Biarkan Saja Anak Berlagu Cinta

March 27, 2008 · Print This Article

“Anak-anak harus dijauhkan dari lagu-lagu dewasa dan cinta,” kata banyak orang. Bah! Omongan apa itu?!

“YA, saya prihatin. Memang tidak pantas anak-anak menyanyikan lagu dewasa atau lagu cinta,” jawab Adi Bing Slamet ketika ditanya Ulfa, dalam acara “Gebyar BCA” di Indosiar, Sabtu seminggu lalu. “Miris aku. Bayangkan saja, anak-anak zaman sekarang lebih kenal lagu-lagu milik Peterpan, Matta, Samsons, dibandingkan lagu anak-anak sendiri. Padahal lagu-lagu itu bukan konsumsi mereka. Jadi akan sangat mengganggu pertumbuhan mereka,” tambah Andy /rif, dengan mimik bergidik.

“Itu namanya pelanggaran hak anak untuk menikmati masa kecilnya dengan lagu-lagu anak yang bisa membuat mereka ceria,” ungkap Kak Seto. “Lagu anak-anak zaman dulu tuh masih layak dinyanyikan, bahkan tak lekang oleh waktu. Seperti `Naik Gunung`, `Naik Delman`”,” tambahnya.Ya, semua memang prihatin. Dan akar keprihatinan itu dipicu oleh acara “Idola Cilik” yang tayang setiap hari di RCTI. Di ajang reality show pencarian bakat untuk anak-anak itu, lagu-lagu cinta “milik” kaum dewasa acap tampil. Peserta, anak-anak 12 tahun ke bawah itu, lebih sering menyanyikan lagu-lagu kasmaran dan atau perselingkuhan. “Kekasih Gelap” milik Ungu, “Ketahuan” dan “Playboy” Matta Band, “Aku Mencintaimu Apa Adanya” Once, atau “Munajat Cinta” The Rock, tampil dalam keceriaan dan lengking kanak-kanak. Kadang dengan ekspresi yang tidak klop, namun acap juga sangat mengena, seperti penampilan Kiki atau Siti. Ekpresi yang kena inilah yang barangkali membuat Kak Seto takut, “Anak-anak akan menjadi lebih cepat dewasa karena perkembangan psikoseksualnya menjadi lebih cepat.”

Alasan Ideologis

Semua pendapat di atas, termasuk komentar Tompi di “Insert”, menempatkan acara “Idola Cilik” sebagai ajang yang salah, tidak tepat, dan eksploitatif. Dan televisi yang paling kerap menyuarakan opini eksploitasi ini adalah Indosiar. Tentu, selain sebagai wujud keprihatinan, opini itu juga dibangun dalam perspektif kepentingan bisnis, persaingan acara yang nyaris sama, reality show anak-anak. RCTI memang mencuri start, memotong rencana Indosiar yang tengah mempersiapkan “AFI Junior”. Jadi, para aktris pemberi opini di atas barangkali tidak menyadari, pendapat mereka didukung bukan karena akan “menyelamatkan” anak-anak, melainkan dijadikan sebagai “peluru” untuk menembak kepentingan lawan bisnis. Karena, sebenarnya, anak-anak memang tak perlu dicemaskan dan atau diselamatkan.

“Idola Cilik” adalah ajang pencarian bakat untuk menjadi penyanyi. Yang jadi ukuran utama diacara ini adalah suara. Dan untuk mendapatkan gambaran suara yang baik, unik, konstan, mampu menjangkau nada-nada tinggi, dan tidak getar di suara rendah, penyanyi butuh lagu yang tepat. Dan harus diakui, lagu anak-anak tidak mampu secara eksploitatif menunjukkan hal tersebut. Lagu “Naik Delman”, “Naik Kereta Api”, “Lihat Balonku”, “Potong Bebek Angsa”, atau “Pelangi”, harus diakui, bermain dalam nada-nada yang sederhana, bahkan cenderung sama. Keunikan suara seorang anak tidak akan tereksplorasi secara sempurna jika menyanyikan lagu di atas. Itu terutama karena lagu anak-anak tadi lebih diniatkan sebagai lagu dolanan, yang lebih mementingkan aspek bermain dan belajar. Beberapa episode “Idola Cilik” yang menampilkan lagu anak-anak seperti di atas –setelah kritik yang bertubi-tubi– menunjukkan dengan jelas hal ini, kedataran vokal, dan keunikan yang hilang. Anak-anak jadi tampak memiliki kemampuan yang seragam dan seimbang.

