Cinta 15 Mei

June 1, 2009

Tidurlah, kekasih. Tidurlah. Pejamkan matamu, ikutkan kantuk yang membujuk. Tujulah seberang impian itu, sehingga kau terlelap dalam senyum.

Duduk di samping pinggulmu, kukagumi lentik bulu matamu yang rebah. Baru kutahu, dalam lelap pun kau bisa begitu indah. Keningmu yang bersih, yang selalu kau tempeli punggung tanganku ketika berpamit, begitu lembut. Maafkan, jika tak dapat kutahan bibir ini untuk menciumnya.

Tapi kekasih, kenapa napasmu mengeras? Adakah ciumanku mengganggumu? Atau impimu sedikit terusik, berjeda? Ahh– lama sekali aku tak melihat sempurna tidurmu. Biasanya, sehabis bercinta, akulah yang tertidur, dan membiarkanmu tersenyum sambil memandangi alisku, yang katamu tebal. Sering, sebelum terlelap, kurasai kau garisi alisku dengan telunjukmu, dan kau selalu ngikik kalau aku terganggu. Tapi kini, melihat alismu yang tipis, dengan keringat halus yang membeningkan garisnya, wajahmu nyaris seperti sketsa, dengan kehalusan arsir yang sempurna. Tuhan barangkali tengah tertawa ketika menciptakanmu. Dan pasti Dia juga tengah bersuka, sehingga menjadikan kau bilah rusukku.

Kekasih, aku tak tahu kamu memimpikan apa, sehingga bibirmu membuka. Ahh–, jika engkau tidak pulas, pastilah bukaan bibir itu kuanggap sebagai tantangan untuk mencium, mencumbumu. Engkau tahu sayang, menciummu adalah menjemput kesegaran, kelembutan alamiah. Kekenyalan yang mendatangkan ricik air di kali bening, hujan tipis berkabut, dan… berahi. Tapi kamu, ahh– kenapa selalu menakaliku tiap kita bercium. Selalu kau tarikkan bibirmu, tersenyum, menikmatiku yang sesaat terbebas dari nikmat. “Aku suka melihatmu seperti haus…” bisikmu, sebelum kulekapkan bibirmu.

Tidurlah kekasih, tidurlah. Malam ini kuwakafkan waktu untuk menjagamu. Akan kumanterai ubun-ubunmu, dengan doa-doa jutaan tahun, agar cinta kita terikat, seperti takdir Adam dan Hawa yang selalu merapat. Akan kurajahi dahimu dengan isim Yusuf, sehingga cahaya cinta Zulaikha menapasimu.

Tidurlah kekasih, tidurlah. Jemputlah impimu, dan ceritakan padaku, nanti. Karena kutahu, dalam mimpimu pun, kita selalu bersatu.

Tidurlah cintaku, bilah rusukku, ibu anak-anakku. Lelaplah….

Membiarkan Takdir yang Bekerja

February 5, 2009

Jika, “Hidup yang tak diperiksa,” kata Sokrates, “tak layak untuk dijalani,” maka hidup yang tak punya rencana, pasti tak mungkin juga dikendarai. Dan perkawinan yang tanpa cinta….

Kita tak pernah tahu, apakah perkawinan Jose Purnomo dan Lusy Rahmawati penuh atau tanpa cinta. Tapi, dalam sebuah wawancara “Obsesi” di Global TV, Jose mengakui keretakan rumahtangganya adalah sesuatu yang tak terduga, sama dengan , “… pernikahan yang juga tak pernah saya rencanakan.”

Jose barangkali salah mengambil analogi. Dia mungkin cuma ingin menegaskan bahwa ambang perceraian itu bukanlah sebuah keputusan yang terpikirkan sebelumnya, tapi lebih sebagai sebuah insiden. Dan kita tahu, insiden selalu menyangkut sesuatu yang tak terduga, kadang seperti tanpa sebab –karena sebab itu tak selalu kita sadari. Jose hanya ingin memberi tahu, dalam kehidupan, ada hal-hal yang hadir tanpa dapat dikira, dan tak selalu bisa ditampik. Maka dia pun memberi analogi, bahwa pernikahannya dulu pun seperti tanpa rencana, sesuatu yang entah bagaimana tersaji begitu saja.

