Silet, Memanjangkan Prasangka

March 31, 2009

Tentu, aku tak bercerita pada Papa. Di kafe itu, kucoba tertawa, sembari menyimpan  airmata. Papa berkali-kali mengelusi rambutku, dan bertanya, mengapa tadi aku menangis. Aku tak menjawab, mengalihkan cerita. Papa tertawa.

“Ila, Papa tahu ada rahasia antara kita. Dan itu tak apa-apa. Tapi, Ila juga harus adil.”

“Adil, Pa?”

“Iya. Jika Ila boleh punya rahasia, orang lain tentu juga punya. Dan seperti Papa yang tak memaksa Ila untuk bercerita, Ila pun tidak punya hak memaksa atau membuka rahasia orang lain.”

“Lho, memang Ila telah membuka rahasia siapa? Papa jangan asal tuduh, dong?!”

Papa tertawa. Jemarinya mengacak rambutku lagi. “Siapa yang menuduh. Papa hanya menjelaskan bahwa kita harus adil, Ila. Apa yang tidak kita sukai dilakukan orang lain pada kita, jangan juga kita perbuat pada orang lain. Papa ingin Ila tahu bahwa ada situasi tertentu yang membuat seseorang tak bisa berbagi atau bercerita. Seperti Ila saat ini misalnya. Dan Papa tidak punya hak untuk memaksa. Ila mengerti?”

Aku mengangguk. Papa menyorongkan kup es krimnya. “Tuh, dihabiskan, kita pulang.”

Kusodorkan juga mangkuk es krimku ke depan Papa. “Stoberinya terlalu asam,” kataku.

“Bukan stoberinya, Nak, tapi suasana hatimu…” bisik Papa, menggoda. 

Tiga menit kemudian, Papa menggenggamkan dompetnya ke tanganku, dan menunjuk kasir. Aku tertawa.

Lima menit berikutnya, kami sudah lepas dari parkiran, dan untuk kali pertama, Papa mengizinkanku menjadi sopirnya.

 

********

 

Biru, pernahkah engkau merasa kecewa? Pernahkah engkau bangun dan melihat pagi dengan warna yang berbeda? Tahukah Engkau bahwa hujan bisa begitu kejam menjarumi kulitmu, perih dan pedih?

Pagi ini Biru, aku merasai semua itu. Sesak di dadaku tak punah. Ganjalan di hatiku tak pergi. Meski Papa bilang setiap orang boleh punya rahasia, aku harus adil kepada siapa saja. Iya, aku pasti bisa adil, bisa… jika rahasia itu tidak melukaiku dan juga Papa. Aku barangkali tak peduli jika Mama menyimpan bawang di kasur atau menyembunyikan cabe di saku kemeja. Tapi ini kan tidak, Mama menyimpan lelaki lain!

Lelaki lain!  Bisa kamu bayangkan itu? Bagaimana aku harus adil?

Biru, bagaimana aku harus menghadapi hal ini? Haruskah aku menelpon lelaki itu dan bertanya, “Hey, kamu siapa? Ada hubungan apa kamu dengan Mamaku?” Sopan tidak ya jika aku bertanya begitu, Biru? Tapi, apakah aku harus bersopan-sopan menghadapi lelaki semacam itu, yang memanggil mesra istri orang lain? Atau aku langsung saja bicara dengan Mama, dan memaksa Mama bercerita, meninggalkan lelaki itu, kalau tidak akan aku laporkan pada Papa. Aku bingung, Biru. Aku mencintai Papa, juga Mama. Aku tak ingin keduanya bertengkar dan apa jadinya jika mereka kemudian berpisah.

Telah dua hari ini tubuhku rasanya berat sekali, seperti menanggung beban yang luar biasa. Telah tiga kali kunaikkan kaki ke timbangan badan, tapi kulihat angka itu seperti tak menunjukkan fakta yang sebenarnya, beratku tak bertambah, bahkan cenderung menurun. Itu kan tidak mungkin, karena aku tahu persis kakiku kini pun mulai goyah untuk melangkah, terutama jika makan malam, sebuah situasi yang membuatku tak bisa tidak harus bertemu Mama.

Iya Biru, telah dua hari ini aku mencoba menghindari Mama. Tak lagi berlama-lama bersama, termasuk menemani membuat sarapan untuk Papa dan adikku. Aku juga tahu, Mama pasti menyadari perubahanku itu, karena berkali-kali kutangkap Mama menatapku dan mulutnya terbuka, tapi tak ada suara. Barangkali Mama mulai menyadari rahasianya sudah kuketahui, dan malu. Barangkali Mama ingin bercerita tapi ragu. Barangkali Mama merasa aku masih terlalu kecil untuk mengerti hal yang sebenarnya. Barangkali…. Ah entahlah, aku pusing.