Lagu dewasa jelas berbeda. Dalam suasana kompetitif, lagu-lagu ini mampu menunjukkan secara langsung kualitas vokal peserta. Suara Kiki misalnya, jadi tereksplorasi sempurna ketika menyanyikan “Mengejar Matahari” Ari Laso, dengan jangkauan nada tinggi yang stabil. Dalam lagu itu, suara Kiki menemukan rumahnya. Atau Itamar ketika menyanyikan “Terpesona” Glenn Fredly dan “Reflection” Christina Aquilera, vokalnya sungguh teraksentuasi dengan maksimal. Penyanyi merasa puas, komentator menjadi gampang menilai, penonton langsung tahu siapa yang layak untuk terus maju. Dengan kata lain, lagu-lagu dewasa justru membuat anak-anak tadi mendapatkan keadilan penilaian atas kualitas suaranya.

Yang juga harus diingat, “Idola Cilik” sarat dengan suasana kompetitif. Dan untuk memenangkan kompetisi menyanyi, selain suara, situasi panggung, dukungan penggemar, sampai aspek personalitas pun harus dimanfaatkan secara maksimal. Penyanyi harus mampu menjalin relasi dan ikatan emosi dengan penonton. Relasi dan jalinan emosi itu hanya akan tumbuh jika penyanyi berada dalam suasana, iklim, ekosistem, dunia, yang sama dengan penonton. Dan harus diakui, dunia penonton –baik itu anak-anak dan orang tua–, adalah lingkungan yang dihidupi oleh lagu-lagu orang dewasa, berlirik cinta dan perselingkuhan. Penyanyi harus masuk dalam suasana itu, dan tidak boleh menafikannya. Karena kalau penyanyi kehilangan relasi, keterhubungan dengan penonton, otomatis dia kehilangan panggung, dan juga suara. Apalagi, untuk kompetisi yang bersandar pada SMS, yang lebih banyak dikirimkan oleh orang dewasa. Jadi, memilih dan menyanyikan lagu cinta adalah persoalan mekanis semata, untuk meraih simpati dan juara. Tak ada alasan ideologis di belakangnya.

Makna Privat

Kekhawatiran Kak Seto, Tompi, Andi /rif, atau Joshua, berangkat dari paradigma bahwa anak-anak harus berada dalam iklim yang steril dari cengkraman “dunia” dewasa. Namun, kelemahan argumentasi mereka justru terletak dari hal yang paling dasar, menempatkan anak-anak dalam satu sudut pandang saja. Kak Seto dan Andi/rif khawatir lirik cinta akan memengaruhi emosi si anak. Di sini sebenarnya telah terjadi sebuah pengandaian bahwa “anak-anak mengerti dengan lirik tersebut”, dan karena itu “berbahaya” bagi jiwa mereka. Masalahnya adalah apakah “pengertian” anak-anak itu sama dengan “pengertian” yang orang dewasa, Kak Seto dan Andi/rif? Jangan-jangan, “pengertian” yang dipahami Kak Seto dan atau orang dewasa lainnya itulah yang dijadikan ukuran “pengertian” anak-anak. Dengan kata lain, opini di atas, kekhawatiran itu, berangkat dari “pengertian” orang dewasa yang diatasnamakan “pengertian” anak-anak. “Pengertian” anak-anak sendiri tidak pernah termanifestasikan. Dengan “pengertian” semacam itu, anak-anak justru telah “didewasakan”.

Ya, itulah persoalannya, orangtua yang selalu merasa tahu alam pikir anak-anak. Orang dewasa yang merasa paling tahu apa yang pantas dan tidak bagi anak-anak. Sebuah anggapan bahwa anank-anak adalah makhluk yang gampang retak, mudah tercemari, dan karena itu butuh pertolongan. Padahal, orangtualah yang seharusnya lebih butuh diselamatkan. Proteksi mereka, kecemasan mereka, sebenarnya adalah kekhawatiran pada diri sendiri akan sebuah “masa depan” anak-anak. Padahal, masa depan anak-anak itu, kelak menjadi milik mereka sendirim, bukan milik orang dewasa atau orangtuanya, dan karena itu tidak bisa diarahkan, didesain, apalagi dalam kultur kecemasan.

Anak-anak adalah anak-anak. Orang dewasa harus melihat anak-anak sebagai anak-anak. Ketika Kiki menyanyi “Aku Mencintaimu Apa Adanya” Once, yang tersaji adalah ungkapan seorang anak pada orangtuanya yang memilik keterbatasan, cacat fisik tapi bukan cacat cinta. “Pengertian” Kiki bukanlah “pengertian” Once atau Kak Seto. Ekspresi Kiki tidak sebangun dengan luahan rasa Once. Lagu itu dipilih Kiki sebagai “rumah” untuk menampung semua pengalaman pribadinya bersangkutan dengan ayahnya, juga penyataan dia tentang bagaimana mencintai seseorang yang memilik keterbatasan. Dan pengalaman pribadi Kiki tidak sama dengan Once atau Dewiq yang menciptakan lagu tersebut. Dan ketika Kiki bernyanyi, tak ada sebersit ingatan pun yang memperhubungkannya dengan “pengertian” dewasa itu. Lagu dewasa itu, justru sempurna dalam ungkapan kekanakan Kiki. Lagu itu tidak membuat Kiki jadi dewasa. Tak ada yang berbahaya di sini.

