Perselingkuhan Hitam Putih
December 16, 2012
Memilih berselingkuh daripada diselingkuhi lebih dimaknai sebagai laku heroik, kemenangan, dan karena itu, layak mendapat tepuk tangan.
”Selingkuh atau diselingkuhi?!” Itulah pertanyaan yang nyaris dilontarkan Deddy Corbuzier dalam tiap acara ”Hitam Putih” , terutama untuk bintang tamu yang tergolong muda. Pertanyaan yang biasa sebenarnya, apalagi disodorkan kepada para artis yang menyangkut perselingkuhan seakan sudah jadi bagian dari ”gaya panggung”. Maka, pertanyaan itu harus dijawab, seperti permintaan Deddy, dengan cepat, tangkas, dan cerkas, tanpa berkerut jidat.
Sebagian artis akan mengakhiri jawaban dengan tertawa, dan atau teriakan bangga, ”Yes!” seperti yang, jika tak salah ingat, dilakukan oleh Dewi Perssik. Dan di bagian pertanyaan inilah yang biasanya membuat penonton tergelak, tersenyum, terutama ketika bintang tamu seperti bingung, mesam-mesem, dan seolah berpikir.
Padahal, menjawab dua hal itu seharusnya tak perlu menyita waktu.
Selingkuh atau diselingkuhi adalah soal pilihan. Bukan sesuatu yang sulit dijawab, karena ini lebih merupakan sikap moral, sesuatu yang tak perlu penalaran berlebih. Sebagai sikap moral, selingkuh atau diselingkuhi, adalah pilihan yang sebenarnya sudah terintegrasi di dalam pikiran. Jadi, jika pun ditanyakan, pasti akan terjadi otomatisasi pikiran untuk segera menyatakan pilihan.
Wajar jika Deddy meminta waktu cepat.
Dan jadi aneh ketika para artis salah tingkah, terpekur, lamban, bahkan terlihat gugup-merona, menggeragap.
Tapi, justru itu yang banyak terjadi. Selalu ada jeda waktu sebelum para bintang tamu memberikan jawab. Dan Deddy, biasanya, tersenyum, menaikkan alisnya, atau mengedipkan matanya, menggoda, seakan ”mengejek” proses jawaban yang lamban itu.
Mengapa Deddy terkesan ”mengejek”? Sepele soalnya. Jawaban mereka, meski seperti berpikir, justru nyaris seragam.
”Selingkuh atau diselingkuhi?!” tanya Deddy.
”Selingkuh! Yess!!” jawab Depe.
”Selingkuh, dong. Enak aja,” kata Jessika Iskandar.
Nyaris, selalu itu jawabannya. Bisa dengan diksi yang mantap, geram manja, tegas tangkas, atau getar yang ragu, bingung, dan gelengan kepala yang tak jelas maknanya. Tapi toh, dengan berkerut kening, tertawa, jawabannya tetap sama. Nara sumber pria atau wanita, menjawab seakan seiya-sekata: ”Selingkuh!”
Laku Heroik
Mengapa para narasumber memilih ”Selingkuh”? Tak sulit menebak apa yang mereka pikirkan. Jawaban, ”Selingkuh dong. Enak aja…” mengindikasikan hal itu. Memilih selingkuh daripada diselingkuhi menyatakan posisi, mengejawantahkan sikap aktif, memilih untuk berada dalam situasi si atas, mendominasi, berkehendak. Memilih selingkuh daripada diselingkuhi menyatakan diri ”tidak sebagai korban”.
Memilih selingkuh daripada diselingkuhi adalah sebuah sikap menolak untuk dikalahlan oleh pihak ketiga.