Tapi tahu tidak, Papa tenang-tenang saja, Biru. Masih tertawa-tawa, memangku Mama sehabis makan malam sembari membaca koran, masih semesra biasa, seperti tak ada apa-apa. Ya, Papa memang tak mengerti bahwa Mama telah berubah, bahwa perempuan yang selalu mencium punggung tangannya, dan selalu Papa hadiahi kecupan di kening itu, bukan lagi sosok yang sama.

Biru, pedih sekali rasanya melihat Papa menjadi korban sandiwara Mama. Sakit melihat Mama menggelendot manja. Padahal….

Biru, aku tak bisa bercerita langsung padamu. Kutuliskan resahku ini, dan tak akan sampai padamu. Maaf, aku harus menjadikan rahasia ini sebagai milikku sendiri. Biarlah diari ini menjadi bukti, aku telah bercerita padamu, telah berbagi. Bahwa di saat-saat paling pedih pun dalam hidupku, engkaulah sumber energiku, Biru. Kepadamulah kukabarkan semuanya, meski kali ini engkau cuma sosok yang kuhadirkan dalam anganku saja.

 

******

 

“Ila, tahu tidak mengapa banyak orang yang merasa tidak bahagia dengan hidupnya?”

Kuurungkan membuka pintu mobil. Tak biasa Papa mengajak bicara dalam situasi yang pendek seperti ini. Biasanya, Papa hanya berpesan, “Riangkan hatimu, hari ini pasti menyenangkan,” dan mendadaiku yang melangkah ke halaman sekolah. Pasti ada sesuatu. Apakah Papa melihat ada yang berubah dengan diriku?

“Maksud Papa apa Ila terlihat tidak bahagia?”

Papa tertawa. “Kamu itu, selalu saja mengambil kesimpulan…, dan salah. Papa tidak mengatakan dirimu, hanya bertanya apakah Ila tahu apa sebab orang sering merasa tidak bahagia dengan hidupnya. Kalau Ila ya pasti bahagia, ada Papa yang sebaik ini, dan ada Mama yang sesempurna itu. Iya, kan?”

Aku menggeleng.

“Lho, jadi Ila tidak bahagia?” suara Papa agak bergetar, seperti terkejut.

Aku tertawa. “Papa itu selalu saja menyimpulkan…, dan salah. Ila menggeleng itu karena tidak tahu mengapa banyak orang yang tidak bahagia. Bukan karena Ila tidak bahagia dengan keluarga kita.”

Papa meninju pundakku, tersenyum. “Kamu itu, mulai pintar membolak-balik kata. Ya sudah, sana turun, nanti terlambat.”

“Lho, terus apa sebabnya orang merasa tidak bahagia dengan hidupnya, Papa?”

Dari tasnya, Papa mengambil selembar kertas kecil berlipat. “Nih, baca di kelas.” Papa menggenggamkan kertas itu, menarikkan pundakku agar hidungnya menjangkau keningku. “Gembirakan dirimu…” bisiknya.

Aku bergegas turun. Kujejalkan kertas berlipat itu ke saku tasku.

Di dalam kelas, segera kubuka lipatan kertas itu. Ada tulisan tangan Papa, bertinta biru, bertandatangan. Aku tersenyum. Papa selalu saja bisa melakukan hal-hal yang membuat aku bahagia. Kubaca kalimat yang cuma dua baris itu. “Angan-angan. Memanjangkan kenyataan. Membenihkan praduga dan syakwasangka, menanam ketakutan dan kesedihan. Itulah sebabnya, Ila. Jadi, jika Ila ingin terus dalam lingkupan suasana bahagia, semailah kepercayaan bahwa kebaikan tidak akan pernah mengkhianati dirimu. Bahwa yang tampak di mata terkadang bukan kenyataan yang sebenarnya, dan jangan dipanjangkan menjadi cerita dengan praduga dan wasangka.”

Aku membaca berkali-kali, mencoba mencerna. Ah, iya aku ingat, Papa pasti tengah memintaku untuk tak seperti Fenny Rose, pembawa acara “Silet”, yang selalu berpraduga atas sebuah peristiwa.

Tapi, memangnya aku tengah menduga-duga apa??