Gogon dan Cobaan Nonteologis

September 3, 2007 · Print This Article

Diri yang berbuat ulah, setan dan cobaan yang acap mendapat salah.


“INI cobaan untuk saya. Barangkali dengan begini saya jadi tahu telah salah bergaul dan berada di lingkungan yang tidak tepat sehingga saya terjerumus menggunakan narkoba, ketagihan dan tergantung untuk membeli lagi.” kata Gogon pelan.

Di layar “Buletin Malam” RCTI (22/1) itu, tangannya berkali-kali menjangkau tisu dan melap airmatanya yang terus jatuh. Parasnya sudah dilupakan cahaya, pucat. Setiap menjawab pertanyaan wartawan, matanya yang basah tak pernah berubah arah, lurus menatap ke depan. Ia selalu menjawab dengan pelan, seperti bisik, sesal untuk dirinya sendiri.

Gogon berurusan dengan polisi karena pertengkaran asmara. Ketika polisi bermaksud melerai, teman tidurnya, Tri, justru membuka rahasia, bahwa Gogon pecandu berat. Polisi memeriksa rumahnya, ditemukan bukti. Dan setelah 13 jam diperiksa, Gogon tak bisa berkelit lagi.“Makanya, kalau punya pacar jangan yang ember…” komentar Uli Herdinansyah, presenter “Insert” TransTV, ketika menayangkan peristiwa itu. “Ember” adalah bahasa gaul untuk menjelaskan seseorang yang bocor-mulut, tak bisa menjaga rahasia.

Tertangkapnya Gogon memicu banyak komentar. Maklum, sebelum dia, telah banyak artis yang tersandung kasus semacam itu. Dari grup “Srimulat” saja, Gogon adalah orang ketiga, setelah Polo dan Doyok. Namun, bagi saya, yang paling menarik dari kasus ini adalah penyikapan Gogon. Dia menganggap ketertangkapan itu sebagai cobaan.

Penyikapan semacam itu bukan milik Gogon seorang. Banyak sekali artis yang jika tertimpa sebuah masalah, langsung mengatakan hal itu sebagai cobaan. Yoyo, Drumer Padi yang rumah tangganya dengan Rossa tengah bermasalah karena kehadiran orang ketiga, pun menganggap hal itu sebagai sebuah cobaan. “Keluarga saya memang tengah mendapat cobaan, terutama saya. Ini cobaan yang berat. Tapi, bagaimanapun kami coba untuk melewati ini, terutama saya, lebih introspeksi diri,” ucapnya dalam “Insert” (18/7).

“Itu cobaan apa godaan ya?” tanya Ersa Mayori, presenter “Insert” kepada rekannya, Uli Herdinansyah, yang cuma mengerdikkan bahu. “Ya pasti dapat cobaan kalau dia berani coba-coba,” tambah Ersa.

Revaldo juga menganggap kasusnya sebagai cobaan. Ratu Fellisa yang memukul Andika dan berurusan dengan polisi juga menganggap kasus itu sebagai cobaan dalam hidupnya. Perceraian Ulfa, Gusti Randa, dan Titi DJ, di mata mereka juga cobaan. Bahkan, anak Mulyana W Kusuma pun menganggap apa yang terjadi dengan ayahnya sebagai cobaan untuk keluarganya.
Apakah mereka semua tengah dicoba? lalu, siapa yang mencoba?

Memaknai Cobaan

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan kata cobaan sebagai sesuatu yang dipakai untuk menguji (ketabahan, iman, dlsb) dengan contoh kalimat “Tabahlah apabila menerima cobaan dari Tuhan”. Maksud kamus itu jelas, cobaan adalah “sesuatu” yang datang dari luar diri kita, dan merupakan urusan yang memberi hidup, Tuhan. Cobaan dengan demikian adalah sesuatu yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan. Pengertian di atas seakan mengacu pada al-Quran surat al-Baqarah (2:155-156), “Sesunggunhnya akan Kami (Allah SWT.) berikan cobaan kepada kalian semua dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yakni) Orang-orang yang ketika tertimpa oleh musibah maka akan berkata: “Sesungguhnya semua milik Allah dan akan kembali kepada-Nya“. Dari situ dapat kita lihat bahwa kata “cobaan” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia telah diberi arti teologis.

