dan ikut aktif menyelesaikan masalah pemberontakan PRRI/Permesta. Sebagai Direktur Zeni inilah, Djati kembali memiliki pasukan, yang salah seorang diantaranya Try Sutrisno, yang sepanjang pengamatannya, tak punya kapasitas istimewa.

Djati kemudian menjadi Dubes di Malaysia. Sayang, hanya 100 hari ia di sana. Konfrontasi Indonesia-Malaysia, membuat karier politiknya nyaris tamat. Terakhir, ia menjadi Dubes Luar Biasa untuk Maroko. Dan di saat jauh dari pusat kekuasaan inilah, dia tak menyaksikan, kejatuhan Bung Karno, orang yang amat ia kagumi.

Semasa Soeharto, ia diangkat menjadi anggota DPA, juga merangkap anggota Tim-BP7. Di masa tua, ia pun mulai berbisnis, merambah bidang yang luas, dari telekomunikasi, perkayuan, sampai konstruktor.

“Ini karena pensiun saya sebagai jenderal, tak cukup untuk hidup,” katanya, sambil menjelaskan uang pensiunnya yang hanya Rp 300 ribu perbulan, di tahun 1991.

Sabtu, 5 Juli 1992, saksi sejarah, dan KSAD RI pertama ini meninggal dunia, di tengah 5 orang cucunya. 

Selalu Dibuang Tangan Kekuasaan

March 9, 2009

PERISTIWA 17 Oktober 1952, tentang serangkaian aksi angkatan darat yang mengarahkan meriam ke Istana, sampai saat ini masih menjadi misteri. Tapi satu yang nyata dari peristiwa itu adalah tersiarnya isu kudeta oleh Kolonel Abdul Haris Nasution, yang membuat ia dipecat sebagai Kasad, dan dimahkamahmiliterkan. Padahal, Nasution hanya korban dari intrik “sandiwara” politik itu.

“Saya kemudian dipecat, November 1952, semasa kabinet Wilopo. Secara institusional, sayalah yang bertanggung jawab atas peristiwa itu,” akunya pada Tempo, 12 tahun sebelum kematiannya.

Sebelum peristiwa itu, sebelumnya Angkatan darat telah mengirim petisi kepada Presiden untuk membubarkan parlemen, yang kekuasaannya amat besar, sehingga turut campur dalam urusan internal kemiliteran. Petisi itu disusun di kamar kerja Nasution, dan karena semua kepala divisi menandatangani, Nasution pun ikut.

Kemudian, “sandiwara” 17 Oktober pun dimulai.

Malam sebelum tanggal itu, Nasution mengirim Kolonel Mustopo kepada presiden Sukarno. Dia melaporkan bahwa pada esok harinya, akan ada demonstasi Angkatan Darat ke Istana, dengan tujuan presurre, memakai tank, panser, supaya presiden mau membubarkan parlemen. Ini hanya semacam “permainan” politik. Karena itu, pengiriman Moestopo diharapkan Nasution supaya Presiden tak kaget. Hasil pertemuan dengan Presiden pun kemudian dilaporkan Moestopo pada Nasution.

Tapi sandiwara itu tak sepenuhnya berhasil.

Tanpa perintah Nasution, pasukan mengarahkan meriam ke Istana. Nasution kaget. Tapi, ketika dia tahu kepala pasukan Jakarta adalah Kemal Idris, yang tak menyukai Sukarno, dia bisa mengerti.

Nasution kemudian menghadap Sukarno, yang telah didampingi Hatta, Sri Sultan, dan Wilopo, serta TB Simatupang. Presiden tampak santai, bahkan acap tersenyum, meskipun Simbolon, terutama Kawilarang, memberikan pernyataan yang keras atas “politik” yang dimainkan parlemen.

Dan Bung Karno tetap tak mau membubarkan parlemen, atas nama Undang-Undang Dasar.

“Sandiwara” ini baru meminta korban beberapa hari kemudian, saat Kolonel Zulkifli Lubis, Kepala Biro Informasi Angkatan Perang di Hankam, membuat laporan, “Waktu menghadap Presiden, Kasad Nasution menuntut supaya negara dinyatakan dalam keadaan bahaya.” Laporan itu kemudian melanjutkan, Presiden menjawab, “Baiklah, kalau saya yang memegang kekuasaan, saya akan pecat kamu.”

