Spasi Lebar yang Butuh Teman

November 15, 2012

Mas Aulia, saya saat ini sudah menjelang 30 tahun dan saya belum juga mendapatkan lelaki yang tepat yang bisa saya ajak hidup bersama.lelaki-lekai yang sebelumnya datang selalu melahirkan sakit dan kecewa. Ketika saya sudah mulai serius dalam rasa, ia malah mengkhianati saya.Apa yang salah dengan saya ya mas? Karena saya merasa saya sudah bersikap teramat baik pada mereka, dan mereka tetap saja melahirkan rasa kecewa.

Nanda Rajata, Jakal - Yogyakarta

Nanda yang tengah galau, ayo perbanyak senyum dan tertawa. Ingat lho, hanya tawa dan senyum yang bisa ”memberhentikan” usia kita. Setuju, kan?Saya turut prihatin dengan nasib asmara Nanda. Memang terkadang kita tak pernah bisa menduga lurus-bercecabangnya kisah cinta, dan tiba-tiba waktu yang berjalan membuat kita bertanya, ”Sudah sampai di mana? Akan ke mana?” Barangkali, pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat Nanda kian risau, kecewa, belum memiliki kepastian kelak bersama siapa.

Dari tulisan tangan, terlihat Nanda sosok yang keras dan punya semangat yang kuat. Ini tentu karakter yang bagus, karena menunjukkan sosok yang tak mudah putus asa. Nanda juga terlihat apa adanya, cukup spontan, dan suka berterus-terang. Ini juga karakter yang baik, tentu jika diterapkan pada waktu dan suasana yang pas. Karena memang tidak semua orang suka atau siap mendengar keterusterangan kita, kan? Nah coba introspeksi, apakah Nanda pernah mendapatkan reaksi-reaksi negatif dari keterusterangan itu, termasuk dari teman dekat?

Dari posisi margin kiri tulisan, terlihat Nanda sosok yang ”terbelenggu” masa lalu. Akibatnya, Nanda jadi ragu memutuskan sebuah hal, apalagi jika sudah punya pengalaman buruk di masa lalu. Ini amat mengganggu, terutama bagi sosok orang dekat Nanda misalnya, yang merasa bahwa Nanda masih menjadi ”milik” masa lalu. Posisi margin kanan yang lebar makin menjelaskan karakter Nanda yang cemas, gugup, dengan masa depan. Klop, kan?

Belum lagi melihat jarak spasi, yang secara tegas menunjukkan jika Nanda memang sulit memecahkan masalah, dan cenderung membuat masalah kian bertumpuk. Spasi yang lebar ini mengasumsikan bahwa Nanda seharusnya meminta pendapat dari orang lain, bisa yang ahli, untuk masalah yang tengah dihadapi, baik itu sekarang, dan terutama di masa lalu.

Pertanyaan saya, selain masalah di atas, apakah teman dekat Nanda juga ”pergi” karena merasa tak mendapat kepastian? Coba Nanda merenung, mengigat-ingat, apakah mereka pergi karena Nanda tak pernah memberi kata pasti? Dari garis tulisan, cukup terlihat jika Nanda juga cenderung tidak menyelesaikan hal-hal yang sudah direncanakan, menggantung.

Tapi, Nanda tidak perlu terlalu kecewa. Kita memang selalu memikiki dua sisi karakter, tinggal bagaimana cara kita mengoptimalkan sisi baik, terutama menyangkut hubungan dengan orang lain. Seringkali, tanpa disadari, kita merasa ditinggalkan, dijauhi, dikhianati. Padahal, jika kita renungkan, sebenarnya faktor utama berasal dari karakter kita sendiri. Beruntunglah, karakter semacam itu bisa kita minimalisir, kita ubah, bahkan hilangkan. Nanda juga bisa mulai dengan cara yang sederhana, merapikan jarak margin kanan dan kiri misalnya, atau merapatkan spasi antarkata, akan membuat karakter Nanda jadi ”menuju” arah yang lebih baik.Sebenarnya, banyak sekali hal-hal lain yang bisa kita ungkap dari tulisan Nanda. Tapi karena keterbatasan halaman, beberapa poin di atas barangkali akan cukup membuat Nanda lebih optimis untuk ”menjawab” masa depan. Terus berusaha, dan saya yakin, Nanda pasti bisa. Salam.

