Perselingkuhan Hitam Putih

December 16, 2012

hitam putih

Memilih berselingkuh daripada diselingkuhi lebih dimaknai sebagai laku heroik, kemenangan, dan karena itu, layak mendapat tepuk tangan.

”Selingkuh atau diselingkuhi?!”  Itulah pertanyaan yang nyaris dilontarkan Deddy Corbuzier dalam tiap acara ”Hitam Putih” ,  terutama untuk bintang tamu yang tergolong muda. Pertanyaan yang biasa sebenarnya, apalagi disodorkan kepada para artis yang  menyangkut  perselingkuhan seakan sudah jadi bagian dari ”gaya panggung”. Maka, pertanyaan itu harus dijawab, seperti permintaan Deddy, dengan cepat, tangkas, dan cerkas, tanpa berkerut jidat.

Sebagian artis akan mengakhiri jawaban dengan tertawa, dan atau teriakan bangga, ”Yes!” seperti yang, jika tak salah ingat,  dilakukan oleh Dewi Perssik. Dan di bagian pertanyaan inilah yang biasanya membuat penonton tergelak, tersenyum, terutama ketika bintang tamu seperti bingung, mesam-mesem, dan seolah berpikir.

Padahal, menjawab dua hal itu seharusnya tak perlu menyita waktu.

Selingkuh atau diselingkuhi adalah soal pilihan. Bukan sesuatu yang sulit dijawab, karena ini lebih merupakan sikap moral, sesuatu yang tak perlu penalaran berlebih. Sebagai sikap moral, selingkuh atau diselingkuhi, adalah pilihan yang sebenarnya sudah terintegrasi di dalam pikiran. Jadi, jika pun ditanyakan,  pasti akan terjadi otomatisasi pikiran untuk segera menyatakan pilihan.

Wajar jika Deddy meminta waktu cepat.

Dan jadi aneh ketika para artis salah tingkah, terpekur, lamban, bahkan terlihat gugup-merona, menggeragap.

Tapi, justru itu yang banyak terjadi. Selalu ada jeda waktu sebelum para bintang tamu memberikan jawab. Dan Deddy, biasanya, tersenyum, menaikkan alisnya, atau mengedipkan matanya, menggoda, seakan ”mengejek”  proses jawaban yang lamban itu.

Mengapa Deddy terkesan ”mengejek”? Sepele soalnya. Jawaban mereka, meski seperti berpikir, justru nyaris seragam.

”Selingkuh atau diselingkuhi?!” tanya Deddy.

”Selingkuh! Yess!!” jawab Depe.

”Selingkuh, dong. Enak aja,” kata Jessika Iskandar.

Nyaris, selalu itu jawabannya.  Bisa dengan diksi yang mantap, geram manja, tegas tangkas, atau getar yang ragu, bingung, dan gelengan kepala yang tak jelas maknanya.  Tapi toh, dengan berkerut kening, tertawa, jawabannya tetap sama. Nara sumber pria atau wanita, menjawab seakan seiya-sekata: ”Selingkuh!”

Laku Heroik

hitam putih2Mengapa para narasumber memilih ”Selingkuh”? Tak sulit menebak apa yang mereka pikirkan. Jawaban, ”Selingkuh dong. Enak aja…” mengindikasikan hal itu. Memilih selingkuh daripada diselingkuhi menyatakan posisi, mengejawantahkan  sikap aktif, memilih untuk berada dalam situasi si atas, mendominasi, berkehendak. Memilih selingkuh daripada diselingkuhi menyatakan diri ”tidak sebagai korban”.

Memilih selingkuh daripada diselingkuhi adalah sebuah sikap menolak untuk dikalahlan oleh pihak ketiga.

