merindu mei
May 10, 2011
di musim penghujan ini mei, randu hutan pun memekarkan kapasnya, dengan wangi yang kurasakan pernah kucium di kulit bahumu. kamu ingat, mengapa aku memanggilmu mei?
karena kita bertemu di bulan mei, di kala mentari masih malu melihat bahu kita yang telanjang. lalu kita tahu, mei itu jadi penghabisan kita bertemu.
lalu kau menghilang, seperti senja. dan di bulan mei tahun berikutnya, kau datang lagi. dengan bau yang sama.
”mei itu abadi bagi kita…” bisikmu, di sela ayunan tubuh kita.
tapi, apakah yang abadi, mei? cuma bulan, cuma jumpa, cuma ingin. bukan milik.
ya, engkau milik yang lain. bukan aku. kau milik dia yang menguasai januari sampai desembermu, tanpa mei. karena di mei, kau ”milikku”.
”tidakkah engkau dapat puas hanya dengan begitu?” pintamu.
puas mei? bagaimana aku bisa puas dengan sebelas bulan yang kubayangkan seperti jarum menyusup di kulitku. kau tanpa kabar, tanpa alamat. padahal, setiap saat, dapat kucium tubuhmu, dengan bau yang membuatku cemburu. kepalaku mei, tak pernah alpa mengiangkan namamu. imajinasiku selalu kembara antara berharap bertemu dan ingin sudah. aku terpenjara dalam rasa yang ambigu, merindu tapi takut jumpa.
di kamarku mei, kamu tahu, tak ada kalender dengan 12 bulan itu. hanya ada satu bulan, bulan kamu. karena telah lama kukhayalkan, jika setiap bulan adalah mei, tentu kita tak haus begini. tapi, di luar kamar, tetap saja bulan berputar tak seperti mauku. kau hanya hadir di pagi mei, mengetuk kamarku, dan melesat seperti mentari yang acap mencium bahu telanjangku, seperti di gigir pantai awal kita bertemu.
”telah kurangkum setahun ini di dalam diriku, ambillah…” bisikmu.
mei, engkau hanya kumiliki dalam malam. separo impian, selebihnya igauan.
Manohara dan Ingatan Pasar
February 24, 2011
Apa yang dapat kita ingat dari Manohara adalah persoalan tubuh. Ia, dengan airmata deras, menunjukkan pada kita luka lebam, dan bekas sayatan, di bagian dada. Ia, dengan bantuan ibunya, Daisy, membuka mata kita tentang dua soal yang tak gampang diurai: cinta –yang gaib, batiniah, dan tubuh –yang nyata, teraba. Dalam tragedi Manohara, kita menemukan kausalitas antara cinta yang cidera dan tubuh yang terdera.
Ia mengajak kita ingatan kita tamasya pada dua periode yang berbeda: tubuh Manohara sebelum ke Malaysia, dan sesudah menikah dengan Fakhry, si pangeran kaya. Dengan bantuan infotainmen, kita menemukan kontras tegas, tubuh pertama demikian sintal, sensual, dan, ”model yang diperkiraan akan menjadi ikon produk kecantikan,” kata narator ”Insert” Trans TV. Tapi tubuh kedua, yang tampil dengan tangis itu, sudah melebar, gemuk, dengan lengan bawah yang tergayuti lemak. Beberapa video dirinya di Malaysia yang tertawa dalam berbagai acara negara, dan dengan tubuh yang ‘’sentosa” itu, ternyata tak berbanding lurus dengan kebahagiaan. Kegemukan adalah kemalangan. ”Dia dipaksa makan oleh Fachri, biar cepat gemuk!” tegas Daisy.
Dan ketika di tubuh gemuk itu berdiam lebam dan bekas sayatan, Mano mendapatkan senjata.
Mano menggugat, Daisy menghujat. Mereka mendapat iba.
Dan kemudian kita tahu, publik jadi berada di belakang Manohara. Asmara dan luka yang semula hanya melibatkan sepasang manusia, berubah menjadi ”percakapan” bangsa, dan politik identitas pun menemukan ruangnya. Mano pun menang, dan ia melenggang. Kisahnya kemudian jadi ‘’sejarah”, meski tak semua orang mau mengingatnya.
Tapi bagi Mano, sejarah kepedihan itu tak pernah dapat dia abaikan.
”Sejarah yang selalu dikenang bukanlah sejarah yang penuh dengan romantika manis. Namun, apa yang selalu membayangi orang adalah ingatan akan penderitaan, memoria passionis,” kata Walter Benyamin, filsuf dari Mazhab Frankfurt.