Yang tak Diambil Maut

August 18, 2009

Benarkah kematian datang tanpa rencana, selalu tiba-tiba?

Kita bisa menjawab, tidak. Kematian selalu datang seperti tamu yang telah dijadwalkan datang. Dia mengetuk, dan kita mengizinkannya masuk. Mbah Surip misalnya, melafalkan izin itu, sebagaimana yang tayang di televisi. “Jika nanti mati, Mbah pengen dimakamkan di Bengkel Teater Rendra, di bawah pohon jengkol dan pohon kopi, hahahaha…” katanya.

Maut, memang datang tidak dengan wajah yang kejam. Dan terkadang, kita gagal mengenalinya. Mbah Surip pun kita anggap bercanda. Tapi ketika kematian itu terwujud, kita jadi paham, sang Maut memang punya banyak wajah. Dia memberi isyarat meski tak selalu dapat ditangkap.

Kematian, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang jauh. Dia dekat, dan dapat diamati, dicatat, jika kita cermat. Kematian, meminjam Subagyo Sastrowardoyo, seakan kawan berkelakar yang mengajak tertawa -itu bahasa semesta yang dimengerti. Dan karena akrab, kematian tidak menjaraki yang hidup dan mati. Lihat, tak ada batas antara kita. Aku masih terikat kepada dunia/ karena janji/ karena kenangan// Kematian hanya selaput gagasan yang gampang diseberangi/ Tak ada yang hilang dalam perpisahan, semua pulih/ juga angan-angan dan selera keisengan.

Tak ada yang hilang, semua pulih. Betapa benarnya.

Kematian, pada dasarnya, memang tak mengambil apa-apa. Memang ada tubuh Mbah Surip yang terbujur kaku, ada tangis yang mengiris, terbang bersama udara yang pengap, ada tawa hahahaha yang tiba-tiba lindap. Tapi, maut tak mengambil spirit, jiwa. Hari-hari ini, kita menemukan kenyataan itu: dalam tiap lagu “in memoriam” Mbah Surip, kita masih merasakan ruhnya, mendapatkan karakternya.

Maut, bisa jadi, hadir bukan dengan maksud untuk meringkus “yang hidup”. Tak heran kalau Eckhart Tolle meyakini, “Kematian itu tidak ada. Yang terjadi hanyalah perubahan energi. Jadi, sebagai energi, yang mati itu tetap dapat terhubung dengan kita kembali,” kata penulis buku A New Earth, dalam acara “Oprah Winfrey Show”.

Tolle benar. Yang tak dikalahkan kematian, “yang hidup” itu, bahkan menempati jalur yang bebas hambatan. Dia tidak lagi Mbah Surip yang harus tergantung pada kopi, ojek, atau supir, tapi “Mbah Surip” yang abadi, yang berjalan-jalan dalam bentuk energi: kenangan. Kenangan itu, adalah keabadian yang dititipkan sang maut, sebagai tanda, kematian tak pernah utuh menjemput. Ada yang tetap ditinggalkannya untuk yang hidup, sebagai kawan duka, bahwa memang ada yang pergi, tapi tidak selamanya. Ada yang berpulang, tapi bukan tidak kembali. Kenangan akan terus memanasi ingatan, membuat yang tiada kembali menjadi ada.

Tak gendong ke mana-mana/ Tak gendong…. Dengarlah, bukankah dalam kepala kita, tetap hadir sosok berambut gimbal itu, dengan topi tiga warna, tubuh yang condong, dan tawa kerasnya, HAHAHAHA….

Tubuh itu terbujur kaku, kita tahu. Tapi, kita pun menyadari, bukan tubuh renta bau kopi itu yang kita cintai. Yang selama ini menyentuh kita adalah jiwa yang bersembunyi di dalamnya, yang “jelata”,  seperti sahabat setelah lama tak jumpa: rindu.

Maka, dalam tiap kematian kita tahu, tangis selalu sementara. Tapi kenangan, –sapa sahabat yang lama tak jumpa itu– abadi bersama kita. Hari-hari ini, seperti klipnya, kita pun menggendong Mbah Surip ke mana-mana. Dia selalu hidup bersama kita.

[Telah dimuat sebagai "Tajuk" dalam tabloid Cempaka, Sabtu 9 Agustus 2009]