Sekilas, sikap ini tampak dapat dibenarkan. Masalahnya, jika dalam sebuah hubungan ada ”wilayah pilihan” tentang kemungkinan untuk tidak menjadi ”korban”, bukankah yang terjadi kemudian adalah perselingkuhan-perselingkuhan? ”Daripada dia duluan, daripada gue diselingkuhin, gue duluan deh. Enak aje…”
Sikap para narasumber ini tampaknya diamini para penonton. Tepuk tangan dan pemberian tawa, tentulah sebuah afirmasi pada jawaban. Karena, tampaknya, tanpa sadar, memilih selingkuh daripada diselingkuhi lebih dimaknai sebagai laku heroik, kemenangan, dan karena itu, layak mendapat tepuk tangan.
Benar bahwa jika diselingkuhi setiap orang akan merasakan sakit, nyeri hati, kehilangan kepercayaan pada diri, merasa dicampakkan, tak berharga. Tapi, apakah semua rasa sakit dan ketakberdayaan itu layak dilabeli sebagai korban? Sehingga, menampik diselingkuhi dan memilih untuk (ber)selingkuh adalah tindak untuk menolak menjadi sang korban?
Rasanya tidak.
Jika pun terjadi sebuah perselingkuhan, maka yang layak dijadikan sebagai korban adalah komitmen, kesetiaan. Di sini, korban bukan mengacu pada sosok, pada tubuh atau nama, atau harga diri, tapi lebih kepada nilai-nilai. Setiap perselingkuhan selalu mengikis nilai kesetiaan. Perselingkuhan menghancurkan sendi komitmen dan kepercayaan. Perselingkuhan mengorbankan keyakinan tentang cinta yang suci dan menyatukan.
Jadi, salah besar jika posisi korban diletakkan pada sosok yang diselingkuhi. Karena, diselingkuhi adalah situasi yang justru terlindung dari kemunafikan, kebohongan, kejahatan rasa, dan keliaran badaniah.
Diselingkuhi adalah sebuah posisi yang, sebenarnya, terselamatkan!
”Selingkuh atau diselingkuhi?!” serang Deddy.
”Diselingkuhi!” tangkis Tya Ariestya, yakin!
”Diselingkuhi atau jomblo selamanya!” cecar Deddy lagi.
”Jomblo!”
Tya Ariestya tahu, jika dia diselingkuhi, maka lelaki itu tak pantas menjadi kekasihnya, tak pantas menjadi pendampingnya. Dia memilih diselingkuhi, karena hal itu menjadi saring bagi asmaranya, bagi kehidupannya kelak. Diselingkuhi membuat dia terlindungi. Diselingkuhi membuat dia selamat dari cinta yang khianat.
Tya tak memilih (ber)selingkuh karena menyadari itu bukan laku heroik, bukan tindak untuk tak menjadi sang korban, tapi lebih sebagai aktivitas menyalurkan keliaran hasrat.
Bagi Tya, mungkin, memilih selingkuh daripada diselingkuhi adalah mengafirmasi sebuah sikap aktif untuk menghancurkan nilai kesetiaan dan merusak makna cinta.
Hasrat Bicara
Dengan demikian, memilih (ber)selingkuh adalah pernyataan tentang keberpihakan untuk berbuat jahat, menyakiti, daripada disakiti. Melibatkan diri untuk menjadi perusak aktif kesetiaan dan nilai cinta ketimbang melawan atau terselamatkan dari kepalsuan.
Memilih (ber)selingkuh adalah pernyataan tentang kebebasan diri untuk memenuhi hasrat libinal, petualangan, keliaran, dan pendobrakan pada nilai kesetiaan.
Itulah sebabnya, memilih (ber)selingkuh dilakukan dengan sedikit rasa bangga, kegelian, atau tertawa yang berderai-derai.
”Ketahuan selingkuh atau menangkap istri sedang selingkuh?” tanya Deddy.
”Lha, kan sudah ketahuan selingkuh, jadi mau bagaimana lagi, hahahaha…” Tora Sudira ngakak.
Penonton lebih lebar tertawa, bahkan terpingkal-pingkal.
Entah apa yang lucu.