Jelas itu analogi yang keliru. Karena, dengan “penyamaan” seperti itu, lidah infotainmen akan cepat menyergap bahwa perceraian itu lahir dari pernikahan yang tak memiliki alasan, tak punya dalil untuk dipertahankan. Padahal, seperti kebanyakan artis lain, Jose hanya ingin memberi jawaban yang bisa diterima, dan jika mungkin, terkesan arif. Maka, ucapan “tanpa rencana” itu adalah sebuah penciptaan kondisi bahwa segala yang terjadi dengan kehidupannya merupakan sesuatu yang terberi, yang kudu dia jalani.

Dengan kata lain, Jose percaya, manusia adalah objek dari Sang takdir.

Dan entah mengapa, keyakinan bahwa “manusia adalah objek dari takdir” itu selalu menjadi pegangan selebriti.

“Barangkali sudah nasib saya, harus menjanda dengan cara seperti ini,” kata Five Vi, yang dicerai Henry Djosodiningrat melalui sebuah SMS. Atau, “Hubungan ini sifatnya memang tidak untuk diniatkan atau direncanakan. Kami nggak sengaja bertemu dan nggak sengaja juga sama-sama mulai merasa ada pengaruh satu sama lain…” terang Ririn dwi Ariyanti, menyangkut asmaranya dengan Aldy Bragi. Ke mana arah asmara itu? “Kami serahkan pada waktu….”

Tanpa rencana. Tidak sengaja.

Seakan, ada sebuah tangan gaib raksasa yang mengatur seluruh siklus hidup mereka.

Padahal, takdir justru tak pernah menampakkan diri dalam hidup yang tak memiliki rencana. Takdir adalah kuasa yang lahir setelah sakit dalam usaha. Takdir tak pernah datang dari sebuah kebetulan-kebetulan, melainkan melalui rahim kerja dan doa. Takdir selalu memiliki sebab dan alasan. Dan jika pun lebih sering hadir dalam sebuah situasi yang ndilalah, itu hanya karena sebabnya acap tak disadari.

Untuk menyadari sebab, Sokrates meminta hidup yang diperiksa.

Hidup yang diperiksa membuat segala ketakterdugaan tak diterima dalam semesta takjub, apalagi kejut.

Takdir dengan demikian bukan hadiah, dan dia tidak semena-mena.

Manusia pun bukan objek.

Manusia masih bisa menjadi subjek, meski terkadang harus “kalah” seperti Hamlet.

Jose Purnomo menyadari sungguh hal itu, juga Five Vi, Ririn dan Aldy, atau Dimas Seto dan Dhini Aminarti. Mereka menyadari takdir adalah bentukan dari diri. Mereka juga kuat dalam rencana dan tujuan. Tapi mereka harus melepaskan keyakinan subjek itu untuk sebuah alasan: mekanisme perlindungan.

Dengan meletakkan takdir sebagai penguasa di atas segalanya, dan tak perlu menjalani hidup dan asmara dalam rencana, mereka dengan gampang menampik kegagalan dan rasa salah.

Dan juga dosa.

Mereka mencoba alpa.

Dengan membiarkan takdir yang bekerja, mereka dapat membebaskan diri dari hujat dan juga nista. “Kami hanya menjalani. Ke depannya seperti apa, kami tak tahu…” tegas Ririn.

Bagi mereka, takdir adalah sebuah misteri. Di depan misteri, mereka tak merasa malu, meski gagal dan terjungkal ke dalam satu persoalan yang sama, terus-menerus, berkali-ulang. “Mengapa selalu masalah seperti ini terus yang menimpa saya,” tanya Sarah Azhari.

Karena bagi mereka, takdir tak pernah hadir sebagai peringatan.

Tak pernah datang sebagai hukuman.

[Telah dimuat sebagai "Tajuk" di tabloid Cempaka, Sabtu 7 Februari 2009]