Sekilas, sikap ini tampak dapat dibenarkan. Masalahnya, jika dalam sebuah hubungan ada ”wilayah pilihan” tentang kemungkinan untuk tidak menjadi ”korban”, bukankah yang terjadi kemudian adalah perselingkuhan-perselingkuhan?  ”Daripada dia duluan, daripada gue diselingkuhin, gue duluan deh. Enak aje…”

Sikap para narasumber ini tampaknya diamini para penonton. Tepuk tangan dan pemberian tawa, tentulah sebuah afirmasi pada jawaban.  Karena, tampaknya, tanpa sadar,  memilih selingkuh daripada diselingkuhi lebih dimaknai sebagai laku heroik, kemenangan, dan karena itu, layak mendapat tepuk tangan.

Benar bahwa jika diselingkuhi setiap orang akan merasakan sakit, nyeri hati, kehilangan kepercayaan pada diri, merasa dicampakkan, tak berharga. Tapi, apakah semua rasa sakit dan ketakberdayaan itu layak dilabeli sebagai korban? Sehingga, menampik diselingkuhi dan memilih untuk (ber)selingkuh adalah tindak untuk menolak menjadi sang korban?

Rasanya tidak.

Jika pun terjadi sebuah perselingkuhan, maka yang layak dijadikan sebagai korban adalah komitmen, kesetiaan. Di sini, korban bukan mengacu pada sosok, pada tubuh atau nama, atau harga diri, tapi lebih kepada nilai-nilai.  Setiap perselingkuhan selalu mengikis nilai kesetiaan. Perselingkuhan menghancurkan sendi komitmen dan kepercayaan.  Perselingkuhan mengorbankan keyakinan tentang cinta yang suci dan menyatukan.

Jadi, salah besar jika posisi korban diletakkan pada sosok yang diselingkuhi. Karena, diselingkuhi adalah situasi yang justru terlindung dari kemunafikan, kebohongan, kejahatan rasa, dan keliaran badaniah.

Diselingkuhi adalah sebuah posisi yang, sebenarnya, terselamatkan!

”Selingkuh atau diselingkuhi?!” serang Deddy.

”Diselingkuhi!” tangkis Tya Ariestya, yakin!

”Diselingkuhi atau jomblo selamanya!” cecar Deddy lagi.

”Jomblo!”

Tya Ariestya tahu, jika dia diselingkuhi, maka lelaki itu tak pantas menjadi kekasihnya, tak pantas menjadi pendampingnya. Dia memilih diselingkuhi, karena hal itu menjadi saring bagi asmaranya, bagi kehidupannya kelak. Diselingkuhi membuat dia terlindungi. Diselingkuhi membuat dia selamat dari cinta yang khianat.

Tya tak memilih (ber)selingkuh karena menyadari itu bukan laku heroik, bukan tindak untuk tak menjadi sang korban, tapi lebih sebagai aktivitas menyalurkan keliaran hasrat.

Bagi Tya, mungkin, memilih selingkuh daripada diselingkuhi adalah mengafirmasi sebuah sikap aktif untuk menghancurkan nilai kesetiaan dan merusak makna cinta.


Hasrat Bicara

Dengan demikian, memilih (ber)selingkuh adalah pernyataan tentang keberpihakan  untuk berbuat jahat, menyakiti, daripada disakiti. Melibatkan diri untuk menjadi perusak aktif kesetiaan dan nilai cinta  ketimbang melawan atau terselamatkan dari kepalsuan.

Memilih (ber)selingkuh adalah pernyataan tentang kebebasan diri untuk memenuhi hasrat libinal, petualangan, keliaran, dan pendobrakan pada nilai kesetiaan.

Itulah sebabnya, memilih (ber)selingkuh dilakukan dengan sedikit rasa bangga, kegelian, atau tertawa yang berderai-derai.

”Ketahuan selingkuh atau menangkap istri sedang selingkuh?” tanya Deddy.

”Lha, kan sudah ketahuan selingkuh, jadi mau bagaimana lagi, hahahaha…” Tora Sudira ngakak.

Penonton lebih lebar tertawa, bahkan terpingkal-pingkal.

Entah apa yang lucu.