Padahal, Deddy bertanya dengan frasa yang berbeda. Bukan lagi, ”Selingkuh atau diselingkuhi?!” tapi ”Ketahuan…”
Artinya, untuk Tora Sudiro, Deddy tidak lagi meminta memilih soal setia atau tidak, tapi lebih pada ketahuan berbuat tak setia atau tidak. Dari pertanyaan ini saja sudah dapat disimpulkan bahwa Deddy menempatkan Tora sebagai pelaku selingkuh. Persoalamnya, ketahuan atau tidak.
Dan memang itulah kenyataannya. Perselingkuhan yang selalu menjadi berita di televisi bukanlah perkara kesetiaan yang tercerabut, tapi soal ketahuan atau tertangkap kamera semata. Dengan kata lain, kesetiaan atau komitmen adalah perkara yang manis di mulut tapi tak jelas sudah bentuk dan wujudnya. Ia hanya ada di awal perpacaran atau pernikahan, dan lalu semua hilang. Perselingkuan adalah bagian integral dari panggung, dunia yang yang tak bisa mereka lepaskan. Dan karena itu lalu jadi hal yang biasa. Yang mereka lakukan, dengan demikian, bukanlah menghindari perselingkuhan, tapi sekuat mungkin menutupinya.
Selingkuh adalah pilihan untuk merayakan keberhasratan. Dan karena ”perayaan”, maka laku itu dilakukan dengan riang gembira, tertawa, ”Yess!”
Inilah perilaku yang menurut Marquis de Sade sebagai, ”menikmati penyimpangan dan menertawakannya sebagai bagian dari lelucon kehidupan.” Ssebagai sesuatu yang biasa, dan menjadikan, ”kehidupan adalah perjanjian sadar untuk memuasinya dengan cerita indah dan lucu tentang kesetiaan yang dikutuk.”
Betapa menyeramkan!
Mereka yang memilih (ber)selingkuh daripada diselingkuhi, menurut de Sade, adalah orang yang hidupnya melulu mengejar kenikmatan-kenikmatan inderawi (sense pleasure), dan motivasi hidupnya adalah murni untuk memuaskan seluruh hasrat dirinya. Mencari kenikmatan tubuh dengan melampaui batas-batas normalitas, dan memasuki area-area yang menyimpang.
Lalu, tanya diri Anda, pilih mana, berselingkuh atau diselingkuhi.
Komposisi Kau dan Aku
July 28, 2009
kubiarkan cahaya bintang memilikimu
kubiarkan angin yang pucat
dan tak habis-habisnya gelisah
tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
entah kapan kau bisa kutangkap
[nokturno - sapardi djoko damono]
/1/
sore yang berbeda. kau datang ke pikiranku lewat puisi-puisi sapardi, yang dinyanyikan dua-ibu: tatyana dan reda. hujan di luar. dingin. dan lagu “hujan bulan juni” –kenapa tidak gerimis saja– memberi aksentuasi nyeri pada ujung juli ini, dengan “dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu“. akankah jejakku terhapuskan juga dari halaman hatimu?
/2/
kukenang percakapan kita. di riuh ruang maya, sms panjang, jauh tengah malam. ada yang tiba-tiba tanggal, ingatanku tentang peta yang kita pegang.
“kenapa kita bertemu di separuh jalan?”
kau diam.
kutemani kau melangkah, dalam tawa-tangis, berharap ujung jalan ini tak ada. kita mencoba tak mengingatnya ada. tapi, sungguhkan pikiran bisa dibersihkan dari kenyataan? dan mata dari kepedihan? atau begini barangkali memang hidup harus dijalani. “…dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya.”
