Tentara Berjiwa Gereja
December 19, 2008 · Print This Article
PERISTIWA 17 Oktober 1952, saat militer mengarahkan meriam ke Istana, tak hanya meminta korban Nasution. TB Simatupang, rekannya seangkatan di Akademi Militer Bandung pun, yang saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), terkena imbas. Ia dipecat, dan dipensiunkan, saat masih berusia 39 tahun.
Awal masalah besar di tubuh militer itu adalah keinginan Nasution dan Simatupang untuk membentuk militer yang profesional. Kedua orang ini yakin, hanya dengan cara itu, militer tak akan masuk dalam garis PKI.
Tapi, parlemen justru memandang lain, dan mengkritik kebijakan itu, bahkan “mengobok-obok” persoalan internal militer. Hal ituilah yang membuat militer marah, dan meminta presiden membubarkan DPR melalui aksi 17 Oktober itu, yang sebenarnya merupakan sandiwara politik, karena Bung Karno telah tahu skenario itu.
Tapi, ulah seorang kolonel, Bambang Supeno, membuat skenario itu berubah. Bung Karno yang dibuat percaya bahwa militer tak lagi mendukung kepemimpinan Nasution, berhasrat memecatnya. Simatupang bereaksi.
“Saya marah. Bersama Nasution, dan Menteri Pertahanan Hamengku Buwono, kami datangi Presiden. Kami jelaskan yang sebenarnya. Saya tak setuju keinginannya untuk memecat Nasution. Selama saya KSAP, tak akan ada pemecatan itu!” kenang Tahi Bonar Simatupang, saat diinterview Tempo, beberapa tahun sebelum kematiannya.
Tapi ia kalah. Nasution dipecat, bahkan dimahkamahmiliterkan. Simatupang menjadi saksi.
“Saya katakan, jika kami memang ingin kup, pasti militer akan menang. Jakarta sudah kami kuasai. Jadi, tak ada itu keinginan kup. Saya jelaskan keinginan kami, agar pemilu dipercepat, untuk mewujudkan DPR yang representatif,” jelasnya.
Kesaksiannya tak didengar. Bahkan, melalui mosi tak percaya Manai Sophian, seluruh kekuatan politik tak lagi memercayainya, meski tentara mendukungnya. Lewat serangkaian “aksi” politik, kedudukannya sebagai KSAP hilang, dan dia diangkat sebagai penasihat militer, sebelum pensiun tahun 1959, di usia 39 tahun.
“Tak pernah ada militer yang pensiun di usia itu….”
Dari Tentara ke Gereja
Tahi Bonar Simatupang lahir 29 Januari 1920, di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Ia bukan orang Dairi, berbapak Batak pegawai negeri Belanda, yang hidup berpindah-pindah. Ibunya hanya wanita biasa, yang menjadi pedagang saat bapaknya meninggal dunia, 1946.
Ia anak kedua dari 7 bersaudara. 1937, bersama abang dan satu adiknya, mereka berangkat ke Jakarta, bersekolah. Tapi, berbeda dari saudaranya yang memilih kuliah, Simatupang memilih karier di militer. Maka, begitu ada pengumumam penerimaan tentara sukarela di Bandung, ia masuk, satu kelas dengan Nasutioan, Kawilarang dan Kartakusuma. Bersama Nasution dan Kawilarang, ia pun tercatat sebagai lulusan terbaik Koro, sehingga berhak masuk Akademi Militer Belanda di Bandung.
“Saya ingin hancurkan mitos Belanda yang mengatakan Indonesia tak akan mampu membentuk angkatan perang mandiri.”
1942, Jepang masuk. Sekolah diberhentikan, dan semua calon perwira itu diperbantukan dengan pangkat pembantu letnan. Nasution ke Jawa Timur, Simatupang ke kesatuan di Ciganjur, wilayah Bandung.