Padahal, Deddy bertanya dengan frasa yang berbeda. Bukan lagi, ”Selingkuh atau diselingkuhi?!” tapi ”Ketahuan…”

Artinya, untuk Tora Sudiro, Deddy tidak lagi meminta memilih soal setia atau tidak, tapi lebih pada ketahuan berbuat tak setia atau tidak. Dari pertanyaan ini saja sudah dapat disimpulkan bahwa Deddy menempatkan Tora sebagai pelaku selingkuh. Persoalamnya, ketahuan atau tidak.

Dan memang itulah kenyataannya. Perselingkuhan yang selalu menjadi berita di televisi bukanlah perkara kesetiaan yang tercerabut, tapi soal ketahuan atau tertangkap kamera semata. Dengan kata lain, kesetiaan atau komitmen adalah perkara yang manis di mulut tapi tak jelas sudah bentuk dan wujudnya. Ia hanya ada di awal perpacaran atau pernikahan, dan lalu semua hilang. Perselingkuan adalah bagian integral dari panggung, dunia yang yang tak bisa mereka lepaskan. Dan karena itu lalu  jadi hal yang biasa. Yang mereka lakukan, dengan demikian, bukanlah menghindari perselingkuhan, tapi sekuat mungkin menutupinya.

Selingkuh adalah pilihan untuk merayakan keberhasratan. Dan karena ”perayaan”, maka laku itu dilakukan dengan riang gembira, tertawa, ”Yess!”

Inilah perilaku yang menurut Marquis de Sade sebagai, ”menikmati penyimpangan  dan menertawakannya sebagai bagian dari lelucon kehidupan.” Ssebagai sesuatu yang biasa, dan menjadikan, ”kehidupan adalah perjanjian sadar untuk memuasinya dengan cerita indah dan lucu tentang kesetiaan yang dikutuk.”

Betapa menyeramkan!

Mereka yang memilih (ber)selingkuh daripada diselingkuhi, menurut de Sade, adalah orang yang hidupnya melulu mengejar kenikmatan-kenikmatan inderawi (sense pleasure), dan motivasi hidupnya adalah murni untuk memuaskan seluruh hasrat dirinya. Mencari kenikmatan tubuh dengan melampaui batas-batas normalitas, dan memasuki area-area yang menyimpang.

Lalu, tanya diri Anda, pilih mana,  berselingkuh atau diselingkuhi.

Yang Menyapa Tuhan Begitu Akrab

May 19, 2011

Malam telah sampai di ujungnya. Di samping ranjang yang reot, lelaki muda, tirus dan kurus, duduk menghadapi bukunya. Beberapa kali matanya memejam, napasnya tampak mengejan, seperti ingin melahirkan. Pena di tangannya digerakkan ke buku tulis itu, tapi ditarikkannya lagi. Setelah membuang napas, tubuhnya membungkuk, menuliskan sesuatu.

15 Juli 1969, Aku belum tahu apakah Islam itu sebenarnya.

Tubuhnya menegak. Jemari tangan kirinya bergerak meluruskan rambut ikalnya  yang menjatuhi dahi. Ia menulis lagi.

Aku baru tahu Islam menurut HAMKA, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama kuno, menurut Johan, Islam menurut Subki, Islam menurut yang lain. Dan terus-terang aku tidak puas. Yang kucari belum ketemu, belum terdapat, yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya.

Bagaimana? Langsung studi dari Quran dan Sunnah? Akan kucoba. Tapi orang lain pun akan beranggapan yang kudapat adalah Islam menurut aku sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah islam yang menurut Allah.

Aku harus yakin itu.

Lelaki itu tersenyum, bangkit, bergerak, menjatuhkan dirinya di ranjang.

Di luar, embun telah jatuh.

Di Yogya, hampir semua intelektual muda mengenalnya. Pergaulannya luas, dan dengan satu ciri khas, pertanyaan yang menyentuh wilayah tak terpikirkan, mendobrak tabu. “Ia acap membuat dahi orang lain mengerut. Lebih lagi, apa yang dia persoalkan bagi orang lain adalah sesuatu yang tabu dan telah final,” kenang Mukti Ali dalam pengantar buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib.