/3/
barangkali, nasib kita berjalan dalam komposisi sapardi. bukankah pernah kukatakan padamu tentang hatiku yang selembar daun? kau tertawa waktu itu. kini kita tahu, memapasmu di separuh jalan, adalah menikmati kebersaatan yang menjadi abadi. ahh-, jadi ingin kuberikan lagi pada telingamu lagu ini:
“hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput.
nanti dulu, biarkan aku sejenak
berbaring di sini:
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput.
sesaat adalah abadi, sebelum kausapu
tamanmu setiap pagi“.
aku akan mencari abadi itu, dalam sesaat. setiap pagi, siang, senja dan malam, seperti yang telah kita lakukan selama ini. jadi, tolong buang sapumu…
/4/
kau mungkin tak akan kudapat.
ya. tak akan kudapat.
aku hanya mengantarmu, sampai ke ujung itu. tapi, aku akan merebutmu, meski “entah kapan kau bisa kutangkap“. yang penting, aku telah melakukannya, dan itu bukan sesuatu yang sia-sia. karena aku tahu, “…cinta kita mabuk berjalan, di antara jerit bunga-bunga rekah“.
Cinta 15 Mei
June 1, 2009
Tidurlah, kekasih. Tidurlah. Pejamkan matamu, ikutkan kantuk yang membujuk. Tujulah seberang impian itu, sehingga kau terlelap dalam senyum.
Duduk di samping pinggulmu, kukagumi lentik bulu matamu yang rebah. Baru kutahu, dalam lelap pun kau bisa begitu indah. Keningmu yang bersih, yang selalu kau tempeli punggung tanganku ketika berpamit, begitu lembut. Maafkan, jika tak dapat kutahan bibir ini untuk menciumnya.
Tapi kekasih, kenapa napasmu mengeras? Adakah ciumanku mengganggumu? Atau impimu sedikit terusik, berjeda? Ahh– lama sekali aku tak melihat sempurna tidurmu. Biasanya, sehabis bercinta, akulah yang tertidur, dan membiarkanmu tersenyum sambil memandangi alisku, yang katamu tebal. Sering, sebelum terlelap, kurasai kau garisi alisku dengan telunjukmu, dan kau selalu ngikik kalau aku terganggu. Tapi kini, melihat alismu yang tipis, dengan keringat halus yang membeningkan garisnya, wajahmu nyaris seperti sketsa, dengan kehalusan arsir yang sempurna. Tuhan barangkali tengah tertawa ketika menciptakanmu. Dan pasti Dia juga tengah bersuka, sehingga menjadikan kau bilah rusukku.
Kekasih, aku tak tahu kamu memimpikan apa, sehingga bibirmu membuka. Ahh–, jika engkau tidak pulas, pastilah bukaan bibir itu kuanggap sebagai tantangan untuk mencium, mencumbumu. Engkau tahu sayang, menciummu adalah menjemput kesegaran, kelembutan alamiah. Kekenyalan yang mendatangkan ricik air di kali bening, hujan tipis berkabut, dan… berahi. Tapi kamu, ahh– kenapa selalu menakaliku tiap kita bercium. Selalu kau tarikkan bibirmu, tersenyum, menikmatiku yang sesaat terbebas dari nikmat. “Aku suka melihatmu seperti haus…” bisikmu, sebelum kulekapkan bibirmu.
Tidurlah kekasih, tidurlah. Malam ini kuwakafkan waktu untuk menjagamu. Akan kumanterai ubun-ubunmu, dengan doa-doa jutaan tahun, agar cinta kita terikat, seperti takdir Adam dan Hawa yang selalu merapat. Akan kurajahi dahimu dengan isim Yusuf, sehingga cahaya cinta Zulaikha menapasimu.
Tidurlah kekasih, tidurlah. Jemputlah impimu, dan ceritakan padaku, nanti. Karena kutahu, dalam mimpimu pun, kita selalu bersatu.
Tidurlah cintaku, bilah rusukku, ibu anak-anakku. Lelaplah….
Si Doel dan WC Kita
March 20, 2009
Di dalam tiap keramaian, tempik-sorak, tawa-bahak, selalu ada suara sepi. Dan itulah yang kita saksikan dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang kini tayang ulang di RCTI, setiap pagi. Ada suara Mandra, Atun, dan Mas Karyo, yang selalu ingar. Atau deram Babe yang seakan marah, juga desis Mak Nyak yang tergambar sabar. Tapi, lebih dari semua itu, ada si Doel, pemilik porsi terbesar, yang sunyi.