Jadi, Kak Seto, Andi/rif, hakikatnya, lagu seperti puisi. Dia menyentuhmu dalam pengalaman personalmu, dalam “pengertian” privatmu. Pengertian itu multak milikmu, berada dalam duniamu. Baik kamu dewasa atau anak-anak. Dan haram hukumnya “pengertian” personalmu itu kamu paksakan jadi “pengertian” orang lain. Karena, jika kamu tetap memaksakan pengertian itu, sungguh kamulah yang tidak dewasa, dan engkaulah yang patut dicemaskan, lebih layak diselamatkan, daripada anak-anak yang bernyanyi cinta dalam pengertian dan dunia kanaknya….

[Telah di Harian Suara Merdeka, Minggu 30 Maret 2008]

Comments

RSS feed | Trackback URI

5 Comments »

Comment by Lintang
2008-09-26 12:45:13

Tulisan-tulisan Anda dalam “membaca teve” saya nikmati sebagai analisis yang tajam, berisi, dengan diksi yang kaya. Tapi untuk tulisan yang satu ini, saya kecewa dengan judgment Anda yang terlalu naif dari sudut psikologi perkembangan anak. Apakah Anda bisa memastikan bahwa anak pasti tidak mengerti makna dari sebuah lagu dewasa? Menurut saya Anda sedang merendahkan kemampuan anak untuk mencerna makna.

Apakah Anda bisa memastikan bahwa “tak ada yang berbahaya di sini” saat anak-anak mengakrabi lagu-lagu bertema cinta orang dewasa? Apa definisi “bahaya” dalam pikiran Anda, apakah itu satu-satunya bahaya (harm) yang mungkin timbul? Saya tidak selalu setuju dengan Kak Seto, tetapi dalam hal ini saya sepakat bahwa industri musik orang dewasa acapkali merampas hak-hak anak untuk menjadi anak-anak.

Justru fenomena bahwa dalam lomba menyanyi anak-anak itu harus mengusung lagu-lagu orang dewasa bagi saya menunjukkan betapa miskinnya perhatian kita pada dunia anak-anak, termasuk menciptakan lagu-lagu yang bermutu dan menantang bagi teknik vokal mereka.

dari saya
yang prihatin kalau mendengar anak-anak tetangga menyanyikan lagu Mulan Jameela lengkap dengan desah-desahnya itu …

Comment by Aulia A Muhammad
2008-09-26 16:23:13

memahami dunia anak, seakan kita adalah anak itu dan pikiran mereka sendiri, itulah yang tidak aku ingini. betapa seringnya orangtua merasa tahu apa yang paling benar untuk anaknya, tapi ternyata salah kan? bukankah anda pernah merasakan sendiri menjadi anak-anak, dan merasa tidak dimengerti oleh orangtua anda?

aku hanya ingin menempatkan anak-anak sebagai subjek yang merdeka, yang “pagar” itu tidak selalu harus dilihat dari kacamata orangtua. dan alhamdulillah, dalam “praktek” kecil di rumah, anakku bebas berlagu cinta, dan tak ada bahaya yang kurasakan, daripada orangtua berlagu cinta.

jadi, santai-santai saja. jangan mengeluhi kegelapan, tapi tak pernah menyediakan lentera…

 
 
Comment by chocoluv
2009-04-14 20:58:34

perkembangan itu sesuatu yang hasilnya tidak selalu terlihat di masa sekarang.
saat sekarang anak2 menyanyikan lagu yang seharusnya ada di tahap perkembangan yang jauh di atasnya, mungkin emang ga terlihat sperti suatu hal yang negatif, pada saat ini.
tapi beberapa tahun kemudian, ketika ada hal negatif yang terjadi pada anak (yg saat itu sudah dewasa) yang merupakan akumulasi dari banyak hal yang dialaminya sejak kecil. we just couldn’t turn back the time and fix it.

Comment by Aulia A Muhammad
2009-04-21 14:28:19

beberapa tahun kemudian?

beberapa tahun itu justru anak-anak tadi sudah makin merdeka dan mencerap hal-hal yang lebih kaya dan mereka butuhkan. kayaknya belum ada deh penelitian tentang “dampak lagu cinta yang dinyanyikan anak-anak setelah mereka dewasa”, hehehe…

pesan saya sederhana, jangan melihat anak-anak sebagai objek dari pikiran dan ketakutan –juga kebenaran– orang dewasa.

 
 
Comment by Zepe
2010-03-26 22:09:45

He is Tono,
he is a boy…

She is Tini,
She is a girl.

They are my good frined,
and my neighbourhood….

Simpel, bermakna, mudah dipelajari, dan berbahasa inggris..

itulah ciri khas lagu-lagu anak buatan saya…

yang ada di blog saya:

http://www.lagu2anak.blogspot.com

situs lagu dan dongeng anak… (Zepe)

 
Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post