Padahal, dalam pertemuan itu, Zulkifli tidak hadir. Nasution menduga, laporan itu bagian dari permainan Bung Karno. Laporan itu dikirim ke daerah-daerah, dan militer bersepakat, Nasution berencana kudeta! Mahkamah militer pun digelar.
Nasution pun dipecat, dan posisinya sebagai Kasad diserahkan pada Mayor Jenderal Bambang Sugeng.

Guru yang menjadi Prajurit

Sewaktu kecil, kakek Nasution mengharapkan dia menjadi seorang pendekar silat, meneruskan jejaknya. Tapi, Ayahnya, justru selalu mengharapkannya jadi kiai. Dari ibunya, dia selalu diobsesikan menjadi dokter. Nasution bingung, apalagi ketiga orang yang amat dia sayangi itu, selalu bersikeras dengan keinginannya. Nasution sendiri, lebih bersetuju dengan keinginan ibunya.

Umur 7 tahun, Nasution masuk HIS, dan sorenya, harus masuk maktab, semacam pesantren, belajar agama. Guru yang amat keras di pesantren itu adalah ayah Nasution sendiri.

Kampung Nasution, Kotanopan, Tapanuli, Sumatera Timur, adalah basis pergerakan Syarikat Islam. Ayahnya, terutama pamannya, Syeikh Musthafa, adalah pendiri Pesantren Purba, pesantren tertua di Sumatera Timur, yang saat itu menjadi basis pergerakan melawan Belanda. Lingkup pergaulan inilah yang membuat Nasution kental dengan semangat nasionalisme.

Tapi, yang mempengaruhi jiwa Nasution adalah Kemal Attaturk. Saat itu, di Kotanopan, pemimpin Turki ini menjadi semacam ikon perlawanan.

Selepas HIS, dia masuk sekolah guru. “Posisi menjadi guru saat itu amat dihormati. Kelak, saat gerilya semasa Agresi Belanda di Jawa, saya juga tahu, posisi guru pun sangat dihormati,” kenangnya.

Sekolah guru saat itu hanya ada di Bukittinggi. Dan di sanalah Nasution sekolah, sekaligus “berkenalan” dengan Bung Karno, melalui serangkuman pujian dari tokoh pergerakan saat itu.

“Bung Karno amat dipuja di Bukittinggi, foto-fotonya dicetak dengan posisi sedang berpikir keras, dengan pena yang selalu terselip di saku bajunya,” jelasnya.

Tiga tahun di Bukittinggi, dia melanjutkan ke Bandung. Lulus, dia melamar jadi guru partekelir di Muara Dua, Bengkulu, yang membuatnya secara fisik berkenalan dengan Bung Karno, yang sedang diasingkan.

1938, Nasution diterima sekolah cadangan perwira di Bandung. Teman seangkatannya adalah Kawilarang dan Simatupang, yang juga lulus dengan prestasi tertinggi, dan diperbolehkan masuk Akademi Militer di Bandung.

11 November 1945, setelah pertempuran Surabaya, seluruh perwira militer dikumpulkan di Yogyakarta oleh Kepala staf Umum TKR. Pada saat itu disetujui untuk mengangkat panglima besar. Ada beberapa calon, yang paling populer adalah Urip Soemahardjo dan Kolonel Soedirman. Akhirnya, Kolonel Soedirman terpilih, dan tentara pecah dua, karena Urip tak menerima kekalahannya.

Pulang dari Yogya, Nasution menjadi Panglima Divisi III TKR seluruh Priangan ditambah Sukabumi dan Cianjur.

Maret 1946, karena belum memiliki pertahanan yang baik untuk melawan sekutu, laskar dan tentara di Bandung tak sudi menyerahkan Bandung, dan memilih membakar, menjadikan “Bandung Lautan Api”.

“Saya selalu terharu mengenang peristiwa itu. Lasjkar membakari sendiri barak-baraknya, rakyat membakari rumah-rumahnya, semua ikhlas, daripada jatuh ke tangan sekutu,” ucapnya dengan nada pelan.

Mei 1946, Nasution diangkat jadi Panglima Divisi I, wilayah Bandung.

