Nasib Getir Burung Kelana

November 10, 2008 · Print This Article

Sutan Sjahrir adalah nama yang dicuplik ibunya dari kegemerlapan kisah Seribu Satu Malam di Istana Baghdat. Tapi kehidupan Sjahrir justru getir dan kelam, sejelaga belanga.

Dialah orang yang paling jenius dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hanya bermain di belakang gemebyar Soekarno dan memimpin pergerakan di Bandung, Amsterdam, dan Leiden, jiwanya menjadi matang. Dialah pengelana yang hidup untuk kampung halaman: pribadinya matang dalam tempaan cita-cita kemerdekaan.

Menghabiskan delapan tahun dalam penjara kolonial dan pembuangan, tiga kali menjadi Perdana Menteri di rezim Soekarno, tapi saat mati, Sjahrir justru berstatus tahanan politik, dari sebuah bangsa yang dengan darah dan airmata ia perjuangkan kemerdekaannya.

Dialah Don Quixote, sekaligus Kafka.

Sendiri, pedih, getir.

Tapi amat mencintai sesama atas nama kemanusiaan.

Tak heran, pada hari penguburannya, 18 April 1966, jasadnya yang baru datang dari Zurich, disambut 250 ribu massa, yang mengelu-elukannya dalam tangis, mengantar bunga dukacita ke Kalibata. Helikopter berputar, meraung, menabur wewangian kembang, tembakan salvo pun menggelegar, mengiringi jasad ringkih, pucat, tapi tersenyum, turun ke liang lahat.

Pemerintah menginstruksikan mengibarkan bendera setengah tiang tiga hari; tanda duka, dan jasad yang kering itu pun dibaptis sebagai pahlawan nasional.

Tapi apakah arti upacara itu?

Adakah kemeriahan penghormatan dan anugerah itu dapat mengobati luka Sjahrir, yang lebih membutuhkannya di hari-hari panjang yang dingin, pengap, meringkuk sakit, sendiri, sepi, di sebuah penjara, di Jakarta.

Hidup Sjahrir mungkin sebuah biografi yang tak indah. Tapi, siapa yang bisa melepaskan namanya dari triumvirat Bung, pendiri negara ini? Dalam tahap ini, jelas, Sjahrir berarti, sangat berarti.

Dia berjuang untuk memerdekakan negeri ini dengan konsep yang ganjil tentang nasionalisme. Nasionalisme bagi si Bung berdarah Minang ini bukanlah dewa. “Nasionalisme hanya kendaraan yang kita pakai saat ini untuk memerdekakan diri,” ucapnya.

“Sjahrir adalah burung kelana yang mendahului terbang melampaui batas-batas nasionalisme. Dia salah seorang tokoh terbesar dalam kebangkitan Asia,” puji Indonesianis, Herbert Feith.

“Perjalanan hidup Sjahrir,” tulis Rudolf Mrazeck dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, adalah gerak universalisme dari satu tradisi sempit. Dia tak pernah membawa bau tradisional, primordial, atau parokial. Ia secara jujur mengaku, tak punya hubungan batin dengan dunia Minang.”

Dalam posisi itu, Sjahrir amat berbeda dari Soekarno, Hatta, bahkan Tan Malaka. Sjahrir adalah anak panah, melesat dari busurnya, tak pernah kembali.

Intelektual Marxis Sejati

Seperti pemimpin pergerakan lainnya, Sjahrir adalah buah dari politik etis van Deventer. Ia lahir di Padangpanjang, Sumatra Barat, 5 Maret 1909, dan dewasa di Medan. Di kota itulah jiwa muda Sjahrair sudah kenyang melihat penderitaan kaoem koeli, bukti eksploitasi kolonialisme.

Dia mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul dengan pustaka dunia, karya-karya Karl May, Don Quixote, dan ratusan novel-novel Belanda. Malamnya dia ngamen di Hotel de Boer, hotel khusus untuk kulit putih, kecuali musisi dan pelayan.

1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu.

Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volkuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.

Sebelum Soekarno membentuk Perserikatan Nasional Indonesia, 4 Juli 1927, Sjahrir telah membentuk Jong Indonesie, yang kelak menjadi Pemoeda Indonesia. Ini oerganisasi baru yang jauh dari warna kesukuan, dan ia menjadi pemimpin redaksi organisasi itu.

Kuliah hukum di Universitas Amsterdam, Sjahrir berkenalan dengan Salomon Tas, ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Sjahrir, meski sebentar.

Dari mereka Sjahrir mengenal Marxisme, dan melalui Hatta, dia masuk Perhimpunan Indonesia. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.

“Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan,” katanya.

Tulisan-tulisan Sjahrir berikutnya, terutama dalam manifestonya, Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Sjahrir justru menulis, “Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan.”

Dan dia mengecam Soekarno. “Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita.” Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.

Perjoeangan Kita adalah karya terbesar Sjahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrif itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, “satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memengaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan.”

Pujian yang tak berlebihan. Karena melalui Partai Sosialis Indonesia yang melahirkan Soejatmoko, Sutan Takdir Alisjahbana, jejak-jejak Sjahrir sampai kini masih terasa, kuat, masih menggelora.

Comments

RSS feed | Trackback URI

17 Comments »

Comment by Jack
2008-11-18 16:14:22

kok belum ada yang nulis comment tentang cermin diri ini ya mas? apa mereka gak peduli sama tokoh-tokoh nasional kita?

Comment by Aulia A Muhammad
2008-11-18 17:14:37

hehehe… kan gak semua tulisan harus dikomentari jack…

 
 
Comment by Jack
2008-11-19 20:13:55

Bukannya gitu mas. ini menunjukkan bahwa umumnya masyarakat kita gak begitu kenal tokoh-tokoh nasional kita. mereka tahunya tora sudiro, rizky the titans, aries idol, yang belakangan kita ketahui ternyata kumpulan laki-laki tidak tahu diri.