Pemberian arti teologis semacam itu menjadikan “cobaan” diterima sebagai sebuah keharusan, ujian untuk meraih peringkat keimanan yang lebih tinggi. Dan ini diperkuat lagi dengan al-Quran (2:214) “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu.

Nah, makna teologis semacam itulah yang selama ini hidup di benak kita. Uniknya, makna teologis itu justru acap dipakai untuk menjelaskan sesuatu yang sebenarnya bermuatan non-teologis. Kata cobaan digunakan secara “politis” untuk membebaskan manusia dari tanggungjawab atas ulahnya, dan hanya menjadikan Tuhan sebagai primacausa, sebab utama. Ingat kasus Yahya Zaini-Maria Eva? Keduanya pun memakai kata “cobaan” untuk masalah mereka.

Saya kira, cobaan adalah hanya “sesuatu” yang datang dari luar diri kita, dan di luar kemampuan kita untuk menghindarinya. Atau sesuatu yang tidak juga kita peroleh ketika seluruh usaha dan doa telah kita upayakan untuk meraihnya. Gempa, tsunami, kekeringan, atau kematian dan ketiadaan keturunan, adalah sedikit contoh dari cobaan tersebut. Dengan demikian, cobaan selalu bermakna teologis. Sementara jika kita merokok dan tangan tersulut api, atau memotong roti dan jari teriris pisau, ini bukan “cobaan”. Lebih mudahnya, cobaan adalah sesuatu yang tidak tersangkut dengan hubungan kausalitas, sebab-akibat. Sedangkan sesuatu yang pasti bisa dilihat dalam kaitan sebab-akibat bukan termasuk dalam kategori cobaan. Mungkin dapat disebut sebagai ujian, masalah, problem, godaan, atau kata lainnya. Dari situlah bisa kita lihat, cobaan yang dimaksud Gogon bukanlah cobaan.

Jadi, kalimat Gogon, “Ini cobaan bagi saya. Barangkali dengan begini…” adalah ucapan yang salah berdasarkan hadirnya kausalitas dari masalah yang dia hadapi. Demikian juga ucapan Yoyo sebagaimana yang tercantum di atas. Intinya, tertangkapnya Gogon, perselingkuhan Yoyo, bukanlah cobaan karena selain ada hubungan sebab-akibat, Tuhan juga bukan prima-causa dalam masalah mereka. Mengiyakan apa yang mereka hadapi sebagai cobaan, seperti yang diakukan Gogon, Yoyo, Ratu Fellisa, berarti melepaskan diri mereka sebagai penanggungjawab utama. Seakan-akan, selingkuh dan nyabu itu adalah sesuatu yang tidak terelakkan, sesuatu yang harus mereka terima, sesuatu yang menjadi bagian dari garis nasib mereka.

Polo, tampaknya menyadari apa yang terjadi dengan Gogon bukanlah sebuah cobaan. “Seperti saya bilang, itu pilihan. Dan pilihan itu harus dibayar,” katanya, seperti tayang di “Insert” (23/8). Doyok pun marah karena Gogon menyalahkan lingkungan dan teman intimnya, dan bukan dirinya sendiri. “Untuk Gogon, jangan salahkan orang lain, jangan salahkan lingkungan. Salahkanlah dirimu sendiri! Bersyukulah karena polisi telah menyelamatkan hidupmu!”

Polo dan Doyok sudah pernah masuk penjara karena kasus yang sama. Mereka tampaknya sudah tahu, masuk penjara bukanlah cobaan, tapi akibat dari kegagalan mereka menghadapi godaan atau ujian kepopuleran.

Maka, seharusnya, dalam jumpa pers itu Gogon berkata, “Ini adalah akibat kegagalan saya melewati godaan narkoba dan wanita. Tak ada yang dapat saya salahkan, kecuali diri saya sendiri.” Sayang, Gogon –seperti juga aktris, politikus, dan para pejabat– sering memaknai akibat dari ulah diri sendiri sebagai cobaan. Dan karena itulah, masalah narkoba, kekerasan, dan korupsi serta kejahatan birokrasi tidak pernah dapat diselesaikan di negeri. Karena ketika problem itu “cuma” didefenisikan sebagai cobaan, mereka pun yakin, hal itu harus terjadi dan hanya kuasa Tuhan yang dapat menghentikannya. Sayang sekali.

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 2 September 2007]

Comments

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post