Januari 1948, dalam rangka melawan Agresi Belanda, Nasution Hijrah ke Jawa Tengah. Februari ia diangkat jadi Wakil Panglima Besar Soedirman, yang saat itu mulai sakit-sakitan. Di sinilah ia menerapkan konsep membuat kantung-kantung gerilya, yang menjadi acuan semua panglima divisi, atas perintah Soedirman.

Setelah itu karier Nasution melonjak terus, sampai ia menduduki posisi Kasad saat peristiwa 17 Oktober itu terjadi.
Setelah pemberontakan PKI gagal, Supersemar keluar, dan Suharto berkuasa, status kemiliteran Nasution dipulihkan. Ia kemudian masuk wilayah politik, menjadi Ketua MPRS yang mencabut mandat Bung Karno, dan mengangkat Suharto sebagai Pejabat Presiden.

Tapi, kelak, ia juga yang menjadi “musuh” utama Suharto dengan menjadi anggota Petisi 50, dan “kebebasannya” pun dirampas. Sejarah kemudian mencatat, dalam hidupnya, Nasution memang tak pernah duduk mesra dengan pemegang kekuasaan, sampai Yang Maha Hidup memanggilnya, Mei 2001.

Tentara Berjiwa Gereja

December 19, 2008

PERISTIWA 17 Oktober 1952, saat militer mengarahkan meriam ke Istana, tak hanya meminta korban Nasution. TB Simatupang, rekannya seangkatan di Akademi Militer Bandung pun, yang saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), terkena imbas. Ia dipecat, dan dipensiunkan, saat masih berusia 39 tahun.

Awal masalah besar di tubuh militer itu adalah keinginan Nasution dan Simatupang untuk membentuk militer yang profesional. Kedua orang ini yakin, hanya dengan cara itu, militer tak akan masuk dalam garis PKI.

Tapi, parlemen justru memandang lain, dan mengkritik kebijakan itu, bahkan “mengobok-obok” persoalan internal militer. Hal ituilah yang membuat militer marah, dan meminta presiden membubarkan DPR melalui aksi 17 Oktober itu, yang sebenarnya merupakan sandiwara politik, karena Bung Karno telah tahu skenario itu.

Tapi, ulah seorang kolonel, Bambang Supeno, membuat skenario itu berubah. Bung Karno yang dibuat percaya bahwa militer tak lagi mendukung kepemimpinan Nasution, berhasrat memecatnya. Simatupang bereaksi.

“Saya marah. Bersama Nasution, dan Menteri Pertahanan Hamengku Buwono, kami datangi Presiden. Kami jelaskan yang sebenarnya. Saya tak setuju keinginannya untuk memecat Nasution. Selama saya KSAP, tak akan ada pemecatan itu!” kenang Tahi Bonar Simatupang, saat diinterview Tempo, beberapa tahun sebelum kematiannya.

Tapi ia kalah. Nasution dipecat, bahkan dimahkamahmiliterkan. Simatupang menjadi saksi.

“Saya katakan, jika kami memang ingin kup, pasti militer akan menang. Jakarta sudah kami kuasai. Jadi, tak ada itu keinginan kup. Saya jelaskan keinginan kami, agar pemilu dipercepat, untuk mewujudkan DPR yang representatif,” jelasnya.

Kesaksiannya tak didengar. Bahkan, melalui mosi tak percaya Manai Sophian, seluruh kekuatan politik tak lagi memercayainya, meski tentara mendukungnya. Lewat serangkaian “aksi” politik, kedudukannya sebagai KSAP hilang, dan dia diangkat sebagai penasihat militer, sebelum pensiun tahun 1959, di usia 39 tahun.

“Tak pernah ada militer yang pensiun di usia itu….”

Dari Tentara ke Gereja

Tahi Bonar Simatupang lahir 29 Januari 1920, di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Ia bukan orang Dairi, berbapak Batak pegawai negeri Belanda, yang hidup berpindah-pindah. Ibunya hanya wanita biasa, yang menjadi pedagang saat bapaknya meninggal dunia, 1946.

Ia anak kedua dari 7 bersaudara. 1937, bersama abang dan satu adiknya, mereka berangkat ke Jakarta, bersekolah. Tapi, berbeda dari saudaranya yang memilih kuliah, Simatupang memilih karier di militer. Maka, begitu ada pengumumam penerimaan tentara sukarela di Bandung, ia masuk, satu kelas dengan Nasutioan, Kawilarang dan Kartakusuma. Bersama Nasution dan Kawilarang, ia pun tercatat sebagai lulusan terbaik Koro, sehingga berhak masuk Akademi Militer Belanda di Bandung.