Kalau bicara, Doel bersuara dengan nada ngambang, mirip gumam. Matanya tak pernah berdiam pada objek, mengalih, lebih sering menerawang. Sinar wajahnya kusam, dengan kening yang selalu berhias kerutan. Bahkan cinta Sarah pun, dia rasakan sebagai beban.
Ia wakil dari suara yang, seakan, kehilangan gairah.
Sinetron itu memang dipenuhi “caci-maki” khas Betawi, pertengkaran segitiga Mandra-Atun-Karyo pun menjadi warna utama. Tapi makna sinema itu justru hadir dalam gelisah senyap Doel. Meminjam kosa kata pantun; pertengkaran adalah sampiran, kesunyian menjadi isi. Meski isi itu, dalam beberapa hal, terlihat anomali.
Doel, tokoh kita itu, memang tak mematok tujuan. Ia bergerak dari saat ke saat, setindak-tindak, laku dalam proses. Dia seperti laku yang diminati kaum “nihilis-aktif”, bergerak tanpa patokan, kreativitas yang lahir dalam suasana.
Tapi, di situlah anomali terjadi. Ketakterpatokan itu terasa dalam gairah yang tidak kentara, atau mungkin tak ada. Berbeda dari kaum nietzschean yang bergerak dalam gairah, menerima nasib dengan rasa cinta, “kusayangi apa yang terberi”, atau menjadi “gila”, Doel justru menepi, merenung, seakan pasti menyerah. Ia lebih seperti ketenangan air danau, yang menutupi gerak arus di bawahnya.
Doel memang tak menampik apa pun yang diberi hidup, tapi keberterimaan itu tidak dengan cinta. Ia menerima dalam keadaan yang seakan, “Apa boleh buat…” Dalam hal ini, dia lebih seperti yang dikatakan Camus dalam Mite Sisifus, “Selalu tiba saatnya kita harus memilih antara renungan dan tindakan. Begitulah hakikatnya menjadi manusia. Kepedihan-kepedihan itu mengerikan. Namun untuk hati yg memiliki kebanggaan, di situ tidak mungkin ada pilihan tengah. Ada tuhan atau waktu, salib atau pedang. Dunia ini mempunyai arti yang lebih tinggi yang melampaui segala hiruk pikuknya atau tidak ada suatu pun yang benar selain hiruk pikuk itu.”
Tapi, suara Doel, getar yang kehilangan gairah, atau ajakan Camus untuk merenung, mendapatkan arti yang melampaui kehirukpikukan itu, kini tak kita temukan lagi. Yang kita dengar saat ini dan lusa adalah “tidak ada suatu pun yang benar selain hiruk-pikuk itu.”
Fitri dan Farel contohnya. Dua tokoh utama dalam sinetron Cinta Fitri itu tak pernah sekalipun “jatuh” menjadi Doel, senyap dalam permenungan, diam yang “apa boleh buat”. Fitri dan Farel, dan juga semua tokoh dalam cerita itu, larut dalam keingaran yang tanpa ujung, untuk mendapatkan sesuatu yang mereka jadikan tujuan. Seluruh kisah bermuara menjadi perlawanan pada “nasib”, dengan mengatakan “Tidak!”
Doel mengatakan “Ya”, afirmatif, meski tidak dengan cinta, dan itu membuat dia tahu potensi dirinya di depan nasib, “Aku ingin….” Berbeda dari Farel dan semua tokoh di Cinta Fitri, yang menidakkan nasib, sehingga tak mampu melihat diri dalam relasi dengan dunia, sehingga berkata, “Kalian harus!”