Comment by Aulia A Muhammad
2008-11-20 11:17:07

gak apa-apa, jack. semua masa punya semangatnya sendiri-sendiri… rileks aja.

 
 
Comment by sinar903621
2008-11-29 12:49:42

Dan dia mengecam Soekarno. “Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita.” Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan…AKU SANGAT SETUJU DENGAN PIKIRAN ALMARHUM ‘SUTAN SYAHRIR’INI.Aku sangat benci sekali dengan kata ‘Persatuan,Kita Harus Bersatu dll’ yang selama ini terkesan mengandung kata ‘Pemaksaan’Aku ingin berteriak sampai serak kepada Indonesia…’Mari kita saling berbeda,karena memang kita lahir besar dalam kultur dan masyarakat sekitar yang berbeda .Ada Jawa,Sunda,Bali,Batak,PakPak,Dayak dan suku lain.Aku bangga jadi orang berhati Jawa karena ‘KEBETULAN’ lahir di Klaten namun kalian harus bangga juga berhati ‘BaliBatak Dayak atau yang lain’Perbedaan ini janganlah jadi pemicu permusuhan namun sebagai awal berpikir untuk menghargai yang lain.MARI KITA PERJELAS DALAM BERBEDA ,MENGHARGAI YANG LAIN dan MENUJU SATU INDONESIA.

Comment by Aulia A Muhammad
2008-11-29 15:16:49

sipp sipp, good good….

 
 
Comment by haris
2008-12-01 12:21:41

sjahrir itu salah satu idola dia,mas. dibanding soekarno-hatta, sy lbh suka shahrir, dia lebih bergelora dibanding hatta, lebih inte;ektual dibanding soekarno. dia intelektual sejati. bener katamu, mas

Comment by Aulia A Muhammad
2008-12-01 12:27:17

thanks ris…

 
 
Comment by zen
2008-12-17 10:59:52

dia memang manusia kosmopolit. jika ia bersimpati pada rakyat hindia belanda, itu bkn simpati dari orang setanah air, tapi karena simpati pada orang2 yg dikalahkan.

“jembatan bergetar”-nya kafka, memang tepat untuk menggambarkan pribadi dan perjalanan sjahrir.

 
Comment by Aulia A Muhammad
2008-12-17 13:52:04

iya zen, betapa sulit mencari pribadi seperti itu di zaman ini.

 
Comment by elfan
2008-12-20 10:17:04

Sayang, tokoh politik yang berasal dari Urang Minang kini, sudah jarang di pentas nasional. Kemana? ya anda dan kawan-kawannya yang lain sudah harusnya bisa maju, semoga.

Comment by Aulia A Muhammad
2008-12-26 19:09:23

wuih, diriku bukan tokoh politik pun!

 
 
Comment by masmpep
2009-02-05 13:23:25

mangunwijaya mengagumi sjahrir. namun ia tidak menulis buku yang memuja sjahrir. romo mangun menulis burung-burung manyar. tokoh utama teto sebagai tokoh antagonis anti jepang pro belanda. teto habis-habisan membenci sjahrir. yang disebutnya ‘ruh bagi bangsa yang baru berdiri’, ‘tanpa sjahrir tamatlah republik yang belia itu’. untuk menggambarkan betapa ‘pentingnya’ sjahrir bagi republik teto bahkan ambisius untuk menembaknya (dalam setting sejarah memang sjahrir pernah ditembaki knil di jakarta).

soal kematian sjahrir. ada serpihan menarik. harian AB, harian Angkatan Bersenjata yang di-back up militer dan disebut terbesar pada masa itu menulis berita: ‘rakyat mengantarkan bung karno ke pemakaman’. harian AB salah tulis. maksudnya ‘bung sjahrir’ tertulis ‘bung karno’. bung karno kontan mencak-mencak: kamu mendoakan saya cepat mati? bentaknya pada H.R. soegandhi pimred AB. soegandi hanya tersenyum kecut dan berulang kali minta maaf. tak jelas, apakah ini murni salah cetak. atau memang tentara ingin menggusur ’si bung’ segera.

Comment by Aulia A Muhammad
2009-02-05 20:37:42

WOW! thanks untuk tambahan infonya.

 
 
Comment by muhammadhusnil
2009-02-18 00:49:30

mas, kalo boleh tau, smpyan yang nulis sendiri tulisan ini? karena judul dan tulisan ini saya pernah baca di majalah tempo edisi khusus tanggal 16 januari 2000 yang berjudul hidup 1000 tahun lagi. dan, judul di atas, kalo saya nggak salah, sama persis ditulis dengan tulisan mas farid gaban. saran saja, kalo emang benar itu tulisan mas farid, tolong sebutkan sumbernya. itu sebagai pertanggungjawaban intelektual saja. terima kasih atas tanggapannya.

Comment by Aulia A Muhammad
2009-02-18 12:46:43

Yupe, ini tulisan lama saya. biografi pendek, yang sumbernya saya catut dari berbagai sumber, termasuk internet. mungkin, tempo edisi itu menjadi salah satu sumber penulisan. tapi, rasanya, judulnya pasti berbeda, juga beberapa bagian yang lain. tentang “penjelasan” beberapa rubrik di blog ini, juga sumbernya, dapat diklik bagian “denah”.

di buku saya, sumber2 tulisan biografi pendek ini selalu disebutkan. yang diblog ini hanya “petikan-petikan” saja.

Maturnuwun

 
 
Comment by indra
2009-04-22 16:19:38

Cerita sejarah yang sangat menarik,
Kalo boleh tahu refrensinya darimana?

Trims,

 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post