“Saya ingin hancurkan mitos Belanda yang mengatakan Indonesia tak akan mampu membentuk angkatan perang mandiri.”

1942, Jepang masuk. Sekolah diberhentikan, dan semua calon perwira itu diperbantukan dengan pangkat pembantu letnan. Nasution ke Jawa Timur, Simatupang ke kesatuan di Ciganjur, wilayah Bandung.

Saat Belanda menyatakan kalah, dan KNIL dibubarkan, Simatupang bahkan menjadi pedagang buku. Ia berdagang dari Jakarta, Bogor, bandung, Tegal, Pekalongan, Semarang hingga Surabaya, dan satu hal membuka matanya, Jepang pasti kalah. Ia lalu segera bertolak ke Jakarta, dan bergabung dengan Sutan Sjarir.

“Pertemuan dan diskusi dengan Sjarir membuka mata saya mengenai arah perjuangan Indonesia,” katanya.

Bergaul dengan kelompok intelektual Sjarir, Simatupang belajar banyak tentang kemiliteran. Dia juga yang mendesain segala bentuk perundingan dengan Belanda, sambil mempertimbangkan strategi perang jika perundingan gagal. Otaknya diakui Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat Urip Soemahardjo, dan ia menjadi tangan kanan. Panglima Soedirman pun acap meminta nasihatnya. Saat Soedirman meninggal, ia kembali ke Jakarta, dan diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang, dalam usia 29 tahun, 1949.

Simatupang pun kemudian terlibat dalam setiap keputusan politik. Ia juga menjadi wakil militer dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), dan mendesak pengakuan TNI sebagai kesatuan internal dalam wilayah Republik Indonesia Serikat. Dengan kata lain, Simatupang tak ingin ada campur tangan pada kedaulatan organisasi TNI.

Kariernya melesat. Ia dianggap sebagai pemikir militer paling kuat, di samping Nasution. Bung Hatta bahkan acap memakai pikirannya, untuk mewujudkan militer yang profesional. Sayang, ketika Bung Hatta jatuh, ia tak punya tangan kuat di sebalik kekuasaan. Dan konflik dengan Bung Karno mengakhiri karier cemerlang militernya.

Setelah “tamat” di militer, Simatupang masuk gereja. Ia melihat, pengabdian dalam militer dan gereja ada kemiripan, dapat lebih dekat dengan permasalahan sebenarnya masyarakat. Keaktifannya itu juga dalam rangka menciptakan kesalingpengertian antarumat beragama.

“Awal tahun 1970-an, saya bahkan menjadi pioner dialog antar-agama di Pematang Siantar. Wakil Islam saat itu adalah Harun Nasution, yang teman saya satu sekolah saat di Sidikalang,” kenangnya.

Ia merasa dapat lebih berbakti bagi masyarakat justru sesudah berada dalam gereja. Ia menjabat Ketua Dewan Gereja se-Indonesia, Kemudian meningkat untuk kawasan Asia, lalu Ketua Dewan Gereja Dunia, prestasi yang tak pernah diulang putra Indonesia lain.

Meski aktif di gereja, bukan berarti perhatiannya pada militer berkurang. Sebagai salah satu pengonsep Dwifungsi AbRI –meskipun ia tak menyetujui istilah itu diterapkan– ia amat memperhatikan perkembangan militer. Ia yakin, demokrasi juga dapat dipercepat jika militer ikut serta. Karena itu ia menolak keras anggapan, demokrasi akan tegak jika fungsi militer diminimalkan.

Sebagai militer yang jujur, Simatupang percaya, besarnya pesan militer dalam kehidupan sipil justru akan mempercepat perubahan ke arah demokratisasi. Ia yakin, fungsi militer pada akhirnya hanya semacam pengawas dari kekuatan sipil agar tak melakukan penyimpangan di dalam berdemokrasi.

Sayang, sampai ia meninggal, cita-cita dan pengharapannya pada militer tak pernah terwujud. Ia pergi, di saat militer justru unjuk gigi, menghancurkan kekuatan sipil, menjadi kaki tangan kekuasaan, di bawah kendali Soeharto.