Kelebat lelaki itu, Ahmad Wahib, adalah gerak intelektual. Ia penggagas “Lingkaran Diskusi Limited Group”, forum Jumatan di rumah Mukti Ali, kompleks IAIN Sunan Kalijaga, Demangan. Anggota inti forum ini adalah intelektual yang bersinar: Dawam rahardjo, Djohan Effendi, Syuba’ah Asa, Syaifullah Mahyuddin, Djauhari Muslim, Kuntowidjoyo, Syamsuddin Abdullah, Simuh, Rendra, Deliar Noer, sampai Nono Anwar Makarim. Empat yang pertama adalah anggota inti grup itu.

Wahib juga aktivis HMI. Di kelompok mahasiswa islam ini, ia pun menonjol. Kemenonjolan ini, dalam aktivitas dan pemikiran, membuat “kariernya” melesat, memasuki “lingkaran elite” HMI Yogya, dan Jawa Tengah. Djohan Effendi mengenangnya sebagai sosok yang berani berpendirian dan bersikap beda, malah kadang berlawanan dengan sikap umat dan golongan Islam pada umumnya.

“Bagi Wahib, komitmen muslim, pertama-tama dan terutama adalah pada nilai-nilai Islam dan bukan pada organisasi Islam atau pun tokoh Islam tertentu,” kenang Djohan.

Atau dalam kata-kata Wahib, tertanggal 9 Oktober 1969:

Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan budha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana aku termasuk serta dari aliran mana saya berangkat.

Memahami manusia sebagai manusia.

Mengakrabi Tuhan

Ahmad Wahib dilahirkan 9 Nopember 1942 di Sampang, Madura. Lingkungan bergaulnya di masa kanak adalah iklim beragama yang ketat. Ayahnya, Sulaiman, tergolong pemuka agama. Ia sendiri meski tak total, pernah mengecap bangku pesantren.

Namun, keterbukaan ayahnya membuat Wahib bebas memasuki pendidikan umum. Selepas SMA Pamekasan bagian Ilmu Pasti, 1961, ia berangkat ke Yogyakarta. Ia mengambil Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) UGM. Sayang, meski mengecap sampai tingkat terakhir, ia tak menamatkannya.

Di Yogya, Wahib tinggal di Asrama Mahasiswa Realino, asrama Katolik. Dan dalam pergaulan bersama para Romo dan teman seasrama, ia merasa sangat bahagia. Sampai, “Aku tak yakin, apakah Tuhan tega memasukkan romoku itu ke neraka,” tanya dalam buku harian itu.

Di luar HMI, lingkungan pergaulan Wahib sangat luas. Dia akrab dengan AR Baswedan, pendiri partai Arab, Ki Muhammad Tauchid, tokok Taman Siswa, Karkono, mantan anggota PNI, dan dari kalangan muda, Ashadi Siregar, Tahi Simbolon, dan Aini Chalid.

Namun, Baswedan dan Wajiz Anwar yang paling ia akrabi. Di mata Baswedan, ia sosok muda yang mengagumkan. Ia banyak yang tak sepaham dengan pikiran Wahib, tapi ia yakin, pemuda itu sangat jujur dengan pikiran-pikirannya.

Tuhan, bisakah aku menerima hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu? Karena itu Tuhan, maklumilah lebih dulu bila aku masih ragu akan kebenaran hukum-hukum-Mu. Jika Engkau tak suka hal itu, berilah aku pengertian-pengertian sehingga keraguan itu hilang….

Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak sendiri yang telah Engkau berikan kpadaku dengan kemampuan bebasnya sekali?….

Tuhan, aku ingin bertanya pada Engkau dalam suasana bebas. Aku percaya, Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan  yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri (9 Juni 1969).