Energi “Kalian harus!” itulah juga yang mendasari keseluruhan sinetron di televisi saat ini. Karena itu, meski cerita bising oleh kebencian, warna dendam, dan alur ketakmasukakalan, sinema itu tetap saja jalan. Ketakberterimaan pada “nasib” itu juga yang membuat cerita sinetron kini terasa jauh, bukan menjadi bagian dari kisah kita. Sinema itu tak mampu memupus keberjarakan seperti yang pernah dilakukan Kisah Serumpun Bambu, Rumah Masa Depan, Keluarga Cemara, atau Jendela Rumah Kita.
“Beberapa waktu lalu saya ke Bandung. Kemudian ada seorang bertanya kepada saya. ‘Bang, apakah anak-anak sekolah di Jakarta seperti di film atau sinetron, ya?’ Saya jadi sedih, kita harus punya tanggung jawab atas tontonan yang kita tampilkan,” harap Rano Karno.
Tanggung jawab itu sebenarnya sudah lama diambil alih kesepian dan permenungan, yang kini menjadi “si entah” dalam televisi kita. Yang kalau pun datang, “si entah” itu hadir tak dalam kesebandingan. Sepi itu muncul sebagai ulangan, bukan dauran. Dan di dalam ulangan, tak ada lagi proses, tak terjadi perubahan, Si Doel tak seperti Si Unyil yang bermetamorfosa. Si Doel lebih seperti Oshin yang juga tayang lagi di TVRI, hadir sebagai kenangan, untuk ingatan suatu masa, untuk ikatan sebuah massa. Massa yang bukan menjadi bagian dari penonton teve kini.
Dengan kata lain, meski yang sunyi itu tetap hadir, sebenarnya dia ditampik. Yang diterima adalah kebingaran yang telah menjadi “kebenaran”. Kebenaran, yang cuma sampiran itu, dibobotkan ke dalam selera penonton, rating, dan iklan. Kebenaran yang seakan berkata, “Tak ada lagi tempat untuk kesepian dan renungan.”
Barangkali, tempat untuk itu masih ada, di WC kita. Sayangnya, tak pernah ada yang betah berlama di sana.
[Dalam versi yang lebih pendek dan berbeda, telah dimuat sebagai "Tajuk" di tabloid Cempaka, Sabtu 21 Maret 2009]
SMS, Rahasia yang tak Terjaga
March 18, 2009
Sepanjang hidup, cukupkah kita dijaga oleh satu cinta? Aku pasti menjawab ‘Cukup!’ Atau, dicukup-cukupkan. Aku juga percaya, meski usiaku masih jauh dari pengenalan cinta, pendapatku itu pasti disetujui banyak orang. Satu cinta adalah tanda setia. Satu cinta adalah tanda penyerahan diri yang utuh pada seseorang, tanpa rahasia. Semuanya. Semua-muanya. Dan aku percaya, Papa pun telah lama mencukupkan dirinya dengan hanya satu cinta dari Mama.
Tapi ternyata Mama tidak.
Aku menemukan rahasia itu tak sengaja. Dari sebuah SMS.
Sebuah SMS dari satu telepon. Sebuah telepon yang menyimpan satu SMS yang sempat kubaca, dan ratusan SMS lain yang belum sempat kubuka.
Tapi satu SMS itu pun sudah cukup membuatku menjerit: Mama telah tak setia.
Dan semua adalah salahku.
Sore itu, aku berjanji bertemu dengan Papa di sebuah mal. Karena Papa pulang agak telat, aku diminta menunggu di suatu tempat. Sebelum berangkat, aku kirim SMS ke Papa. Tapi gagal. Kucek, pulsaku ternyata telah karam. Takut Papa teraniaya, aku pun meminjam ponsel Mama. “Di meja kerja,” teriak Mama, yang tengah mandi.
Aku segera menemukan ponsel Mama. Segera kuketikkan nama sebuah kafe, dan kukirim ke Papa. Tapi, pada saat itulah, aku mendengar suara SMS masuk. Bukan. Bukan ke ponsel yang aku pegang. Tanda SMS itu keluar dari ponsel yang lain, yang aku tak tahu di mana.
