Wajah Ceria Kekerasan

April 27, 2007 · Print This Article

Kekerasan, keonaran, kebrutalan, acap datang dengan wajah ceria. Kita mencintainya.

TAK ada yang lebih mencintai “kebandelan” selain Yamaha. Bahkan, “persepsi” kebandelan itu terus diperbarui menjadi keonaran dan kebrutalan. Lihatlah iklan-iklannya. Awalnya, Komeng hanya zig-zag di jalan raya, menyalip siapa saja, cepat, dan sampai tujuan dengan baju compang-camping. Atau memboncengkan Tessa Kaunang, dengan hasil rambut yang jadi awut-awutan. Selanjutnya, efek “kebandelan” Yamaha dipertegas. Mulai mengacaukan roda delman, merubuhkan pot-pot bunga, sampai merusak kacamata. Korbannya selalu Didi Petet, dan pencetus kagum Dedy Mizwar. Terakhir, efek itu dipertegas dengan “super-duper” hiperbolis, meruntuhkan jembatan Kalibeber, dan terakhir merontokkan motor lain, sampai hanya layak jadi rongsokan.Yamaha dengan iklannya mereprentasikan kebandelan sebagai kekerasan. Efeknya adalah kehancuran bagi pihak lain. Kekerasan atau pun keonaran divisualisasikan dengan jelas, berulang-ulang, dan menjadi bagian dari kesenangan.
Kini, keonaran dan kehancuran itu juga punya pengikut. Iklan minuman Tebs contohnya. Versi terbaru iklan teh bersoda ini menampilkan keonaran akibat “kejutan rasa” Tebs. Rekaman video di kantor polisi menunjukkan bagaimana dahsyatnya dampak tegukan Tebs; mobil bertubrukan, pedagang dengan jualan yang berhamburan, orang-orang yang panik. Selanjutnya adalah rasa bangga penenggaknya. Itulah iklan yang secara bagus mampu membahasakan kenikmatan sebagai kehancuran bagi orang lain.

“Moral” cerita iklan di atas jelas tidak baik. Yamaha misalnya, tak hanya menghancurkan produk sejenis, tapi juga lingkungan sekitar. Namun, bagi konsumen, “citra” semacam itulah yang justru diharapkan. Imaji kekerasan, pembuat onar, justru mampu mendongkrak penjualan Yamaha. Hasilnya, untuk kali pertama, penjualan Yamaha mengalahkan Honda, di bulan Maret. Yamaha menjual lebih banyak 7.961 unit motor daripada Honda.

Manajer pemasaran PT Yamaha Motor Kencana Indonesia Herry Setyanto, mengutip data dari Asosiasi Industri Sepeda Motor, mengatakan, Yamaha menjual 159.035 unit untuk bulan Maret. “Honda hanya 151.074 unit,” katanya. Keberhasilan itu, kata Herry, tak lepas dari strategi iklan mereka. Ke depan, mereka akan kian menggencarkan iklan dengan tetap mempetahankan model Dedy Mizwar, Didi Petet, dan Komeng. “Mereka bagian dari strategi pemasaran,” ucapnya.

Anda ingat wajah ceria Komeng sehabis “mengamuk” dengan Jupiter MX-nya? Itulah “strategi pemasaran” yang dimaksudkan Herry. Anda juga pasti ingat senyum maklum dan bangga Deddy Mizwar?

Kenikmatan Onar

Kekerasan, keonaran, agresivitas, bukanlah suatu sifat yang berdiri sendiri, melainkan sebuah sindrom. Kekerasan terstimulasi dari sebuah sistem, dapat berupa hierarki yang kaku, dominasi suatu kelompok masyarakat, stratifikasi kelas sosial, ras dan agama. Itulah yang dikatakan Erich Fromm dalam bukunya The Anatomy of Human Destructiveness. Fromm yakin, agresi adalah nilai yang ditanamkan melalui budaya dan menjadi bagian dari karakter sosial. Sebagai nilai sosial, agresi adalah “modal diam” yang suatu saat meledak ketika ada picu pelontarnya.
Iklan Yamaha dapat dibaca dalam kacamata yang sama. Pilihan kekerasan adalah “modal diam” yang lahir akibat dominasi yang terlalu kuat dari Honda selama ini. Namun, “kekerasan” jahat justru terletak pada senyum bangga Komeng dan Deddy Mizwar setelah aksi brutalnya.