Orang kedua, Wajiz Anwar, adalah dosen filsafat di IAIN Sunan Kalijaga, alumnus Gontor, yang minggat ke Mesir, tapi membelot ke Jerman untuk mendalami filsafat. Sama seperti Wahid, ia juga orang yang sangat getol melempar persoalan yang sangat menggoda pikiran dan mengguncangkan sendi.

Dan karena merasa tak sejalan lagi dengan “kekakuan” di HMI, Wahib pun –bersama Djohan Effendi– menyatakan ke luar, dengan mengeluarkan “Memorandum Pembaharuan dan Kekaderan”. Ia ingin mencari dunia yang lebih memberi arti pada keberbedaan.

Berada di luar HMI, pikiran liar Wahib kian menguar. Ia mengkritisi “sekularisasi” yang dipopulerkan Nurcholis Madjid, mengkritik Mukti Ali, dan kian tajam dalam perenungan-perenungan. Namun, dunia kerja memintanya ke Jakarta. Menjadi reporter Tempo, kuliah di STF Driyarkara, dan aktif berdiskusi di rumah Dawam Rahardjo.

Namun, Tuhan yang acap diajak Wahid berdiskusi, ternyata tak kuat menahan rindu. 31 Maret 1973, tengah malam, ketika ke luar dari kantor Tempo, sebuah sepeda motor menerjangnya. Ia terlempar, dan dalam keadaan tak sadar, kaum gelandanganlah yang membopong tubuh lunglainya ke RS Gatot Subroto. Sayang, lukanya sangat parah, dan dalam perjalanan pemindahan ke RSUP, ia menghembuskan napas terakhir.

“Subuh 1 April 1973, Amidhan, dengan suara terputus menahan tangis mengabarkan kepergiannuya kepada saya. Di sebelahnya, seingat saya, Nurcholis Madjid diam tak mampu bersuara,” kenang Djohan.

Semua sahabat menyesali kepergian Wahid yang terlalu cepat. Tapi Wahid sendiri, mungkin telah lama merindukannya:

Tuhan, aku menghadap padamu bukan hanya di saat-saat aku cinta padamu, tapi juga di saat-saat aku tak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah mau memberontak terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian Rabbi, aku berharap cintaku padamu akan pulih kembali...

Begitulah tulis Wahib, dalam 17 buku catatan harian, yang tersusun rapi di kamar sempit, di gang sempit, Kebon Kacang I/12. Catatan harian yang kemudian diterbitkan LP3ES, yang sempat dilarang beredar karena dikhawatirkan telah “menyempal dari akidah Islam”.

Cinta 15 Mei

June 1, 2009

Tidurlah, kekasih. Tidurlah. Pejamkan matamu, ikutkan kantuk yang membujuk. Tujulah seberang impian itu, sehingga kau terlelap dalam senyum.

Duduk di samping pinggulmu, kukagumi lentik bulu matamu yang rebah. Baru kutahu, dalam lelap pun kau bisa begitu indah. Keningmu yang bersih, yang selalu kau tempeli punggung tanganku ketika berpamit, begitu lembut. Maafkan, jika tak dapat kutahan bibir ini untuk menciumnya.

Tapi kekasih, kenapa napasmu mengeras? Adakah ciumanku mengganggumu? Atau impimu sedikit terusik, berjeda? Ahh– lama sekali aku tak melihat sempurna tidurmu. Biasanya, sehabis bercinta, akulah yang tertidur, dan membiarkanmu tersenyum sambil memandangi alisku, yang katamu tebal. Sering, sebelum terlelap, kurasai kau garisi alisku dengan telunjukmu, dan kau selalu ngikik kalau aku terganggu. Tapi kini, melihat alismu yang tipis, dengan keringat halus yang membeningkan garisnya, wajahmu nyaris seperti sketsa, dengan kehalusan arsir yang sempurna. Tuhan barangkali tengah tertawa ketika menciptakanmu. Dan pasti Dia juga tengah bersuka, sehingga menjadikan kau bilah rusukku.