Sejarah jenis itu, tak hanya menjejaki otak dengan tanggal, hari, percik suasana dan hangat percakapan, melainkan telah berubah menjadi verstehen; pemahaman dalam diri, terinternalisasikan, tertubuhkan. Dalam sejarah semacam itulah, masa depan, hidup yang kini dijalani, mendapatkan penebusan.
”Aku tak bisa melupakan masa lalu. Ada fase dalam hidupku yang begitu bodoh, yang sampai kini pun masih membuatku bertanya, ‘kok bisa aku melakukan hal itu’,” kata Shu Qi, aktris China yang kini telah menapak di Hollywood. ”Tapi ya, itu memang hidupku. Dulu.
”Aku tahu telah berbuat keliru. Saat itu, dalam ketiadaan pengharapan dan dukungan keluarga, aku merasa telah dewasa untuk melakukan apa saja,” tuturnya dalam sesal yang punah sebagai tangis.
Manohara, barangkali, berada di fase yang sama dengan Shu Qi. Ia tak bisa lupa, kepedihan itu, pasti, akan mengikuti dirinya sepanjang masa. Sejarah yang, seperti kata Benyamin, akan menjadi penebusan hidupnya di masa depan. Seperti Shu Qi yang bangkit dan menjadi bintang, Mano pun melakukan hal yang sama, bergerak, menentukan arah, membangun hidup baru, membentuk citra. Tapi tak mudah, gelinjang masa lalu itu, selalu membuatnya menoleh, menoleh, meski tidak lagi dengan sesal, melainkan siasat yang kenyal.
Apa yang kita ingat dari Manohara adalah persoalan tubuh. Dan dia amat tahu itu.
Ingatan kita akan tubuhnya yang telah cidera, dalam lebam, dan bekas sayatan, adalah ”pasar” yang luas dan terabadikan. Kita seakan selalu dalam fase tanya, ”bagaimana tubuh Mano setelah luka itu? Apakah bisa sempurna, sesintal dan semulus dulu?”
Maka, ketika ada gosip video porno Mano, semua seakan gempita, berharap dalam melihat dan menguji ingatan tubuh yang luka itu. Juga ketika foto-foto tubuh Mano yang berpakaian minim, tengah pesta dan bergoyang di dugem malam, kita mencari-cari, apakah bekas luka dan lebam itu masih ada. Kita penasaran karena berharap ingatan akan tubuh luka itu dapat dibuang, dipunahkan.
Mano mengerti benar hal itu, dan dia pun ”memberi”. Dalam berbagai penampilan, dia tunjukkan tubuh yang telah pulih, tanpa bekas luka, dan ingatan yang tak lagi menyimpan trauma. Pakaian minim yang dia kenakan adalah sinyal diri yang telah kembali, sekaligus senjata yang menodong dengan tanya, ”Tahukah kalian apa yang membuatku dapat bebas dari trauma dan kembali bertubuh ’sempurna’?”
Dan karena ingatan kita atas tubuhnya adalah ”pasar”, di sanalah produk ketubuhan dia tebar. Mano menjual produk kecantikan dengan namanya, Manohara, berlabel M, dengan lambang lotus, di bagian tutupnya.
”Lotus membuat jiwa dan kehidupan keseharian mendapatkan peningkatan spiritual. Bunga Lotus mengandung arti murni, bersih, dan agung,” katanya.
Lalu dengarlah penjelasannya, ”Produk ini aman dan halal. Mano telah menjadi kelinci percobaan selama beberapa bulan. Mano puas, tak ada efek samping.”
Mano, dengan percaya diri, juga menyadari, akan ada yang menganggap dia hanya menjual nama, tapi, ”Apa pun opini yang muncul, saya tetap akan berpikir positif dan keep moving,” tegasnya.
Mano benar. Dia memang berpikir positif, dan dapat memanfaatkan sejarah tubuhnya sebagai penebusan, bahkan obat di masa depannya. Dengan bisnis kecantikan itu, Mano meletakkan dirinya secara cerdas untuk terus berada di dalam ingatan banyak orang. Tapi kini, bukan dengan jerit tangis, dan tubuh yang guram dalam lebam serta bekas sayatan. Mano telah melampaui ingatan kesakitan itu dan menuju sejarah baru, tarikh pathos, ketika luka dan derita diubah jadi arah, jadi tujuan. Dan bukan hal yang salah, jika kemudian, ingatan kita akan luka dan lebam tubuhnya dia ubah jadi lapak, tempat untuk berjualan….
Recent Comments