Senyum itu adalah visualisasi dari kenikmatan. Dan tak ada kekerasan yang lebih mengerikan daripada ketika hal itu dimaknai sebagai kenikmatan, kepuasan. “Kejahatan yang paling sempurna,” kata George Bataille, “adalah ketika si pelaku merasa dia justru melakukan sebuah perbuatan heroik.” Wajah ceria Komeng menunjukkan hal itu. Keonaran sebagai kesenangan, mainan, guyonan, sesuatu yang riang-gembira. “Kamu boleh ambil apa pun dari juniormu, tapi sisakan nyawanya,” itulah “hukum” di IPDN. Atau, “Kalau kau tidak dapat mengambil hati juniormu, ‘ambillah’ ulu hatinya.”
Senyum itu, keriang-gembiraan itu adalah tanda hilangnya sense of humanity, rasa insani. Korban adalah sesuatu yang harus dan wajib. “Masih berani pilih yang lain,” kata Deddy Mizwar. “Apalah artinya 33 nyawa dibandingkan pengabdian para lulusan IPDN,” begitulah testimoni alumnus institut itu, sebagaimana pernah tercantum di http://ipdnmania.wordpress.com.

Korban hanya dimaknai sebagai bencana, situasi yang tak terelakkan. Tak ada meaning of humanity, hikmah, dosa, rasa malu, apalagi pengungkapan kebenaran. Bebasnya sepuluh praja pembunuh Wahyu Hidayat adalah bukti hal itu. Diangkatnya mereka menjadi PNS kian menunjukkan tak ada rasa bersalah pemerintah atas pembunuhan itu. Wahyu hanya bencana, hanya akibat dari kedisiplinan. Hukuman penjara tidak relevan untuk sebuah pembunuhan yang dimaknai sebagai bencana.

Bangsa Penerima

Iklan Yamaha dan Tebs, juga IPDN, adalah “bencana” bagi rasa kemanusiaan. Tapi, siapa yang dapat menampiknya. Keonaran dan kekerasan yang diiklankan Yamaha, justru menaikkan penjualannya. Kekerasan dan pembunuhan di IPDN tak menyurutkan “pamornya”. Tak ada keinginan pemerintah untuk menutup sekolah semi-militer itu. Hanya sedikit daerah yang berencana tak lagi mengirimkan putra daerah ke sana. Dan yakinlah, sangat banyak orangtua yang memimpikan anaknya untuk tetap diterima dan bersekolah di sana. Kekerasan itu adalah bagian dari resiko yang dapat diterima sepanjang ada janji di sebaliknya. Yamaha menjanjikan kecepatan dan kebandelan, IPDN menjanjikan karier yang gemilang dan pasti. Karena sepuluh praja pembunuh itu pun akan tetap sebagai PNS lepas dari hukumannya nanti.

“Kekerasan dapat diterima sebagai kenikmatan ketika seseorang sadar posisinya sebagai si lemah, si tanpa harapan,” tulis Fyodor Dostoevsky dalam Notes from Underground. Dan kita, adalah masyarakat yang putus asa, tanpa harapan, hanya berani bermimpi untuk kehidupan yang lebih baik. Karena kita juga sebuah bangsa, yang dengan enteng, menganggap kejahatan sebagai bencana. Itulah sebabnya, kita menerima kekerasan, tak pernah sungguh mengutuknya, seperti kita menerima IPDN dan iklan Yamaha. Kita berharap, ada wajah bangga, ada paras ceria, saat kekerasan itu usai bekerja.

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 29 April 2007]

Comments

RSS feed | Trackback URI

Comments »

No comments yet.

Name (required)
E-mail (required - never shown publicly)
URI
Your Comment (smaller size | larger size)
You may use <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong> in your comment.

Trackback responses to this post