Kekasih, aku tak tahu kamu memimpikan apa, sehingga bibirmu membuka. Ahh–, jika engkau tidak pulas, pastilah bukaan bibir itu kuanggap sebagai tantangan untuk mencium, mencumbumu. Engkau tahu sayang, menciummu adalah menjemput kesegaran, kelembutan alamiah. Kekenyalan yang mendatangkan ricik air di kali bening, hujan tipis berkabut, dan… berahi. Tapi kamu, ahh– kenapa selalu menakaliku tiap kita bercium. Selalu kau tarikkan bibirmu, tersenyum, menikmatiku yang sesaat terbebas dari nikmat. “Aku suka melihatmu seperti haus…” bisikmu, sebelum kulekapkan bibirmu.

Tidurlah kekasih, tidurlah. Malam ini kuwakafkan waktu untuk menjagamu. Akan kumanterai ubun-ubunmu, dengan doa-doa jutaan tahun, agar cinta kita terikat, seperti takdir Adam dan Hawa yang selalu merapat. Akan kurajahi dahimu dengan isim Yusuf, sehingga cahaya cinta Zulaikha menapasimu.

Tidurlah kekasih, tidurlah. Jemputlah impimu, dan ceritakan padaku, nanti. Karena kutahu, dalam mimpimu pun, kita selalu bersatu.

Tidurlah cintaku, bilah rusukku, ibu anak-anakku. Lelaplah….

Si Doel dan WC Kita

March 20, 2009

Di dalam tiap keramaian, tempik-sorak, tawa-bahak, selalu ada suara sepi. Dan itulah yang kita saksikan dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang kini tayang ulang di RCTI, setiap pagi. Ada suara Mandra, Atun, dan Mas Karyo, yang selalu ingar. Atau deram Babe yang seakan marah, juga desis Mak Nyak yang tergambar sabar. Tapi, lebih dari semua itu, ada si Doel, pemilik porsi terbesar, yang sunyi.

Kalau bicara, Doel bersuara dengan nada ngambang, mirip gumam. Matanya tak pernah berdiam pada objek, mengalih, lebih sering menerawang. Sinar wajahnya kusam, dengan kening yang selalu berhias kerutan. Bahkan cinta Sarah pun, dia rasakan sebagai beban.

Ia wakil dari suara yang, seakan, kehilangan gairah.

Sinetron itu memang dipenuhi “caci-maki” khas Betawi, pertengkaran segitiga Mandra-Atun-Karyo pun menjadi warna utama. Tapi makna sinema itu justru hadir dalam gelisah senyap Doel. Meminjam kosa kata pantun; pertengkaran adalah sampiran, kesunyian menjadi isi. Meski isi itu, dalam beberapa hal, terlihat anomali.

Doel, tokoh kita itu, memang tak mematok tujuan. Ia bergerak dari saat ke saat, setindak-tindak, laku dalam proses. Dia seperti laku yang diminati kaum “nihilis-aktif”, bergerak tanpa patokan, kreativitas yang lahir dalam suasana.

Tapi, di situlah anomali terjadi. Ketakterpatokan itu terasa dalam gairah yang tidak kentara, atau mungkin tak ada. Berbeda dari kaum nietzschean yang bergerak dalam gairah, menerima nasib dengan rasa cinta, “kusayangi apa yang terberi”, atau menjadi “gila”, Doel justru menepi, merenung, seakan pasti menyerah. Ia lebih seperti ketenangan air danau, yang menutupi gerak arus di bawahnya.

Doel memang tak menampik apa pun yang diberi hidup, tapi keberterimaan itu tidak dengan cinta. Ia menerima dalam keadaan yang seakan, “Apa boleh buat…” Dalam hal ini, dia lebih seperti yang dikatakan Camus dalam Mite Sisifus, “Selalu tiba saatnya kita harus memilih antara renungan dan tindakan. Begitulah hakikatnya menjadi manusia. Kepedihan-kepedihan itu mengerikan. Namun untuk hati yg memiliki kebanggaan, di situ tidak mungkin ada pilihan tengah. Ada tuhan atau waktu, salib atau pedang. Dunia ini mempunyai arti yang lebih tinggi yang melampaui segala hiruk pikuknya atau tidak ada suatu pun yang benar selain hiruk pikuk itu.”