Barangkali, seharusnya aku abai pada suara itu. Dan bergegas keluar dari ruang kerja. Tapi aku justru segera mencari, dan menemukan asal suara itu: dari tas Mama. Aku juga tak meminta izin Mama untuk membuka tasnya. Padahal, dari kecil, tak pernah kami berani membuka milik pribadi siapa pun di rumah ini, tanpa diizinkan. Aku tak tahu, mengapa tiba-tiba saja menarikkan resluiting tas itu. Barangkali aku kaget, ternyata Mama punya lebih dari satu ponsel. Mungkin aku telah curiga.
Tuhan, betapa jahatnya aku. Kepada Mama pun aku curiga.
Tapi kecurigaan itu ada hasilnya. Di tas itu, ada ponsel. Refleks, aku buka SMS itu. Dari “Masku”. Mama punya Mas? Siapa? Bukankah Mama anak tertua? Kupencet, dan pesan itu terbuka: “Dik, nanti pake lingerie yang merah transparan itu, ya?”
Deg!
Dadaku seperti dipukul puluhan palu. Sesak sekali. Tanganku gemetar. Ponsel itu nyaris terlepas dari genggamanku. Mama, Mama… punya seseorang yang memanggilnya “Dik”? Seseorang yang memintanya memakai lingerie? Ya Tuhan….
Airmataku tiba-tiba telah menggenang. Dan dalam mata kaburku, kulihat puluhan SMS lain, hanya dari satu pengirim “Masku”. Mama telah lama berhubungan dengan lelaki itu. Mama telah lama menyimpan rahasia itu. Mama telah lama telah tak setia. Mama telah lama telah mengkhianati Papa.
Dadaku kian sakit, airmataku makin berloncatan.
Kuhapus SMS yang kubuka tadi, kukembalikan ponsel itu ke tempatnya semula. Segera kuhapus airmata, ketika kudengar teriakan Mama, “Ila…, ayo berangkat, jangan membuat Papamu menunggu. Kasihan…”
Kasihan? Mama yang tidak kasihan dengan Papa. Mama! Bukan aku.
Segera aku bergegas. Kuhampiri Mama tanpa menatap wajahnya. Aku takut, Mama dapat melihat airmataku, dan curiga. Aku tak ingin Mama tahu kalau aku telah menemukan rahasianya. Kucium tangannya tanpa suara. Aku tak ingin Mama mendengar isak di antara pamitku. Setengah berlari, selepas pintu, tangisku pecah lagi.
Di sepanjang jalan, dalam angkot, kukuatkan hati. Aku tak boleh menunjukkan wajah sedih. Aku tak boleh membuat Papa bertanya, “Ila, ada apa?” Aku harus tabah. Aku harus membiarkan rahasia itu tersimpan dulu. Aku harus mencari tahu, siapa lelaki itu. Siapa lelaki yang telah membuat Mama tega mengkhianati Papa. Aku harus membuat Mama kembali ke Papa, tanpa Papa harus tahu tentang kesalahan Mama. Aku tak ingin keluarga ini berantakan. Ya, aku harus gembira. Harus. Papa tak boleh melihat apa pun di wajahku.
Tapi niat itu tak terlaksana. Begitu melihat Papa berdiri, aku telah lupa diri. Seperti terbang, aku berlari, memeluknya, dan… menangis. Entah kenapa, melihat Papa, tiba-tiba dadaku sakit sekali. Aku merasa tak pantas Papa dikhianati. Sangat tak pantas.
“Ila, Ila, ada apa? Ehh, ehh, kok menangis begitu. Hey, Ila… Lho?” Suara Papa yang bingung memasuki telingaku.
Mungkin 10 menit aku tergugu di dada Papa. Kunikmati belaiannya di kepalaku. Lalu, ketika sesak di dadaku sedikit berkurang, kulepaskan tanganku dari pinggangnya. Kemeja Papa basah. Kulihat Papa merogoh sakunya, dan menyodorkan saputangan. “Tuh, lap dulu ingus kamu. Sudah gadis kok masih suka nangis.”
Recent Comments