Saat Belanda menyatakan kalah, dan KNIL dibubarkan, Simatupang bahkan menjadi pedagang buku. Ia berdagang dari Jakarta, Bogor, bandung, Tegal, Pekalongan, Semarang hingga Surabaya, dan satu hal membuka matanya, Jepang pasti kalah. Ia lalu segera bertolak ke Jakarta, dan bergabung dengan Sutan Sjarir.
“Pertemuan dan diskusi dengan Sjarir membuka mata saya mengenai arah perjuangan Indonesia,” katanya.
Bergaul dengan kelompok intelektual Sjarir, Simatupang belajar banyak tentang kemiliteran. Dia juga yang mendesain segala bentuk perundingan dengan Belanda, sambil mempertimbangkan strategi perang jika perundingan gagal. Otaknya diakui Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat Urip Soemahardjo, dan ia menjadi tangan kanan. Panglima Soedirman pun acap meminta nasihatnya. Saat Soedirman meninggal, ia kembali ke Jakarta, dan diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang, dalam usia 29 tahun, 1949.
Simatupang pun kemudian terlibat dalam setiap keputusan politik. Ia juga menjadi wakil militer dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), dan mendesak pengakuan TNI sebagai kesatuan internal dalam wilayah Republik Indonesia Serikat. Dengan kata lain, Simatupang tak ingin ada campur tangan pada kedaulatan organisasi TNI.
Kariernya melesat. Ia dianggap sebagai pemikir militer paling kuat, di samping Nasution. Bung Hatta bahkan acap memakai pikirannya, untuk mewujudkan militer yang profesional. Sayang, ketika Bung Hatta jatuh, ia tak punya tangan kuat di sebalik kekuasaan. Dan konflik dengan Bung Karno mengakhiri karier cemerlang militernya.
Setelah “tamat” di militer, Simatupang masuk gereja. Ia melihat, pengabdian dalam militer dan gereja ada kemiripan, dapat lebih dekat dengan permasalahan sebenarnya masyarakat. Keaktifannya itu juga dalam rangka menciptakan kesalingpengertian antarumat beragama.
“Awal tahun 1970-an, saya bahkan menjadi pioner dialog antar-agama di Pematang Siantar. Wakil Islam saat itu adalah Harun Nasution, yang teman saya satu sekolah saat di Sidikalang,” kenangnya.
Ia merasa dapat lebih berbakti bagi masyarakat justru sesudah berada dalam gereja. Ia menjabat Ketua Dewan Gereja se-Indonesia, Kemudian meningkat untuk kawasan Asia, lalu Ketua Dewan Gereja Dunia, prestasi yang tak pernah diulang putra Indonesia lain.
Meski aktif di gereja, bukan berarti perhatiannya pada militer berkurang. Sebagai salah satu pengonsep Dwifungsi AbRI –meskipun ia tak menyetujui istilah itu diterapkan– ia amat memperhatikan perkembangan militer. Ia yakin, demokrasi juga dapat dipercepat jika militer ikut serta. Karena itu ia menolak keras anggapan, demokrasi akan tegak jika fungsi militer diminimalkan.
Sebagai militer yang jujur, Simatupang percaya, besarnya pesan militer dalam kehidupan sipil justru akan mempercepat perubahan ke arah demokratisasi. Ia yakin, fungsi militer pada akhirnya hanya semacam pengawas dari kekuatan sipil agar tak melakukan penyimpangan di dalam berdemokrasi.
Sayang, sampai ia meninggal, cita-cita dan pengharapannya pada militer tak pernah terwujud. Ia pergi, di saat militer justru unjuk gigi, menghancurkan kekuatan sipil, menjadi kaki tangan kekuasaan, di bawah kendali Soeharto.
Mampir rumah saya mas, (tunu.wardpress.com)
sudah, selalu… maaf kalau kadang tak menjejak di situ
Bung Karno lebih takut dengan Pak Sim, karena - unsur sosialisnya yang kental - daripada Nasution yang lebih mudah diatur..
wah, info yang menarik. thanks mas.