Tapi, suara Doel, getar yang kehilangan gairah, atau ajakan Camus untuk merenung, mendapatkan arti yang melampaui kehirukpikukan itu, kini tak kita temukan lagi. Yang kita dengar saat ini dan lusa adalah “tidak ada suatu pun yang benar selain hiruk-pikuk itu.”

Fitri dan Farel contohnya. Dua tokoh utama dalam sinetron Cinta Fitri itu tak pernah sekalipun “jatuh” menjadi Doel, senyap dalam permenungan, diam yang “apa boleh buat”. Fitri dan Farel, dan juga semua tokoh dalam cerita itu, larut dalam keingaran yang tanpa ujung, untuk mendapatkan sesuatu yang mereka jadikan tujuan. Seluruh kisah bermuara menjadi perlawanan pada “nasib”, dengan mengatakan “Tidak!”

Doel mengatakan “Ya”, afirmatif, meski tidak dengan cinta, dan itu membuat dia tahu potensi dirinya di depan nasib, “Aku ingin….” Berbeda dari Farel dan semua tokoh di Cinta Fitri, yang menidakkan nasib, sehingga tak mampu melihat diri dalam relasi dengan dunia, sehingga berkata, “Kalian harus!”

Energi “Kalian harus!” itulah juga yang mendasari keseluruhan sinetron di televisi saat ini. Karena itu, meski cerita bising oleh kebencian, warna dendam, dan alur ketakmasukakalan, sinema itu tetap saja jalan. Ketakberterimaan pada “nasib” itu juga yang membuat cerita sinetron kini terasa jauh, bukan menjadi bagian dari kisah kita. Sinema itu tak mampu memupus keberjarakan seperti yang pernah dilakukan Kisah Serumpun Bambu, Rumah Masa Depan, Keluarga Cemara, atau Jendela Rumah Kita.

“Beberapa waktu lalu saya ke Bandung. Kemudian ada seorang bertanya kepada saya. ‘Bang, apakah anak-anak sekolah di Jakarta seperti di film atau sinetron, ya?’ Saya jadi sedih, kita harus punya tanggung jawab atas tontonan yang kita tampilkan,” harap Rano Karno.

Tanggung jawab itu sebenarnya sudah lama diambil alih kesepian dan permenungan, yang kini menjadi “si entah” dalam televisi kita. Yang kalau pun datang, “si entah” itu hadir tak dalam kesebandingan. Sepi itu muncul sebagai ulangan, bukan dauran. Dan di dalam ulangan, tak ada lagi proses, tak terjadi perubahan, Si Doel tak seperti Si Unyil yang bermetamorfosa. Si Doel lebih seperti Oshin yang juga tayang lagi di TVRI, hadir sebagai kenangan, untuk ingatan suatu masa, untuk ikatan sebuah massa. Massa yang bukan menjadi bagian dari penonton teve kini.

Dengan kata lain, meski yang sunyi itu tetap hadir, sebenarnya dia ditampik. Yang diterima adalah kebingaran yang telah menjadi “kebenaran”. Kebenaran, yang cuma sampiran itu,   dibobotkan ke dalam selera penonton, rating, dan iklan. Kebenaran yang seakan berkata, “Tak ada lagi tempat untuk kesepian dan renungan.”

Barangkali, tempat untuk itu masih ada, di WC kita. Sayangnya, tak pernah ada yang betah berlama di sana.

 

[Dalam versi yang lebih pendek dan berbeda, telah dimuat sebagai "Tajuk" di tabloid Cempaka, Sabtu 21 Maret 2009]